Anda di halaman 1dari 30

Pengertian Alqur'an, Hadist, Ijma' dan Qiyas

SUMBER HUKUM ISLAM


AHLUSSUNAH WALJAMAAH
1. AL-QUR’AN
Pengertian Al-Qur’an menurut bahasa
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa (‫[ )تال‬keduanya
bererti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-
’a Qor’an Wa Qur’aanan (‫ )قرأ قرءا وقرآنا‬sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa
Qhufroonan (‫)غفر غفرا وغفرانا‬. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata
benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan
makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’ (Pengumpul,
Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Secara Syari’at :
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas
Al Quran menurut arti istilah (terminologi) yaitu
1. Alquran adalah firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul
terakhir dengan perantaraan Malaikat Jibril yang tertulis di dalam mushaf yang disampaikan kepada kita
secara mutawatir yang diperintahkan membacanya, yang dimulai dengan surat Al fatihah dan ditutup
dengan Surat Annas.
2. Alquran adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang disampaikan
kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya yang menantang setiap orang (untuk
menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek dari pada surat-surat yang ada di
dalamnya.
3. Alquran diperintahkan untuk dibaca (selain dipelajari dan diamalkan) karena
4. Alquran ditulis di dalam mushaf, bahwa Alquran ini ditulis sejak masa turun (Nabi Muhammad SAW).
Karena selalu ditulis inilah Alquran juga disebut “Alkitab”. Dewasa ini mushaf Alquran disebut “Mushaf
Usmani” karena penulisannya mengikuti metode usman Bin Affan

2. HADIST (AS SUNNAH)

Sebagaimana telah diketahui bahwa diantara nama-nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah "Salafiyyun", sangatlah sesuai bila dijelaskan apa pengertian As Sunnah menurut
bahasa dan istilah, kemudian kita uraikan pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta
sebab-sebab munculnya istilah tersebut.
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup). Para Ulama
bahasa berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya
terbatas jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang
benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di
antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

َ ‫سنَةً فَلَهُ أَ ْج ُر َها َوأَ ْج ُر َم ْن‬


،ُ‫ع ِم َل ِب َها بَ ْعدَه‬ َ ‫سنَّةً َح‬
ُ ‫س َّن فِي اْ ِإل ْسالَ ِم‬
َ ‫َم ْن‬
1|Page
ً‫س ِيئَة‬
َ ً‫سنَّة‬
ُ ‫س َّن فِي اْ ِإل ْسالَ ِم‬َ ‫ و َم ْن‬.‫ش ْي ٌء‬ َ ‫ص ِم ْن أ ُ ُج ْو ِر ِه ْم‬
َ ُ‫غي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
َ ‫ِم ْن‬
‫ص ِم ْن‬َ ُ‫غي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬ َ ‫علَ ْي ِه ِو ْز ُر َها َو ِو ْز ُر َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل ِب َها ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن‬ َ َ‫َكان‬
‫َي ٌء‬ْ ‫أ َ ْوزَ ِار ِه ْم ش‬
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya
dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa
mereka sedikitpun.” (HR; Imam Muslim, Nasa’i, At Tarmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
(Yakni), ketika Nabi shalallahu’alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang baik (sunnah
hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).
-Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits (muhaddits), sebagaimana
halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih. Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah
apa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir)
dan sifat (budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum maupun
sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].
-Sedangkan menurut ahli ushu fiqihl, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang dinukil dari Nabi
shalallahu’alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau shalallahu’alaihi wa salam, baik
sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi
(1/169)].
-As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang bukan wajib. Maka jika
dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib, tidak
haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].
-Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang mereka maksud
dengan As Sunnah adalah ma’na yang lebih luas daripada yang dipaparkan para muhaddits, ahli ushul
dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Qur’an). Sedang
sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam masalah ‘aqidah
maupun ibadah. Lawannya adalah bid’ah.
Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan Kitab Allah dan
Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si Fulan di atas bid’ah, jika amalannya
menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As Sunnah dalam perkataan
salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I’tiqad, meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan
tentang As Sunnah mengkhususkan pembahasannya dalam bidang I’tiqad" [Lihat Al Amr bin Ma’ruf
wan Nahyu ‘Anil Munkar (hal 77)]

3. IJMA’
PENGERTIAN IJMA'
ْ ‫ ) ِاإل‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (‫ )أ َ ْج َم َع‬yang memiliki dua makna:
Ijma' (ُ‫ج َماع‬
َّ ‫ال ُم َؤ‬
1) Tekad yang kuat (ُ ‫كد‬ ‫ )ال َع ْز ُم‬seperti: ‫س َف ٍر‬ َ ‫( أ َ َج َم َع فُ َال ٌن‬sifulan bertekad kuat untuk melakukan
َ ‫علَى‬
perjalanan).
ُ َ‫ )االتِف‬seperti: (‫علَى َكذَا‬
2) Kesepakatan (‫اق‬ َ َ‫ال ُم ْس ِل ُم ْون‬ ‫ )أ َ ْج َم َع‬kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
‫علَى أَ ْم ٍر ِمنَ ال ُ ُم ْو ِر‬
َ ‫ص ْو ِر‬
ُ ُ‫ص ِر ِمنَ الع‬ َ ‫سلَّ َم َب ْعدَ َوفَاتِ ِه فِ ْي‬
ْ ‫ع‬ َ ‫ِي أ ُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َ‫اتِف‬
ْ ‫اق ُم ْجتَ ِهد‬
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu
dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
ُ َ‫ )االتِف‬artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
1) Kesepakatan (‫اق‬
2|Page
2) Para Mujtahid ( َ‫جت َ ِهد ُْون‬
ْ ‫)ال ُم‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu)
untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang
dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan
ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah
Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut
ijma'.
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i
tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan
tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami
maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali
menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia
harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya
atas maqasid al-Syariah.[14]

4. QIYASS

A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah
menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa yang
ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.

