terbaik/pilihan (HR. Daraquthni, dari Ibn Umar) dan paling senior )ْْ ْ َولْيَؤ مؤُكَّ مُ ْْأَ َْْؤ مؤكمأ.
Muttafaq 'alayh). Kriteria atau syarat imam menurut sunnah Nabi saw yaitu:
1. Orang Islam yang paling fasih bacaan dan penguasaannya terhadap Al-Qur'an
)ِِؤبِأ
ِ َ(َقْؤؤكمُمُْأألِ ُِت1. Bila semua jamaah memiliki kefasihan dan
ْ َ penguasaan
yang sama terhadap Al-Qur’an, barulah cari yang imam:
2. Yang paling paham tentang al-Sunnah ))(فَؤَ ََْْ مُ مُ ْْأ ِبل نُّؤة ِك. Jika peguasaan as-
Sunnah inipun sama, maka berikutnya:
ِ ََُّْ(فَ َقْ َؤ,
)أُ ْْ َؤك أ\ ِسؤَُْب
3. Yang paling senior keislamannya
ْ مم yakni yang paling
paling duluan berhijrah atau paling duluan berislam.
ِ ُْ( (َ ْْ ؤؤكHSR. Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah
)أسؤة)ب
4. Yang paling tua usianya
ْ َ مم
dari Abu Mas'ud). Ini berarti faktor usia tua, menjadi pertimbangan terakhir
setelah 3 kriteria sebelumnya terpenuhi. Bahkan para sahabat pernah
mengangkat ‘Amr bin Salamah sebagai imam saat masih berumur 7 tahun.
Dasarnya adalah hadis berikut:
أَْْي ِؤَ َأو َسؤَك َْلأ َؤ مؤُنأألْل َ ؤ ٍَْأَقْ ؤ َؤكمُمُ ْْأ ِ ؤبَأقسؤ م َ َاؤؤب ِقاأق ا
َ ؤٍَأِأ َ ؤَكيأِم ؤبَلأقَ َ َ م َ َْ ْؤْأََِي
َ ْأَّ ُّْ مؤوٍ أألْنَص
أس ؤ َؤٍألَلأ ِ ِ ٍأس ؤؤٍألَلأفَؤ ؤَ ََْْ مُ مُ ْْأ ِبل نُّ ؤ ؤة ِك)إأفَؤ ؤِن ْوأ َْ ؤؤبصم ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
َ )ألأَأألل نُّ ؤ ؤةك َ َ ََلُتَ ؤؤبِأِإأفَؤ ؤن ْوأ َْ ؤؤبصمٍألأَأألْل ؤ َؤكأل
ِ َََُّْ ْألأَأألْهلِْكِأسٍألَأفَ َق ِ ِ
أ[قوألهأََُّّْ] أ.أس َُْب ْ فَ َقْ ََ مَّ مُ ْْأُ َْْك إأفَن ْوأ َْبصمٍ ِ ْ َ َ َ ل م م
Artinya: “Dari Abu Mas'ud al-Ansari berkata: Rasulullah saw bersabda: 'Yang (paling
berhak) mengimami sebuah kaum adalah yang paling bagus bacaan al-Quran di antara
mereka. Jika mereka bacaannya sama (bagusnya) maka yang paling mengerti hadis. Jika
Dosen FAI UMY; Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah; Penulis Buku: Shalat Sesuai
Tuntunan Nabi saw: Mengupas Kontroversi Hadis sekitar Shalat (Yogyakarta, LPPI UMY, cet-14,
2016), Buku Kuliah Fiqh Ibadah (Yogyakarta, LPPI UMY, cet-5, 2016).
1
Penguasaan terhadap Al-Qur'an di sini maksudnya adalah paling bagus bacaan dan hapalan
al-Qur'annya. Bahkan, Sâlim mawla/mantan budak Abi Hudzayfah –karena hapalan al-Qur'annya
paling banyak--, maka ia diangkat jadi imam shalat oleh kaum Muhajirin di Qubâ', sebelum kedatangan
Nabi saw. (HSR. Al-Bukhâri, 1/178: 692)
2
mereka dalam hadis sama (pengetahuannya) maka yang paling dahulu berhijrah. Jika
mereka dalam berhijrah sama maka yang paling dahulu masuk Islam.” [HSR. Muslim].
