Anda di halaman 1dari 15

http://mtsfalahulhuda.blogspot.com/2013/11/pengertian-alquran-hadist-ijma-dan-qiyas.

html

SUMBER HUKUM ISLAM


AHLUSSUNAH WALJAMAAH

1.        AL-QUR’AN

Pengertian Al-Qur’an menurut bahasa

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a ( ‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa ( ‫[ )تال‬keduanya
bererti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan,
Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan ( ‫وقرآنا‬ ‫ )قرأ قرءا‬sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa
Qhufroonan (‫)غفر غفرا وغفرانا‬. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar
(kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan
berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’
(Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*

Secara Syari’at :

Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas

Al Quran menurut arti istilah (terminologi) yaitu

1.      Alquran adalah firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul terakhir dengan perantaraan Malaikat Jibril yang tertulis di dalam mushaf yang disampaikan
kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan membacanya, yang dimulai dengan surat Al
fatihah dan ditutup dengan Surat Annas.

2.      Alquran adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya yang menantang setiap
orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek dari pada surat-surat
yang ada di dalamnya.

3.      Alquran diperintahkan untuk dibaca (selain dipelajari dan diamalkan) karena

4.      Alquran ditulis di dalam mushaf, bahwa Alquran ini ditulis sejak masa turun (Nabi Muhammad
SAW). Karena selalu ditulis inilah Alquran juga disebut “Alkitab”. Dewasa ini mushaf Alquran disebut
“Mushaf Usmani” karena penulisannya mengikuti metode usman Bin Affan

2.        HADIST (AS SUNNAH)

Sebagaimana telah diketahui bahwa diantara nama-nama Ahlus Sunnah wal


Jama’ah adalah "Salafiyyun", sangatlah sesuai bila dijelaskan apa pengertian As
Sunnah menurut bahasa dan istilah, kemudian kita uraikan pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah
serta sebab-sebab munculnya istilah tersebut.

As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup). Para Ulama bahasa
berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas jalan yang
baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang benar ialah
bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di antara
hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa salam.

Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

‫ ِم ْن‬،ُ‫َأجُر َم ْن َع ِم َل هِبَا َب ْع َده‬ ْ ُ‫َم ْن َس َّن يِف اِْإل ْسالَِم ُسنَّةً َح َسنَةً َفلَه‬
ْ ‫َأجُر َها َو‬
‫وم ْن َس َّن يِف اِْإل ْسالَِم ُسنَّةً َسيَِّئةً َكا َن‬ . ‫ء‬ ‫ي‬ ‫ش‬ ‫م‬ ِ ‫َغ ِ َأ ْن يْن ُقص ِمن ُأجو ِر‬
‫ه‬
َ
َ ٌ ْ ْ ْ ُ ْ َ َ ‫رْي‬
‫ص ِم ْن َْأو َزا ِر ِه ْم‬َ َ ‫ق‬ُ ‫ن‬
ْ ‫ي‬ ‫ن‬
ْ ‫َأ‬ ِ ‫رْي‬‫غ‬َ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫علَي ِه ِو ْزرها و ِو ْزر من ع ِمل هِب ا ِمن بع ِد ِه‬
ْ َْ ْ َ َ َ ْ َ ُ َ َ ُ ْ َ
ٌ‫َش ْيء‬
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan
pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-
pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR; Imam Muslim, Nasa’i, At Tarmidzi, Ibnu Majah, dan
Ahmad).

(Yakni), ketika Nabi shalallahu’alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang baik (sunnah
hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).

-Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits (muhaddits),
sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih. Menurut para muhadditsin, As
Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan,
persetujuan (taqrir) dan sifat (budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau,
baik sebelum maupun sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].

-Sedangkan menurut ahli ushu fiqihl, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang dinukil dari Nabi
shalallahu’alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau shalallahu’alaihi wa salam,
baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al
Amidi (1/169)].

-As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang bukan wajib. Maka jika
dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib,
tidak haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].
-Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang mereka
maksud dengan As Sunnah adalah ma’na yang lebih luas daripada yang dipaparkan para muhaddits,
ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al
Qur’an). Sedang sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama
dalam masalah ‘aqidah maupun ibadah. Lawannya adalah bid’ah.

Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan Kitab Allah dan
Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si Fulan di atas bid’ah, jika
amalannya menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah satunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As Sunnah dalam perkataan
salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I’tiqad, meskipun kebanyakan yang menyusun
tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan pembahasannya dalam bidang I’tiqad" [Lihat Al Amr bin
Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar (hal 77)]

3.       IJMA’
PENGERTIAN IJMA'

Ijma' (ُ‫ )اإِل مْج َاع‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a ( ‫ع‬
َ َ ‫ )َأمْج‬yang memiliki dua makna:
َّ ‫املَؤ‬
1)   Tekad yang kuat (‫ك ُد‬ ‫الع ْز ُم‬
َ ) seperti: ‫س َف ٍر‬ ‫ َأمَجَ َع فُاَل ٌن َعلَى‬ (sifulan bertekad kuat untuk melakukan
ُ َ
perjalanan).

2)      Kesepakatan (‫اق‬ ِّ ) seperti: (‫َك َذا‬


ُ ‫االت َف‬ ‫ )َأمْج َ َع امل ْسلِ ُم ْو َن َعلَى‬kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
ُ
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:

‫اُألم ْو ِر‬ ِ ِ ‫اق جُمْتَ ِه ِدي َُّأم ِة حُم َّم ٍد صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم بع َد وفَاتِِه يِف ع‬
ُ ‫ص ْو ِر َعلَى َْأم ٍر م َن‬
ُ ُ‫ص ِر م َن الع‬
َْ ْ َ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ َ ْ ُ ‫ِّات َف‬
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa
tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).

Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:

1)      Kesepakatan (‫اق‬ ِّ ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan
ُ ‫االت َف‬
sikap.

َ ‫)امل ْجتَ ِه ُد ْو‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu)
2)   Para Mujtahid (‫ن‬
ُ
untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang
dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam
menetapkan ketentuan hukum.

3)      Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah
Nabi saw).
4)      Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak
disebut ijma'.

5)      Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.

6)      Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i
tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:

Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.

Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.

Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan
tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk
memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid
kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara
sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[14]

4.        QIYASS

A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah
menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa
yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.

B. Rukun qiyas
1.      Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang
diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang
diserupakan denganya).

2.      Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis
( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ).

3.      Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia
dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
4.      Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk
menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka
ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

Syarat-syarat i’llat

a.         Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.

b.         Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan
tidak mudah berubah.

c.         Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.

d.        Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan
hukum yang bukan asl.

abdullatif16.blogspot.com/2013/05/al-quran-sunnah-ijma-dan-qiyas_16.html

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia
melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk
yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang
zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik
informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an
tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang
akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih
tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan
modern.

Dalam kaitannya antara nisbat As-sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai
penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap
Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.[1]
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis
Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang
bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan
hukum. Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”.
Pengertian qiyas apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash (al-
Quran dan Sunnah) dan Ijma’dan di peroleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu
kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum itu, maka kasusu itu di qiyaskan
denga kasus tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumannya, dan hukum ini merupakan
hukumnya menurut syara’.

1.2       Rumusan Masalah


a.     Apakah semua ulama sepakat dengan kehujjahan Al-Quran?
b.    Ditinjau dari segi apakah As-Sunnah dikategorikan sebagai penjelas Al-Quran?
c.    Mengapa yang bersepakat dalam ijma’ harus para mujtahid?
d.   Bagaimana Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum!

