Anda di halaman 1dari 19

AMALIYAH DAN TRADISI SEPUTAR SHOLAT DAN DALILNYA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

“ASWAJA”

Dosen Pengampuh :

Disusun oleh :

Imsak Mashana (011810013)

Moh. Sanang Dani E (011810021)

Siti Zainap (011810036)

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN

2022
A. Adzan Jum’at 2 Kali dan Dalilnya

Bagi setiap muslim yang mukallaf, sehat serta menetap atau

berdomisili di suatu daerah adalah fardhu ain untuk melaksanakan

sholat jum’at. Mayoritas kaum muslimin di Indonesia

melaksanakan ibadah sholat jum’at dengan seruan adzan dua kali.

Praktik ini mengacu pada inisiatif khalifah ketiga, Sayyidina

Utsman ibn Affan, tanpa ada sanggahan dari para sahabat lainnya.

Sehingga disimpulkan telah terjadi ijmak sahabat.

Pada awalnya, adzan jum’at hanay dikumandangkan satu

kali. Yaitu ketika khatib duduk diatas mimbar. Itu berlangsung

sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman khalifah Umar bin

Khatab RA. Kemudian khalifah Ustman bin Affan RA menambah

satu adzan lagi sebelum khatib naik ke mimbar. Hal ini beliau

lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat

tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk

memberitahu bahwa shalat jum’at hendak dilaksanakan. Dalam

kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :

‫ول ِإنَّاَأْلذَا َن َي ْو َم اجْلُ ُم َع ِة‬


ُ ‫ب بْ َن يَِزيَ َد َي ُق‬ ‫ال مَسِ عت َّ ِئ‬
َ ‫الس ا‬ ُ ْ َ َ‫َع ْن ُّازهْ ِر ْي ق‬
‫ْد َر ُس واِل لَّ ِله‬ ِ ‫َكانَ ََّأولُ ه ِحني جَي لِس اِإْل م ام ي وم اجْل مع ِة علَى الْ ِمْن ِ يِف عه‬
َ ‫رَب‬ َ َ ُُ َ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ
‫صلَّى اللَّه َعلَي ِْه َو َس لَّم َوَأيِب بَ ْك ِر َوعُ َم ر َر ِض ي اللَّه َعْن ُه َم ا َفلَ َّما َك ا َن يِف‬
َ
َ َ َ
‫واَأم َر عُثْ َم ا ُن َي ْو َم اجْلُ ُم َع ِة‬ ِ ِ ِ
َ ‫خالَفَة عُ ْس َما َن بْ ِن َعفَّا َن َرض َي اللَّه َعْنهُ َو َك ُث ُر‬
‫ك (صحيح‬ ِ ِ َّ ‫ث فَ ُأذِّ َن بِ ِه علَى‬
ِ ِ‫بِ اَأْل َذ ِان الثَّال‬
َ ‫ْر َعلَى َذل‬
ُ ‫ت اَأْلم‬
َ َ‫الز ْو َراء َفثَب‬ َ
)865 ‫ رقم‬,‫البخاري‬
“Dari al-Zuhri, ia berkata, “Saya mendengar dari al-Sa’ib

bin Yazid, beliau berkata, : Sesungguhnya adzan di hari jum’at

pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, dan

Umar RA dilakukan ketika imam duduk diatas mimbar. Namun

ketika masa khalifah Usman RA dan kaum muslimin sudah banyak,

maka beliau memerintakan agar diadakan adzan yang ketiga.