Catatan: Semua yang diangkat jadi imam shalat, harus memiliki akhlaq yang baik,
2
HSR. Al-Bukhâri, juz 1, hlm 254 no: 690; Muslim, juz 1 hlm 324 no: 433.
3
3
Lihat: Ahmad, Musnad, 4/349: 18453.
4
HSR. Abu Dâwud, 1/235: 666; Ahmad, 2/153: 5724; al-Bayhaqi, 3/101: 4967.
4
”Sempurnakan (penuhi) shaf yang di depan lebih dahulu, kemudian shaf yang
berikutnya!” (HSR. Abu Dâwud, 1/252: 671 & Ahmad, 3/233: 13464)
Susunan shaf terbaik bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shaf
terbaik bagi perempuan adalah yang paling belakang.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍفأ ِ ايؤكأ مف
بأو َشنكَُبأَ كَومهلَب
َ َُبأو َاْيؤ مكأ م مفٍفأأللة َُّبَأآا مك َ َأللك َجبَأَكومهل
َ َُبأو َشنكَُبأآا مك َْم م
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah di depan, dan seburuk-buruknya adalah di
belakang, namun sebaik-baik shaf perempuan adalah di belakang, dan seburuk-
buruknya adalah di depan.” (HSR. Jama`ah kecuali al-Bukhari, dari Abu
Hurayrah ra.)
Anas bin Mâlik ra menceritakan posisi shalat dua ma’mum laki-laki dan seorang
ma’mum perempuan bahwa:
ِ ِ ِ ََكيتأَص
َ ْأسَْي ا
.أاَْ َفةَب َيأِأَْيَأوسَْأوَمَّيأَمن م
َ ِ ِفأأللة
كبأ َ َيْ ِأَأَِؤْيتة
َ َْبأا بأوَت ل
َ َْ م
“Saya shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi saw,
sedangkan ibuku Ummu Sulaym shalat di belakang kami.” (HSR. Al-Bukhâri,
1/185: 727; al-Nasâ’i, 2/118: 869)
Hadis di atas sekaligus memberitahukan bahwa shaf anak laki-laki berada
bersama shaf laki-laki dewasa, dan tidak dikumpulkan dalam satu shaf bersama
anak-anak lainnya.5 Hanya saja, ketika jamaahnya banyak, maka untuk posisi
shaf pertama di belakang imam dan sekitarnya, dianjurkan oleh Nabi saw supaya
ditempati oleh orang yang terbaik setelah imam, namun yang sudah
dewasa/baligh dan berakal (نُؤؤي ِ ْ )َمولمؤؤٍأألن, demikian seterusnya (HSR.
َ َحؤالَ َأوأللةؤ
Muslim, 2/30: 1000; Abu Dâwud, al-Nasâ’i & Ahmad). Hal ini dimaksudkan
supaya bisa menjaga keberlangsungan jamaah yakni: menggantikan imam jika
imam batal atau mengingatkan bacaan imam jika lupa.
3. Jika ma’mum hanya seorang, maka posisi shafnya berada di sebelah kanan imam.
Ketika Ibn ‘Abbas ra sendirian datang berma’mum shalat malam di sebelah kiri
Nabi saw, maka Ibn ‘Abbas ditarik oleh Nabi saw untuk diposisikan di sebelah
kanan Nabi saw (َأمِيةِ ِأؤ َ ِ فَ َْ َوَؤ. Muttafaq ‘alayh). Umumnya riwayat tersebut
َ ْأأْ ْؤ 6
tidak menyebutkan sejajar, namun ada satu riwayat Ibn 'Abbâs bahwa ketika ia
5
Hadis yang menyatakan bahwa shaf anak laki-laki ( الْغِلْ َمان/الصْب يَان
ِ ) di belakang shaf laki-
laki dan di belakang mereka adalah shaf perempuan, ternyata hadis daif riwayat Ahmad (5/344:
22962), Abu Dâwud (1/253: 677), al-Bayhaqi (3/97: 5371) & al-Thabrâni (al-Kabîr, 3/468: 3358)
karena melalui Syahr bin Hawsyab yang memang daif, dari Abu Mûsa al-‘Asy’ari ra.
