ISLAM
Suhendra Aw Mei 12, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat
adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di
bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak
dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan
ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang bernama
Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama Fulaanah.”
Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4. MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar
juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang
selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan
jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi
yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun
Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar
adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya
meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْ الَ يَ ْخطُبُ ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ
َ طبَ ِة َأ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح َأ ْو يَ ْتر
ُك
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari no. 5144)
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya
(untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan
wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
ˆراء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِمن َ َوَأن ِكحُوا اَأليَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِح
َ ˆَين ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوِإ َمˆˆاِئ ُك ْم ِإن يَ ُكونُˆˆوا فُق
ِ فَضْ لِ ِه َوهَّللا ُ َو
اس ٌع َعلِي ٌم
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi
Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
فَِإنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اُأْل َم َم،تَ َز َّوج ُْوا ْال َو ُد ْو َد ْال َولُ ْو َد
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan
istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
ˆك َأ ْز َكى لَهُ ْم ِإ َّن هللاَ َخبِˆˆي ٌر بِ َمˆˆا َ ار ِه ْم َويَحْ فَظُوا فُر
َ ˆُِوجهُ ْم َذل َ ين يَ ُغضُّ وا ِم ْن َأب
ِ ْص َ ِقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمن
ْ َار ِه َّن َويَحْ ف
َ ظ َن فُر
ُوجه َُّن َ ت يَ ْغضُضْ َن ِم ْن َأب
ِ ْص ِ َوقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنَا.ُون
َ يَصْ نَع
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah
dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang
paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan
tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan
membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat
merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-
anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa
dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama
dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan
bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam
artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan.
Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang
khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat
membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6][2]
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2
PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil.[7][3]
Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami sebagai
syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini,
fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan
pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari
1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di
kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur” [8][4]. Pembahasan mengenai
pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban
1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi
berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah,
tetapi haram jika terdapat mudharat.[9][5]
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah
di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang
untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga tidak terdapat
kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan terhadap wanita. Menurut
Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan
kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[10][6]
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami
kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti
yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan
mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa
kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan
tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang
meninggal).
Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah
dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada
orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik
berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat
dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya
mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda
dari si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah
adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Segala
peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang
berujung dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.
Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk
membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai
dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam).
Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau al-
mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.[13][13]
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret
mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan
perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-
syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya
diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain
dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing,
karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara
mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-
undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan
bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
ت َو ْال َع َواِئ ِد ِ ب تَ َغي ُِّر اَْأل ْز ِمنَ ِة َواَْأل ْم ِكنَ ِة َواَْألحْ َو
ِ ال َوالنِّيَّا ْ تَ َغيُّ ُر ْالفَ ْت َوى َو
ِ اختِالَفُهَا ِب َح ْس
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat
dan adat istiadat
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti
disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad
nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
K. Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1) Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan
bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib,
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus
diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)
2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS An Nisa 19)
Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan
hati wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa
melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.
Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah
suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi
di depan umum hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi
seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah menunaikan
kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri
majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria ingin melakukan
poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.
L. Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri
seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan
hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah. Hal ini
dimaksudkan agar istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk
telah menjadi tulang punggung keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar
negeri sedangkan suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai
atau suaminya meninggal.
Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan
maksiat.
Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk di
dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama suami tidak
ada.
Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
enak didengar.
Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin
lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.
M. Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk
mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti
punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang suami yang
mendzihar istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa
selama 2 bulan berturut-turut jika ingin kembali pada istrinya.
1. Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2. Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’:
19 – Al-Hujuraat: 10)
5. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah
memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal
yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada
kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja
dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan
pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur
secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-
pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun.
Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
Djalil, Abdul. 2000. Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta
Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan
Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil.
Jakarta: Sinar Grafika
Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta:
Lentera Hati
Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8
Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id
[1][7] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h.
[2][8] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 62
[3][9] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i,
Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36
[4][10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), Jilid IV, h.
[5][1] Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2010), h. 557-558
[6][2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota
ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 1-2
[7][3] Ibid, h. 32
[8][4] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Februari 2012
[9][5] MUI online, “Keputusan Komisi B Ijtima MUI” dalam http://halalguide.com, 6 Februari 2012
[10][6] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Februari 2012
[11][11] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h.
171
[12][12] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id, 6 februari 2012
[13][13] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id, 6 februari 2011
[14][14] I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, h. 3.
[15][15] Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan
pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
[16][16] Abdul Djalil, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2000), h. 289