Anda di halaman 1dari 16

Al-Amru Wa an-Nahyu, Devinisi dan Kaedah-kaedah

Penafsirannya

Oleh:

Moh. Musyfiq Khazin, 20211200000031

Moh. Rofiqi Hidayatullah, 2119200000051

A. PENDAHULUAN.
Al-Quran diturunkan ditengah kemurnian bahasa arab,dimasa interaksi
bangsa arab dengan bangsa lain masih bisa dikatakan minim jika dibandingkan
dengan abad setelahnya. Kemurnian tersebut menjaga bangsa arab dari kesalahan
dalam berbahasa, dan bahasa arab bagi mereka adalah salah satu barometer
kemuliaan seseorang, mereka sangat menghormati para sastrawan dan pujangga,
sehingga puisi-puisi yang dapat dipertahankan di festival puisi yang dilaksanakan
setiap musim haji, ditempelkan di dinding ka’bah sebagai bentuk penghargaan.
Di awal islam bangsa Quraisy menuduh Nabi Muhamad SAW dengan
berbagai tuduhan, bahkan dari mereka menganggap bahwa syariat yang dibawa
oleh beliau adalah ramalan-ramalan dukun dan lain sebagainya, olehnkaren itu
Allah SWT menurunkan al-Quran dengan bahasa arab sebagai bentuk mukjizat
akan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, letak kemukjizatan al-Quran
dengan bahasa Arab ini adalah sebagai tentangan bagi bangsa Arab, yaitu bahasa
al-Quran yang disusun dengan bahas mereka kini dihidangkan oleh al-Quran
dengan susunan yang melebihi susunan sastrawan-sastrawan Arab terkemuka di
masa itu, sehingga dalam diri mereka timbullah keyakinan bahwa al-Quran bukan
susunan sajak-sajak manusia, melainkan dalam diri mereka meyakini bahwa
susunan kata ini tidak dapat dikatakan sebagai susunan manusia, dengan itu
mereka tidak dapat memungkiri lagi bahwa kalimat-kalimat yang menjelaskan
Risalah ini adalah murni wahyu, tidak ada campur tangan siapapun.
Pemahaman mereka terhadap makna dan susunan bahasa al-Quran adalah
pemahaman yang didasarkan atas kemurnian mereka dalam berbahas, tanpa
menggunakan kaedah-kaedah Apapun, namun setelah agama islam mulai tersebar
kedaerah-daerah luar Jazirah Arab, pergesekan antara bangsa Arab dengan bangsa
lain mulai terjadi, sehingga bahasa kemurnian bahasa mereka pun mulai
terancam, dan tepatnya di akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriyah
kaidah-kaidah bahasa mulai dirintis dengan berpedoman terhadap kebiasaan
bangsa arab menggunakan kata atau jumlah, terlebih oleh orang Non Arab yang
ingin memperdalami al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah pun menjadi tangga
awal mereka memahami al-Quran dan Hadith sebagai sumber Syariah islamiah.
Pembahasan-pembahasan kaedah bahasa Arab mulai tidak dapat dipisahkan
dari kajian-kajian islam, sebab sumber-sumber agama islam tidak dapat difahami
kecuali dengan bahasa Arab, sehingga bisa dikatakan tidak ada pembahasan
kajian-kajian islam yang terlepas dari pembahasan bahasa Arab, baik dalam ilmu
Ushul Fiqh, Fiqh, Ulum al-Hadth ataupun Ulum al-Quran.
dalam Ulum Quran dan Kajian tafsir, pembahasan tentang Kajian bahasa
arab menjadi pengantar ilmu tersebut, dan kajian-kajian kaedah al-Quran menjadi
dasar atas pembahasan-pembahasan tafsir sendiri, oleh karena itu dalam Kajian
tafsir pembahasan al-Amru, Al-Nahyu, Al-Muthlaq, Al-Muqayyadh adalah
pembahasan utama dan menjadi pengantar Ilmu ini.
dalam makalah ini pembahasan Al-Amru wa Al-Nahyu adalah salah satu
pembahasan kaedah bahasa Arab, oleh karena rujukan yang digunakan selain
rujukan ilmu tafsir juga merujuk terhadap referensi Ushul Fiqh dan kaedah
bahasa seperti Balaghah dan lain sebagainya.
B. PEMBAHASAN.
1. Definisi Dan Perdebatan Ulama;
Kalimat ‫أمر‬ secara etimologi adalah perintah, suruhan atau tuntutan.
Sedangkan menurut terminologi adalah perintah atau tuntutan mengerjakan
sesuatu tanpa memendang derajat dan kedudukan yang memerintah atau yang
menerima perintah.1
Kalimat ‫ نهى‬secara etimologi adalah cegahan atau larangan, dan secara
terminologi adalah perintah atau larangan meninggalkan suatu pekerjaan tanpa
memendang derajat dan kedudukan yang memerintah atau yang menerima
perintah.2
Sebagian ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa Al-Amru dan al- Nahyu
adalah tuntutan dari yang lebih tinggi, sedangkan Abu al-Husain al-Bashri
mensyaratkan harus ada unsur anggapan dari yang memerintah bahwa dirinya
lebih tinggi, meskipun pada kenyataanya yang menerima perintah lebih tinggi
derajatnya dari yang memerintah.3
Salah satu dalil bahwa al-Amru tidak memandang derajat yang memberi
perinah adalah perkataan Firaun kepada mentri-mentrinya:

]110:‫﴾ [ األعراف‬١١٠ َ‫ض ُكمۡ ۖ فَ َما َذا ت َۡأ ُمرُون‬


ِ ‫﴿ي ُِري ُد َأن ي ُۡخ ِر َج ُكم ِّم ۡن َأ ۡر‬
110. yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu".
(Fir'aun berkata): "Maka apakah yang kamu anjurkan?" [Al A'raf:110]

Meskipun para mentri firaun lebih rendah menurut kedudukan dan


anggapan firaun, ia tetap mengkategorikan usulannya dengan al-Amru
1
Hasan ibnu Mahmud Hituo, Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami, Resalah Publisher, KE 3, 1990, 135.
2
Jalaluddin Al-Mahalli Al-Syafi’i Muhammad Ibnu Ahmad, Al-badru al-Thali’, Abu Al-Fida’al Muhammady Al-
Daghistany Mustadha Ali Ibnu Muhammad (Bairut, Libanon: Resalah Publisher, 2005).
3
Hasyiah Al-Attar Ala Syarh Mahaali Ala Jami’il Jawami’ (Chairo Mesir: Mathbaah Mushthafa al-Babi al-
Halaby, 1809), 109; Al-Bannany Al-Maghriby Al- Maliky Abdu al-Rahman Bin Jaadullah, Hasyiyah Al- Allamat
al-Bannany "Alaa Jam’i Al-Jawami", Muhammad Abdul Qodir Syahin (Bairut, Libanon, ); Taqiyuddin Abu Al-
Hasan Al-Subky Ali Ibn Al- Hasan Ibn Abdul Kafi, Al-Ibhaj FI Syarh Al-Minhaj (Bairut, Libanon: Dar Al-Kutub
Al-ilmiyah, 1995).
(ta’murun). Perkataan Firaun tersebut juga menjadi Referensi terhadap
makna al-Nahyu yang telah di sebutkan di atas.4
Dalam al-Quran dan Sunnah terdiri beberapa bentuk Amar dan al-
Nahyu, di bawah ini beberapa bentuk al-Amru dalam al-Quran dan
Sunnah:5
1) Fi’il Amar: seperti kalimat If’al, salah satu contoh dalam al-Quran
adalah perintah melakukan sholat.
2) Fiil Mudhori’ yang didahului Lam al-Amr. seperti contoh dalam al-
Quran:
]7:‫﴾ [ الـطالق‬٧ ‫﴿لِيُنفِ ۡق ُذو َس َع ٖة ِّمن َس َعتِ ۖ ِهۦ‬
7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
[At Talaq:7]
3) Isim Fiil al-Amr, seperti ungkapan dalam bahasa arab "‫"نزال‬
Dan beberapa bentuk susunan lain yang menunjukkan terhadap perintah
melakukan sesuatu
Sedangkan bentuk (Shighat) al-Nahyu adalah sebagai Berikut:
1) Fiil Nahi atau Fiil Mudhari’ Yang di dahului lam al-Nahyi, seperti
contoh dalam al-Quran:

َ ‫ٱلزنَ ٰۖ ٓى ِإنَّهۥُ َك‬


]32:‫﴾ [ اإلسراء‬٣٢ ‫ان ٰفَ ِح َش ٗة َو َسٓا َء َسبِياٗل‬ ْ ‫﴿ َواَل تَ ۡق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬

32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra":32]

2. Aplikasi dalam Penafsiran al-Amru Wa al-Nahyu


1) Kaidah Penafsiran Pertama

‫األصل في األمر الوجوب‬

Makna Asal Al-Amru Adalah Wajib


4
Muhammad Ibnu Ahmad, Al-badru al-Thali’, 304.
5
Al-Suyuti Jalaluddin, Al-Itqon Fi Ulum Al-Quran, Arnaut Syuaib, Ke 1 (Bairut, Libanon: Resalah Publishers,
2008).581.
Bentuk kalimat yang menunjukkan perintah atau larangan menurut
ulama ushul fiqh menunjukkan terhadap banyak makna, sebagian ulama
mengatakan bahwa bentuk kalimat amar menunjukkan terhadap hampir
tiga puluh makna, namun mereka sepakat bahwa tidak semua makna
tersebut merupakan makna asal dari bentuk kalimat al-Amru, melainkan
sebagian dari makna-makna yang mereka sebutkan adalah makna konotasi
atau Majazi.
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa makna asal (Makna
Haqiqoh) kalimat yang berbentuk al-Amru di atas menunjukkan terhadap
hukum Wajib, dan kalimat yang berbentuk larangan diatas menunjukkan
terhadap hukum Haram. Oleh karena itu jika dalam al-Quran dan Sunnah
kalimat-kalimat di atas tidak diketahui ada indicasi makna lain harus
dipahami dengan makna ijab dan tahrim.6
Makna- makna selain Ijab dan Tahrim yang bisa dipahami dari bentuk
al-Amru dan al-Nahyu diatas adalah sebagai berikut.

Makna-Makna Al-Amru Selain Li Al-Wujub


1. Untuk menunjukkan sunnah
]33:‫﴾ [ النّور‬٣٣ ‫﴿ فَ َكاتِبُوهُمۡ ِإ ۡن َعلِمۡ تُمۡ فِي ِهمۡ َخ ۡي ٗر ۖا‬
33. Dan hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka. [An Nur:33]

2. Untuk mendidik seperti sabda rasulullah kepada Umar Bin abi salamah,
ketika ia masih kecil, dan tangannya berputar-putar sekitar hidangan:

«‫يك‬ِ ‫مِم‬ ِ ِ‫»س ِّم اللَّه و ُكل ب‬


َ ‫ و ُك ْل َّا يَل‬، ‫ينك‬
َ ‫يم‬ ْ َ

6
Hituo, Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami.159
Bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah
makanan yang ada di hadapanmu (terdekat denganmu) (H.R. Bukhari
Muslim)
3. Untuk memperbolehkan

َ ‫ص ـلِح ًۖا ِإنِّي بِ َمــا تَ ۡع َملُـ‬


‫يم‬ٞ ِ‫ـون َعل‬ َ ٰ ‫و ْا‬,,ُ‫ٱع َمل‬ ِ َ‫و ْا ِم َن ٱلطَّيِّ ٰب‬,,ُ‫﴿ ٰيََٓأيُّهَــا ٱلرُّ ُس ـ ُل كُل‬
ۡ ‫ت َو‬
]51:‫﴾ [ المؤمنون‬٥١
51. Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. [Al Mu"minun:51]

4. Untuk mengancam dalam al-Quran allah mengancam kaum yang tidak


mempercayai adanya hari kiamat:

]40:‫﴾ [ فصّلت‬٤٠ ‫صي ٌر‬ َ ُ‫ش ۡئتُمۡ ِإنَّهۥُ بِ َما تَ ۡع َمل‬


ِ َ‫ون ب‬ ۡ ﴿
ِ ‫ٱع َملُو ْا َما‬
40. Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. [Fussilat:40]

5. Untuk menghormati

َ ِ‫﴿ ۡٱد ُخلُو َها بِ َس ٰلَ ٍم َءا ِمن‬


]46:‫﴾ [ الحجر‬٤٦ ‫ين‬
46. (Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera lagi aman" [Al Hijr:46]

6. Untuk menunjukkan kelemahan lawan bicara (Mukhatab) dalam al-


Quran allah SWT menunjukkan kelemahan kaum Kafir Quraisy yang
meragukan akankemukjizatan al-Quran:
ْ ُ‫﴿ فَ ۡأت‬
]23:‫﴾ [ البقرة‬٢٣ ‫وا بِسُو َر ٖة ِّمن ِّم ۡثلِِۦه‬
23. buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu [Al Baqarah:23]
7. Untuk doa
‫ٓا َءاتِنَا فِي ٱل ـ ُّد ۡنيَا َح َس ـنَ ٗة َوفِي ٱأۡل ٓ ِخـ َر ِة َح َس ـنَ ٗة َوقِنَــا‬,,َ‫﴿ َو ِم ۡنهُم َّمن يَقُــو ُل َربَّن‬
ِ َّ‫اب ٱلن‬
]201:‫﴾ [ البقرة‬٢٠١ ‫ار‬ َ ‫َع َذ‬
201. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka". [Al Baqarah:201]
8. Untuk meremehkan Mukhatab:
]50:‫﴾ [ اإلسراء‬٥٠ ‫ارةً َأ ۡو َح ِدي ًدا‬
َ ‫﴿۞قُ ۡل ُكونُو ْا ِح َج‬
50. Katakanlah: "Jadilah kamu sekalian batu atau besi, [Al Isra":50]
9. Untuk mempersamakan, dalam al-Quran allah menyamakan antara
kesabaran dan ketidak sabaran ahli neraka sebagai berikut:

َ ُ‫َصبِ ُرو ْا َس َوٓا ٌء َعلَ ۡي ُكمۡۖ ِإنَّ َما تُ ۡج َز ۡو َن َما ُكنتُمۡ تَ ۡع َمل‬
‫ون‬ ۡ ‫ٱصبِ ُر ٓو ْا َأ ۡو اَل ت‬
ۡ َ‫ٱصلَ ۡوهَا ف‬
ۡ ﴿
]16:‫﴾ [ الـطور‬١٦
16. Masukklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); maka
baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan
terhadap apa yang telah kamu kerjakan. [At Tur:16]

Makna-Makna Al-Nahyu Selain Li Al-Tahrim


1. Li al-Karahah (bermakna karahah)

‫))؛‬،‫يبول‬
ُ ‫س َّن أح ُدكم ذَ َكره بيمينه وهو‬
َّ ‫ ((ال يَ َم‬:‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬

.‫ واللفظ ملسلم‬،‫متفق عليه‬


Janganlah kalian memegang kemaluan kalian saat kaliat membuang air
kecil
2. Untuk menghimbau
:‫﴾ [ المائدة‬١٠١ ۡ‫وا اَل ت َۡسألُو ْا َع ۡن َأ ۡشيَٓا َء ِإن تُ ۡب َد لَ ُكمۡ تَس ُۡؤ ُكم‬ َ ‫﴿ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ ُ‫ين َءا َمن‬
]101
101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu . [Al Ma"idah:101]
3. Untuk Bermakna Doa

َ َّ‫نك َر ۡح َمـ ۚةً ِإن‬


َ ‫ك َأ‬
‫نت‬ َ ‫ ِز ۡغ قُلُوبَنَــا بَ ۡعـ َد ِإ ۡذ هَـ َد ۡيتَنَا َوهَ ۡب لَنَــا ِمن لَّ ُد‬,ُ‫﴿ َربَّنَا اَل ت‬
]8:‫﴾ [ آل عمران‬٨ ُ‫ۡٱل َوهَّاب‬
8. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan
hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi
Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi
(karunia)". [Al 'Imran:8]
4. Mengungkapkan Keputusasaan Mukhatab

َ ‫ُوا اَل ت َۡعتَ ِذ ُرو ْا ۡٱليَ ۡو ۖ َم ِإنَّ َما تُ ۡجـ َز ۡو َن َمــا ُكنتُمۡ تَ ۡع َملُـ‬
﴾٧ ‫ـون‬ َ ‫﴿ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ ‫ين َكفَر‬
]7:‫[الـتحريم‬
7. Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur
pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut
apa yang kamu kerjakan. [At Tahrim:7]

5. Untuk Menjelaskan Akibat Suatu Pekerjaan


ٰ
‫ـــو ٖم‬ َ ۚ ‫بَنَّ ٱهَّلل َ ٰ َغفِاًل َع َّما يَ ۡع َمـــ ُل ٱلظَّلِ ُم‬,,,‫س‬
ۡ َ‫ـــون ِإنَّ َمـــا يُـــَؤ ِّخ ُرهُمۡ لِي‬ َ ‫﴿ َواَل ت َۡح‬
]42:‫﴾ [ إبراهيم‬٤٢ ‫ص ُر‬ َ ٰ ‫تَ ۡش َخصُ فِي ِه ٱَأۡل ۡب‬
42. Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira,
bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang
yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada
mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak, [Ibrahim:42]
6. Untuk Meremehkan
ۡ‫ك ِإلَ ٰى َمــا َمتَّ ۡعنَــا بِ ِٓۦه َأ ۡز ٰ َوجٗ ا ِّم ۡنهُمۡ َواَل تَ ۡحـ َز ۡن َعلَ ۡي ِهم‬ َ ‫﴿اَل تَ ُمـ َّد َّن َع ۡينَ ۡيـ‬
]88:‫﴾ [ الحجر‬٨٨ ‫ين‬ َ ِ‫ك لِ ۡل ُم ۡؤ ِمن‬َ ‫اح‬َ َ‫ض َجن‬ ۡ ِ‫ٱخف‬ ۡ ‫َو‬
88. Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada
beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu),
dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan
berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. [Al
Hijr:88]

2) Kaidah Dan Penafsiran Kedua

‫األمر ال يقتضي المرة وال التكرار‬

Al-Amru tidak menunjukkan terhadap adanya pengulangan atau


tidak.
Pada dasarnya al-Amru tidak menunjukkan terhadap pengulangan
melkukan perintah, melainkan menuntut untuk terwujudnya pekerjaan
tersebut, akan tetapi realisasi pekerjaan tidak dapat dipisahkan dengan
jumlah, satu kali melaksanakan perintah bukan termasuk makna yang
diambil dari nash al-Amru, melainkan merupakan hal yang tak dapat
terpisahkan (lazim) dari pekerjaan yang diperintahkan.7
Hal itu jika tidak ada indikasi atau Nash lain yang menunjukkan
bahwa pekerjaan itu harus berulang.
Contoh tuntutan amar yang tidak perlu diulang adalah perintah haji.

7
Hituo; Muhammad Ibnu Ahmad, Al-badru al-Thali’. Hal:149-150
Sedangkan perintah yang menuntut untuk diulang adalah perintah
melakukan shalat, perintah mengulang shalat setiap masuk waktu shalat
diambil dari hadits tentang waktu shalat, bukan dari perintah melakukan
shalat.
Berbeda dengan Al-Nahyu yang Nash larangannya menunujukan
terhadap pengulangan meninggalkan pekerjaan yang dilarang.
3) Kaidah dan penafsiran ketiga.

‫األمر ال يقتضي الفور‬

Perintah tidak menunjukkan terhadap segera

Maksudnya adalah al-Amru tidak menuntut kita untuk segera


mewujudkan perintah tersebut, melainkan kita dituntut untuk
menyegerakan perintah jika ada dalil lain yang menjelaskan bahwa
perintah tersebut harus disegerakan. Hal ini berbeda dengan al-Nahyu
yang menuntut kita untuk segera meninggalkan larangan.
Contoh al-Amru yang menuntut untuk disegerakan disebabkan ada
dalil lain lain adalah.

(‫ )متفق عليه‬.‫من نسي صالة فليصلها إذا ذكرها ال كفارة هلا إال ذلك‬
Barang siapa yang meninggalkan shalat akibat lupa atau tertidur,
maka hendaknya menunaikannya ketika dia ingat. Karena tidak ada
tebusannya kecuali itu. (H.R. Bukhari Muslim)
Perbedaan antara penafsiran Al-Amru dan al-Nahyu di atas
disebabkan oleh tuntutan mewujudkannya al-amru yang terwujud
meskipun tanpa disegerakan, berbeda dengan al-Nahyu yang tidak dapat
terwujud kecuali dengan segera meninggalkannya.8
4) Kaidah Ke Empat>

8
Hituo, Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami. H:157
‫داللة النهي على فساد المنهي عنه‬

Al-Nahyu menunjukkan terhadap Al-Fasad

melakukan pekerjaan yang dilarang adakalanya dianggap tidak sah,


dan adakala tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilarang:9
1. Apabila jenis pekerjaan yang dilarang berbetuk aktifitas ibadah maka
pekerjaan tersebut dianggap tidak sah. seperti Shalat dalam keadaan
menstruasi dan puasa di waktu hari raya, dalam hadist di riwayatkan
oleh Abu Hurairoh:

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم نَ َهى َع ْن ِصيَ ِام‬ ِ َ ‫«َأن رس‬


َ ‫ول اهلل‬ َ َ‫َع ْن َأيِب ُهَر ْيَرةَ َر ِض َي اهللُ َعْنهُ ق‬
ُ َ َّ :‫ال‬
‫ َو َي ْوِم الْ ِفطْ ِر‬،‫اَأْلض َحى‬ ِ
ْ ‫َي ْو َمنْي ِ َي ْوم‬
Diriwayatkan oleh abu hurairah, mengatakan: sesungguhnya
rasulullah SAW, melarang berpuasa di dua, hari raya Idul adhha dan
hari raya idul fitri
2. Apabila berbentuk transaksi muamalah maka hukum melakukannya
sebagai berikut:10
a) Apabila larangan tersebut tertuju kepada transaksi itu sendiri maka
dianggap tidak sah, seperti Bai’ al-Has{a.
b) Apabila larangan tertuju kepada factor internal yang ada dalam suatu
transaksi, maka diianggap tidak sah. Seperti Bai’ al-Malaqih (jual
beli janin), Faktor internal yang dimaksud dalam contoh ini adalah
rukun jual beli yang tidak lengkap, sebab barang yang dibeli tidak
tanpak dan tidak dapat diserahkan diwaktu transaksi.
c) Apabila larangan tersebut tertuju kepada factor eksternal dalam
transaksi dan tidak dapat dipisahkan (melekat)) dari proses transaksi

9
Muhammad Ibnu Ahmad, Al-badru al-Thali’, 385.
10
Muhammad Ibnu Ahmad, 325; Hituo, Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami, 155–56.
dianggap tidak sah, maka apabila dikerjakan dianggap tidak sah,
seperti transaksi yang mengandung unsur riba.
d) Apabila larangan tertuju kepada factor eksternal yang dapat terpisah
dari transaksi (tidak melekat), maka tidak menunjukkan terhahadap
fasad, seperti melakukan jual beli ketika adzan jumat, larangan
tersebut tidak ditujukan terhadap transaksi itu sendiri, melainkan
larangan tersebut disebabkan kawatir terlewatnya shalat jumat.
ۡ َ‫صلَ ٰو ِة ِمن يَ ۡو ِم ۡٱل ُج ُم َعـ ِة ف‬
‫ٱسـ َع ۡو ْا ِإلَ ٰى ِذ ۡكـ ِر‬ َّ ‫ي لِل‬َ ‫ين َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا نُو ِد‬ َ ‫﴿ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
]9:‫﴾ [ الـجـمـعـة‬٩ ‫ون‬ َ ‫ر لَّ ُكمۡ ِإن ُكنتُمۡ تَ ۡعلَ ُم‬ٞ ‫ُوا ۡٱلبَ ۡي ۚ َع ٰ َذلِ ُكمۡ َخ ۡي‬
ْ ‫ٱهَّلل ِ َو َذر‬
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. [Al Jumu'ah:9]

Perincian hukum diatas adalah pendapat mayoritas ulama Ushul,


beberapa ulama lain seperti Imam Ahmad mengatakan bahwa larangan
menunjukkan terhadap Fasad dalam keadaan apapaun.11

5) Kaedah Ke Lima

‫األمر بعد الحظر يدل على اإلباحة‬

Al-Amru (Perintah) terhadap suatu pekerjaan Setelah


melarangnya menunjukkan diperbolehkannya pekerjaan
tersebut.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada suatu larangan (al-Nahyu)
terhadap suatu pekerjaan yang diikuti dengan perintah terhadap pekerjaan
tersebut, maka al-Amru tersebut tidak lagi menunjukkan Wajib, melaikan
menunujukkan atas kebolehan (Ibahah) pekerjaan tersebut. Makna Ibahah
pada Perintah yang terletak setelah larangan tersebut adalah makna
11
Ali Ibn Al- Hasan Ibn Abdul Kafi, Al-Ibhaj FI Syarh Al-Minhaj, 51–53; Hituo, Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-
Islami, 159–161.
Haqiqoh, hal ini melihat bahwa makna diperbolehkannya tersebut
merupakan makna yang pertama kali ditangkap oleh pembaca teks atau
Nash.12
Dalam al-Quran salah satu contoh perintah turun setelah larangan
adalah:
‫ص ۡي ُد ۡٱلبَرِّ َما‬ َ ‫ص ۡي ُد ۡٱلبَ ۡح ِر َوطَ َعا ُمهۥُ َم ٰتَعٗ ا لَّ ُكمۡ َولِل َّسي‬
َ ۡ‫َّار ۖ ِة َوحُرِّ َم َعلَ ۡي ُكم‬ َ ۡ‫﴿ُأ ِح َّل لَ ُكم‬
]96:‫﴾ [ المائدة‬٩٦ ‫ُون‬ َ ‫ي ِإلَ ۡي ِه تُ ۡح َشر‬ ْ ُ‫ُدمۡ تُمۡ ُحر ُٗم ۗا َوٱتَّق‬
ٓ ‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذ‬
96. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-
orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap)
binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah
kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. [Al
Ma"idah:96]
Dalam ayat ini dilarang memburu hewan diwaktu melakukan Ihram,
namun setelah itu turunlah ayat yang memerintahkan untuk memburu,
namun ayat perintah tersebut tidak bermakna Wajib melainkan bermakna
Ibahah, sebab turun setelah ayat larangan melakukan pemburuan hewan.
ْ ۚ ‫ٱصطَا ُد‬
]2:‫﴾ [ المائدة‬٢ ‫وا‬ ۡ َ‫﴿ َوِإ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬
2. dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. [Al Ma"idah:2]

Contoh lain dari pada masalah ini adalah:


ۡ َ‫صلَ ٰو ِة ِمن يَ ۡو ِم ۡٱل ُج ُم َع ِة ف‬
ِ ‫ٱس َع ۡو ْا ِإلَ ٰى ِذ ۡك ِر ٱهَّلل‬ َ ‫ين َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬ َ ‫﴿ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
]9:‫﴾ [ الـجـمـعـة‬٩ ‫ون‬ َ ‫ر لَّ ُكمۡ ِإن ُكنتُمۡ تَ ۡعلَ ُم‬ٞ ‫ُوا ۡٱلبَ ۡي ۚ َع ٰ َذلِ ُكمۡ َخ ۡي‬
ْ ‫َو َذر‬
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah

12
Abu Umar Al-Maliki Ustman Ibn Al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Muhammad Hasan Ismail (Bairut,
Libanon, 2004), 71; Ali Ibn Al- Hasan Ibn Abdul Kafi, Al-Ibhaj FI Syarh Al-Minhaj, 27/2.
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. [Al Jumu'ah:9]

Kemudian turunlah ayat:

ِ ‫ضـ ِل ٱهَّلل‬ ْ ‫ض َو ۡٱبتَ ُغـ‬


ۡ َ‫ـوا ِمن ف‬ ِ ‫ُوا فِي ٱَأۡل ۡر‬
ْ ‫ٱلصـلَ ٰوةُ فَٱنتَ ِشـر‬
َّ ‫ت‬ ِ ُ‫﴿فَـِإ َذا ق‬
ِ َ ‫ض ـي‬
]10:‫﴾ [ الـجـمـعـة‬١٠ ‫ُون‬ َ ‫يرا لَّ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِح‬ ْ ‫َو ۡٱذ ُكر‬
ٗ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ َكث‬
10. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. [Al Jumu'ah:10]

Hal ini berbeda dengan Al-Nahyu Ba’da Al-Wujub yakni larangan


terhadap melakukan sesuatu setelah memerintahnya, tidak menunjukkan
terhadap diperbolehkannya perbuatan tersebut, disebabkan adanya beberapa
perbedaan antara Amar dengan Nahyu, diantaranya adalah penafsiran al-
Nahyu terhadap al-Tahrim menunjukkan terhadap tuntutan meninggalkan
suatu perbuatan, dan hal itu sesuai dengan makna hukum asal setiap pekerjaan
yang awalnya tidak dikerjakan, sedangkan al-Amru ketika ditafsirkan dengan
Wajib maka menuntut diwajudkannya suatu pekerjaan, yang mana hal itu
tidak lagi merupakan hukum asal setiap pekerjaan. Alasan kedua adalah
tujuan sebuah larangan yaitu mencegah terjadinya kerusakan, sedangkan
suatu perintah dimaksudkan untuk melahirkan kemas{lahatan. Hal ini sesuai
dengan kaidah bahwa mencegah kerusakan lebih dipentingkan atau lebih
dikedepankan daripada mewujudkan kemashlahatan.13

C. PENUTUP

Kaedah bahasa arab adalah kaedah untuk memahami al-Quran, oleh


karena itu setiap ilmu tentang al-Quran tidak lepas dari pembahasan kaedah
bahasa aran, dalam Ilmu tafsir da ulum al-Quran pembahasan al-Amru dan al-
13
Abdu al-Rahman Bin Jaadullah, Hasyiyah Al- Allamat al-Bannany "Alaa Jam’i Al-Jawami", 339/1; Hituo, Al-
Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami, 379.
Nahyu adalah salah satu dari pembahasan tersebut, para ulama memahami
perintah dan larang dalam al-Quran dan sunnah dengan bberapa makna dan
tafsiran, disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari referensi dan yang
dihadapi mereka, oleh karena itu tidak semua kalimat al-Amru bermakna li al-
Wjub dan tidak Semua al-Nahyu bermakna li al-Hurmah, melainkan dua
istilah tersebut digunakan sesuai dengan pemakaian orang arab sebagai
pemilik bahasa, meskipun kaidah-kaidah tentang al-Amru wa al-Nahyu
banyak yang sama, akan tetapi ada beberapa perbedaan seperti yang telah
dijelaskan di pembahasan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Abdu al-Rahman Bin Jaadullah, Al-Bannany Al-Maghriby Al- Maliky.


Hasyiyah Al- Allamat al-Bannany "Alaa Jam’i Al-Jawami". Muhammad Abdul
Qodir Syahin. Bairut, Libanon, .

al-Athar, Hasan Ibnu Muhammad, Jalaluddin. Al-Mahalli, ‫ و‬Tajuddin Ibnu


Subki. "Hasyiah al-Attar 'ala Jam’i al-Jawami'". ‫ في‬Hasyiah Al-Attar Ala Syarh
Mahaali Ala Jami’il Jawami’, 109. Chairo Mesir: Mathbaah Mushthafa al-Babi
al-Halaby, 1809.

Ali Ibn Al- Hasan Ibn Abdul Kafi, Taqiyuddin Abu Al-Hasan Al-Subky. Al-
Ibhaj FI Syarh Al-Minhaj. Bairut, Libanon: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, 1995.

Hituo, Hasan ibnu Mahmud. Al-Wajiz fi Ushul Tasyri’ Al-Islami. Resalah


Publisher. KE 3., 1990.

Jalaluddin, Al-Suyuti. Al-Itqon Fi Ulum Al-Quran. Arnaut Syuaib. Ke 1.


Bairut, Libanon: Resalah Publishers, 2008.

Muhammad Ibnu Ahmad, Jalaluddin Al-Mahalli Al-Syafi’i. Al-badru al-


Thali’. Abu Al-Fida’al Muhammady Al-Daghistany Mustadha Ali Ibnu
Muhammad. Bairut, Libanon: Resalah Publisher, 2005.

Ustman Ibn Al-Hajib, Abu Umar Al-Maliki. Mukhtashar al-Muntaha.


Muhammad Hasan Ismail. Bairut, Libanon, 2004.

Anda mungkin juga menyukai