Adzan tersebut dikumandangkan diatas Zaura (nama pasar). Maka

tetaplah perkara tersebut (sampai sekarang). “. (Shahih al-

Bukhari, [865])

Yang dimaksud adzan yang ketiga adalah adzan yang

dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan

pertama adalah adzan setelah khatib naik ke mimbar dan adzan

kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari,

pengarang kitab Fath al-Mu’in, mengatakan bahwa Sunnah

mengumandakan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke

mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik ke mimbar :

ِ َ ‫ج ِر واخ ر بع‬ ٍِ ِِ
‫َألوىَل‬ َ َ‫ْدهُ فَِإن ا ْقت‬
ْ ْ‫ص َر فَا‬ َ ُ َ َ ْ ‫ْل الْ َف‬ ُ ‫َويُ َس ُّن َأ َذانَان ل‬
َ ‫ص ْب ٍح َواح د َقب‬
ِ ‫ص عُ ْو ِد اخْلَ ِطْي‬
‫ب الْ ِمْنَب َر َواآْل َخ ُر‬ ِ ِِ
ُ ‫ْد‬ َ ‫ َو َأ َذانَ ان ل ْل ُج ُم َع ة‬, ُ‫ْده‬
َ ‫َأح ُدمُهَا َبع‬ َ ‫َبع‬

)15 , ‫ (فتح املعني‬.ُ‫الَّ ِذ ْي َقْبلَه‬


“disunnahkan adzan dua kali untuk shalat subuh, yakni

sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu

kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan Sunnah dua

adzan untuk shalat jum’at. Salah satunya setelah khatib naik ke

mimbar dan yang lain sebelumnya.”(Fath al-Mu’in,15)

Meskipun adzan tersebut tidak dilakukan pada zaman

Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA tersebut

tidak dipungkiri oleh para sahabat yang lain. Itulah yang disebut

dengan Ijma’ sukuti. Satu kesepakatan para ulama’ (dalam hal ini

adalah sahabat Nabi SAW) terhadap hokum suatu kasus dengan

cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju dengan keputusan

hokum yang telah ditetapkan. Dalam kitab al-Mawahib al-

Ladunniyyah disebutkan :

ِ ِ ِ ِ
ً َ ‫مُثَّ ِإ َّن ف ْع َل عُثْ َما َن َرض َي اللَّهُ َعْنهُ َكا َن ِإمْج‬
ُ‫اعا ُس ُك ْوتيًّا َأِلن َُّه ْم الَيُْنك ُر ْونَه‬
)249‫ص‬2‫ ج‬, ‫َعلَْي ِه (املواهب اللدنية‬

“Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman

itu merupakan Ijma’ sukuti karena para sahabat yang lain tidak

menentang kebijakan tersebut.” (al-Mawahib al-Ladunniyyah, juz

II, hal 249)


Oleh sebab itu, kita dianjurkan untuk mengikuti Ijtihad

tersebut. Yaitu mengumandangkan adzan dua kali. Berdasaran

hadits Nabi Muhammad SAW :

َ َ‫ض بْ َن َس ا ِريَةَ ق‬ ِ ِ ِ ‫عن ع‬


ِ ُّ ‫بْد ال رَّمْح ِن ب ِن عمْ ٍرو‬
‫ال‬ َ ‫الس لَم ِّي َأنَّهُ مَس َع الْع ْربَ ا‬ َ ْ َ َ َْ
‫ْه َو َس لَّ َم َم ْو ِعظَ ةً َف َعلَْي ُك ْم مِب َا َع َر ْفتُ ْم‬
ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي‬
َُ َ ُ ‫َو َعظَنَ ا َر ُس‬

)16519( ‫ين الْ َم ْه ِديِّ َن‬ ِ ِ َّ ‫ِمن سنَّيِت وسن َِّة اخْل لَ َف ِاء‬
َ ‫الرشد‬ ُ َُ ُ ْ

“Dari Abdullah bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia

mendengar Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah SAW

menasehai kami, maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada

sunnahku dan Sunnah al-Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (Musnad

Ahmad bin Hanbal, [16519])

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari

jum’at itu bukan merupakan perbuatan bid’ah dhalalah,

sebagaimana yang sering dituduhkan selama ini. Sebab perbuatan

itu memiliki landasan yang kuan dari salah satu sumber hukum

Islam, yakni Ijma’ para sahabat.