1.3       Tujuan Penulisan


a.    Dapat mengetahui kehujjahan Al-Quran
b.    Dapat mengetahui hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
c.    Dapat mengetahui macam-macam qiyas

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       AL-QURAN
A.    Pengertian
            Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Jibril ke
dalam hati Rasullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna   yang pasti
sebagai bukti bagi rasul bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang
sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamba kepada
Tuhannya)  sekaligus sebagai ibadah biloa dibaca. Al-Quran di antara dua lembar, diawali
surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Naas, yang sampai kepada kita secara teratur
(perawinya tidak terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara
dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan Firman Allah Swt:[2]

)٩:‫ (احلجر‬ ‫انا حنن نزلنا الذكر واناله حلافظون‬


“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya kami tetap
memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
B.     Kekhususan dan Keistimewaan Al-Quran
            Setelah melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Quran mempunyai
kekhususan dan keistimewaan  dari kitab-kitab lainnya. Maka apabila ada sesuatu yang
bertentangan dengan keistimewaan Al-Quran, maka tidak bisa dikatakan sebagai al-Quran.
Adapun kekhususan dan keistimewaan menurut Syarmin Syukur sebagai berikut:[3]
  Bahwa Al-Quran baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT. Dan Rasul saw dalam
hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama   persis dengan yang ada sekarang ini.
  Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan uslub bahasa.
  Bahwa Al-Quran telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang
qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.
C.    Kehujjahan Al-Quran
            Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan
merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah
adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-
Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan
diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Adapun kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Ulama Imam Mazhab sebagai berikut:[4]
a.       Pandangan Imam Abu Hanifah
Sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum islam.
Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur
ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup lafazh dan maknanya. Diantara dalil yang
menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Quran hanya maknanyasaja adalah ia
membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b.      Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan
maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.  
c.       Pandangan Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’i sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat. “Tidak ada
yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-
Quran.” Oleh karena itu, Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap
kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakan, yakni deduktif.
Namun, As-Syafi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-
Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap
bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran kemudian As-Sunnah, maka Imam
Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran dan As-Sunnah,
sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
d.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang di dalamnya terdapat
berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran
juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar,
disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran
itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya
Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang
kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum
itu adalah nahs, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunnah, tetapi yang dimaksud
nash tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunnah.
D.    Dilalah Al-Quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka
pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut
(penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada
mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan
dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.[5]
2.2.         SUNNAH
A.    Pengertian
Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.[6]
Sedangkan As-Sunnah menurut syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.
Pengertian sunnah juga dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu:
         Ilmu Hadits
         Ilmu Ushul Fiqih
         Ilmu Fiqih
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW,
atau juga lawan dari bid'ah.

Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:

Artinya:

"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin


sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk
sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."

Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:

Artinya:                                                                                                                            
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun
pengakuan."

B.     Kekuatan sebagai Hujjah


Umat islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan, dan penetapan Rasulullah yang
mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih yang
mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam.
Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas
perbuatan orang-orang mukallaf.
Adapun bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:[7]
1.      Nash-nash Al-Quran. Karena Allah SWT, sering kali dalam ayat-ayat Al-Quran
memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti
ketaatan mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah
dan Rasul-Nya.
2.      Kesepakatan para Sahabat ra, baik sesama hidup maupun sepeninggalan Rasulullah Saw.
Akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup nabi, para sahabat telah
melaksanakan hukum, menjalankan perintah dan (menjauhi) larangan nabi Saw; halal dan
haram.
3.      Allah Swt, dalam Al-Quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global,
hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
C.    Hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
Hubungan As-Sunnah kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan
rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring Al-Quran. Adapun
hubungannya kepada Al-Quran dari segi hukum yang dibawanya, tidak lebih dari salah satu
di antara tiga hal berikut:
         As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa Al-Quran.
         As-Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa Al-Quran
         As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran.
[8]
D.    Dilalah Sunnah
Ditinjau dari segi petunjuknya, hadits sama dengan Al-Quran, yaitu bisa qath’iah
dilalah dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qat’i dan ada
yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya
berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah
sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga
sebagai penguat. akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah
terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.[9]
Dalam kajian ushul fiqih, hadits dari segi sanadnya terbagi menjadi dua macam:
hadits mutawatir dan hadits ahad.
2.3.     IJMA’
A.    Pengertian
Ijma’ menurut ulama ushul fiqih  adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah.atas hukum syara’ mengenai suatu  kejadian.[10]
Namun, ada beberapa ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut
istilah, diantaranya:
         Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat Muhammad Saw, dalam sustu masa setelah beliau wafat terhadap
hukum syara’.
         Pengarang kitab Tahrir, Al Kamal bin Hammam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ MuhammadSaw, terhadap masalah syara’.[11]
B.     Syarat-syarat Ijma’
Dari defenisi Ijma’ diatas  dapat diketahui bahwa Ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi
kriteria dibawah ini
  Yang bersepakat adalah para mujtahid :
      Para ulama berselisih paham  tentang Istilah  Mujtahid  secara umum,   mujtahid itu diartikan
sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath huukm dari dalil-dalil
syara’ dalam kitab jam’ul  Jawani, disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adlah orang
yang faqih, dalam sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’,
sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
 Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal
aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al qaqih dalamkitab isbat bahwa Mujtahid yang
diterima fatwanya adalah ahlu ahli wal addi.
  Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena Ijma itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Ijma; itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar
mujtahid karena yang dimaksud kesepatakan ijma’ termasuk pula kesepatakan sebagian besar
dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum
keseluruhan.
  Para muktahid harus umat Muhammad SAW
            Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat muhammad SAW  ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud umat muahmmad SAW adalah orang mukallaf dari
golongan ahli wa al aqdi, ada juga  yang berpendapat bahwa mereka adalah  oranng mukallaf
dari golongan muhammad SAW.
  Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad
Ijma itu tidak terjadi ketika nabi Masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati
perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.
       Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syarat         
Maksudnya, kesepatakan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syariat seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C.    Macam-Macam Ijma’[12]
1.      Ijma’ Sharih
Artinya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian
menyepakati salah satunya.
2.      Ijma’ Sukuti
Artinya, pendapat sebagian ulama tentang suatu maslah yang diketahui oleh para mujahid
lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara
jelas. Ijma’ sukuti sah apabila dikatakan memenuhi beberapa kriteria.
D.    Maksud Ijma’ dalam Kitab-Kitab Fiqih
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain
adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan
hukum syara’. Dengan demikian, apabila jumhur ulama menetapkan kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak termasuk ketetapan hukum dan tidak
dikatakan ijma’.
Menurut orang-orang yang selalu mengikuti beberapa permasalahan, hasil ijma’ itu di
adakalanya bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid, tetapi ada juga yang berasal dari
kesepakatan imam madzhab. Maka tidaklah sah untuk menggantungkan diri kepada kitab-
kitab fiqih yang didalamnya terdapat kata ijma’, karena ijma’ tersebut mungkin saja hanya
kesepakatan para ulama yang ada pada suatu madzhab yang ditulis oleh pengarang kitab.
2.4.     QIYAS
A.    Pengertian
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda
bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istimbath hukum.
Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini:
1.      Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakni pandangan
mujtahid.
2.      Golongan kedua qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu
hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh paramujtahid ataupun tidak.[13]
B.     Rukun Qiyas
         Ashl (pokok),
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
         Far’u (cabang),
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
         Hukum Ashl,
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
         Illat
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
            Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil
al-Quran, Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional. Alasan ulama
yang menetapkan qiyas:
         Diantara ayat-ayat al-quran yang digunakan sebagai dalil.
         Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil
         Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa qiyas adalah hukum syara’.
C.    Qiyas sebagai sandaran Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’ diantara
mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas  itu tidak sah dijadikan  dasar ijma’ dengan
demikian bahwa Ijma itu qath’I, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni, menurut kaidah, yang
qath’, itu tidak sah didasarkan pada yang  zhunni
Pada ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’ beragumen
bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama, juga dikarenakan qiyasitu
termasuk salah satu dalil syara’ maka sah dijadikan sandaran ijma’
D.    Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum
            Masalah ini termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan qiyas,
dan tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan qiyas.
Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus
menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan semua pada
hukum.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan
jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah
merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-
undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh
manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun
sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya)
adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang
tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran
terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul fiqih yang
diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas
sebagai penguat sumber hukum islam. Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma
menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam
satu masa tentang ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas
sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai