Man Qablana
Memenuhi Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag
Asisten Dosen : Ali Kadarisman, M.HI
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti : “sesuatu yang dikenal”.
Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim).
Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka kata ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata ‘adat.
Bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat
dari bahasa Arab : ;عادةakar katanya: ‘ada, ya’udu (يعود- ;)عادmengandung arti: (تكرارperulangan). Karena itu,
sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat.
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu
perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak, sebaliknya karena
perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali.
Dengan demikian, meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.
B. Macam-macam ‘Adat atau ‘Urf
Penggolongan macam-macam adat atau urf dapat dilihat dari beberapa segi:
a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini urf itu ada dua macam:
1. ‘Urf qauli ()عرف قولي.
2. ‘Urf fi’li ()عرف فعلي.
b. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf tebagi kepada :
1. ‘Adat atau ‘urf umum ()عرف عام.
2. Adat atau ‘urf khusus ()عرف خاص.
c. Dari segi penilaian baik dan buruk, adat atau urf itu terbagi kepada :
1. Adat yang shahih ()عرف صحيع.
2. Adat yang fasid ()عرف فاسد,.
C. Penyerapan ‘adat atau ‘urf dalam hukum
islam
Pada waktu Islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang
telah berlangsung lama yang disebut adat. Adat yang bertentangan itu dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan
oleh umat Islam secara bersamaan dengan hukum syara’.
Berdasarkan hasil seleksi tersebut, ‘adat dapat dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1. ‘Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan.
2. ‘Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat (tidak mengandung unsur
mafsadat atau mudarat), namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik dalam Islam.
3. ‘Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat (merusak).
4. ‘Adat atau ‘urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur
mafsadat (perusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum
terserap kedalam syara’, baik secara langsung atau tidak langsung.
D. Perbenturan dalam ‘Urf
Bentuk-bentuk perbenturan dalam ‘urf diuraikan al-Suyuthi (dalam bahasan tentang kaidah al-‘adah
muhakkamah), sebagai berikut :
1. Perbenturan ‘Urf dengan Syara’
2. Perbenturan antara ‘Urf (‘Urf Qauli) dengan penggunaan kata dalam pengertian Bahasa.
3. Perbenturan ‘Urf dengan Umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh
4. Perbenturan ‘Urf dengan Qiyas
E. Kedudukan ‘Urf dalam menetapkan hukum
dan sebagai Dalil Syara’
Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan men-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa
persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut yaitu:
1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi
‘adat atau ‘urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum.
2. ‘Adat atau ‘urf berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada di lingkungan adat itu, atau
dikalangan sebagian besar warganya.
3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penatapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan ‘urf yang
muncul kemudian.
4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti
Dari uraian diatas jelaslah bahwa ‘urf atau ‘adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. ‘Urf
atau‘adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. ‘Adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada
tepat sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat.
Bila diperhatikan uraian diatas tentang kedudukan ‘urf atau ‘adat dalam kedudukannya sebagai dalil syara’, di antara
ulama ada yang menetapkannya sebagai dalil syara’ dengan argumen yang menurutnya adalah kuat dan dengan
memerhatikan pula argument ulama yang menolaknya sebagai dalil syara’, dapat disimpulkan bahwa ‘urf atau‘adat itu
dapat menjadi dalil syara’ namun tidak sebagai dalil mandiri. Ketidakmandiriannya itu adalah karena menggantung
kepada mashlahat yang telah disepakati kekuatannya untuk menjadi dalil.
Mazhab Shahabi
A. Definisi Shahabi
Madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
Contoh:
Perkataan Ibnu Mas’ud RA, “Sedikitnya waktu haidh adalah 3 hari”.
C. Macam-Macam Mazhab Shahabi
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat
bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga
perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits
mauquf.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena
masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang
mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi
mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang
mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi
mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
D. Kehujjahan Mazhab Shahabi
Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga
Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasannya:
ْ َأ
ص َحا ِب ْي َكالنُّ ُج ْو ِم ِبأ َ ِي ِه ْم اِ ْقتَدَ ْيت ُ ْم اِ ْهتَدَ ْيت ُ ْم
“Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat
petunjuk”.
2. Bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah dasar hukum.
Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’irah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid
(baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
ارص
ِ َ ب
ْ َ ْ
اْل ي ل
ِ وُ فَا ْعت َ ِب ُروا يَا أ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. Al-
Hasyr: 2)
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin
Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah. Dan apabila pendapat sahabat
bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100:
Sebuah agama
Hukum syari’at
Sebelum Islam
Qablana
Apakah Syar’u man Qablana itu?
Ialah syari’at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad
SAW, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara
nabi Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
Syar’u ManQablana dibagi menjadi dua:
Jika Al-Qur’an atau Sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’at
kan ppada umat yang terdahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan
kepada kita, diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at
ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti seperrti firman Allah SWT.
(QS. Al-Baqarah :183)
Ada 4 dalil yang juga dipakai oleh para ulama
yang mengingkari syari’at umat sebelum kita
sebagai syari’at kita yaitu:
Ketika nabi mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa
yang Muadz jadikan dhalil ketika mau menghukumi suatu masalah.
Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syari’at dalam
masing” umat baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
Seandainya Nabi , umatnya wajib mengikuti syari’at umat terdahulu niscaya beliau
wajib mempelajari syari’at tersebut.
Syari’at terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu sementara syariat Islam adalah
syari’at umum yang menasakh syari’at syari’at terdadahulu.