6
Al-Bukhâri, 1/40: 117, 1/47; Muslim, 2/178: 1824, 2/179: 1827, 2/183: 1841. Sebagian
riwayat menjelaskan bahwa Nabi saw memegang kepala Ibn ‘Abbâs, sebagiannya lagi menyebutkan
memegang telinga kanannya lalu ditarik lewat belakang pindah ke sebelah kanannya, dan ada juga
yang menyebutkan Nabi saw memegang lengan atasnya lalu memindahkan ke kanannya.
5
7
HSGR: Hadis sahih gharîb riwayat Ahmad, 1/330: 3061 & al-Bayhaqi, Syu‘ab., 3/102,
melalui Hâtim bin Abi Shaghîrah dari ‘Amr bin Dînâr dari Kurayb (mawlâ Ibn ‘Abbâs, w 98 H) dari
Ibn ‘Abbâs. Al-Arnâ’ûth menilai hadis ini sahih sesuai syarat al-Syaykhâni (yakni: al-Bukhari &
Muslim), meskipun tidak disepakati keduanya. Memang para periwayat tersebut secara perseorangan
digunakan oleh al-Bukhâri & Muslim, namun tidak dengan rangkaian periwayat (sanad) tersebut.
Hâtim bin Abi Shaghîrah --meskipun kritikus pada umumnya menilainya kuat--, namun Abu Hâtim al-
Râzi memberikan catatan tambahan bahwa hadisnya hanya shâlih/cukup baik (peringkat ta‘dîl ke-6).
Al-Hâkim, 3/615: 6279, juga meriwayatkan hadis ini tapi melalui Abi Kurayb dari Ibn ‘Abbâs, padahal
‘Amr bin Dînâr (w. 184 H) mustahil meriwayatkan dari Abu Kurâyb yang wafat 248 H.
8
Ketika ‘Abdullah bin ‘Utbah berma’mum di belakang ‘Umar bin al-Khaththâb, maka ‘Umar
menariknya ke sebelah kanannya. Tatkala Yarfâ datang, iapun mundur lalu berbaris di belakangnya
(ا َف ْفةَبأوقألَأهم
َ َف. HR. Malik, 1/154: 360). Ada HR. Ahmad (3/326: 14536) & Ibn Khuzaymah (3/18: 1535)
َ ََ
dari Jâbir yang berbunyi: بأاَْ َفأَم
َ َا َف ْفة
َ َ ف: “Lalu kami pun berbaris di belakangnya”, namun sanad hadis
ini daif karena melalui Syurahbîl bin Sa‘ad.
9
Jâbir ra menceritakan bahwa ia pernah berma’mum pada Rasulullah saw sendirian dan
berdiri di sebelah kiri beliau. Saat itu Rasulullah saw menariknya pindah ke sebelah kanan beliau. Lalu
datang Jabbâr bin Shakhr berdiri di kiri beliau,“maka Rasulullah saw memegang tangan kami lalu
mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau.” (HSR. Muslim, 8/232: 7705; Abu Dâwud,
al-Hâkim dan al-Bayhaqi). Ada HR. Ibn Khuzaymah (3/18: 1536) dan al-Thabrâni (al-Awsath, 8/375:
8918), dari Jâbir bahwa ketika Jabbâr datang menyusul dan berdiri di kiri Rasulullah saw, فَؤتَؤ َ كَ َ َأق مسأٍ مأَأ
ْأَْْي َِ َأو َسَك ِ ك: “maka Rasulullah saw maju”. Hanya saja kedua riwayat ini bermasalah, yakni
ألَّللأ َ َكيأ ك
َ ألَّللم
Ibn Khuzaymah karena melalui Sa‘îd bin Abi Hilâl yang mukhtalith (kacau hapalannya), sedangkan al-
Thabrâni karena melalui Ibn Lahî‘ah yang juga kacau hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar.