B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang
diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang
diserupakan denganya).
2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang
diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ).
3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia
dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan
hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan
dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak
mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum
3|Page
yang bukan asl.

http://mtsfalahulhuda.blogspot.my/2013/11/pengertian-alquran-hadist-ijma-dan-qiyas.html

Pengertian Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' dan Qiyas

A. Al-Qur’an
1. Pengerian
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a,
qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-
huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara
istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf
yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( ‫ ) القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan
puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-
Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada
Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan
sebagai suatu ibadah
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan
lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada
al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap
perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah. Al-
Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik
rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia
diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang
umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan
zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena
Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah
abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia
adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan
keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau
pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah
akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
3. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-
hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan. Kedua,
hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang
disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
a. Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan
dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan
b. Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat
dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan
tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai
anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
4|Page
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum
menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-
syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak
banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap
tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan
c. Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat),
perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa
al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan
dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum
tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar
penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan
melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at
B. As-Sunnah
1. Pengertian
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal
tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu:
a. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya
sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik)
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar
tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain
b. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5
waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji,
dan sebagainya
c. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di
hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik.
Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri
2. Kehujjahan atau kedudukan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-
Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat
menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah
dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang
sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya
dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti)
yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti
mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih
dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan
65, dan Al- ahzab: 36
3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-
Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural.
Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di
antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64
4. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut

5|Page
a. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum
tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik,
riba dan sebagainya.
b. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
c. takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global),
‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk
pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah
shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti
kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
C. Ijma’
1. Pengertian
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada
suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika
terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu
waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan
mereka itulah yang disebut ijma
2. Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2.
Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat
dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada
suatu masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam
menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada
suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat ,
baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai
suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib
diikuti dan tidak boleh ditentang Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat
59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil
Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu
hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
3. macam-macam ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu
a. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan
menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau
memberi keputusan
b. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak
menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian
juga yaitu sebagai berikut.
a) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk
mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai
suatu kejadian setelah adanya ijma sharih
b) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai
suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan
merupakan pendapat seluruh mujtahid
D. Qiyas
1. Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.
Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah
menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum
yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam

6|Page
nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu
setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya
2. Rukun-rukun qiyas
Setiap qiyas terdiri dari 4 rukun, yaitu :
a) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih
(yang dipakai sebagai ukuran)
b) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada
al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
c) Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal
bagi al-Far’u.
d) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan
kepada ashl dalam hal hukumnya

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas merupakan hukum islam yang mesti kita
ikuti, karena tanpa Ijma’ dan Qiyas kita tidak akan mngetahui hukum dalam suatu permasalahan jikalau
kita tidak mendapatkan dalil yang pasti dari Al Qur’an dan Hadits.

lebihdarisebuahilmu.blogspot.my/2016/02/pengertian-al-quran-as-sunnah-ijma-dan.html

Perbedaan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan qiyas

Dalam islam ada empat sumber hukum yang telah disepakati oleh para ulama yaitu Al-qur’an, hadis, ijma’, dan
qiyas. Keempat sumber hukum inilah yang dapat dijadikan dalil oleh umat islam dalam menentukan suatu hukum
atas perkara sesuatu . Apabila kita ingin mengambil dasar hukum, maka harus sesuai urutannya dari Alqur’an,
Sunnah, Ijma’dan Qiyas. Maksudnya apabila kita menemukan suatu hal, kita lihat dulu dalam Alqur’an kalau ada
hukumnya maka dijalankan, apabila tidak menemukan hukumnya dalam Al-qu’ran maka dilihat dari Sunnah
(hadis nabi), apabila tidak menemukan hukumnya dalam hadis maka kita lihat dari hasil ijtihad para ulama yang
disebut dengan Ijma’, dan bila tidak ditemukan juga hukum dari ijma’ para ulama tersebut, maka kita lakukan
ijtihad sendiri (para ulama) yaitu dengan Qiyas (memperbandingkan keputusan-keputusan yang berdasarkan
nash). Berikut penjelasan keempat sumber hukum tersebut.

1. Al-Qur’an
AL-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling utama. Menurut bahasa Al-qur’an artinya
bacaan atau yang dibaca, sedangkan menurut istilah Al-quran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril yang merupakan mukjizat, yang berisi tentang
petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia dan yang membacanya merupakan ibadah.

Fungsi Al-qur’an

 Sebagai sumber ajaran/hukum islam yang utama.


 Sebagai petunjuk bagi manusia.
 Sebagai peringatan dan penyejuk.
 sebagai informasi dan konfirmasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal.
 Sebagai pemisah antara yang hak dan yang batil.

Contoh Sumber hukum dalam Al-qur’an ialah: perintah sholat

7|Page
2. Hadits
Hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an. Hadis ialah segala bentuk tingkah
laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) nya Nabi.
Hadis terbagi tiga yaitu:
1. hadis qauli yaitu hadis yang berupa ucapan nabi Muhammad SAW
2. hadis fi’li yaitu hadis yang berupa perbuatan nabi SAW.
3. Hadis Taqriri yaitu hadis yang berupa persetujuan nabi atau diamnya nabi SAW.

Fungsi Hadis
 Sebagai sumber kedua ajaran islam setelah Al-qur’an
 Memmpertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-qur’an.
 Menjelaskan, menafsirkan, merinci ayat-ayat Al-qur’an yang masih umum dan samar-samar.
 Menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan oleh Al-qur’an (melengkapi Al-qur’an).

Contoh sumber hukum dalam hadis ialah: cara mengerjakan sholat


Didalam al-qur’an hanya menjelaskan tentang perintah sholat sedangkan cara mengerjakan sholat tidak
dijelaskan. Jadi cara mengerjakan sholat kita ambil dari hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
“sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”

3. Ijma’
Ijma merupakan sumber hukum islam yang ketiga setelah hadis. Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang
diambil dari Fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya
didalam Al qur'an ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada
masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.

Contoh Ijma’ ialah : hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu, atau sejenis minuman yang
memabukkan.
Didalam Al-qur’an Allah hanya menjelaskan tentang larangan meminum minuman khamar. Sebagaimana
firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-maidah :90)

sedangkan masalah ganja ataupun sabu-sabu tidak dijelaskan didalam Al-qur’an. Jadi kita ambil
hukumnya dari hasil ijma’ para ulama yaitu haram mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu karena dapat
memabukkan.

4. Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum islam yamg ke empat setelah ijma’. Qiyas ialah menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya didalam Al-qur’an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan nash.
8|Page
Contoh Qiyas ialah : larangan memukul dan memarahi oaring tua.
Didalam Al-qur’an allah menjelaskan “ dan janganlah kamu mengatakan Ah kepada kedua orang
tuamu”. Sedangkan memukul dan memarahi orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama
bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama
menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.

http://www.akidahislam.com/2016/09/perbedaan-al-quran-hadis-ijma-dan-qiyas.html

AL-QUR’AN, HADIST, IJMA DAN QIYAS


1. DALIL
 Dalil Al-Quran Sebagai Pedoman Atau Sumber Hukum(QS.Al-An’am:38)

“Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab”


 Dalil Hadist Atau Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam(QS.Ali Imran:32)

“Katakanlah:taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang
kafir”
2. AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
 Bahasa =mashdar dari qora’a, yang berarti bacaan
 Istilah =kalam Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang
di nukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir tertulis dalam mushaf, membacanya
merupakan ibadah,dimulai dari surat Al-fatihah dan di akhiri surat an-naas
B. Karakteristik Al-Qur’an
 Kalam Allah.
Al-qur’an adalah kalam Allah tanpa ada keraguan sedikitpun
 Kemudahan untuk menghapal dan mempelajarinya.
AL-quran merupakan kitab Alllah yang mudah di baca dan di pahami,sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Qomar ayat 17,yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-quran untuk pelajaran,maka adakah yang mengambil
pelajaran?’
 Kemukhjizatan
Mukjizat adalah melemahkan orang-orang yang tidak mempercayainya
 Abadi/kekal
Al-quran merupakan kitab penutup bagi risalah terakhir.oleh karena itu Allah yang pasti akan
menjaganya.
C. Hujjah Al-Quran
Al-quran adalah sumber hukum islam yang menyeleruh,tidak ada perselisihhann antara kaum
muslimin tentang Al-quran sebagai hujjah yang menyeluruh dan paling kuat.hal ini terbukti dari banyak
hal, salah satunya adalah keindahan bahasa, lafazh-lafazh yang tersusun rapi,dll
3. HADIST/SUNNAH
A. Pengertian Hadist/Sunnah
 Bahasa =perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau buruk.
 Istilah =perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah.
B. Karekteristik Hadist
Sebagai bayan atau penjelas atau tabyin(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an).
C. Hujjah Hadist

9|Page
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa sunnah adalah hujjah dan sumber syariat undang-undang
serta pedoman umat yang harus diikuti,sebagaimana Allah berfirman pada yang telah Allah firmankan
dalam surat Ali-Imran ayat 32,yang berarti:
“katakanlah:taatilah Allah dan Rasul-Nya.....”
4. IJMA’
A. Pengertian Ijma’
 Bahasa =perkumpulan
 Istilah =perkumpulan pendapat ulam tentang hukum syara yang bersumber dari al-qur’an dan
hadist
B. Karakteristik Ijma’
 Persetujuan para ulama yang sudah faqih terhadap suatu hukum yang tidak ada dalam Al-qur’an atau as-
sunnah
 Dilakukan dengan ijtihhad para ulama sampai pada tingkat dzanni
C. Hujjah Ijma’
Jumhur ulama fiqih berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijam menjadi
hujjah yang qath’i atau pasti,sebagai mana yang telah Allah firmankan dalam Al-qur’an dalam surat An-
nisaa ayat 59,yang mempunyai arti:
“wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amri”
Menurut ulama fiqih yang di maksud ulil amri di sini, termasuk juga di dalamnya para pemimpin
agama atau ulama
5. QIYAS
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut istilah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum,
dengan peristiwa yang memiliki nash hukum.
B. Karekteristik Qiyas
 Yang di samakan memiliki karakteristik yang sama,
C. Hujjah Qiyas
Dalam pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa
perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat

http://psikologi-oke.blogspot.my/2016/06/al-quran-hadist-ijma-dan-qiyas.html

Sumber Islam: Al Qur’an, Hadits, Qiyas, dan Ijma’ Ulama


Posted on Agustus 20, 2015 by Admin

10 | P a g e
Sumber hukum Islam menurut mazhab Syafi’ie bukan cuma Al Qur’an dan Hadits. Tapi ditambah lagi
dengan Qiyas dan Ijma’ Ulama (Kesepakatan Ulama). Jadi sumber Islam itu adalah: Al Qur’an, Hadits,
Qiyas, dan Ijma Ulama. Kalau Al Qur’an dan Hadits saja, berarti tidak lengkap.

Karena itulah jika anda mau belajar sholat, kalau langsung buka Al Qur’an dan Hadits jika anda benar-
benar belum pernah sholat akan bingung sendiri. Coba anda praktekkan sekarang. Di Al Qur’an cara ruku
dan sujud tidak dijelaskan secara rinci. Di hadits pun ada yang bismillah dijaharkan ada juga yang tidak.
Belum lagi gerakannya, posisi tubuh segala macam.

Oleh karena itulah untuk belajar sholat orang itu berguru langsung di mana gurunya mengajarkan sholat
sesuai mazhab yang dia ikuti misalnya mazhab Syafi’ie.

Apakah mengikuti Ijma’ Ulama itu ada dalilnya?

Ya ada.

Firman Allah:

“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

„Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (Az-
Zumar:9)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11)

Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan
Allah untuk manusia.

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)

11 | P a g e
Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an.

“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al
Ankabut:49)

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2013/05/27/menghormati-dan-mengikuti-ulama-pewaris-


nabi/

Di situ Allah memerintahkan kita untuk bertanya pada ulama yang derajadnya lebih tinggi daripada kita.
Ulama itu tidak sama dgn kita. Ulama itu Pewaris Nabi. Cuma ulama yang bisa memahami Al Qur’an.

Jangan anda kira jika anda mengikuti ulama berarti anda tidak mengikuti Al Qur’an dan Hadits. Salah.
Imam Syafi’ie hafal Al Qur’an umur 7 tahun dan menguasai lebih dari 1 juta hadits. Beliau juga melihat
langsung praktek ibadah dari Tabi’it Tabi’in (Cucu2 sahabat Nabi). Dari Al Qur’an dan Hadits yang
dikuasai itulah beliau menyusun kitab Fiqih yang menjelaskan cara sholat dsb.

Imam Bukhari yang menguasai 600.000 hadits cuma menulis 7.275 hadits saja. 592.725 hadits lainnya
hilang seiring wafatnya Imam Bukhari. Toh Imam Bukhari mengikuti Mazhab Syafi’ie. Jadi kalau ada
kaum muda akhir zaman dgn dandanan ala ABG alay dgn sombong berkata: “Yang penting Al Qur’an
dan Hadits” tanpa mau mengikuti Imam Mazhab, ini belagu namanya. Songong. Cuma membaca sisa2
kecil hadits yang jumlahnya kurang dari 1,2% saja kok sombong?

Kalau orang awam langsung buka Al Qur’an dan Hadits sendiri sambil melecehkan/menghina ulama,
mereka itu seperti ini:

Hadis riwayat Ali ra., ia berkata:


Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah
akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka
membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak
panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena
membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.1771)

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan
sebaik-baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan
mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu
menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada
kerongkongan mereka.” (HR. Muslim)

Kalau orang awam baca Al Qur’an dan Hadits langsung tanpa mau mengikuti ulama malah bisa bahaya.
Bisa sesat. Ini seperti Tukang Becak yang baca buku cara menerbangkan pesawat tanpa pernah mau
belajar dengan pilot. Kalau dia coba menerbangkan pesawat, malah bahaya.

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2012/01/19/ciri-khawarij-tak-mengamalkan-al-quran-dan-


membunuh-muslim/

Kenapa yang diambil IJMA’ Ulama (Kesepakatan ulama)? Bukan pendapat beberapa gelintir ulama dari
firqoh / sempalan kecil?

Ini karena mayoritas Ulama itu tidak akan tersesat. Ada pun sempalan yang menyelisihi jumhur ulama,

12 | P a g e
itu sesat:

Dua orang lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik
dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak akan
mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah) (HR. Abu Dawud)

Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu jika terjadi perselisihan maka
ikutilah suara terbanyak. (HR. Anas bin Malik)

Kekuatan Allah beserta jama’ah (seluruh umat). Barangsiapa membelot maka dia membelot ke neraka.
(HR. Tirmidzi)

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2012/12/23/beda-jamaah-vs-firqoh-dan-ghuroba/

“Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.

Hilangnya ilmu bukan karena ilmu itu dicabut oleh Allah. Bukan karena Kitab Al Qur’an dan Hadits
menghilang dari peredaran. Tapi hilang dengan wafatnya para Ulama yang menguasai ilmu tersebut.

Hadis riwayat Abdullah bin Amru bin Ash ra., ia berkata:


Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan
cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi Allah akan mengambil ilmu dengan cara
mencabut (nyawa) para ulama, sehingga ketika Allah tidak meninggalkan seorang ulama pun, manusia
akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa
tanpa didasarkan ilmu lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (Shahih Muslim No.4828)

Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi dengan mewafatkan
para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian orang-orang mengangkat
pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka
sesat dan menyesatkan. (Mutafaq’alaih)

Sehingga akhirnya orang-orang bodoh yang tidak faqih lah yang membaca kitab Al Qur’an dan Hadits
dengan pemahaman yang keliru.

Oleh karena itu stop ngomong Al Qur’an dan Hadits kalau anda tidak ngaji. Tidak berguru kepada ulama.
Karena itu cuma akan membahayakan diri anda. Dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits yang saya sampaikan
cukup lengkap dan jelas. Jika tidak paham juga, kebangetan.

Al Qur’an dan Hadits cukup! Tidak perlu yang lainnya! Yang ngomong begini pasti tidak paham hadits-
hadits tentang Ijtihad. Tak semua soal ada di Al Qur’an dan Hadits. Itulah pentingnya Ijtihad yang hanya
bisa dilakukan oleh Ulama:

“Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman,
beliau saw bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada sebuah
masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi saw bertanya lagi, “Jika
kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah saw”.
Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah?”. Dia menjawab, “Saya
melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw
menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah saw”. (Sunan al-Darimi, 168)

“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang
hakim memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh
13 | P a g e
dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim itu memutuskan perkara, lalu berijtihad
dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya)”. (Musnad Ahmad bin Hambal, 17148).

Iklan

https://kabarislamia.com/2015/08/20/sumber-islam-al-quran-hadits-qiyas-dan-ijma-ulama/

Riyadul Mufakkiriin
Kamis, 12 Januari 2017
MAKALAH SUMBER DASAR FIQH(AL-QUR'AN, SUNNAH, IJMA' & QIYAS)

Latar Belakang
Beriman kepada kitab-kitab Allah. Allah menurunkan beberapa kitab kepada para rasul-Nya,
termasuk kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yakni AlQur’an. AlQur’an diturunkan
untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya, karena AlQur’an menghimpun isi (kandungan) segala
jenis ilmu. Oleh karena tu iAlQur’an dijadikan sebagai pedoman kehidupan. Bukan hanya AlQur’an
tetapi juga As Sunnah.
Adapun As Sunnah, mengandung makna “cara dan jalan hidup”, baik yang berkualitas baik
maupun buruk. Dimana As Sunnah itu cenderung dari perilaku Nabi yang disebut Sunnah Fi’liyah,
perkataan Nabi yang disebut Sunnah Qouliyah, dan Sunnah Taqriyyah yakni segala perkataan dan
perbuatan yang muncul dari sahabat, yang diketahui oleh Nabi, teteapi Nabi diam saja dan tidak
memberikan komentar penolakan atau persetujuan.
Selain AlQur’an dan As Sunnah ada sumber hukum yang disebut dengan ijma’. Sehubungan
dengan ijma’, umat islam dibedakan menjadi dua golongan yaitu Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) dan
nin-Sunni (Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazilah). Yang dimana golongan Sunni berkeyakinan bahwa ijma’
merupakan hujjah Syar’iyyah. Menurut mereka, ijma’ merupakan dalil syara’ yang berbobot Qoth’iy.
Dan yang terakhir adalah Qiyas. Para ulama berbeda pendapat tentang makna Qiyas, yakni makna
“pengukuran” dan makna “persamaan”. Yang pada pokoknya ditegaskan definisi Qiyas adalah
menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hukum berdasarkan
unsur yang mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan maupun peniadaan hukum/sifat dari
keduanya.

BAB II
PEMBAHASAN

14 | P a g e
A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Al-quran adalah perkataan Allah yang diturunkan atau di wahyukan kedalam hati Rasulullah
Muhammad SAW. Sebagai pedoman untuk dirinya dan pengikutnya, dan menjadi undang-undang dasar
bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah.
Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a, yang artinya bacaan; atau
berbicara tentang apa yang tertulis padanya; atau melihat dan menelaah ‫ مقروء‬yaitu isim maf’ul (objek)

dari ‫قرء‬.1[1] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18:
Sesungguhnya atas tanggung jawab Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu.
Kata “Qu’ran” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SA W. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam berarti untuk keseluruhan apa yang
dimaksud dengan Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra (17): 9:

Sesungguhnya atas tanggungan Kami menyampaikannya dan membacanya apabila kami selesai
membacanya maka ikutilah membacanya.
2. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia
bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang percaya akan
kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun
dalam bentuk melepaskan manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Dibawah ini beberapa ayat yang menjelaskan fungsi turunya al-Qur’an kepada umat manusia,
terlihat dalam beberapa ungkapan yang diantaranya adalah:
a. Sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak sekali terdapat dalam al-
Qur’an, lebih dari 79 ayat, salah satunya pada surat al-Baqarah (2): 2:
Kitab ( al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
b. Sebagai rahmat ( ) atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya. Al-Qur’an
sebagai rahmat untuk umat ini terdapat 15 kali disebutkan dalam al-Qur’an, contohnya pada surat lukman
(31):2-3:
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.
c. Sebagai furqan ( ‫ ) فرق ن‬yaitu pembeda antara yang baik dan yang buruk; yang halal dengan yang

1[1] H. Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hlm. 11

15 | P a g e
haram; yang salah dan yang benar; yang indah dan yang jelek; yang dapat dilakukan dan yang dilarang
untuk dilakukan. Umpamanya dalam surat al-Baqarah (2): 158:
d. Sebagai mau’izhah ( ) atau pengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya
untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Misalnya pada surat al-A’raf(7):145.
e. Sebagai busyra yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama
manusia .
f. Sebagai “tibyan” yang berarti menjelaskan atau yang menjelaskan terhadap segala sesuatu yang di
sampaikan Allah.
g. Sebagai mushaddiq atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya, dalam hal itu adalah:Taurat,
Zabur dan Inzil.
h. Sebagai nur atau cahaya yang akan menerangi kehidupan umat manusia dalam menempuh jalan
keselamatan.
i. Sebagai tafsil yaitu yang memberikan penjelasan secara rinci sehingga sesuai dengan yang dikehendaki
Allah.
j. Sebagai syifau alshudur atau obat bagi rohani yang sakit.
k. Sebagai hakim yaitu sumber kebijaksanaan. Sebagaimana tersebut dalam surat Luqman (31):2 :
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah.
Al-Qur’an diturunkan Allah secara berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir
sama dengan masa risalah Nabi Muhammad Saw, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Maksud
diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur diantaranya adalah sebagai jawaban terhadap sangkaan
orang musyrik, sebagaimana disebutkan dalam surat al-furqan (25):32:
Berkatalah orang-orang kafir, “mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”
Demikianlah, supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya kelompok demi
kelompok.
Ada dua maksud turunya al-Qur’an secara berangsur itu, yaitu:
1. Untuk tatsbit al-fuad atau kemantapan hati, yaitu ketenangan dan kepuasan ruhani dalam menerima dan
menjalankan al-Qur’an, baik bagi Nabi maupun bagi umatnya.
2. Alasan pentehapan turunnya ayat al-Qur’an itu adalah dengan tujuan untuk adanya tartil. Secara harfiah,
tartil berarti “membaca dengan baik dan mudah”. Prinsip tartil ini adalah bahwa al-Qur’an itu turun
kepada suatu kaum yang pada umumnya adalah ummi atau tidak mampu membaca dan menulis.
3. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Secara garis besar hokum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam:
a. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, mengenai apa-apa yang harus
diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan
Allah dan larangan mempersekutukan-Nya;

16 | P a g e
b. Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus
dimiliki dan sifat-sidat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Hokum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku hadirnya dalam hubungan
dengan Allah SWT, dalam hubungan sesama, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus
dipenuhi.
4. Al-Qur’an sebagai Sumber Fiqh
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tetang tingkah laku manusia mukallaf
maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah Allah SWT. ketentuan-Nya itu terdapat
dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut al-Qur’an. Dengan demikian di tetapkan bahwa al-Qur’an itu
sumber utama bagi hukum islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing
dan memberikan petunjuk hukum untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan dan pertama bagi penetapan hukum,
maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia
lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan
dengan al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum islam,
berarti al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu jika akan menggunakan
sumber hukum lain diluar al-Qur’an, maka harus dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-
Qur’an tidak boleh menyalahi yang telah ditetapkan al-Qur’an.
Kekuatan hujjah a al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-
Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-
Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an.
B. As-Sunnah (Al-Hadits)
1. Pengertian Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang
buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah
Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”2[2] Penggunaan kata sunnah dalam arti ini terlihat
dalam sabda Nabi yang artinya:
siapa yang membuat sunnah maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan barang

2[2] H. Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 112

17 | P a g e
siapa yang membuat Sunnah yang buruk maka baginya siksaan serta siksaan bagi orang yang
mengerjakannya sampai hari kiamat.
Definisi sunnah dalam arti syar’i ialah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan atau perbuatan,
atau ketetapannya.
2. Macam-macam Sunnah
a. Sunnah qauliyah adalah ucapan lisan Nabi Muhammad SAW yang didengar dan dinuklikan oleh
sahabatnya dan disampaikan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-Qur’an.
b. Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh
sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapanya.
c. Sunnah taqririyah yaitu perbuatan atau ucapan seorang sahabat yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau tidak dicegah oleh Nabi.
3. Fungsi Sunnah
Al-Qur’an sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, sunnah menjalankan fungsi
sebagai berikut:
a. Menegaskan dan menguatkan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid
dan takrir.
b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
- Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an ,
- Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
- Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
- Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
- Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Quran.
c. Menetpkan suatu hokum dalam sunnah yang secara jelas tidak ada dalam Al-Qur’an.
4. Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum
Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam
kedudukannya sebagai penjelas, sunah kadang-kadang memperluas hokum dalam Al-Qur’an atau
menetapkan sendiri hokum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur’an,
tidak diragykan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi tugaskan
Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunah sebagi dalil yang berdiri sendiri dan sebagi sumber kedua
setelah Al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.perbincangan ini muncul disebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu telah sempurna
(al-maidah [5]: 4); oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah lagi oleh sumber lain, termasuk oleh Al-
Qur’an.

18 | P a g e
Jumhur ulama berpendapat bahwa sunah berkedudukan sebagai sumber dalil kedua setelah Al-
Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. jumhur Ulama
pun mempunyai dalil yang kuat untuk menetapkan hal tersebut.
C. Ijma’
1. Pengertian
Menurut bahasa, ijma’ adalah persetujuan bersama, putusan bersama atau konsensus3[3]. Ijma’
menurut istilah ushul fiqh adalah “Bersepakatnya para mutjahid umat Muhammad SAW setelah
wafatnya, pada suatu masa dari beberapa masa terhadap satu perkara dari beberapa perkara”.
Apabila dalam masalah-masalah yang di-ijma’ –kan yang kebetulan hanya kebanyakan ulama
menyetujuinya, maka menurut pendapat sebagian ulama boleh dijadikan hujah dan dianggap sebagai
ijma’ . sedangkan sebagian lain berpendapat, boleh dijadikan hujah tetapi tidak bisa dianggap sebagai
ijma’.
Adapun bila dikembalikan pada definisi di atas, maka persetujuan kebanyakan ulama tidaklah
dapat dianggap sebagai hujah dan tidak dapat dianggap sebagai ijma’.
Ijma’ dilihat dari segi bentuknya, biasanya meliputi atau terbagi dalam tiga macam:
a. Ijma’ dengan perbuatan (ijma’ fi’liyah) artinya perbuatan para mutjahid menunjukan persetujuan atas
hukum suatu masalah, dengan bentuk perbuatan. Seperti seorang mutjahid makan daging kuda misalnya,
ini menunjukan ia menghukumkan halal daging kuda dengan jalan perbuatannya.
b. Ijma’ dengan perkataan (ijma; qouliyah) artinya mujtajid mengatakan persetujuannya terhadap hukum
satu masalah dengan bentuk katakata atau ucapan.
c. Ijma’ dengan diam (ijma’ sukuty) artinya para mujtahid yang mendiamkan hukum satu masalah yang
telah disepakati mujtahid lain, ini berarti menyetujui kesepakatan itu.
2. Kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum
Jumhar ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum
sesudah al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menentukan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk
menguatkan pendapatnya ini jamhur mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an dan hadist Nabi diantara
dalil al-Qur’an adalah:
a. Surat An-nisa’(4):115:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Dalam ayat di atas, “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk

3[3] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17

19 | P a g e
dilakukan orang mukmin. Inilah yang di sebut iijma’ kaum mukminin. Orang yang tidak mengikuti orang
mukmin mendapat ancaman neraka jahanam. Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain jalan kaum
mukminin, dan itu berarti disuruh mengikuti ijma’ .
b. Surat Al-Baqarah(2):143:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan [95] agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar
Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
Ayat ini mensifati umat islam dengan “wasath”, yang berarti “adil” . Ayat ini memendang umat islam
sebagai adil dan dijadikan hujah yang mengikat terhadat manusia untuk menerima pendapat mereka
sebagaimana ucapan Rasul menjadi menjadi hujah bagi kita untuk menerima semua ucapan yang
ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat
mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.
c. Surat Ali-imran (3):103:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Adapun dari dalil sunnah, ada hadist Nabi yang terdapat dalam beberapa riwayat yang berbeda
rumusannya, namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW tidak akan sepakat
dalam kesalahan.
Diantara rumusan hadist tersebut adalah:

20 | P a g e
Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan
kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan
membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan.
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-sama sepakat
tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya
merupakan hukum yang mengikat umat islam.
3. Pendapat Ulama tentang Persyaratan Ijma’
Selain ada perbadaan pendapat tentang batasan anggota ijma’ , juga ada perbedaan pendapat ulama
tentang persyaratan ijma’.
a. Kuantitas Anggota ijma’
Para ulama sependapat bahwa ijma’ itu terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid
dan tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang sepakat itu
adalah banyak orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal ulama
mujtahid untuk terlaksananya suatu ijma’.
b. Berlalunya masa
c. Sandaran ijma’, yang dimkasud “sandaran” disini adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash al-Qur’an
atau sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil itu dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’.
4. Fungsi ijma’
Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain,
berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ahl al-sunah mempunyai kekuatan
dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah
hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat dua
pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat dari sudut pandangan masing-
masing kelompok.
5. Nasakh ijma’
Yang dimaksud dengan nasakh íjma’ disini adalah munculnya íjma’ ulama yang menyatakan
bahwa keputusan íjma’ sebelumnya tidak nerlaku lagi; atau muncul pendapat ulama secara perseorangan;
atau muncul íjma’ atas suatu hukum yang berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama
terdahulu.
Memang pada dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang
diterapkan dengan nash, baik nash al-Qur’an maupun nash Hadist, karena nasakh itu hanya itu hanya
berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya. Karenanya tidak mungkin terjadi
nasakh dalam hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ra’yu, meskipun ra’yu yang merujuk kepada
nash.

