A. Pendahuluan
Para ahli ilmu pengetahuan dalam hal ini sains memiliki pandangan bahwa
setiap peristiwa atau kejadian ada penyebabnya. Hal itu wajar, karena asumsi
dasar sains adalah tidak ada kejadian tanpa sebab.1 Asumsi tersebut barangkali
bisa jadi benar bila manusia hanya menerima kebenaran rasional berdasar hukum
yang berlaku pada alam. Akan tetapi bila manusia bisa lebih membuka worldview
serta mengikuti conscience-nya, yaitu dengan menerima kebenaran atas pijakan
iman, maka hukum sebab-akibat bukanlah patokan dasar dalam menjelaskan suatu
kejadian. Tapi jauh di atas itu ada hukum Allah yang berlaku atas ciptaan-Nya.
Persoalan sebab ini kemudian melatar belakangi beberapa disiplin ilmu,
diantaranya asbabun nuzul dalam ilmu Qur’an dan asbabul wurud dalam ilmu
hadits. Dalam tulisan ini, yang akan lebih ditela’ah lebih jauh adalah asbabul
wurud dalam ilmu hadits.
Dalam ilmu hadits, dikenal istilah ‘asbabul wurud al-hadits’, yaitu sebab-
sebab yang menyertai datangnya hadits. Kedudukan fan atau disiplin ilmu ini
dalam ilmu hadits erat kaitannya dengan kedudukan asbabun nuzul dalam ilmu al
Qur’an. Disiplin ilmu ini, merupakan jalan yang menguatkan kepada pemahaman
hadits. Karena pengetahuan terhadap sebab mendatangkan pengetahuan terhadap
yang disebabkan.2
B. Pengertian
Para ahli bahasa mendefinisikan ‘sabab’ (sebab) dengan al-habl yang
berarti tali, atau dalam Lisanul ‘Arab diartikan hadzil (ekor). Kemudian diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu kepada yang lainnya. Para
ahli ‘urf secara umum menyebutnya pada segala sesuatu yang memperantarai
kepada sesuatu yang dimaksud. Sedangkan wurud, sebagaimana dikatakan al-
wurud dan al-mawarid berarti al-manahil, yaitu sumber atau tempat yang banyak
air, atau air yang keluar.3
.وهو ما ورد احلديث متحداث عنه أايم وقوعه
“Apa yang mendatangkan hadits berikut penuturan mengenainya saat-saat
kejadiannya. ”4
1
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosda, 2006, Cet. Ke-VI).
2
Dr. Nuruddin ‘Itr, Manhajun Naqd fi Ulumil Hadits, (Damaskus, Darul Fikr al-Mu’ashir,
2003, Cet. Ke-III), hal. 334.
3
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq: Dr. Yahya Ismail, Asbab al-Wurud as-Suyuthi aw al-
Luma’ fi Asbabil wurud (edisi terjemah Indonesia), (Jakarta: Pustaka as Sunnah, 2009, Cet. Ke-I),
Hal. 45-46.
4
Ibid., hal. 334.
1
مث أطلق على كل شيء يتوسل. مجع "سبب" وهو ما يتوصل به إىل غريه:لغة
.به إىل املطلوب
. هو ما ورد احلديث ألجله زمن وقوعه:واصطالحا
Secara bahasa: asbaab adalah bentuk jama’ dari sabab, yaitu apa yang
diperhubungkan dengannya kepada yang lainnya. Kemudian pengertian sabab
dimuthlakkan kepada segala hal yang dijadikan perantara kepada yang dicari.
Menurut istilah: apa yang mendatangkan hadits berdasar waktu kejadiannya.5
2
Prof. Dr. Endang Soetari AD dalam bukunya Ilmu Hadits: Kajian Riwayah
& Dirayah, menyebutkan bahwa perintis ilmu asbab wurud al-hadits adalah Abu
Hamid bin Kaznah al-Jubari dan Abu Hafsah ‘umar bin Muhammad bin Raja’.8
Sementara Muhammad Mahfudfz bin Abdullah at-Termasi, dalam kitab
Manhaj Dzawi an-Nadzhar, menyebutkan bahwa ulama yang pertama menyusun
tulisan mengenai sababul hadits ialah Hamid bin Kaznah al-Jurbaniy –dalam
tempat lain nisbatnya adalah al-Jubariy kepada kota Jubarah (w. 538 H)–.
Kemudian al-Hafidz adz-Dzhahabiy (w. 748 H) menuturkan bahwa tidak ada
sebelumnya kepada hal itu (sababul wurud), lalu setelah itu Abu Hafs al-
‘Ukbariy (w. 399 H/ w. 417 H) salah seorang di antara syaikh (guru) Abu Ya’la
bin al-Farra’ al-Hanbaliy (w. 458 H) menyusun tulisan mengenai sabab wurud.
Syaikh Islam Sirajuddin al-Bulqiniy (w. 805 H) dan kitabnya, Mahasinul
Ishtilah pada nau’ atau bagian/macam ke-69 tentang pengetahuan asbabul hadits,
mengatakan: Syaikh Abul Fath al-Qusyairiy (w. 702 H) atau yang terkenal dengan
sebutan Ibnu Daqiqil ‘Ied ra. dalam Syarah ‘Umdah, yaitu Al-Ihkaamul Ahkaam
Syarh ‘Umdatil Ahkaam, mengenai pembahasan hadits, “Sesungguhnya amal-
amal itu beserta dengan niatnya.” berkata: “Sebagian pakar hadits terkini
merencanakan dan memulai untuk menyusun sebab-sebab keluarnya hadits.
Sebagaimana telah disusun mengenai sebab-sebab turunnya ayat Kitabullah (al-
Qur’an) yang mulia. Dan saya hanya sedikit mengetahui tentang itu.”9
Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H) berkata dalam Syarh al-‘Umdah, “Ketahuilah
bahwa sebagian ahli hadits mutakhirin (yang berikutnya) berupaya untuk
menyusun sebab-sebab keluarnya hadits. Demikianlah yang disandarkan oleh
Syaikh Izzuddin (w. 660 H) kepada sebagian orang-orang zaman sekarang.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya
penyusunan karya tulis di bidang ilmu asbabul wurud al-hadits telah ada sejak
abad ke-4 H, namun jauh sebelumnya cikal bakal ilmu ini telah muncul, yaitu
sejak masa sahabat dan tabi’in. Namun kemungkinannya, penyebaran ilmu ini
nampaknya lambat dan tidak merata karena sedikitnya karya-karya ulama
mengenai asbabul wurud ini dalam sebuah karya khusus diluar pembahasan ilmu-
ilmu hadits secara keseluruhan, dan juga kemudian sebagian ulama sesudah abad
keempat Hijrah mengklaim bahwa ilmu ini berkembang pada masa mereka
dengan adanya upaya penyusunan karya tulis mengenai sabab al wurud, atau bisa
juga kemungkinan lainnya bahwa ilmu ini sempat mengalami kemerosotan dan
kemudian bangkit lagi di abad-abad selanjutnya. Wallahu ‘alaam bi ash-
Shawwab.
8
Prof. Dr. Endang Soetari AD, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung: CV.
Mimbar Pustaka, 2008, cet. Ke-V), hal. 202.
9
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab al-Wurud as-Suyuthi aw al-Luma’ fi Asbabil wurud,
(Beirut: Darul Fikr, 1996), hal. 28; & Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq: Dr. Yahya Ismail,
Op.Cit., hal. 104-105.
3
terbagi dua ditinjau dari kemunculannya, yaitu: yang mempunyai sebab-sebab
munculnya dan yang tidak mempunyai sebab-sebab munculnya. Sebabnya itu
kadangkala disebutkan dalam hadits itu sendiri dan terkadang sebab munculnya
itu tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi pada jalan (thuruq) hadits yang
lain.10
Bentuk-bentuk sebab munculnya hadits, bisa dari sebuah persoalan atau
kasus, pertanyaan, atau kejadian lainnya.
Dalam hadits yang muncul dengan mempunyai sebab, terkadang dijumpai
redaksi hadits yang seolah khitab atau instruksi hadits itu hanya berlaku khusus
bagi sabab wurud-nya. Sebagaimana contoh hadits berikut.
10
Ibnu Hamzah al-Husainy ad-Dimasyqiy, Al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbaabil wurud al-Hadits
asy-Syarif, (t.t.p.: al Baha’u Tijaah Darul Hukumah bi Halbi Syuhba’i, 1909), hal. 3; & Ibnu
Hamzah al-Husainy Al-Hanafi ad-Dimasyqiy, Al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbaabil wurud al-Hadits
asy-Syarif (edisi terjemah Indonesia), (Jakarta: Kalam Mulia, 2008, Cet. Ke-X), hal. xxxviii-xxxix
(Muqaddimah).
11
Hadits riwayat Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Ma’rifah, 2000), hadits no.
4102.
12
Ibnu Hamzah al-Husainy ad-Dimasyqiy, Op.Cit., (edisi terjemah Indonesia), hal. 167.
4
E. Ilmu Asbabul Wurud Hadits dan Ilmu Tawarikh Mutun
Meski telah menjadi disiplin tersendiri di bawah naungan ilmu hadits, ilmu
asbabul wurud al-hadits ini, terkadang terselip dalam bagian dari ilmu nasikh
mansukh al-hadits. sebagaimana Dr. Muhammad ‘Ajaj Khathib dalam karyanya
Ushulul Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, mencantumkan asbabul wurud
dalam bagian dari nasikh wa mansukh.13
Namun, beberapa ulama hadits telah menaruh perhatian mereka kepada
disiplin ilmu ini, dan kemudian menyusun tulisan tersendiri yang menyampaikan
hadits-hadits beserta asbabul wurud-nya.
Mengenai ilmu tawarikh al mutun ini, Al-Bulqiniy menyebutkan bahwa
ilmu ini memiliki banyak faidah, di antaranya memilki manfaat dalam
pengetahuan nasikh dan mansukh. Kemudian ia melanjutkan, tarikh memberikan
pengetahuan mengenai yang pertama (awwal) itu begini dan begini, juga
menyebutkan urutan sebelum dan sesudah, serta yang terakhir dari dua persoalan
(al-amrain), dan juga penyebutan waktu baik itu tahun, bulan, dan yang lainnya.14
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi membedakan antara ilmu Asbab al wurud
al-hadits dengan ilmu Tawarikh Mutun, sebagaimana ia memisahkan keduanya
dalam dua pembahasan yang berbeda dalam kitabya Tadrib ar-Rawi fi Syarhi
Taqribi an-Nawawi. Dari yang bisa dipahami, Asbab wurud al-Hadits cakupannya
lebih luas dari Tawarikh Mutun dalam memberikan pengetahuan historis suatu
hadits. Ini berdasar pada fungsi dan faidah dari kedua ilmu ini. Ilmu tawarikh
mutun hanya memberikan data tarikh (historis) hadits dari aspek kronologis, yaitu
pengurutan letak yang sebelum dan sesudahnya, ada pun faidahnya ialah ketika
menentukan naskh, yang mana nasikh dan yang mana mansukh. Sementara Asbab
al-wurud al-Hadits, lebih dari itu. Ilmu asbab al hadits ini memberikan
pengetahuan tentang konteks sebuah hadits, Kemudian nasikh wa mansukh, dan
ilmu ini juga termasuk dalam bahan kajian kritik matan.
13
Lihat, Muhammad ’Ajjaj Khathib, Ushulul Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut:
Darul Fikr, 1989).
14
Al-Imam Jalaluddin as- Suyuthi, Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, (Kairo:
Maktabah Darut Turats, 2005), hal.564.
5
3. Segi Jenis
Yaitu ketika ayat al Qur’an menjadi sebab keluarnya hadits, atau sebuah
hadits yang menjadi sebab turunya sebuah ayat. Atau ada sebuah hadits
yang keluar berkaitan dengan para pendengar dari kalangan sahabat atau
turun ayat yang seperti itu.
15
Lihat, Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman al-Khudlair, Tahqiqur Raghbah fi
Taudlihin Nukhbah, (Riyadl: Maktabah Darul Minhaj, 2005), hal. 235.
16
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Op. Cit., hal. 563.
6
Dari Umar bin Al-Khaththab ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal itu beserta dengan niatnya, dan
(balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-
Nya. Dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin digapainya atau
karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah
kepada apa yang dia diniatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh enam orang Imam17 dan juga yang lainnya.
Hadits ini shahih, masyhur, muttafaq ‘alaih. Sabab al wurud hadits ini
diungkapkan oleh as-Suyuthi dari az-Zubair bin Bakar, katanya, “Telah
meriwayatkan kepadaku Muhammad bin al-Hassan dari Muhammad bin Thahah
bin Abdurrahman dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin al Harits dari
ayahnya, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sampai di
Madinah, beberapa orang sahabatnya jatuh sakit. Kemudian datanglah seorang
laki-laki yang akan menikah dengan seorang wanita yang ikut serta hijrah.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam naik ke atas mimbar, lalu
bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya setiap ama itu beserta dengan niatnya
(beliau mengatakannya) tiga kali. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa
hijrahnya kepada dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan.
Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tangannya seraya
berkata, “Ya Allah Ya Tuhan kami, jauhkanlah dari kami wabah penyakit ini
(beliau mengatakannya) tiga kali.”18
As-Suyuthi mengungkapka bahwa perempuan yang ikut serta hijrah tadi
adalah Ummu Qais, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur
dalam Sunan-nya dengan sanad yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Mas’ud ra. Katanya: “Siapa yang hijrahnya mengharapkan sesuatu,
maka itulah yang diperolehnya.” Kata Ibnu Mas’ud selanjutnya, “Kami menyebut
wanita yang hijrah itu, Ummu Qais.
Wanita yang secara khusus disebutkan dalam hadits ini mengandung arti
semua tujuan mencari kehidupan duniawiyah dari hijrah dan amal ibadah,
demikian menurut Ibnu Daqiq al-‘Adawi.19
17
Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadl: Darus Salam, 1999), hadits no. 1, 6689, dan 6953;
Muslim,Shahih Muslim, (Riyadl: Darus Salam, 2000), hadits no. 1907 (4927); Abu Daud, Sunan
Abu Daud, (Riyadl: Darus Salam, 2009), hadits no. 2201; Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadl:
Darus Salam, 2009), hadits no. 1647; An-Nasa’i, Sunan al Kubra an Nasa’i, (Riyadl: Maktabah al
Ma’arif, 2008), hadits no. 75; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Ma’rifah, 2000),
hadits no. 4227.
18
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq: Dr. Yahya Ismail, Op.Cit., hal.113-114; & Ibnu
Hamzah al-Husainy ad-Dimasyqiy, Op.Cit., (edisi terjemah Indonesia), hal. XL-XLI
(muqaddimah).
19
Ibnu Hamzah al-Husainy ad-Dimasyqiy, Ibid.
7
2. Hadits yang memiliki beberapa sebab (asbaab) dalam wurud-nya
(datangnya).
ِ َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق ٍ ِس ب ِن مال
ًصالَة
َ " َم ْن نَس َي:ال َ َِّب ِ ِ َع ِن الن،ك َ ْ ِ ََع ْن أَن
]14 :الصالَةَ لِ ِذ ْك ِري} [طه
َّ {وأَقِِم َ ك
ِ
َ َلَ َك َّف َارَة ََلَا إََِّل َذل،ص ِل إِذَا ذَ َكَرَها
َ ُفَ ْلي
Dari Anas bin Malik ra. Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia
ingat. Karena tidak ada tebusan untuknya kecuali itu. Allah berfirman: '(Dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku) ' (Qs. Thaahaa: 14).”
8
Lalu aku pun memberikannya. Beliau berkata; ‘Sentuhlah sebagiannya
darinya.’ Lalu orang-orang pun berwudlu’ hingga tersisa satu tegukan. Lalu
beliau bersabda: ‘simpanlah wadah ini, wahai Abu Qatadah, karena akan ada
padanya satu berita.’ Lalu Bilal mengumandangkan adzan, dan mereka shalat
dua rakaat sebelum fajar. Lalu berkatalah sebagian di antara mereka dengan
sebagian yang lainnya: ‘Kita telah melakukan kecerobohan dalam shalat kita.’
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Apa yang kalian
bicarakan?’ Jika itu itu urusan dunia kalian maka itu urusan kalian, dan jika
itu urusan agama kalian maka kembalikan kepadaku.’ Kami berkata: ‘Ya
Rasulullah kita telah bertindak ceroboh dalam shalat kita.’ Lalu beliau
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya dalam tidur tidak ada
keceroohan. Kecerobohan itu tidak lain ada pada orang yang sadar (tidak
tidur). Jika terjadi seperti itu, maka lakukanlah shalat, sekalipun besok maka
itulah waktunya.”20
20
Ibnu Hamzah al-Husainy ad-Dimasyqiy, Ibid., 143-145.
9
DAFTAR PUSTAKA
10