B. Pujian Sebelum Sholat

Pujiann berasal dari bahasa jawa yang artinya sanjunngan

hamba kepada Allah SWT, lalu dijjadikan sebagai istilah kuhusus

kaum nahdliyin yang biasanya dilakukan setelah adzan sebelum


shalat berjama’ah dilaksanakan.1  Jadi yang dimaksud dengan

pujian adalah membaca dzikir atau syair sanjungan hamba kepada

Allah secara bersama-sama sebelum shalat berjama’ah

dilaksanakan.

Pujian merupakan padanan kata dari puji dan imbuhan “an”

yang arti puji itu adalah memuliakan kebesaran Tuhan atau berdoa

dengan didendangkan atau disyairkan. Dalam KBBI, Pujian berasal

dari “puji pujian” yang dapat diartikan perkataan memuji, memuji

kebaikan, keunggulan dan lain-lain.2

Pembacaan pujian ini dilakukan diseluruh waktu sholat

(lima waktu) subuh, dzuhur ashar, maghrib dan isyak.

Pembacaanya dilakukan antara adzan dan iqomah dengan suara

keras (menggunakan speaker atas/ horn/ load speaker). Diantara

fungsinya selain untuk menunggu jamaah, juga untuk syiar dari isi

pujian dan memberikan pendidikan kepada masyarakat melalui

kandungan isi pujian yang dibaca tersebut. Kemudian

memanfaatkan waktu, sebagaimana ungkapan fatah yakni tujuan

pujian aialah ingin memanfaatkan waktu menunggu pelaksanaan

shalat daripada bercengkerama saat menanti datangnya imam

jama’ah (Fatah, 2012: 202). manfaat lain dari pujian sebelum

1
Edi Purwanto, “Puji-pujian Menjelang Shalat Jamaah,” 04 Oktober 2010, diakses pada
28 Maret 2022, https://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/10/04/puji-pujian-
menjelang-shalat-jamaah/.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1112, 2008.
sholat, yakni mengambil kesempatan untuk berdoa, kerena doa

pada waktu ini dianggap maqbul, ketika dibaca antara dua adzan,

hal ini didasarkan atas hadis Nabi,Muhammad SAW dari sahabat

Anas, “tidak ditolak doa yang dipanjatkan antara azan dan iqamah

(HR. Abu Dawud, at-Tirmiżī).

Bentuk pujian yang beragam (berbahasa arab, campuran

(arab /syair dengan artinya) atau bahasa jawa (bahasa yang sesuai

dengan jamaah masjid tempat penelitian) merupakan ekspresi seni

yang merupakan hasil renungan para tokoh masyarakat. Ini sejalan

dengan pendapt Amin yaitu ekspresi seni dapat disaksikan dalam

bentuk seni suara atau musik, dan sastra.

Tradisi pujian dan singiran tersebut merupakan hasil dialog

yang harmonis antara agama (Islam) di satu sisi dan budaya lokal

(Jawa) di sisi lain. Tradisi pujian tidak bisa dipisahkan dengan seni

sastra keagamaan (Islam) Jawa khususnya yang berbentuk puisi

yaitu singir

Kegiatan pujian secara istilah diartikan sebagai bentuk

memuji kepada Allah dan rasulNya, baik menggunakan bahasa

jawa, arab maupun kombinasi antara arab dengan jawa yang

didalamnya mengandung nilai nilai keagamaan yang luhur berupa

nasehat untuk berbuat baik. Kegiatan pujian ini sudah menjadi

kebiasaan masyarakat masjid desa Sukoharjo Plemahan Kediri


dalam kurun waktu lama. Kebiasaan dalam kurun waktu lama

inilah yang menjadikan sebuah tradisi. Pelaksanaan pujian di

masjid-masjid ini sama secara waktunya, yakni antara adzan dan

iqomah. Adapun lama atau durasi membaca pujian, antara masjid

satu dan lainya beragam, artinya ada yang lama dan ada yang

singkat.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya

selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi

dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut

berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang

memiliki berbagia keutamaan.

Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam

Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya:

“Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu

membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada

Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah?

Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan

dicapai kecuali oleh seorang, dan saya  berharap semoga sayalah

orangnya”.3

3
Faiqotur Rosidah, “Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu”, 06
Desember 2010, diakses pada 28 Maret 2022, https://islam.nu.or.id/ubudiyah/ajaran-
tasawuf-dalam-puji-pujian-menjelang-shalat-fardlu-ae2K3.
Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren

dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para

walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti

yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang

digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan

adalah  pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai

dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan

Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan

tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi

unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng,

Jithungan dan Delikan

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang

menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari

bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf)

atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan

sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan

secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk

Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula.

Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa

teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh

Abdul Qadir Jailani.


Puji-pujian yang diperdengarkan di musalah berisi

shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-

pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid

kental dengan ajaran Tasawuf.

C. Dalil Muraqqi

Muraqqi adalah petugas yang menyuruh jamaah jum’at

memperhatikan sebelum khatib naik mimbar, lebih tepatnya,

muraqqi adalah bilal sholat jum’at.4 Sebelum seorang khatib maju

menuju mimbar dan menyampaikan khutbahnya, muraqqi

membacakan tarqiyyah, bacaan tersebut memiliki makna sebagai

tanda bahwa khatib jum’at akan segera naik ke mimbar, dan bacaan

tersebut menyerukan jamaah agar memperhatikan berlangsungnya

shalat jum’at.

Berikut teks pembacaan tarqiyyah:

‫يْر َة‬ ‫ر‬ ‫ه‬ ‫ىِب‬


‫َأ‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ِ
‫و‬ ‫ر‬ ، ِ ‫ وزمْر َة الْم ْؤ ِمنِني رمِح ُكم‬،‫اشرالْمس لِ ِمني‬
‫اهلل‬ ِ
َ َ ُ ْ َ َ ُ ُ َ َ َ ُ َ ُ َ َ ْ ُ َ ‫َم َع‬
ِ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ
‫ت‬َ ‫ ِإذَا ُق ْل‬ ‫ص لَّى اهللُ َعلَيْه َو َس لَّ َم‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َ‫ ق‬،‫َرض َي اهللُ َعْنهُ َأنَّهُ قَ َال‬
ِ ْ‫ واِْإل م ام خَي ْطُب َف َق ْد لَغَ وت (َأن‬،‫ت‬ ِ ِ َ ِ‫احب‬ِ ‫لِص‬
‫ص تُوا‬ َ ْ ُ ُ َ َ ْ ‫ك َي ْو َم اجْلُ ُم َع ة َأنْص‬ َ
‫َأطيعُ وا لَ َعلَّ ُك ْم‬ِ ‫ص تُوا وامْس عوا و‬ ِ ‫َأطيع وا رمِح ُكم‬
ِ ْ‫×) َأن‬٢ ‫اهلل‬ ِ
َ َُ َ ُ َ َ ُ ‫َوامْسَعُوا َو‬
×١ ‫ُت ْرمَحُو َن‬

4
LDSI ONLINE, “Dalil Muraqqi (Bilal Sholat Jum’at)”, 19 November 2019, diakses
pada 28 Maret 2022, https://www.Idsionline.com/2019/11/dalil-muraqqi-bilal-sholat-
jumat.html?m=1
Setelah bilal selesai membaca kalimat diatas, kemudian

khatib maju menerima tongkat dan ketika naik ke atas mimbar,

bilal membaca do’a shalawat:

‫ص ِّل َعلَى َس يِّ ِدنَا َو َحبِيبِنَ ا‬ ٍ ِ


َ ‫ اللَّٰـ ُه َّم‬، ×٢ ‫ص ِّل َعلَى َس يِّدنَا حُمَ َّمد‬
َ ‫اللَّٰـ ُه َّم‬
‫َو َش ِفيعِنَا َو َم ْوالَنَ ا حُمَ َّم ٍد َو َس لِّ ْم َو َر ِض َي اهللُ َتبَ َار َك َوَت َع اىَل َع ْن َس َادتِنَا‬
ِ ِ ِ ‫اب رس‬ ِ ْ
َ ‫ول اهلل َأمْج َع‬
‫ني‬ ُ َ ‫َأص َح‬

Kemudian setelah khatib berada di atas mimbar,


bilalmenghadap kiblat dan membaca do’a berikut :

،‫ص ِّل َو َس لِّ ْم َعلَى َس يِّ ِدنَا َو َم ْوالَنَ ا حُمَ َّم ٍد َو َعلَى ِآل َس يِّ ِدنَا حُمَ َّم ٍد‬
َ ‫اللَّٰـ ُه َّم‬
ِِ ِ ِ ِِ ِ
‫ني‬
َ ‫ َوالْ ُم ْؤ من‬،‫ني َوالْ ُم ْس ل َمات‬ َ ‫ م َن الْ ُم ْس لم‬،‫ َواِْإل ميَا َن‬ ‫اللَّٰـ ُه َّم َق ِّو اِْإل ْس الَ َم‬
‫ِّين‬ ِِ ِ ‫ اَْألحي ِاء ِمْنهم واَْألم‬،‫ات‬ ِ َ‫والْمْؤ ِمن‬
َ ‫ص ْر ُه ْم َعلَى ُم َعان د ْي الد‬ ُ ْ‫ َوان‬،‫ْوات‬ َ َ ْ ُ َْ ُ َ
‫ني‬ ‫مِح‬
ِ َّ ‫ك يآَأرحم‬ ِ ِ ‫َّاص ِر‬ ِ ‫ ي اخير الن‬، ِ َ‫ك بِاخْل‬ ِ ِ ‫ب‬
َ ‫الرا‬ َ َ ْ َ ‫ بَرمْح َت‬،‫ين‬ َ َ ْ َ َ ‫اخت ْم لَنَا مْن َ رْي‬ ْ ِّ ‫َر‬

Dari bacaan-bacaan diatas mengandung empat hal, diantaranya:

1. Anjuran mendengarkan secara seksama khutbah yang

disampaikan khatib.

2. Larangan berbicara saat khutbah sedang berlangsung.

3. Pembacaan shalawat kepada Nabi.

4. Mendo’akan kaum muslimin dan muslimat.


Tradisi pembacaan tarqiyyah menurut mayoritas ulama

adalah bid’ah hasanah (positif). Meskipun tidak perna dilakukan

pada zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, namun isi

kandungan tarqiyyah mengarah kepada hal yang positif. Tidak

setiap hal baru disebut bid’ah yang tercelah selama tercakup dalam

dalil-dalil anjuran umum, maka tergolong hal yang baik,

sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam kajian bid’ah.5

Syekh Syihabuddin al-Qalyubi mengatakan :

‫ اختاذ املرقي املع روف بدع ة حس نة ملا فيه ا من احلث على‬- ‫ف رع‬
‫الص الة علي ه ص لى اهلل علي ه وس لم بق راءة اآلي ة املكرم ة وطلب‬
‫اإلنص ات بق راءة احلديث الص حيح ال ذي ك ان ص لى اهلل علي ه وس لم‬
‫يق رؤه يف خطب ه ومل ي رد أن ه وال اخللف اء بع ده اختذوا مرقيا‬

“(sebuah cabangan permasalahan). Mengangkat muraqqi

sebagaimana tradisi yang berlaku adalah bid’ah yang baik karena

mengandung hal yang positif berupa anjuran membaca shalawat

kepada Nabi dengan membaca ayat al-quran, anjuran diam saat

khutbah dengan menyebutkan dalil hadits shahih yang dibaca Nabi

dalam beberapa khutbahnya. Tidak ada dalil yang menyebutkan

bahwa Nabi dan khalifah setelahnya mengangkat seorang

muraqqi.” (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi

5
M. Mubasysyarum Bih, “Dasar Hukum Bacaan Bilal Menjelang Khatib Naik Mimbar
Khutbah” 20 Maret 2018, diakses pada 28 Maret 2022, https://islam.nu.or.id/jumat/dasar-
hukum-bacaan-bilal-menjelang-khatib-naik-mimbar-khutbah-jDe9G
‘ala al-Mahalli, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, Juz 1

halaman 419).

Kesimpulannya, tradisi pembacaan tarqiyyah merupakan

hal yang baik untuk dilakukan dan dilestarikan. Meski ulama masih

berbeda pendapat mengenai status bid’ahnya, namun mereka

sepakat dalam satu titik kesimpulan yaitu tradisi tersebut bukan hal

yang tercela, bahkan terdapat banyak hal yang positif. Oleh karena

itu, tidak ada sama sekali dasar yang kuat untuk melarang atau

menghakimi hal tersebut sesat.

D. Khatib Memegang Tongkat

Memegang tongkat termasuk perkara yang dianjurkan bagi

seorang khatib dalam khutbahnya, demikian dalam mazhab Imam

As Syafi’I dan mazhab imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal.

Jumhur (mayoritas) ulama’ mengatakan bahwa Sunnah hukumnya

bagi seoorang khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya

pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA

didalam kitab al-Umm :

ِ َ‫اهلل ص لَّى اهلل عل‬ ِ ‫َأن رس و َل‬ ‫(قَ َال َّ ِ ِ مِح‬


‫يْه‬ َُ َ ْ ُ َ َّ ‫الش افع ُّي َر َ هُ اهللُ َت َع اىَل ) َبلَغَنَ ا‬
‫ب ُم ْعتَ ِم ًدا‬ ‫ط‬
َ ‫خ‬ ‫يْل‬ ِ‫ وقَ ْد ق‬.‫وس لَّم َك ا َن ِإذَا خطَب اِعتم َد علَى عص ى‬
َ َ َ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ ََ
ِ ِ َ ِ‫علَى عْنز ٍة وعلَى َقو ٍس و ُك ُّل َذال‬
‫َأخَبَرنَا‬
ْ ‫ال‬ ُ ‫الربِي‬
َ َ‫ْع ق‬ َّ ‫َأخَبَرنَا‬
ْ .‫ك ا ْعت َم ًادا‬ َ ْ ََ َُ َ
‫ص لَّى‬ ِ
َ ‫َأن َر ُس ْو َل اهلل‬ َّ ‫ث َع ْن َعطَ ٍاء‬ ٍ ‫الش افِعِي قَ َال َأخبرن اَ ِإبْر ِاهيم عن لَي‬
ْ ْ َ ُ ْ َ ََ ْ ُّ َّ
‫ب َي ْعتَ ِم ُد َعلَى عُْنَزتِِه اِ ْعتِ َم ًادا‬ ‫ِإ‬ ِ
َ َ‫اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن َذا َخط‬
“(Imam Syafi’I RA berkata) mudah-mudahan Allah SWT

memberikan rahmad kepada beliau, dan telah sampai kepada kami

(berita) bahwa ketika Rasulullah SAW berkhutbah beliau

berpegang pada tingkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah

dengan menggunakan tongkat pendek dan anak panah. Semua

benda-benda itu dijadikan tempat bertumpuh (pegangan). Al-Rabbi

mengabarkan dari Imam Syafi’I dari Ibrahim, dari Laits dari Atha,

jika Rasulullah SAW berkhutbah beliau memegang tongkat

pendeknya untuk dijadikan tumpuhan.” )Al-Umm,juz I, hal 272).

Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW :

“Diriwayatkan dari Said bin A’idz, “sesungguhnya

Rasulullah SAW ketika berkhutbah dalam kondisi perang, beliau

memegang busur panah. Dan manakalah berkhutbah untuk shalt

jum’at beliau memegang tongkat.” (Sunan Ibn Majah, [1096])


Hadits ini secara tegas menjelaskan bahwa Nabi SAW

memegang tongkat ketika membaca khutbah. Dalam hadits yang

lain Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِ ‫يْق الطَ اِئِفي قَ َال َش ِه ْدناَ فِيه ا اجلمع ةَ م ع رس و ِل‬


‫اهلل‬ ِ ‫َع ْن ُش َعْي‬
ٍ ‫ب بْ ِن ُزر‬
ْ ُ َ َ َ َ ُْ َ ْ ِّ َ
ِ
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َف َق َام ُمَت َو ِّكًئا َعلَى َع‬
, ‫صا َْأو َق ْوس (سنن ايب داود‬ َ
)824 ‫رقم‬

“Dari Syu’aib bin Zurayq al-Tha’ifi ia berkata “kami

menghadiri shalat jum’at pada suatu tempat bersama Rasulullah

SAW. Maka beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau

busur panah.” (Sunan Abi Dawud [824]).

Jadi berdasarkan dalil-dalil tersebut, seorang khatib

disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya selain

mengikuti jejak Rasulullah SAW, juga dimaksudkan agar seorang

khatib lebih khusu’ dan berkonsetrasi pada khutbah yang

disampaikannya.

E. Dzikir dengan Tasbih

Dzikir merupakan istilah yang sangat popular di masyarakat

muslim. Kegiatan tersebut sering dilakukan setelah shalat lima

waktu atau shalat Sunnah sebagaimana diperintahkan oleh Allah

SWT dan Rasul-Nya. Nabi SAW mengajarkan umatnya untuk


berdzikir, dalam arti mengingat, memuji dan berdo’a dengan

menyebut asma Allah.

 Dzikir berasal dari kata dzakara, yadzukuru atau dzukr/dzikr

yang memiiliki arti perbuatan dengan lisan (menyebut,

menuturkan, mengatakan) dan dengan hati (mengingat dan

menyebut). Kemudian ada yang berpendapat bahwa dzukr

(bidlammi) saja, yang dapat diartikan pekerjaan hati dan lisan,

sedang dzkir (bilkasri) dapat diartikan khusus pekerjaan lisan.

Selanjutnya, secara istilah sendiri, pengertian dzikir tak

terlalu jauh dari makna-makna lughawi. Di dalam kamus modern

seperti al-Munawir, alMunjid, dan sebagainya, sudah pula

menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr

dengan arti bertasbih, mengagungkan Allah swt. dan seterusnya.

Dalam pelaksanaannya, dzikir di masyarakat memakai alat

tertentu. Alat yang dimaksud dalam hal ini dikenal dengan

sebbutan “tasbih” atau “biji tasbih”. Keberadaan dzikir dengan

menggunakan biji tasbih merupakan sesuatu yang jamak dilakukan

oleh masyarakat muslim Arab pada masa Nabi SAW. Diantaranya

adalah sebagaimana dapat dicermati dalam hadits riwayat Sa’d ibn

Abi Waqqash bahwa dia bersama Rasulullah melihat seorang

perempuan sedang berdzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat

biji-bijian atau kerikil yang ia digunakan untuk menghitung dzikir.


Namun juga ada informasi bahwa seorang sahabat Nabi

SAW. Shafiyah binti Hayay melakukan Dzikir dengan tangan

biasa. Hal terseut tidak diingkari oleh Rasulullah SAW., beliau

hanya memberikan cara yang lebih muda atau lebih utama,

disbanding apa yang dilakukannya dengan menghitung banyak biji

atau kerikil yaitu dengan lafal dzikir tersebut. Karena memang

adakalanya dzikir dianjurkan untuk dibaca dalam bentuk jumlah

tertentu. Sehingga menjadikan para pelakunya memanfaatkan suatu

alat yang berfungsi untuk membantu mengingat jumlah bacaan

dzikir yang berbilang tersebut dapat dilakukan dengan

menggunakan alat tertentu, yaitu memakai biji-bijian yang

dirangkai dengan jumlah tertentu yang disebut dengan istilah

‘tasbih’.

 hadis riwayat Shafiyyah bint Huyai. Ia berkata:

ِ َ‫اهلل ص لَّى اهلل عل‬


َّ ‫يْه وآل ه َو َس لَّ َم َو َبنْي َ يَ َد‬
ُ‫ي َْأر َب َع ة‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫َد َخ َل َعلَ َّي َر ُس‬
َُ َ
‫ك بَِأ ْكَثَر مِم َّا‬
ِ ‫ُأعلِّم‬ ِ ِ ‫ِ هِب‬ َ َ‫ ق‬،‫ُأسبِّ ُح هِبَا‬
ُ َ ‫ َأاَل‬،‫ «لََق ْد َس بَّ ْحت َذه‬:‫ال‬
ٍ ِ
َ ‫آاَل ف َن َواة‬
ِ ‫ س بحا َن‬: ‫ «قُ ويِل‬:‫ َف َق َال‬. ‫ بلَى علِّميِن‬:‫ت؟» َف ُق ْلت‬
‫اهلل َع َد َد‬ ِ ‫س بَّح‬
َْ ُ َْ َ ُ ْ َ
‫َخ ْل ِق ِه» أخرجه الرتمذي‬

“Rasulullah saw. mendatangiku sedangkan di hadapanku

terdapat empat ribu biji yang aku bertasbih dengannya. Rasulullah


saw. pun bersabda, “Sungguh kamu telah bertasbih dengan

menggunakan ini, Perhatikanlah aku akan mengajarimu yang lebih

banyak dari pada tasbihmu.” Lalu aku berkata, “Iya, ajarilah aku.”

Kemudian beliau bersabda, “Bacalah Subhanallah adada khalqih

(Subhanallah sebanyak ciptaan Nya). (HR. At-Tirmidzi).

Riwayat dari Al-Qasim bin Abdirrahman, ia berkata:

ٍ ِ‫ْو ِة يف ك‬
،‫يس‬ ِ ِ
َ ‫َك ا َن َأِليب ال د َّْر َداء رض ي اهلل عن ه َن ًوى م ْن َن َوى الْ َعج‬
‫اح دةً يُ َس بِّ ُح هِبِ َّن َحىَّت‬
ِ ‫اح َدةً و‬
َ
ِ ‫فَ َك ا َن ِإذَا ص لَّى الْغَ َداةَ َأخْرجه َّن و‬
َ َُ َ َ
.‫َيْن َف ْد َن” أخرجه أمحد يف “الزهد” بسند صحيح‬

Abu Darda’ r.a. memiliki sejumlah biji kurma di dalam

sebuah kantong. Saat ia melaksanakan salat di pagi hari, ia

mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih dengan biji-biji itu

sampai habis. (HR. Ahmad).

Selain itu terdapat riwayatnya cucu Abu Hurairah yang

bernama Nu’aim bin Al Muharrar bin Abu Hurairah. Ia mendapat

cerita dari kakeknya (Abu Hurairah) yang memiliki sebuah tali

yang mempunyai seribu ikatan. Abu Hurairah tidak akan tidur

sampai ia bertasbih dengan menggunakan seribu ikatan tali

tersebut. Riwayat ini terdapat di dalam kitab Zawaiduz Zuhud


karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Abu Nu’aim dalam

Hilyatul Auliya nya.6

Masih banyak riwayat-riwayat lain yang membahas tentang

pemakaian tasbih yang dilakukan oleh Saad bin Abi Waqqas, Abu

Said Al-Khudri, Abu Shafiyyah, Fathimah dan para sahabat serta

tabiin lainnya. Bahkan sejumlah ulama seperti imam As-Suyuthi

telah menulis satu kitab khusus terkait disyariatkannya berzikir

menggunakan tasbih. Beliau menulis karya yang berjudul Al

Minhah Fis Sabhah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa hokum berdzikir

menggunakan tasbih ialah Sunnah dan disyariatkan bahkan telah

dilakukan oleh para sahabat dan tabiin. Hanya saja dulu

menggunakan kerikil, biji-bijian atau seutas tali. Sementara pada

zaman ini sudah banyak tasbih dengan berbagai bentuk, bahkan ada

yang berbentuk digital dengan memencet tombol untuk

menghitung angka jumlah dzikir kita.

6
Annisa Nurul Hasanah, “Hukum Berzikir Menggunakan Tasbih”, 12 Januari 2019,
diakses pada 28 Maret 2022, https://bincangsyariah.com/ubudiyah/hukum-berzikir-
menggunakan-tasbih/

Anda mungkin juga menyukai