21 | P a g e
6. Mengingkari Hasil ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama yang
menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu
dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’.
Pengingkaran terhadap ijma’ itu dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ itu dapat disebabkan satu dalil yang mengikat karena memang
tidak ada dalil sharih dengan dilalah yang qath’i tentang kehujaha ijma’ tersebut yang dapat diterima
semua pihak.
- Ia mengakui ijma’ sebagai hujah syar’iyah secara prinsip, namun ia menolak menerima ijma’ tertentu
karena menurut keyakinannya cara penuklikan ijma’ itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa
memang telah berlangsung ijma’ tentang suatu masalah.
- Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa ijma’ telah berlangsung, namun ia
tetap tidak mengindahkanya.
Bagaimana hukum orang yang mengingkari ijma’ dengan alasan tersebut di atas ? dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa mengingkari hukum yang
sudah ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’.
Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang yang mengingkari ijma’ yang zhani.
Para ulama yang menayatakan kafir orang yang mengingkari ijma’ yang qath’i berpandapat bahwa
keingkaran akan hukum ijma’ mengandung arti dalil qath’i. Ini berarti mengingkari kebenaran risalah
yang dibawa Nabi. Sikap demikian hukumnya kafir.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’ beralasan bahwa dalil tentang
kekuatan hujah ijma’ berdasarkan kepada dalil yang tidak qath’i, tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak
menimbulkan hukum yang meyakinkan. Mengingkari hukum yang tidak meyakinkan, tidak sampai
kepada kafir. Dengan demikian, kita tidak dapat mengkafirkan orang yang memang secara prinsip tidak
meyakini ke-qath’i-an hasil ijma’.4[4]

D. Qiyas
1. Pengertian
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ‫قد ر‬, artinya mengukur, membanding sesuatu dengan yang
semisalnya. Terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi
itu adalah:
a. Qadhi Abu Bakar memberikan definisi dan disetujui oleh banyak ulama, yang artinya:
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum

4[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 311

22 | P a g e
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
b. Menurut Ibnu Subki dalam bukunya jam’u al-jawami memberikan definisi sebagai berikut:
Menhubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘illat
hukumnya menurut pihak yang menghubungkan.
c. Menurut Abu Hasan al-Bashri
Menghasilkan(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum
menurut mujtahid.
2. Hakikat Qiyas
Dari tiga definisi qiyas di atas dapat diketahui hakikat qiyas:
a. Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
b. Satu di antara dua kasus yang bersamaan ‘illat-nya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan
nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
c. Berdasarkan ‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nash-nya
itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah di tetapkan berdasarkan nash.
3. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan
hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat tentang
kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’.
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah
membagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tiak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau sunah dan dalam ijma’ ulama. Mereka
menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan
menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat di antara keduanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih
tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat Al-Qur’an atau
sunah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:
a. Dalil al-Qur’an
Allah SWT. memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
Ia berkata, “siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan?” Katakanlah,

23 | P a g e
“yang akan menghidupkannya adalah yang mengadakannya pertama kali”.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang
yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang
pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang belulang kepada penciptaan
pertama kali.
Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Al-Qur’an, seperti
dalam surat al-Hasyr(59): 2:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Penjelasan ayat diatas itu di antaranya dapat dilihat dalam keterangan yang diriwayatkan dari
Tsalab. Ia berkata bahwa al-‘itibar dalam bahasa Arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada
yang sebanding denganya. Ia dinamai “ashal” yang kepadanya dikembalikan bandingannya secara ibarat.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imran (3) ayat 13: yang artinya :
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
b. Sumber Sunah
Di antara dalil sunah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas
adalah:
Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan
antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut. Dalam hadist dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Nasai, Nabi berkata, “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah
engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya(al-Khatasamiyah), “Ya, memang.” Berkata Nabi,
“Utang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar.”
Hadis ini adalah tanggapan atas persolan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi
meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada Nabi seperti tersebut diatas.
Dalam hadis itu, Nabi memberikan taqrir(pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang
kepada Allah dengan utang kepada manusia. Bahkan Nabi menambahkan bahwa utang kepada Allah,
yaitu haji, lebih patut untuk dibayar. Dalil ini, menurut jumhur, cukup kuat sebagai alasan penggunaan
qiyas.
4. Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah

24 | P a g e
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan
mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.al-Hasyr59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’,
kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian
pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang
diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
memiliki pengertian melewati dan melampaui.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan
perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan
oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan.
AS- Sunah dalam pengertian istilah ialah segala yang dipindahkan dari Nabi SAW, berupa
perkataan, perbuatan ataupu taqrir yang mempunyai kaitan denag hukum. Pengertian inilah yang
dimaksudkan untuk kata as-sunah dalam hadis Nabi: Sungguh telah kutingglkan untukmu dua perkara,
yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegangkepada keduanaya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat yang ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah.
Karena pada dasarnya Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu
waktu.
Qiyas adalah Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang
sama antara keduanya.
2. Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari pembaca, demi kelancaran atau
kesempurnaan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, amir.2008.Ushul Fiqh. Jakarta:prenada media Group 2008
__________, Ushul Fiqh Jilid 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Uman, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka setia. 2000
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
hartini, Andewi. 2009.Ushul Fiqh. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Jakarta.

25 | P a g e
A. As Sunnah atau Al-Hadits
1. Definisi As Sunnah
Al Imam Abu Zahro’, mendifinisikan As Sunnah adalah
‫السنة النبوية هي اقوال النبى صلى هللا عليه وسلم و افعا له وتقريراته‬
Sunnah Nai adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
2. Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya
a. Sunnah Qouliyah
yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:
‫عن ابي هريرةرض قال صعلم ال يشربن احدكم قاءما‬
”Janganlah minum salah seorang daripada kamu sambil berdiri.
b. Sunnah fi’liyah
Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu perbuatan, misalnya:
‫عن ابن عباس رض قال سقيت رسول هللا صعلم من زمن و هوقاءم‬
Dari Ibu Abbas RA., ia berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW dengan air zamzam, sedangkan beliau
dalam keadaan berdiri.

c. Sunnah Taqririyah
Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur perbuatan yang perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat, misalnya:
‫عن ابن عمر قال ناء كل على عهدرسول هللا صعلم ونخن نمشي ونشرب ونخن قيام‬
”Saya pernah makan dihadapan Rasulullah SAW, sedangkan kami dalam keadan berjalan, dan kami pernah
minum dihadapan beliau sedangkan kami berdiri.”

d. Sunnah Hammiyah
Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil Sunnah Hamiyah ini. Ada yang
menganggap bahwa sunnah hammiyah menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi
ada juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber hukum.
Contoh hammiyah Nabi SAW adalah:
‫لئن بقيت الى قابل ألصومن التا سع يعنى يوم عاشوراء‬
Sungguhu jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan puasa hari kesembilan dari hari Asyuro.”

