Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PERNIKAHAN DALAM

ISLAM
Suhendra Aw Mei 12, 2015

BAB I
PENDAHULUAN

      Latar Belakang


Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah
kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-
Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada
yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia
melakukan pernikahan.

Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat
adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di
bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak
dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
  
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi dan Dasar Hukum Nikah.


Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) النكاح‬, adapula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7] Sedangkan menurut istilah
Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan
perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan adalah ;
‫عبارة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط‬
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan
syarat-syarat.[3][9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada
umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
‫ بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما‬ ‫عقد يتضمن ملك وطء‬
 Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan
seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang
serupa dengan kedua kata tersebut.[4][10]

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)

B.      Rukun Nikah


1.         WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

ْ ‫ايُّ َما ا ْم َرأ ِة نُ ِك َح‬


ِ َ‫ ب‬.ٌ‫ فَنِ َك ُحهَا بَا ِطل‬،‫ت بِ َغي ِْر ا ِذ ِن َولِ ْيهَا‬
‫اط ٌل‬
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal..
batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2.         SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:

‫الَ نِ َكا َح االَّ بِ َولِي َو َشا ِه َديْ َع ْد ِل‬


Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan
Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-
hadits lain.”)
3.         AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

1.         Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.


2.         Adanya Ijab Qabul.
3.         Adanya Mahar.
4.         Adanya Wali.
5.         Adanya Saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1.         Kedua belah pihak sudah tamyiz.


2.         Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi
dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa
ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing
pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah
pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum
aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul
Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan
ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang bernama
Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama Fulaanah.”
Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4.         MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar
juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang
selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan
jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi
yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun
Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar
adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C.     Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya
meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْ ‫الَ يَ ْخطُبُ ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ‬
َ ‫طبَ ِة َأ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح َأ ْو يَ ْتر‬
‫ُك‬
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari no. 5144)

        Yang perlu diperhatikan oleh wali


Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak
menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut
ini:
1.         Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian
dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya
karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ٌ‫ ِإالَّ تَ ْف َعلُˆوا تَ ُك ْن فِ ْتنَˆة‬،ُ‫ُˆوه‬
ْ ‫ض ْو َن ِد ْينَˆهُ َو ُخلُقَˆهُ فَ َز ِّوج‬
َ ْ‫ب ِإلَ ْي ُك ْم َم ْن تَر‬
َ َ‫فَ َسا ٌد َع ِريْضٌ ِإ َذا َخط‬
ِ ْ‫فِي اَْألر‬
‫ض َو‬

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya
(untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan
wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2.         Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.

D.     Hukum Menikah


Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1.         Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk
melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2.         Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon
istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3.         Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk
nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4.         Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5.         Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena
alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

E.      Anjuran Islam


Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik
anjuran tersebut. Antara lain adalah :

1.         Sunnah Para Nabi dan Rasul


ٌ‫ُول َأن يَْأتِ َي بِآيَ ٍة ِإالَّ بِِإ ْذ ِن هّللا ِ لِ ُك ِّل َأ َج ٍل ِكتَاب‬
ٍ ‫ك َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم َأ ْز َواجً̂ا َو ُذ ِّريَّةً َو َما َكانَ لِ َرس‬
َ ِ‫َولَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا ُر ُسالً ِّمن قَ ْبل‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul
mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS.
Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para
rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)

2.         Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah

َ ‫ق لَ ُكم ِّم ْن َأنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا َو َج َع‬


‫ˆˆل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدةً َو َرحْ َم ˆ ةً ِإ َّن‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن َخل‬
َ ‫ت لِّقَ ْو ٍم يَتَفَ َّكر‬
‫ُون‬ ٍ ‫ك آَل يَا‬َ ِ‫فِي َذل‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)

3.         Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya

‫ˆراء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِمن‬ َ ‫َوَأن ِكحُوا اَأليَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِح‬
َ ˆَ‫ين ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوِإ َمˆˆاِئ ُك ْم ِإن يَ ُكونُˆˆوا فُق‬
ِ ‫فَضْ لِ ِه َوهَّللا ُ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi
Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)

4.         Ibadah Dan Setengah Dari Agama


Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT
seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia
tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

5.         Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam


Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa
batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa
kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan
gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan
kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup
membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan
supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan
dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan
diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan
hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka
memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia,
berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan
kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
ْ ‫ت َمˆˆا َأ َحˆˆ َّل هّللا ُ لَ ُك ْم َوالَ تَ ْعتَˆˆ ُد‬
ُّ‫وا ِإ َّن هّللا َ الَ ي ُِحب‬ ْ ‫ˆˆوا الَ تُ َح ِّر ُم‬
ِ ‫ˆˆوا طَيِّبَˆˆا‬ ْ ُ‫ين آ َمن‬
َ ‫يَˆˆا َأيُّهَˆˆا الَّ ِذ‬
َ ‫ْال ُم ْعتَ ِد‬
‫ين‬
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang
dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak
suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)

6.         Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup


Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari
makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini
diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.

َ ‫َو ِمن ُك ِّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر‬


‫ُون‬
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)

F.       Tujuan Nikah


Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya
semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah
karena tujuan-tujuan berikut ini:
1.         Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

... ْ‫ب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوج‬


ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka
hendaknya ia menikah….”
2.         Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ فَِإنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اُأْل َم َم‬،‫تَ َز َّوج ُْوا ْال َو ُد ْو َد ْال َولُ ْو َد‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3.         Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan
istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:

‫ˆك َأ ْز َكى لَهُ ْم ِإ َّن هللاَ َخبِˆˆي ٌر بِ َمˆˆا‬ َ ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظُوا فُر‬
َ ˆِ‫ُوجهُ ْم َذل‬ َ ‫ين يَ ُغضُّ وا ِم ْن َأب‬
ِ ‫ْص‬ َ ِ‫قُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمن‬
ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬
َ ‫ظ َن فُر‬
‫ُوجه َُّن‬ َ ‫ت يَ ْغضُضْ َن ِم ْن َأب‬
ِ ‫ْص‬ ِ ‫ َوقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنَا‬.‫ُون‬
َ ‫يَصْ نَع‬
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

G.     Hikmah Pernikahan

1.         Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.


2.         Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3.         Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4.         Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan
kewajiban.

H.     Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.


Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU


Perkawinan, yang berbunyi:

1.         Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2.         Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah
dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang
paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan
tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.

Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan
membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat
merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-
anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa
dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama
dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan
bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.

Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam
artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan.
Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang
khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat
membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.

I.         Nikah Siri


             Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:[5][1]
1.         Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau
hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-
ketentuan syariat.
2.         Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
             Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan sirri adalah:
1.         Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah
satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya
dengan calon pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu
supaya tidak diambil oleh orang lain.
2.         Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak
sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang resmi,
tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
3.         Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran karena
hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya
perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang mampu
menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial. Hal
ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka masih
kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahanpun
masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan teman-teman di
kampus.
5.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum.
Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan
dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap
bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk
urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan
tidak perlu dicatatkan, juga nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur
administrasi yang berbelit-belit.
6.         Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila
setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus
melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat
merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap
lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan
disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan
pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:

1.         Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2.         Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6][2]
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2
PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil.[7][3]

Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami sebagai
syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini,
fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan
pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari
1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di
kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur” [8][4]. Pembahasan mengenai
pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban

1.         Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi
berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2.         Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah,
tetapi haram jika terdapat mudharat.[9][5]
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah
di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang
untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga tidak terdapat
kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan terhadap wanita. Menurut
Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan
kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[10][6]

Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami
kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti
yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan
mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa
kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan
tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang
meninggal).

Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah
dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada
orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik
berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat
dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya
mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda
dari si suami yang telah meninggal dunia.

Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah
adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Segala
peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang
berujung dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.

J.       Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.


Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1.    Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional; dan
2.    Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal
10).[11][11]
Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa
nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua
rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[12][12]

Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-


undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau anak
yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya.
Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak
adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk
membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai
dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam).
Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan.

Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau al-
mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.[13][13]

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret
mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan
perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-
syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya
diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:

ِ َ‫اح َواضْ ِربُوا َعلَ ْي ِه بِ ْال ِغرْ ب‬


)‫ال(رواه ابن ماجة عن عائشة‬ َ ‫َأ ْعلِنُوا هَ َذا النِّ َك‬
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).

ٍ ‫َأ ْولِ ْم َولَ ْو بِ َشا ٍة (رواه البخارى عن َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َع ْو‬


)‫ف‬
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR.
al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya


cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan
dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah
dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban
pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan,
seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain
dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing,
karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara
mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-
undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan
bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫الَ يُ ْن َك ُر تَ َغيُّ ُر اَْألحْ َك ِام بِتَ َغي ُِّر اَْأل ْز َم‬


‫ان‬
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Ibnu al-Qayyim menyatakan[14][14] :

‫ت َو ْال َع َواِئ ِد‬ ِ ‫ب تَ َغي ُِّر اَْأل ْز ِمنَ ِة َواَْأل ْم ِكنَ ِة َواَْألحْ َو‬
ِ ‫ال َوالنِّيَّا‬ ْ ‫تَ َغيُّ ُر ْالفَ ْت َوى َو‬
ِ ‫اختِالَفُهَا ِب َح ْس‬
Perubahan  fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat
dan adat istiadat
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)

      Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti
disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad
nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,


kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur
secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-
pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain
terutama isteri dan anak-anak.[15][15] Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah
satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
ٌ ‫لى الرَّ عِ َّي ِة َم ُن ْو‬
‫ط ِب ْال َمصْ لَ َحة‬ َ ‫صرُّ فُ ْاالِ َما ُم َع‬
َ ‫َت‬
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
rakyatnya.

K.      Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1)   Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan
bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib,
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus
diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)
2)   Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
 Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS An Nisa 19)
 Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan
hati wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa
melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.
 Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah
suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi
di depan umum hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi
seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
 Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
 Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah menunaikan
kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri
majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
 Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria ingin melakukan
poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.
L.       Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri
seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan
hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah. Hal ini
dimaksudkan agar istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk
telah menjadi tulang punggung keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar
negeri sedangkan suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai
atau suaminya meninggal.
 Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
 Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
 Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan
maksiat.
 Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
 Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk di
dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama suami tidak
ada.
 Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
enak didengar.
 Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin
lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.
M.     Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk
mendatangi istri di saat haid, nifas,  ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti
punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang suami yang
mendzihar istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa
selama 2 bulan berturut-turut jika ingin kembali pada istrinya.
1.      Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2.      Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.      Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4.      Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’:
19 – Al-Hujuraat: 10)
5.      Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.      Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.      Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah
memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB III
PENUTUP

             Simpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal
yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada
kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja
dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan
pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur
secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-
pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA

  Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986.  Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
  Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun.
Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
  Djalil, Abdul.  2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta
  Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
  Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
  Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan
Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil.
Jakarta: Sinar Grafika
  Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta:
Lentera Hati
  Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
  Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8
Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
  MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
  Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
  Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id

[1][7] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h.
[2][8] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 62
[3][9] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i,
Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36
[4][10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), Jilid IV, h.
[5][1] Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2010),  h. 557-558
[6][2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota
ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),  h. 1-2
[7][3] Ibid, h. 32
[8][4] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Februari 2012
[9][5] MUI online, “Keputusan Komisi B Ijtima MUI” dalam http://halalguide.com, 6 Februari 2012
[10][6] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com,  6 Februari 2012
[11][11] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h.
171
[12][12] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id, 6 februari 2012
[13][13] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id,  6 februari 2011
[14][14] I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, h. 3.
[15][15] Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan
pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
[16][16] Abdul Djalil, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2000), h. 289

Anda mungkin juga menyukai