6
dengan jamaah lain. Hal ini karena: 1) Pada prinsipnya, shaf depan lebih baik
dari pada shaf belakang. Kita disunnahkan menyempurnakan shaf depan lebih
dulu, bukan malah menguranginya; 2) Bisa merusak/mengganggu konsentrasi
jamaah karena akan menggeser shaf yang sudah mapan dan sempurna di depan,
3) Hadis yang biasa dijadikan landasan untuk menarik seorang jamaah untuk
menemani ma'mum yang sendirian di belakang adalah lemah sekali , bahkan
palsu.10 Sedangkan hadis yang menyebutkan tidak sah orang shalat di belakang
sendirian (HR. Abu Dâwud, Ibn Mâjah) adalah maqbûl, tapi maksudnya adalah
shalat sendiri yang terpisah jauh dari jamaah, apalagi tidak bergabung dengan
jamaah yang ada.
4. Jika ma’mum hanya seorang laki-laki & seorang perempuan, maka posisi
ma’mum laki-laki di sebelah kanan imam, sedang perempuan di belakang
ma’mum laki-laki. Kata Anas ra. bahwa ketika Rasulullah saw mengimami
ِِ ِ
dirinya dengan ibunya atau bibinya: أاَْأ َفةَب َ ِ َّ أفََقَ َب:
َ ََأْ ْْ أَميةَ َأوَقَب َ أأللْ َُ ْك “maka
beliau menjadikan aku berdiri di sebelah kanannya & perempuan di belakang
kami.” (HR. Muslim, 2/128)
5. Jika ma’mumnya hanya ada seorang wanita saja maka tidak boleh berjama’ah
berduaan dengan diimami laki-laki yang bukan mahramnya atau bukan
suaminya. Selain karena tidak ada hadis yang maqbûl yang menceritakan bahwa
Nabi saw pernah mengimami seorang perempuan yang bukan istri dan
mahramnya,11 juga karena hal ini sama dengan berkhalwat yang dilarang Nabi
saw (Muttafaq ‘alayh). Tapi kalau seorang istri –misalnya--, berma’mum pada
suaminya sendiri dan tidak ada jamaah lainnya, maka posisinya berada di sebelah
10
Hadis daif dan mawdlû‘ riwayat al-Thabrâni, al-Mu‘jam al-Awsath, juz 7 hlm 374, no:
7764: “Apabila salah seorang terhenti untuk masuk shaf (depan) karena telah penuh, maka hendaklah
menarik seorang pada shaf tersebut (ke belakang) untuk berdiri di sampingnya.” Hadis ini sangat
lemah, termasuk hadis munkar karena ada periwayat Bisyr bin Ibrâhim al-Anshâri si pendusta dan
pemalsu hadis. (Lihat al-Haytsami, Majma‘.,2/259: 2537) Lebih rinci tentang Bisyr bin Ibrâhîm, lihat
Ibn al-Jawzi, al-Mawdlu‘ât, juz 2/266 dan juz 3/124; Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., 2/351; Mahmûd Zâyid,
al-Majrûhîn Ibn Hibbân, 1/189; Ibn ‘Addi, al-Kâmil fi al-Dlu‘fâ’, 2/13-14; al-‘Uqayli, al-Dlu‘afâ’.,
1/142; Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, 2/18-20.
Ada hadis yang menceritakan bahwa: أحَُّةبَ أ ِ ِ ِ ت أألَّكَلأتم
ِ
ف َأق مسٍَ أِ أ ََكي أ كألَّللمأأََْْيَ َأو َسَك َأْ َ ْ م
َ َْيأا
َ َاَ َ ْ ََْبص
11 ِ
kanan suaminya yang menjadi imam dengan dasar posisi ma’mum satu orang
adalah di sebelah kanan imam, atau boleh juga di belakangnya dengan dasar shaf
perempuan adalah di belakang shaf laki-laki. Pendapat kedua ini dipegangi oleh
mayoritas ulama. Yang jelas, jangan di kirinya karena tidak ada satupun dalil
yang menuntunkan bahwa posisi ma'mum istri satu orang berada di sebelah kiri
suaminya.
6. Imam perempuan hanya boleh mengimami sesama perempuan dan anak yang
belum baligh. Posisi shaf imam perempuan sejajar dengan ma’mum perempuan
dan berada di tengah shaf awal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh 'A'isyah
dan Ummu Salamah ra. (HSliGR. Al-Bayhaqi, ‘Abdurrazzâq & al-Dâruquthni).
7. Selesai shalat, imam hendaknya duduk sejenak untuk istighfar dan berdoa
singkat, lalu menghadap ke ma’mum/jamaah (َج ُِ ِأؤ
ْ ٍِ أَْْيؤةَؤبأ
ََ َ َقْؤَؤ . HSR. Al-
Bukhari 1/214: 815, dari Samurah bin Jundab), bisa ke arah kanan imam --dan
ini yang paling sering Nabi saw kerjakan yakni ِِ ص ِ أ َع ْ أيَس ا
َ ْيَن : berpaling
َ
dari kirinya-- (HSR. Al-Bukhâri, 1/216: 852; Muslim, 2/153: 1672, dari
‘Abdullah bin Mas’ûd), dan bisa juga ke arah kiri, karena Nabi saw pun
ِ ِي ْنص ِ أع أََيِين
melakukannya:
َْ َ َ : “berpaling dari arah kanannya”. (HSR.
Muslim, 2/153: 1674-1675 dari Anas ra.).
8. Jika ada beberapa ma’mum masbûq setelah imam salam, maka para ulama
berbeda pendapat dalam hal mengangkat salah seorang imam di antara sesama
ma’mum masbuq untuk membangun jamaah baru sehingga menjadi jamaah
berantai. Dari berbagai pendapat ulama tersebut, memang penulis belum
menemukan hadis yang secara khusus membicarakan adanya kasus mengangkat
imam baru dari sesama ma’mum masbuq. Oleh karena ini termasuk bagian
ibadah mahdlah yang aturannya menunggu perintah/tuntunan, maka jika sesama
ma’mum masbuq tersebut masih mendapatkan rakaat/ruku’ bersama imam
sebelumnya, maka berdasarkan isyarat hadis: َوََّؤبأفَؤبتَ مُ ْْأفَؤََِمنٍْأل : “dan apa yang
terlewatkan olehmu, maka tinggal kamu sempurnakan” (Muttafaq ‘alayh),
sebaiknya ia menyempurnakan sisa rakaat yang terlewatkan secara sendiri-sendiri
tanpa perlu mengangkat imam baru di antara sesama mereka. Tetapi jika ada
ma’mum masbuq yang benar-benar terlambat dan sama sekali tidak
mendapatkan satu rakaat pun bersama imam sebelumnya (penulis menyebutnya:
masbuq murni), maka hendaknya tetap mengupayakan berjamaah, baik dengan
mengangkat seorang imam dari salah satu jamaah masbuq sebelumnya, ataupun
membangun jamaah baru dengan sesama jamaah yang sama sekali tidak
mendapatkan jamaah. Hal ini karena Nabi saw ketika telah selesai shalat jamaah
bersama para sahabat, beliau melihat ada seorang yang masuk masjid dan tidak
8
lagi mendapatkan jamaah shalat. Mengetahui hal ini, maka Nabi saw
menawarkan pada para sahabat yang mau sedekah jamaah pada orang yang
ketinggalan jamaah:
ِ ِ ِ كقأَْيأُ َ ألأفَؤي
َ اَك
.يأَّ َوَم َ َأَّ َوَمأ؟أفَؤ َب َ َأق مج لأَّ َْأأللْ َ ٍْ أف
َ اَ َي
َ اَ م َ َ م َ َََّ ْْأ َؤت
“Siapa yang mau bersedekah jamaah dengan orang ini? Maka seseorang dari
kaumnya berdiri lalu shalat berjamaah dengannya.” (HSR. Ahmad, 3/45: 11428;
Abu Dâwud, al-Bayhaqi & Ibn Hibbân, dari Abu Sa’îd al-Khudri ra.)
Tetapi kalau masih menemukan jamaah shalat yang masbuq, maka Nabi saw
tidak menawarkan untuk sedekah jamaah sehingga cukup berma’mum pada
salah seorang jama’ah tersebut dan berdiri di sebelah kanannya bila ia
berma’mum sendirian.
9. Boleh berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Ini didasarkan pada riwayat
Jâbir ra bahwa:
ألآلاَكَأُثمكأ َؤ ْكِج معأإِ ََلأ
ِ ألَّللِأ َيأِأَْيَأوسؤَْأأللْوِ َشبَأ
َ ٍَأ ك ِ َ كوأَّوبذَأِْأج ا أ َْب َوأ اَِيأَّعأقس
م َ ََ َم ََ َ ْ َ م
ِ قَؤٍَِّ َِأفَؤي
االََأ َ َِْاَيأِبِِ ْْأت
كأألل ك َْ م
“Sesungguhnya Mu’âdz bin Jabal shalat ‘Isyâ’ yang akhir bersama Nabi saw,
kemudian kembali ke kaumnya lalu shalat bersama mereka dengan shalat itu
juga.” (HSR. Muslim, 2/42: 1070; al-Tirmidzi, al-Nasâ’i)
Melihat redaksi di atas, tampaknya Mu’âdz kembali ke kaumnya untuk
memimpin shalat jamaah di kaumnya setelah shalat berjamaah dengan
Rasulullah saw. Itulah sebabnya hadis ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai
dalil bolehnya berma’mum pada orang yang shalat sunnat, meskipun dengan niat
yang berbeda. Pesan penting dari berbagai hadis tersebut bahwa berjamaah itu
penting, namun jangan membangun jamaah baru bila masih ada jamaah yang
sedang shalat, apalagi shalat sendirian.
Di tiga raka'at terakhir, disunnahkan untuk membaca surat Al-A'lâ pada raka'at
pertama, surat Al-Kâfirûn pada raka'at kedua dan surat Al-Ikhlâsh pada raka'at
ketiga.
Adapun format shalat layl 2-2-2-2-2-1 didasarkan pada hadis ‘Aisyah, Ibn
‘Umar, Ibn ‘Abbas ra, dll. Menurut ‘Aisyah ra:
ِ ِ ِأَّؤؤْأ ؤؤال ِأأللْوِشؤ ِ ِ ألَّللأَْيؤ ِؤَأوس ؤَكْأ ِؤٍَأ ك
ؤبَأ َ َ ْ َ ؤْيأَ ْوأ َؤ ْفؤ مؤك
َ ْ يُؤؤبأَِؤ َ ألَّللأ َ ؤَكيأ كم َ ْ َ َ َ م
َ اؤؤَيأف َْؤؤب َو َأق مسؤ م
ِ ْ دُ ُع ِدل كْع َةَد ِ ِِ ِ ِ ك
ُد َوُ َيأألل ِِتأ َ َْ مٍْأأللةك م
َ َ ْ ؤبسأأللْ َوتَ َُؤ)َأإ ََلأأللْ َف ْْؤكأإ ْحد ََ ََ ْْ َدرَ َكْع َةديُ َُ َ دُ ُ نَد
... ََ اح ِ وَوتِر نِو
َ ُ َُ
“Rasulullah saw mengerjakan shalat (layl) pada waktu antara selesai shalat Isya --
yang disebut orang sebagai ‘Atamah-- sampai fajar, sebelas rakaat. Beliau
mengucapkan salam setiap dua rakaat dan beliau melakukan witir satu rakaat…”
(HSR. Muslim, al-Nasâ’i, Abu Dâwud, Ahmad ra).
Walaupun boleh dan sah mengerjakan shalat malam 1 rakaat namun kebolehan
ini sebaiknya hanya dilakukan jika khawatir masuk waktu Subuh. Tapi jika
waktu Subuh masih lama, hendaknya berwitir minimal 3 rakaat, atau 5 rakaat
atau lebih baik lagi bila minimal 7 rakaat (HSR, Abu Dâwud, al-Nasâ’i). Hal ini
karena menurut ‘Aisyah ra, jumlah minimal shalat malam yang dilakukan oleh
Nabi saw adalah 7 rakaat, sedangkan maksimalnya 11 rakaat di luar shalat 2
rakaat yang ringan-ringan (HSR. Muslim, al-Nasa’i & Abu Dâwud).
Selain format 4-4-3 dan 2-2-2-2-2-1 di atas, Nabi saw pernah juga
melaksanakan shalat malam dengan format yang lain, seperti: 8-2-1, 8-1, 4-3,
6-3, 8-3. Selama masih didasarkan pada hadis maqbûl, silakan dilaksanakan
dengan niat yang ikhlas karena Allah semata (tanpa diucapkan), yang penting
akhiri shalat malam tersebut dengan rakaat witir/ganjil karena Nabi saw
memerintahkan/menganjurkan: