ٌ وَ عَ َملُ ُه مُضَ اعَ ف، ٌ وَ دُعَ اُؤ ُه مُسْ تَ َجاب، ٌ وَ صُ مْ تُ ُه تَسْ ِبيْح، صاِئ ِم ِعبَا َد ٌة
َّ نَوْ ُم ال
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Doanya adalah doa yang mustajab.
Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan..”
Perowi hadits di atas adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman
3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perowi yang dho’if (lemah). Juga
dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan.
Perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah
no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
Para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan,
tidur dan berhubungan badan) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk
melakukan ibadah. Ibnu Rajab menerangkan, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan
agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala.
Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat
dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” Lihat Latho-if Al Ma’arif, 279-280.
Intinya, semuanya adalah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa
seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah
tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur
seperti inilah yang bernilai ibadah.
َّ ك وَ ا ْل ُك ْف ِر تَرْ كُ ال
صالَ ِة ّ ِ بَيْنَ الرَّ ُج ِل وَ بَيْنَ ال
ِ ْشر
“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim, no. 82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َا ْل َع ْه ُد الَّ ِذى َب ْينَنَا وَ بَ ْينَ ُه ُم الصَّ الَ ُة َفمَنْ َترَ َك َها َف َق ْد َك َفر
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.” (HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat
mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut termasuk ijma’ (kesepakatan) para
sahabat.
‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah– (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang
meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At
Tirmidzi (no. 2622) dari ‘Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy, seorang tabi’in. Hakim mengatakan bahwa hadits
ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih.
Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52.
Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan
tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.
Kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat,
amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah
darinya. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17:62.
Sumber https://rumaysho.com/466-membedah-kesalahan-kesalahan-di-bulan-ramadhan.html