3. Pembagian As Sunnah dari Bilangan Ruwahya


a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak
terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perowi itu tidak mungkin bersepakat untuk
berbuat bohong.
b. Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan lapis
kedua (tabi’in), kemudian setelah itu tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat
didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.
c. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang atau beberapa orang, mulai lapisan pertama
sampai terakhir, tetapi tidak cukup terdapat padanya tanda-tanda yang dapat menjadikannya hadits Masyhur
apalagi hadits mutawatir.

4. Pembagian As Sunnah ditinjau dari Shoheh Tidaknya


a. Hadits Shahih
Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para perowi yang dhobit (antara lain
bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat pribadi yang menjadikan
keganjilan dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat dipercayai selaku pembawa khabar berita.
26 | P a g e
b. Hadits hasan
Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun ada perowinya
yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna.
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak jalan datangnya, tak ada
dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta atau sadz.
c. Hadits dlo’if
Hadits dlo’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-syarat hadits shoheh maupun hadist
hasan.
d. Hadits Maudlu’ (palsu)
Hadits maudlu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW, misalnya:
‫تخذوابالعقيق فاءنه ينفى الفقرا‬
Pakailah cincin permata akik, karena ia dapat menghilangkan kefakiran.
5. Dalalah dari Al Hadits
Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan) sedangkan hadits ahad
adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai
dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.

6. Status hukum sunnah / hadits


Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al
Qur’anul Karim.
7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi atau sebagai urutan kedua sesudah Al-
Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
a. As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al-Qur’an.
b. As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al Qur’an, dalam hal ini As
Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
c. As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al
Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.

B. Al-Ijma’ ‫االجماع‬
1. Definisi / ta’arif Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah
‫اتفاق مجتهدى امة محمد صلم بعدوفا ته في عصر من اآل عصارعال امر من االمور‬
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu
waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
2. Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’
hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam
bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
3. Sandaran Ijma’
Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
‫االجماع ليمس من ال لة المسـتفلة‬
Ijma’ itu bukanlah merupakan dalil yang berdiri sendiri
4. Pembagian Ijma’
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
1) Ijma’ qouli (‫)القولي‬
Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang berijma’ itu menyatakan
persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini
disebut juga dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)

2) Ijma’ sukuti (‫)السكوتي‬


Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama mujtahid lain itu
dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu,
namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan ijma’ dhonni (kurang
27 | P a g e
meyakinkan).
Sikap ulama terhadap ijma’ sukuti antara lain adalah:
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan
bahwa ijma’ sukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’ qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah kehujjahannya adalah dhonni bukan
qoth’i.

C. Al Qiyas (‫)القينا س‬
1. Definisi Qiyas
Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan
sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan
adanya persamaan illat antara keduanya.
2. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat yaitu:
a. Pokok ‫ الصل‬yakni yang menjadi ukuran (‫ )المقيس عليه‬disebut juga dengan tempat menserupakan (‫)المشبه به‬
b. Cabang / ‫ الفرع‬yakni hal yang diukurkan (‫ )المقيس‬atau hal yang diserupakan (‫)لمشلبه‬
c. Sebab / ‫ العلة‬yakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
d. Hukum / ‫ لحكم‬yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
3. Macam-macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (‫ )االء ولى‬yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita
melarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu
menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (‫)المساوي‬, yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya
membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah (‫ )الدال لة‬yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat
didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi
anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (‫)الشبة‬, yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang
paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (‫ )اآلدوان‬yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum
tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum
ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.
4. Kehujjahan Qiyas
Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan
kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni
dengan cara mengqiyas.

D. Ijtihad
1. Pengertiannya
‫االجتهاد هواستفراغ الوسع في نيل حكم شر عي بطريق االء ستنباط من الكتاب والسنة‬
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk menetapkan hukum-
hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
‫هوالفقيه المستفرغ لو سعه لتحصيل ظن بحكم شر عي بطريق االء ستنباط منهما‬
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Hukumnya
Ada tiga kriteria hukum berijtihad:
a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan
hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan
segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang
mempertanyakan.
28 | P a g e
3. Syarat-syarat menjadi mujtahid
a. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang terkait
dengannya.
b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
d. Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang
tidak mansukh.
e. Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof,
balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
4. Pembagian ijtihad
Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:
a. Ijtihad ‫( الفردية‬fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau
pertimbangan mujtahid lain.
b. Ijtihad ‫( لجماعية‬jam’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lan untuk bermusawarah
menetapkan hukum sesuatu persoalan.
5. Keperluan terhadap ijtihad
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena
banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman
sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat
kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan
tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
5. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas
Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu mengukur
kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk
diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.

E. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’


Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang
saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci,
sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari
itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad"
yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
1. Periode fiqh di Era Kenabian
Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi
menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para sahabat ?
sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan
ijtihadnya
2. Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah.
Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas.
Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-
Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.),
kemudian ijtihad individu.
3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara
`Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi
yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan
fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup
besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada
pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara
yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil
alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
4. Periode fiqh di era zaman keemasan
Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua cabang ilmu
29 | P a g e
ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu
pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-
ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga
yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua
golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua
fuqaha sunni hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena disebabkan banyak
daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri.
Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang
oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal TuhþKan, bengis, kejam, yaitu
Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari
situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan. Hingga
akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang
tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha SunnþÃmenutup pintu ijtihad, sehingga
berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir.
6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali
Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat pola
utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam
alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita
ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan
menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial.
Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya
kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien)
dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-
Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan fuqaha
merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan terhadap kepedulian sosial.

30 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai