menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al Baqarah ayat 112:
ٌَۡ ََ َ َ ۡ َ ََ ٞ ۡ َ ه َ ۡ َ َ َۡ ۡ َ ََ
َسن َفلهَۥَ َأجرهَۥ َعَند َرب َ َهَۦ َوَل َخوف َ َ
َ ل ىَمن َأسلم َوجههَۥ َ َّلِلََوهو َُمََ ب
َ ََۡ ۡ ََ ۡ َۡ َ
َ َ١١٢َعلي َهمَوَلَهمََيزنون
َ َ ۡ ۡ َ َ َ َ ۡ ََ َ ه
dalam firman Allah SWT surat Al-Qiyamah, ayat 17-18 yang artinya:
َ َۡ َ ه
َ ََفإَذاَقرأنه١٧َنَ َعل ۡي َناََج َعهَۥَ َوق ۡر َءانهَۥ
َ َ١٨ََفٱتب َ َعَقرءانهَۥ َ َإ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya; Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”
Pada beberapa ayat yang lain, AI-Qur'an disebut pula dengan, nama yang
lain, di antaranya: Al-Furqan; AI-Haqq; AI-Hikmah; Alhuda; AI-Syija; A/-D:;ikru.
Kemudian, istilah AI-Qur'an disebut dalam QS AI-Baqarah ayat 185 dan ayat 77
dari QS AI-Waqi'ah; disebut AIKitab pada QS AI-Baqarah ayat 2, dan QS AI-An'am
ayat 38; Al-Dzikr pada QS AI-Anbiya ayat 50; AI-Furqan pada QS AI-Furqan ayat
11. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa AI-Qur'an mempunyai lebih
dari 90 nama.
Kata Al-Qur'an yang secara harfiah berarti 'bacaan sempurna', menurut
Quraish Shihab ( 1996:3 ), merupakan suatu nama pilihan Allah SWT yang
sungguh tepat, karena tidak satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca
lima ribu tahun yang dapat menandingi AI-Qur'an, bacaan sempuma lagi mulia
itu. Al-Qur'an merupakan bacaan yang paling banyak dibaca oleh manusia hingga
ratusan juta orang.
2. Turunnya Al-Qur'an
Kitab suci Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi
Muhammad Saw, lebih kurang selama 23 tahun. Terbagi dalam surat-surat yang
semuanya berjumlah 114, dengan panjang yang sangat bcragam. Ayat-ayat dari
surat-surat yang terdahulu mengandung momen psikologis --meminjam istilah
Fazlur Rahman-yang dalam dan kuat luar biasa, serta memiliki sifat-sifat seperti
ledakan vulkanis yang disingkat tapi kuat. Surat-surat Makiyyah adalah yang
paling awal, dan termasuk surat-surat pendek. Baru pada surat-surat Madaniyyah,
makin lama surat-surat tersebut makin panjang.
Mengenai tingkatan signifikansi dan pemungsian apa yang biasanya dan
secara amat umum kita sebut Al-Qur'an, Arkoun (1996:59), menjelaskannya
sebagaimana sebagai berikut:
6. Fungsi AI-Qur'an
Adapun fungsi AI-Qur'an meliputi haJ-haJ sebagai berikut: (a) Petunjuk
untuk manusia; (b) Keterangan-Keterangan; (QS 2:185); (c) Pemisah (QS
Yunus:57); (d) Rahmat dan hidayah bagi aJam semesta; (e) Mu'jizat bagi Nabi
Muhammad Saw.; (f) Pengajaran dari Allah SWT; (g) Obat penyakit hati; dan (h)
Penguat dan penutup adanya kitab-kitab suci sebelumnya
Dari ayat di atas, tampaklah bahwa AIJah pun memakai kata hadits
dengan arti khabar. Demikian juga RasuJullah pemah memakai kata hadits
dengan arti khabar yang datang dari beliau. Menurut istilah ahh hadits, Hadits
ialah: "Segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau".
Selanjutnya, hadits menurut ahli ushul ialah: "Selanjutnya, segala perbuatan dan
segala taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum" (Hasbi AshShiddieqy,
1980:23 ). Sedangkan Sunnah menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, secara bahasa
berarti jalan yang dilalui, baik jalan itu terpuji atau tidak. Sunnah juga bisa berarti
suatu tradisi yang berjalan terns menerus (1980:24), sebagaimana sabda Nabi
Saw yang artinya: "Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-
perjalanan) sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta,
sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dlab (biawak), sungguh kamu
memasukinya juga." (H.R. Muslim).
Pengertian di atas diperkuat pula oleh pendapat Taufiqullah ( 1991 :53),
yang menyebutkan bahwa Sunnah secara etimologi berarti jalan yang dilalui.
Sedangkan menurut terminologi ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir). Namun demikian,
dalam praktek sehari-hari, Taufiqullah mengemukakan bahwa, dalam
melaksanakan apa yang telah diperkuat oleh Rasulullah dan beberapa
pengecualian, di antaranya:
a. Yang ditentukan dengan dalil khusus, seperti Nabi mengawini lebih dari 4
(empat) orang wanita.
b. Nabi sebagai kepala negara, sifat negara. Dalam hal ini Nabi hanya
meletakkan dasar-dasar yang esensial umpamanya musyawarah dan mufakat,
persamaan hak dan kewajiban, keadilan dan lain sebagainya.
c. Masalah-masalah keduniaan yang cenderung Nabi sebagai manusia
(1991:53).
Adapun sunnah, menurut istilah ahli ushul fiqh, ialah: "segala sesuatu
yang dinukilkan dari nabi Saw. Baik perkataan maupun perhuatan, ataupun taqrir
yang mempunyai hubungan dengan hukum". Makna inilah yang diberikan kepada
perkataan sunnah dalam sabda Nabi: "Sungguh telah saya tinggalkan untukmu
dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat selama berpegang kepadanya, yakni:
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"(H.R. Malik). Makna sunnah dalam pengertian di
atas itulah yang kemudian disepakati oleh Jumhur Ulama.
2. Pembagian Sunnah
Sunnah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Sunnah qauliyah (perkataan ), contohnya: Segala amalan itu mengikuti niat
(orang yang meniatkan) (H.R. Bukhari-Muslim).
b. Sunnah fl 'liyah, contohnya: cara-cara mendirikan Shalat, cara-cara
mengerjakan amalah haji, adab berpuasa, dan memutuskan perkara
berdasarkan saksi dan memutuskan perkara berdasarkan saksi dan
berdasarkan sumpah. Nabi bersabda: "Ambillah dariku cara-cara
mengerjakan haji" (HR. Muslim dari Jabir).
c. Sunnah taqririyah. Membenarkan atau tidak mengingkari sesuatu yang
diperkuat oleh seseorang sahabat, atau diberitakan kepada beliau, lalu
tidak menyanggah, atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa
beliau meridhainya. Dalam hal ini contohnya ialah: Nabi membenarkan
ijtihad para sahabat mengenai urusan mereka bersembahyang ashar di
Bani Quraidhah, Nabi bersabda: "Jangan seseorang kamu melakukan
shalat, melainkan di Bani Quraidhah."
3. Landasan Sunnah sebagai sumber Syariah
a. Unsur Iman. Di antara rukum iman ialah percaya bahwa Nabi Muhammad Saw.
adalah Rasul. Oleh karena itu, terdapat keharusan pada manusia untuk
mengikuti jejak apa yang telah beliau laksanakan dalam hidup dan kehidupan
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
b. Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang memerintahkan manusia
supaya mengikuti jejak Rasul (SunnahNya).
c. Sunnah. Nabi pemah berkata di hadapan khalayak ramai di Padang Arafah
ketika beliau melaksanakan ibadah hajinya yang terakhir (haji wada), beliau
bersabda: "Telah aku tinggalkan bagimu dua perkara yang dengan berpegang
kepada keduanya, kamu tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah"
d. Ijma'. Umat · Islam telah berijma (bersepakat) untuk mengamalkan Sunnah
sebagaimana mereka menerima AIQur'an.
4. Fungsi Sunnah
Imam Syafi'i dalam sebagian kitabnya meletakkan Al-Quran dan Hadits
dalam satu martabat atas dasar bahwa Hadits merupakan kelengkapan bagi AI-
Qur'an. Oleh karena itu menurutnya, sebagairnana dikutip Taufiqullah (1991:55),
fungsi Sunnah dalarn syariah adalah sebagai berikut:
a. Sebagai penjelas dari AI-Qur'an yang masih bersifat global, mengkhususkan
yang masih bersifat umum, dan menjabarkan yang masih mutlak.
b. Menentukan hukum tersendiri. Seperti Nabi menetapkan bahwa seorang
Muslim tidak boleh mewariskan kepada orang kafir dan sebaliknya orang kafir
tidak boleh mewariskan kepada orang Islam.
Sebagaimana uraian di atas, terdapat nisbah (hubungan) antara Sunnah
dengan Al-Quran dari segi materi hukum, antara lain:
a. Menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum di dalam Al-
Qur'an.
b. Memberikan keterangan ayat-ayat Al-Qur'an, meliputi:
1) Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal.
2) Membatasi kemutlakan.
3) Mentakhsiskan keumumannya,
4) Menciptakan hukum baru yang tidak terdapat di dalam AlQur'an.
Adapun dalil-dalil yang menetapkan bahwa Sunnah menjadi hujjah bagi
kaum Muslimin sebagai dasar hukum adalah penjelasan Al-Qur'an, Sunnah, ijma
sahabat, dan logika. Untuk lebih jelasnya lagi berikut ini adalah beberapa
tambahan penjelasan mengenai Sunnah dalam hubungannya dengan AI-Qur'an:
a. Sebagai bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat secara umum, mujmal dan
musytarak.
b. Sebagai bayan taqrir, yaitu Sunnah berfungsi untuk memperkokoh ayat Al-
Qur'an.
c. Sebagai bayan taudlih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
AI-Qur'an, seperti pemyataan Nabi Saw. bahwa "Allah tidak mewajibkan zakat
melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu sesudah dizakati".
Sedang fungsi Sunnah sebagai sumber hukum dan ajaran Islam,
ditegaskan di dalam firman Allah yang artinya sebagai berikut: Demi Tuhanmu
(Muhammad) mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
engkau hukum dari perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu kebenaran terhadap putusan yang engkau
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QSAn-Nisa: 65).
Penjelasan di atas memiliki relevansi dengan apa yang dikemukakan
dengan kedudukan Sunnah atau Hadits Nabi Saw. oleh ulama atsar yaitu sebagai
penjelas clan pemberi keterangan. Menurut mereka fungsi sunnah terhadap Al-
Qur'an adalah:
a. Bayan tafthil; Al-Quran bersifat mujmal, agar ia dapat difungsikan clan
berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun maka diperlukan
perincian oleh Hadits.
b. Bayan takhshish; hadits/sunnah berfungsi selain menafsirkan Al-Quran, juga
berfungsi memberikan penjelasan tentangkekhususan-kekhususan ayat yang
bersifat umum.
c. Bayan ta 'yin; Hadits (Sunnah) Nabi Saw. berfungsi untuk menentukan mana
yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan
lapadzh-lapadzh musytarak dalam Al-Quran.
d. Bayan nasakh; Hadits (Sunnah) berfungsi menjelaskan mana ayat yang me-
nasakh (menghapus) dan mana yang di-nasakh (dihapus) yang secara
lahiriah bertentangan. Fungsi bayan ini sering juga disebut bayan tabdil.
Dari berbagai penjelasan di atas, semakin tegaslah bahwa mengikuti
Sunnah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam
syari'at Islam. Akhimya melengkapi uraian, ini dapat dilihat ayat-ayat Al-Quran
tentang dasar hukum Sunnah, yang meliputi QS 68: 4; 33: 21; 21: 108; 34: 28;
7: 158; 3: 132; 4: 80; 59: 8; 3: 31; 4: 59; 6: 67; 33: 36; 24: 56; 4: 59; dan 65:
12; serta 4: 54.
Inti aqidah adalah tauhid kepada Allah. Tauhid berarti satu (esa) yang
merupakan dasar kepercayaan yang menjiwai manusia dan seluruh aktivitasnya
yang dilakukan manusia semata-mata kepada Allah, terbebas dari segala bentuk
perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT).
Aqidah sebagai sebuah objek kajian akademik meliputi beberapa agenda
pembahasan, yaitu pembahasan yang berhubungan dengan beberapa aspek
seperti aspek Ilahiyah (ketuhanan), nubuwah, dan ruhaniyah arkanul iman
(rukun iman). Pertama, pembahasan yang berkaitan dengan aspek ilahiyah
meliputi segala yang berkaitan dengan Tuhan, seperti wujud Allah, sifat-sifat
Allah, perbuatan-perbuatan, dan namanama-Nya. Kedua, pembahasan tentang
kenabian (nubuwah) yang berkaitan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah
yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul Allah serta kemukjizatanya. Ketiga,
aspek ruhaniyah membicarakan tentang segala sesuatu yang bersifat
transcendental atau metafisik seperti ruh, malaikat, jin, iblis, dan setan. Selain
tiga aspek tersebut, aspek keempat yang menjadi lingkup kajian dalam aqidah
adalah sam‟iyah yang membahas tentang sesuatu yang dalil-dalil naqli berupa
al-Quran dan Sunnah, alam barzakh, akhirat, azab, dan kubur. Sistem
kepercayaan Islam atau aqidah dibangun di atas enam dasar keimanan yang
lazim disebut rukun Iman yang meliputi keimanan kepada Allah, para malaikat,
kitab- kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar-Nya. Orang yang
beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya
untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah SWT kepadanya.
2. Syari’at (Islam)
Sementara itu, yang dimaksud dengan istilah Islam dalam hadits Nabi
SAW. di atas adalah syari‟ah. Istilah syariah menurut bahasa berarti jalan, yakni
jalan besar di sebuah kota. Syari‟ah juga berarti apa yang diturunkan Allah
kepada para Rasul-Nya meliputi aqidah dan hukum-hukum Islam. Syari‟ah juga
mempunyai arti sumber mata air yang dimaksudkan untuk minum. Makna ini
yang dipergunakan Bangsa Arab saat mengatakan: (syara‟a al-ibl) yang berarti
unta itu minum dari mata air yang mengalir tidak terputus. Syari‟ah dalam arti
luas adalah din, agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi (Q.S. al-Syura
[42]:13. Sedangkan dalam pengertian terminologinya versi kalangan hukum
Islam (fuqaha), kata syariat dipergunakan dalam pengertian sebagai hukum-
hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Dengan pengertian ini,
syariat berarti mencakup seluruh syariat samawi yang diturunkan bagi manusia
lewat para Nabi yang hadir ditengah-tengah mereka. Penggunaan pengertian
umum ini kemudian dispesifikkan para ulama dengan embel-embel Syar’at Islam
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebab Syar’at Islam adalah
penutup seluruh Syar’at samawi. Ia juga merupakan intisari Syar’at-Syar’at
sebelumnya yang telah disempurnakan bentuk dan isinya sehingga merupakan
Syar’at yang paripurna bagi manusia di setiap zaman dan tempat. Atas dasar
tersebut, Syar’at didefinisikan sebagai kumpulan hukum yang ditetapkan Allah
SWT bagi seluruh umat manusia kepada Nabi Muhammad SAW. melalui titah
ilahi dan sunnah.
Istilah syari‟ah mempunyai arti luas, tidak hanya berarti fiqih dan hukum,
tetapi mencakup pula aqidah dan akhlak. Dengan demikian, syari‟ah
mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada para
rasul-Nya, semua kitab-Nya dan hari pembalasan. Pendeknya, syari‟ah
mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri
kepada Tuhan.
Akan tetapi, di kemudian hari, pengertian syari‟ah malah dipahami secara
terbatas dalam arti fiqih dan hukum Islam. Hal ini berawal ketika soal hukum
mendominasi perbincangan pasca Rasulullah, sehingga berkembang opini secara
umum bahwa Syar’at Islam adalah hukum Islam itu saja. Maka terjadilah
penyempitan makna syari‟ah menjadi hanya persoalan hukum. Konsekuensinya,
pembahasan di bidang lain terpaksa harus diberi terminologi baru, di luar istilah
syari‟ah. Misalnya soal aqidah (teologi) harus diberi istilah ushuluddin,
sementara akhlak (penyucian jiwa), yang merupakan hikmah terbesar dari
semua ibadah dinamai ilmu tasawuf. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa syariah benar-benar telah diberi arti sempit sebatas hukum, di luar
aqidah, bahkan sudah menjadi istilah yang identik dengan hukum fiqih atau
hukum Islam semata.
Apabila dikaji lebih mendalam tentang persamaan antara fiqih dan Syar’at
dalam konteks ajaran yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan manusia
di dunia, keduanya mempunyai sumber yang sama, yakni al-Qur‟an dan as-
Sunnah. Perbedaannya, Syar’at sifatnya tekstual, hanya apa yang tertuang
dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah tanpa ada campur tangan dari manusia,
sedangkan fiqih sifatnya lebih fungsional karena teks-teks Syar’at ditafsirkan dan
dipahami secara mendalam sehingga memudahkan manusia untuk
mengamalkannya. Fiqih menciptakan rukun dan syarat, dan batalnya suatu
perbuatan kesyariatan manusia. Fazlur Rahman menyebut fiqih sebagai petunjuk
praktis pengalaman Syar’at atau konsep fungsional bagi keberadaan Syar’at.
Di kalangan ushuliyyin (ahli ushul fiqih), fiqih diartikan sebagai hukum
praktis hasil ijtihad, sementara kalangan fuqaha (ahli fiqih) pada umumnya
mengartikan fiqih sebagai kumpulan hukum-hukum Islam yang mencakup
semua hukum syar’i, baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran
atas teks itu sendiri. Aspek-aspek kesyariatan yang dipahami melalui pendekatan
fiqhiyah adalah semua aturan yang berawal dari teks illahiyah yang mengandung
perintah, larangan maupun sematamata sebagai petunjuk. Ada dua unsur pokok
yang mengandung perintah, larangan, dan petunjuk, yakni: (1) tidak menerima
perubahan atau tidak boleh diubah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun,
yang disebut dengan tsawabit, misalnya masalah aqidah dan ibadah mahdah;
(2) menerima perubahan (mutaghayyirah), baik disebabkan oleh tempat, situasi-
kondisi, maupun niat.59 Padahal, keseluruhan ajaran Islam yang terdapat di
dalam al-Qur‟an dan yang dicontohkan dalam sunnah Nabi semuanya disebut
syari’ah, mencakup aqidah dan akhlak. Dengan demikian, kedua aspek tersebut,
yakni aqidah dan syari’ah (dalam arti hukum), tidak dapat dipisahkan sama
sekali, baik dalam bentuk pengamalan, maupun dalam bentuk pemikiran yang
berkembang mengenai dua aspek tersebut.
3. Akhlak (Ihsan)
Ihsan dalam arti khusus sering disamakan dengan akhlak, yaitu tingkah
laku dan budi pekerti yang baik menurut Islam. Akhlak berasal dari kata khalaqa
(menjadikan, membuat). Dari kata dasar itu dijumpai kata khuluqun (bentuk
jamak), yang artinya perangai, tabiat, adat atau sistem perilaku yang dibuat.
Adapun yang dimaksud dengan ihsan dalam hadits Nabi SAW. di atas adalah
seperti terlihat pada penggalan hadist yang berarti: Lalu malaikat Jibril bertanya,
“Apakah ihsan itu? Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, meskipun engkau tidak sanggup melihat-Nya,
karena Dia senantiasa melihat kamu. Ada tiga bentuk cara ibadah:
a. Melaksanakan ibadah dengan menyempurnakan syarat dan rukun atas dasar
ikhlas karena Allah semata.
b. Melaksanakan ibadah dengan perasaan bahwasanya Allah melihat. Inilah yang
dinamakan maqam muraqabah. Maka sabda Nabi SAW:
“Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”
Hadits di atas memberi pengertian bahwa kalau kita belum dapat mencapai
maqam musyahadah, hendaknya kita usahakan supaya kita dapat mencapai
maqam muraqabah.
c. Melaksanakan ibadah dengan cara tersebut dengan rasa terbenam dalam laut
mukasyafah. Bagi orang yang memperoleh derajat ini, beribadah seakan-akan
melihat Allah sendiri. Inilah maqam Nabi SAW.Sabda Nabi ini mendorong kita
untuk mencapai keikhlasan dalam beribadah dan dalam bermuqarabah pada
setiap ibadah, serta menyempurnakan khusyuk, khudhu’ dan hadir dalam
hati.
Dengan demikian, ihsan menurut Rasulullah SAW. adalah beribadah
kepada Allah. Ibadah ini tidak formalitas, tetapi terpadu dengan perasaan bahwa
dirinya sedang berhadapan langsung dengan Allah. Sementara itu, ihsan
menurut bahasa berarti kebaikan yang memiliki dua sasaran. Pertama , ia
memberikan berbagai kenikmatan atau manfaat kepada orang lain. Kedua, ia
memperbaiki tingkah laku berdasarkan apa yang diketahuinya yang manfaatnya
kembali kepada diri sendiri. Al-Qur‟an menekankan agar manusia tidak hanya
berbuat ihsan kepada Allah, tetapi juga berbuat ihsan kepada seluruh makhluk
Allah, yakni manusia dan alam, termasuk hewan dan tumbuhan. Ihsan kepada
Allah merupakan modal yang sangat berharga untuk berbuat ihsan kepada
sesama. Al-Quran memberi penghargaan yang tinggi terhadap perbuatan ihsan
yang dilakukan manusia terhadap sesama dan lingkungan hidupnya seperti
tersirat pada ayat-ayat al-Qur‟an berikut ini: (1) tidak ada balasan bagi
perbuatan ihsan kecuali ihsan yang lebih sempurna. (QS. ar-Rahman [55]:60);
(2) perbuatan ihsan itu kembali kepada dirinya sendiri (QS. al-Isra [17]:7); (3)
perbuatan ihsan itu tidak akan pernah sia-sia (QS. Hud [11]: 115); (4) kasih
sayang Allah diberikan dengan mudah dan cepat kepada orang-orang yang
terbiasa berbuat ihsan (QS. al-A‟raf [7]: 56.
Allah mewajibkan ihsan dalam segala perbuatan, baik yang batin maupun
yang lahir (jawarih) yang dihadapkan kepada Allah. Maksudnya, lingkup ihsan
meliputi ikhlas, kebaikan dan kesempurnaan pekerjaan itu. Memang Nabi
menjelaskan pula bahwa ihsan adalah jiwa iman dan Islam; dan iman dan Islam
itu diterima Allah jika berdasarkan ikhlas. Dengan kata lain modal ihsan ialah
ikhlas. Sebab, semua amal yang batiniyah, ataupun yang lahiriyah, baru diterima
jika dilandasi oleh ikhlas, dan ihsan memang unsur yang paling pokok untuk
bangunan ad-din. Adapun cara untuk mewujudkan ikhlas ialah dengan
menumbuhkan perasaan di kala sedang beribadah bahwa kita sedang berdiri
berhadaphadapan dengan Allah, seakan melihat-Nya, dan dapat mendengar
ucapan-Nya. Dengan demikian, kita akan berupaya sekuat diri untuk khusyuk
dan membaguskan semua pekerjaan dengan mengarahkan semua kecakapan
dan kepandaian yang dimiliki. Adapun jika jalan seperti ini tidak dapat dicapai,
maka sekurang-kurangnya kita menumbuhkan perasaan bahwa Allah melihat
semua gerak-gerik dan af‟al kita. Tidak ada satupun yang luput dari
penglihatan-Nya.
Dengan demikian, pengamalan agama itu tidak hanya berdimensi
syari‟ah, tapi juga berdimensi ihsan yang bertujuan untuk membimbing umat
Islam menjadi pribadi yang mulia, merasakan kedekatan dengan Allah, sekaligus
bertujuan untuk membangun solidaritas sosial diantara sesama umat manusia.
Trilogi ajaran Islam (Aqidah, Syar’at dan Akhlak) secara umum dipandang
sebagai pokok ajaran Islam. Aqidah mengajarkan keimanan dan keyakinan yang
akan dijadikan sebagai landasan pandangan hidup, syari’at (hukum Islam)
mengajarkan pola hidup beraturan dalam suatu tatanan hukum komprehensif,
dan akhlak menyandarkan muslim atas segala tindakan bermoral yang
dilakukannya.
Iman/kepercayaan adalah “pembenaran hati” yang mengikat manusia dan
mengarahkannya sesuai dengan hakikat dari objek iman. Karena sifatnya yang
mengikat itu, maka ia dinamai juga sebagai aqidah (ikatan). Ia bersemai di
dalam hati, tidak tampak dalam kenyataan. Islam adalah pengamalan yang
merupakan dampak/ buah dari iman, yang memang harus tampak dalam
kenyataan. Ia dinamai juga syari’ah, yang secara harfiah berarti sumber air yang
memberikan kehidupan, sedangkan ihsan (kebajikan) menghasilkan budi pekerti
yang menciptakan hubungan harmonis, Ia adalah akhlak. Dengan demikian,
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah Aqidah, Syari’ah, dan
Akhlak, atau Iman, Islam, dan Ihsan. Maka kaitan Iman, Islam, dan Ihsan ialah
ibarat ruh dengan tubuh. Jika Iman ditamsilkan sebagai watak ( ghara-iz) dan
Islam sebagai tubuh (jawarih), maka Ihsan ialah ruh yang mendinamiskan
ghara-iz dan menggerakkan jawarih.
َ ارةًَأ ۡخ َر
َ َ٥٥َى
َ ۡ
ََ َوم َۡن َهاَُن َرجك ۡمَت َ اَخلَ ۡق َنَك ۡم
َ َوف
َ َيهاَنعَيدك ۡم َ َۡ
۞مَنه
“Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah
Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan
mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.” [Thaahaa: 55]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
ِ َّ ت
َ َّللا الََِّي َف َط َر ال َّن
َ َ اس َعلَ ْي َها ََّل ََ ْبدِي َ ين َحنِي ًفا ف ِْط َر ِ ك لِل ِّد َ َفأ َ ِق ْم َوجْ َه
َٰ َٰ ِ َّ ل َِخ ْلق
ُون ِ َّللا َذل َِك ال ِّدينُ ْال َق ِّي ُم َولَكِنَّ أَ ْك َث َر ال َّن
َ اس ََّل َيعْ لَم ِ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan
manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” [Ar-Ruum: 30]
Islam memperhatikan akal dan mengajaknya ber-fikir, mencela
kebodohan dan taqlid buta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ ُون َوالَّذ
َ ِين ََّل َيعْ لَم
ُون َ قُ ْ َ َه ْ َ َيسْ ََ ِوي الَّذ
َ ِين َيعْ لَم
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” [Az-Zumar: 9]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
ِ َع َم َ َ ال َّش ْي َط.
ان
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.
Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut sesuatu yang bermanfaat
bagimu dan mohonlah per-tolongan kepada Allah (dalam segala
urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila
engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, ‘Seandainya
aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu,’ tetapi
katakanlah, ‘Ini telah ditakdir-kan Allah, dan Allah berbuat apa yang
Dia kehendaki,’ karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu)
per-buatan syaitan.” [4]
11. Islam adalah agama yang sangat jauh dari kontradiksi. Allah Azza wa
Jalla berfirman: