Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SAKSI NIKAH

Guna memenuhi tugas mata kuliah: Fiqih Munakahat


Dosen pengampu: Dr. H. Muh Syaifudin, M.A

Disusun oleh kelompok 7:


Ilham Masykuri 18106012056
Anas 19106012345

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2019/2020

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam memandang bahwa sebuah pernikahan itu bukan saja merupakan jalan yang
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga merupakan
sebuah pintu perkenalan antarsuku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya.

Kita ketahui bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt berpasang-pasangan ada laki-
laki dan perempuan. Dalam Islam bahkan semua agama, ikatan yang dapat mempersatukan
pasangan tersebut dengan ikatan yang suci adalah sebuah pernikahan, sebuah pernikahan
yang sah secara hukum Syara’ maupun secara hukum Negara ialah pernikahan yang
memenuhi syarat dan rukunnya. Salah satu penunjang sahnya pernikahan tersebut adalah
adanya saksi. Lalu apa itu saksi? Siapa saksi? Haruskah saksi itu ada dalam setiap
pernikahan? Lalu bagaimana pandangan para ulama mengenai saksi dalam nikah ini?

Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata hubungan kontrak atau keperdataan


biasa akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah, sehingga perlu diatur dengan persyaratan dan
rukun tertentu yang harus dipenuhi agar tujuan disyariatkannya pernikahan dapat tercapai.
Dalam sebuah pernikahan, hadirnya dua orang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian saksi dalam pernikahan?
2. Bagaimana syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan?
3. Bagaimana kedudukan saksi sebagai syarat dan rukun nikah?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian saksi dalam pernikahan
2. Mengetahui apa saja syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan
3. Menjelaskan kedudukan saksi dalam syarat dan rukun nikah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saksi Nikah


Kata kesaksian secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab ‫ شهادة‬yang asal
katanya .1‫ شهادة‬- ‫ يشهد‬- ‫شهد‬

Menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yaitu: informasi yang pasti (al-khabar
al-qathi’), pengakuan (al-iqrar), sumpah (al-qasam), hadir (al-hudhur), menyaksikan
dengan mata kepala (al-mu’ayanah)2 , dan mati dijalan Allah (al-maut fi sabilillah)3. Kata
syahadah menurut bahasa bermakna “kehadiran”, seperti dalam kalimat syahida al-makan
(dia hadir di tempat itu) dan syahida al-harba (dia terlibat dalam perang itu)4.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata saksi berarti orang yang melihat,
dalam berbagai arti seperti; orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk
mengetahuinya, supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan
bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Orang yang mengetahui sendiri sesuatu
kejadian, hal dan sebagainya. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa.5

Secara terminologi (istilah), al-Jauhari dalam ash-shihah mengatakan bahwa


syahadah berarti “keterangan yang pasti”. Sedangkan syahid, orang yang membawa dan
menyampaikan keterangan yang pasti, dia menyaksikan sesuatu yang luput dari perhatian
orang lain. Musyahadah artinya sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang
menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Dikatakan juga bahwa kesaksian

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: PustakaProgresif, 1977), Cet. Ke-II, h.
746.
2
As-Sa’diy, Abu Habib,al-Qamus al-Fiqhiyah Lugatan wa Istilahan, (Damsyiq: Dar al-Fikri, 1993), h. 202
3
Majmu’tun min al-Muallifina, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait:Wizarah al-Auqati wa
asy-Syuun al-Islamiyah, 1427 H), jilid 26, h. 214.
4
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i 3, Penerjemah: Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, Jakarta: Almahira, 2010,
Hlm.509.
5
W. J. S. Poerwardamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1995, Hlm. 732.
2
berarti seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat dan
didengarnya”6.

Dalam kamus istilah fiqih,”Saksi adalah orang atau orang-orang yang


mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam pengadilan,
pembuktian dengan saksi adalah penting sekali, apalagi ada kebiasaan di dalam masyarakat
bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat”7. Dalam kamus ilmiah
populer, kata “saksi berarti orang yang melihat suatu peristiwa; orang yang diturutkan dalam
suatu perjanjian” 8 . Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal dinyatakan
tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.9

Adapun defenisi kesaksian menurut pendapat ulama adalah sebagai berikut:

1. Al-Kamal salah satu ulama Hanafiyah mendefenisikan bahwa kesaksian adalah:


“Informasi (pengakuan) yang benar untuk menetapkan yang haq dengan lafaz kesaksian
di Pengadilan.”

2. Ad-Dardir salah satu ulama Malikiyah mendefenisikan bahwa kesaksian adalah:


“Informasi (pengakuan) seorang hakim berdasarkan ilmu untuk mengadili yang
disidang.”10

3. Al-Jamal salah satu ulama Syafi’iyah mendefenisikan bahwa kesaksian adalah: Informasi
(pengakuan) yang benar seseorang terhadap orang lain dengan menggunakan lafaz
asyhadu (aku bersaksi)11.

6
Ibid., Prof. Dr. Wahbah Zuhaili.
7
Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah (eds), Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994,
Hlm.306
8
Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas Media), Hlm. 601
9
Redaksi Sinar Grafika,KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. ke-7, h.202.
10
Al-‘adwy, Abu Barakat Ahmad bin Muhammad,asy-Syarh al-Kabir, (tt: tp, th), jilid 4,h. 164.
11
Al-Jamal, Sulaiman, Syeikh,Hasiyah al-Jamal ‘Ala Minhaj Li Syaikh al-Islam Zakariaal-Anshari, (Beirut: Dar al-
Fikri, th),jilid 10, h. 741.

3
4. Asy-Syaibani salah satu ulama Hanabilah mendefenisikan bahwa kesaksian adalah:
Informasi (pengakuan) dengan apa yang ia ketahui dengan menggunakan lafaz asyhadu
(aku bersaksi) atau syahidtu (aku telah menyaksikan).12

Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa saksi
(syahadah) adalah orang yang memberikan keterangan yang benar tentang apa yang dilihat,
dialami, disaksikan, dan didengar tentang suatu peristiwa tertentu yang disengketakan
didepan sidang pengadilan dengan kata khusus yakni dimulai dengan sumpah terlebih
dahulu atau dapat diambil kesimpulan bahwa saksi adalah orang yang melihat atau
menyaksikan secara langsung dengan dirinya sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Dalam
suatu pernikahan berarti saksi melihat atau menyaksikan secara langsung bahwa telah terjadi
akad nikah di suatu tempat.

Adapun dasar hukum disyari’atkannya kesaksian telah tsabit baik dalam al-Qur’an,
sunnah, ijma’ ataupun qiyas13.

Dalam al-Qur’an terdapat dalam Surat al-Baqarah (2): 282,

‫ش َهدَآ ِء‬
ُّ ‫ض ۡونَ ِمنَ ٱل‬ ِ َ ‫ل َو ۡٱم َرأَت‬ٞ ‫ش ِهيدَ ۡي ِن ِمن ِر َجا ِل ُك ۡ ۖۡم فَإِن لَّ ۡم يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج‬
َ ‫ان ِم َّمن ت َۡر‬ َ ْ‫ٱست َۡش ِهد ُوا‬
ۡ ‫َو‬
‫َض َّل إِ ۡحدَ ٰى ُه َما فَتُذَ ِك َر إِ ۡحدَ ٰى ُه َما ۡٱۡل ُ ۡخ َر ٰٰۚى‬
ِ ‫أَن ت‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelakidan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupamaka yang
seorang mengingatkannya”.14
Surat ath-Thalaq (65): 2,

‫وف َوأ َ ۡش ِهدُواْ ذَ َو ۡي َع ۡد ٖل ِمن ُك ۡم‬ ِ َ‫فَإِذَا َب َل ۡغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَأ َ ۡم ِس ُكوه َُّن ِب َمعۡ ُروفٍ أ َ ۡو ف‬
ٖ ‫ارقُوه َُّن ِب َمعۡ ُر‬
َّ ‫َوأَقِي ُمواْ ٱل‬
ٰۚ َّ ِ َ ‫ش ٰ َهدَة‬
ِ‫لِل‬

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang

12
Majmu’atun Min al-Muallifina,op. cit., h. 216.
13
Majmu’atunmin al-Muallfina, op. cit., h. 218.
14
KementerianAgama,loc. cit.
4
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah”.15
Adapun dari sunnah terdapat dalam hadits yang bersumber dari Aisyah yang
diriwayatkan oleh ad-Daruquthuni,16 yang artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu
Dzar Ahmad bin Muhammadbin Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Husein bin
‘Ibad an-Nasai, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Sinan, telah menceritakan kepada
kami ayahku, dari Hisyam bin ‘Urwah, dariayahnya, dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: Tidak adapernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”.

Adapun ijma’ sesungguhnya telah sepakat ijma’atas disyari’atkannya saksi dalam


akad nikah untuk membuktikan dakwaan.17

Adapun qiyas, setiap pendakwa (advokat) membutuhkan kesaksian, karena apabila


terjadi pengingkaran di antara manusia, maka wajib meruju’ kepadanya.18

B. Syarat-syarat saksi nikah


Keberadaan saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah,
Sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (Pasal 24 KHI). Guna merealisasi
tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud, dibutuhkan rukun dan syarat-syarat tertentu yang
dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil
baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli (Pasal 25 KHI).

Agar akad nikah menjadi sah hukumnya, maka yang bertindak sebagai saksi harus
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: masing-masing ulama fiqih menetapkan syarat-
syarat menjadi saksi pernikahan sangat beragam. Imam Taqiyyudin menetapkan syarat saksi
ada enam syarat19:
1. Islam
2. Baligh
3. Sehat akalnya
4. Merdeka
5. Laki-laki
15
Ibid., h. 558
16
Ad-Daruquthuni,loc. cit.
17
Majmu’atun Min al-Muallfina,loc. cit.
18
Ibid.
19
M. Rifa’i, Let. al, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra, t.t., Hlm. 279.
5
6. Adil
Imam al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih Madzahib al-Arba’ah menyebutkan lima
syarat untuk menjadi saksi:20
1. Berakal, orang gila tidak boleh jadi saksi
2. Baligh, anak kecil tidak boleh jadi saksi
3. Merdeka, hamba sahaya tidak boleh jadi saksi
4. Islam
5. Saksi mendengar ucapan dua orang yang berakad secara bersamaan, maka tidak sah
kesaksian orang tidur yang tidak mendengar ucapan ijab qabul dua orang yang berakad.
Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seseorang
yang menjadi saksi ialah:
1. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi
2. Baligh, tidak sah saksi anak-anak
3. Merdeka, bukan hamba sahaya
4. Islam
5. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak.
Imam Hanbali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:
1. Dua orang laki-laki yang baligh
2. Keduanya beragama Islam, dapat berbicara dan mendengar
3. Keduanya tidak berasal dari satu keturunan kedua mempelai
Imam Syafi’i mengemukakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:
1. Dua orang laki-laki
2. Berakal
3. Baligh
4. Islam
5. Mendengar
6. Adil
Dalam sebuah majelis akad nikah, sesungguhnya semua yang hadir menyaksikan
akad itu dengan mata kepala mereka kesemuanya adalah saksi nikah. Hanya saja
pembahasan di sini adalah yang dijadikan batas minimal saksi dan kriterianya.

20
Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab fiqih Ala’ Madzahib al Arba’ah, Juz 4, Darul Fikr, t.t., Hlm. 17-18.
6
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh dua orang saksi yang Mutlak
diperlukan untuk keabsahan akad. Maka tidak sah kesaksian orang yang tidak berakal secara
ijma’, karena ia tidak memahami apa yang ia katakan 21 , dan tidak akan tercapai tujuan
kesaksian yaitu pemberitahuan, sehingga akan tetaplahh nikah itu dalam keingkaran setelah
akad nikah. Jumhur Ulama sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat tentang syarat ini.
Di kalangan fuqaha syarat berakal dan dewasa ini disepakati menjadi syarat saksi
dan mungkin saja dua syarat ini dikombinasikan menjadi satu syarat yaitu kedua saksi harus
mukallaf. Dan mereka berbeda pendapat mengenai syarat-syarat yang lain berdasarkan apa
tujuan kesaksian, apakah untuk pemberitahuan saja sebagaimana pendapat Abu Hanifah atau
untuk memelihara nikah dari pengingkaran sebagaimana pendapat Imam Syafi’i.22
Sedangkan jumlah saksi adalah 2 (dua) orang, Ini adalah syarat yang disepakati
fuqaha, maka tidak sah akad nikah dengan satu orang saksi. Hanafiyah menyebutkan bahwa
seseorang yang menyuruh seorang laki-laki supaya menikahi anak perempuannya yang
masih kecil, lalu laki-laki itu menikahinya dan ayahnya hadir dengan kesaksian satu orang
selain keduanya (suami dan ayah) nikahnya boleh, karena langsung menyaksikan akad sebab
satu tempat.23
Syarat saksi menurut jumhur selain Hanafiyah bahwa kedua saksi itu laki-laki. Maka
tidak sah pernikahan dengan saksi perempuan keduanya dan tidak juga dengan seorang laki-
laki dan dua orang perempuan sebab keseriusan pernikahan dan kepentingannya. Berbeda
dengan kesaksian, dalam masalah harta dan muamalah yang sifatnya harta 24 . Az-Zuhri
berkata: Telah terdahulu sunnah kesaksian perempuan dalam masalah hudud, nikah dan
talak.
Hanafiyah berkata: boleh kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan pada
akad nikah sama seperti kesaksian dalam masalah harta, karena perempuan termasuk yang
ahli mengemban kesaksian dan melaksanakannya. Kesaksian perempuan tidak diterima
hanyalah pada masalah hudud dan qishash.25

21
Majmu’atunmin al-Muallifina,op. cit., h. 221.
22
Wahbah Zuhaily,loc. cit.
23
Ibnu al-Hummam,op. cit., jilid 2, h. 356.
24
Wahbah Zuhaily,loc. cit.

25
Wahbah Zuhaily, op. cit., h. 74-75.
7
Syarat saksi menurut jumhur kecuali Hanabilah bahwa kedua saksi itu merdeka.
Maka tidak sah kesaksian dua orang hamba karena keseriusan akad nikah dan karena
seorang hamba tidak ada kekuasaan baginya terhadap dirinya, dia tidak boleh menjadi saksi
karena tidak ada kekuasaan. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan baginya untuk orang lain.
Kesaksian merupakan bagian dari kekuasaan.26
Hanabilah berpendapat bahwa tidak disyaratkan saksi itu harus merdeka, bahkan
diterima kesaksian seorang hamba dalam segala hal, kecuali pada masalah hudud dan
qishash.27
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang adil sebagai syarat saksi.
Malikiyah mendefenisikan adil dengan memelihara agama dengan cara meninggalkan dosa
besar, meninggalkan menetapi dosa kecil, menunaikan amanah, bagus muamalahnya dan
kebaikannya lebih banyak dari keburukannya. Dan adil adalah syarat wajib diterimanya
kesaksian.
Hanabilah mendefenisikan adil dengan bagus agamanya, yaitu melaksanakan shalat
fardhu dan rawatibnya, meninggalkan dosa besar, tidak menetapi dosa kecil. Diibaratkan
juga bahwa adil itu menjaga harga diri dengan perbuatan yang memperindahnya dan
menghiasinya serta meninggalkan perbuatan yang mengotorinya dan memburukkannya28.
Syafi’iyah mengungkapkan bahwa menjaga harga diri merupakan syarat
diterimanya kesaksian. Imam Syafi’i berkata: apabila seorang laki-laki telah jelas kebiasaan
urusannya dalam ketaatan dan menjaga harga diri, maka diterima kesaksiannya. Dan apabila
seorang laki-laki telah jelas kebiasaan urusannya dalam kemaksiatan dan tidak menjaga
harga diri, maka ditolak kesaksiannya29.

Islam adalah syarat saksi berdasarkan kesepakatan, bahwasanya dua orang saksi
haruslah Muslim yang diyakini keislamannya30. Maka tidak diterima kesaksian orang kafir,
baik ia memberi kesaksian terhadap orang Muslim maupun selain Muslim 31 . Pendapat

26
Ibid., h. 67.
27
Ibnu Qudamah, Syarh al-Kabirli Ibn al-Qudamah, (tt: tp, th), jilid 12, h. 65.
28
Ibid
29
Ibid
30
Wahbah Zuhaily, op. cit., h. 76
31
Majmu’tun Min al-Muallifina, h. 222
8
yang asal ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Imam
Ahmad32.
Hanafiyah berpendapat tidak sah nikah calon suami dan calon istri yang beragama
Islam dengan kesaksian dua orang kafir zimmy, kecuali jika calon istrinya kafir zimmy dan
calon suaminya Muslim, maka sah nikahnnya dengan kesaksian dua orang kafir zimmy baik
keduanya satu agama maupun berbeda agama. Hanafiyah membolehkan kesaksian kafir
zimmy sesama mereka sekalipun mereka berbeda agama dan kesaksian kafir harbi dengan
kafir harbi juga. Adapun orang yang murtad, maka tidak diterima kesaksiannya secara
mutla33.
Tidak diterima kesaksian orang yang buta secara mutlak. Maka tidak sah kesaksian
orang yang buta menurut Hanafiyah secara mutlak34. Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak
sah kesaksian orang yang buta dalam hal perbuatan karena jalan untuk mengetahui
perbuatan itu adalah dengan melihat. Begitu juga dalam hal perkataan, kecuali apa yang
sudah tetap karena sudah tersebar.35
Menurut Malikiyah, b o l e h k e s a k s i a n o r a n g yang b u t a d a l a m h a l perkataan
tapi tidak dalam hal perbuatan. Menurut Hanabilah boleh kesaksian orang yang buta apabila
ia meyakini suara, sebab laki-laki yang adil diterima riwayatnya maka diterima pula
kesaksiannya seperti orang yang bisa melihat36.
Saksi harus mendengar perkataan dua orang yang akad dan memahami maksudnya.
Ini merupakan syarat menurut mayoritas fuqaha, maka tidak sah akad dengan kesaksian
orang yang tidur atau orang yang tuli, karena tujuan kesaksian tidak akan tercapai. Seperti
itu juga, tidak sah akad dengan kesaksian orang yang mabuk yang tidak mengetahui apa
yang ia dengar dan tidak mengingatnya setelah ia sadar37.
Tidak sah juga akad dengan kesaksian orang non-Arab terhadap akad yang
menggunakan bahasa Arab karena tujuan kesaksian itu adalah memahami perkataan orang
yang berakad dan melaksanakannya menurut yang lazim dan ikhtilaf. Dan inilah pendapat
yang rajih menurut Hanafiyah38.

32
Ibid
33
Ibid
34
Majmu’atun min al-Muallifina, op. cit., h. 221.
35
Ibid
36
Ibnu Qudamah, op. cit., jilid 12, h. 62.
37
Wahbah Zuhaily, op. cit., h. 77.
38
Ibid
9
Tidak sah kesaksian orang yang bisu menurut jumhur fuqaha. Imam Malik
berpendapat bahwa sah kesaksian orang bisu apabila dipahami bahasa isyaratnya.
Hanabilah berpendapat diterima kesaksian orang yang bisu apabila ia lakukan dengan
tulisannya 39.
C. Kedudukan Saksi dalam Akad Nikah
Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu
tidak syah. Di dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai
contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘arba’ah
menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al–ijab dan Al–qabul dimana tidak ada nikah
tanpa keduanya.40 Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’, rukun nikah
terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.
Menurut jumhur rukun nikah ada 4, yaitu: shighat, calon isteri, calon suami dan
wali. Sedangkan menurut Hanafiyah rukun nikah hanyalah ijab dan qabul saja. Adapun
saksi adalah syarat dalam akad nikah. Menjadikan saksi dan mahar sebagai rukun nikah
hanya istilah bagi sebagian fuqaha 41 . Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik sependapat
bahwa persaksian termasuk syarat nikah, namun mereka berselisih apakah menjadi syarat
tamam (kesempurnaan) nikah yang diperintahkan hadir sebelum dukhul atau syarat sahnya
nikah yang diperintahkan hadir pada waktu akad nikah.
Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa
adanya saksi, tetapi Imam Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki,
atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun
mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak
sah.42
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, maka timbullah masalah di masyarakat
bahwa di dalam setiap melangsungkan pernikahan terjadi keberagaman pemahaman dalam
perlunya menghadirkan saksi nikah. Mereka masih mengikuti fiqh madzhab yang
diyakininya. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka perlu adanya aturan yang dapat
menyeragamkan hukum terkait masalah tersebut. Tranformasi fiqh ke dalam Kompilasi
Hukum Islam merupakan salah satu solusi agar terciptanya keseragaman hukum serta

39
Majmu’atun min al-Muallifina, loc. cit.
40
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah (Mesir: al-Maktab Attijariyyati al-Qubro), h. 20
41
Wahbah Zuhaily, op. cit., h. 36.
42
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera2011),hlm. 314
10
bersifat memaksa. Sehingga dengan demikian tidak akan ada lagi keberagaman dalam
penerapan hukum itu sendiri.
Termasuk yang menjadikan saksi sebagai rukun nikah adalah penyusun buku
Kompilasi Hukum Islam. Mereka menuangkan dalam bukunya bahwa rukun nikah ada 5,
yaitu: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul43. Penjelasan
mengenai saksi nikah tersebut dijadikan teknik operasional di Pengadilan Agama yang
termaktub dalam penjelasan Kompilasi Hukum Islam Bab IV Bagian Keempat tentang saksi
nikah pasal 24, 25,dan 26 berbunyi:
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil,
aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tunarungu atau tuli.”
Pasal 26
“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta mendatangani akta
nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat saksi dalam pernikahan yang dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu, saksi sebagai rukun pelaksanaan akad nikah, dua
orang laki-laki muslim, adil, akil baigh, tidak terganggu ingatan, tidak tuna rungu atau tuli,
menyaksikan langsung akad nikah, dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat
akad nikah dilangsungkan.
Para aliran madzhab berbeda pendapat, menurut Madzhab Hanafi persaksian itu
merupakan syarat rukun akad nikah. Oleh karena itu persaksian disyaratkan ketika rukun
akad nikah. Madzhab Maliki berpandangan bahwa persaksian merupakan syarat sah nikah,
baik itu ketika melangsungkan akad dan sebelum berhubungan suami-istri. Menurut
madzhab Syafi’i saksi merupakan syarat sahnya akad pernikahan. Menurut Imam Hambali
bahwa adanya saksi bukanlah rukun dalam akad nikah, karena beliau memiliki pendapat
pernikahan tidak sah kecuali dengan kesaksian dua orang muslim, baik apakah kedua
mempelai adalah muslim maupun hanya suami saja yang muslim.

43
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), Cet. ke- I, h. 5.
11
Terlepas dari perbedaan pendapat antara ulama mengenai status saksi apakah sebagai
rukun atau syarat sahnya nikah, yang jelas keberadaan saksi dalam akad nikah menjadi
bagian penting yang harus dipenuhi. Ketiadaan saksi berakibat akad nikah tidak sah.44

44
Drs. Ahmad Rofik, M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Hlm. 95
12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Bahasa, saksi adalah “Orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu
peristiwa (kejadian)”. Sedangkan pengertian saksi menurut istilah, sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Jauhari, adalah sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang
mempertanggungjawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan
sesuatu (peristiwa) yang lain tidak menyaksikannya”. Syarat saksi menurut jumhur ulama
adalah: Berakal, Baligh, Islam, asil, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”.
Imam syafi’i memasukkan dua orang saksi sebagi syarat, bukan sebagai rukun.
Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid hal. 17 Juz 2 disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah, Syafii
dan Malik sependapat bahwa persaksian termasuk syarat bagi nikah hanya mereka berselisih
pendapat apakah menjadi syarat sahnya nikah atau menjadi syarat tamam (kesempurnaan)
nikah. Dalam hal ini pendapat mereka adalah:
Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa saksi nikah itu termasuk ketentuan syara, oleh
karena itu saksi merupakan syarat sahnya nikah yang harus ada pada waktu berlangsungnya
akad nikah. Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi nikah itu diadakan dengan maksud untuk
menghindarkan perselisihan dan pengingkaran. Karena itu saksi hanya termasuk tamam
(kesempurnaan) dengan membawa tujuan I’lan, yakni pemberitahun akan terjadinya nikah.
Oleh sebab itu saksi boleh terdiri dari 2 orang fasik.
Menurut syafi’I bahwa saksi nikah itu mempunyai dua maksud yaitu maksud I’lan
dan maksud syara’. Oleh karenanya saksi nikah harus dari orang yang adil dan tidak sah bila
dari orang yang fasik. Imam syafi’I sendiri memasukkan dua orang saksi (syahidain) itu
sebagai syarat nikah, bukan sebagai rukun nikah.
Menurut Imam Hambali bahwa adanya saksi bukanlah rukun dalam akad nikah,
karena beliau memiliki pendapat pernikahan tidak sah kecuali dengan kesaksian dua orang
muslim, baik apakah kedua mempelai adalah muslim maupun hanya suami saja yang
muslim.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, 1977, cet. Ke-II, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progresif, Surabaya
As-Sa’diy, Abu Habib,1993, al-Qamus al-Fiqhiyah Lugatan wa Istilahan, Dar al-Fikri,
Damaskus
Majmu’tun min al-Muallifina, 1427 H, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Jilid 26,
Wizarah al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, Kuwait
Wahbah Zuhaili, 2010, Fiqh Imam Syafi’i 3, Penerjemah: Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, 2010
Almahira, Jakarta
W. J. S. Poerwardamita, 1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, Jakarta
Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah (eds), 1994, Kamus Istilah Fiqih, PT. Pustaka
Firdaus, Jakarta
Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Lintas Media, Jombang
Redaksi Sinar Grafika, 2007, KUHAP dan KUHP, Cet. ke-7, Sinar Grafika, Jakarta
Al-‘adwy, Abu Barakat Ahmad bin Muhammad,asy-Syarh al-Kabir, (tt: tp, th), jilid 4
Al-Jamal, Sulaiman, Syeikh,Hasiyah al-Jamal ‘Ala Minhaj Li Syaikh al-Islam Zakariaal-
Anshari, Beirut: Dar al-Fikri, th,jilid 10.
Ibn Qudamah al-Maqdi si, 2004. Al-Mughni, Bait al-Afkār al-Dauliyyah, Riyadh
M. Rifa’i, Let. al, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra
Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab fiqih Ala’ Madzahib al Arba’ah, Juz 4, Darul Fikr
Abdurrahman, 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Akademika Pressindo, Jakarta.
Wahbah Az-Zuhaili, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Gema Insani, Jakarta.
Ibnu Qudamah, Syarh al-Kabirli Ibn al-Qudamah, (tt: tp, th), jilid 12, h. 65.
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah, al-Maktab Attijariyyati al-Qubro,
Mesir
Muhammad Jawad, Mughniyah, 2011, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, cet. I, CV. Nuansa Aulia, Bandung
Ahmad Rofik, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai