Anda di halaman 1dari 64

Nama : Nurul Ainun

NIM : 217 240 092


Kelas : VI Epidemiologi

1. JELASKAN  PENGERTIAN AL-QUR’AN, NAMA-NAMA LAIN, PROSES TURUNNYA


AYAT-AYATNYA, ASBAB  NU ZULNYA,DAN  ISI KANDUNGANNYA. KALAU
ANDA MENGUTIP SERTAI BUKU REFRENSINYA KALAU INTERNET  HARUS
DITUNJUKKAN PENULIS DARI AHLI TAFSIR.
Jawaban :
a) Pengertian Al-qur’an
Dari segi bahasa, Al Qur’an berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk jamak dari
kata benda atau masdar dari kata kerja qara’a – yaqra’u – qur’anan yang artinya
adalah “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”.
Al Qur’an secara istilah berarti kitab suci umat Islam yang di dalamnya berisi
firman-firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai
mukjizat. Al Qur’an disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah SWT dengan
perantara malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW dan membacanya bernilai
ibadah.
Dibawah ini adalah beberapa pengertian Al Qur’an menurut beberapa ahli, antara
lain Dr. Subhi as-Salih, Muhammad Ali ash-Shabumi, dan Syekh Muhammad
Khudari Beik.
1) MENURUT DR. SUBHI AS-SALIH
Menurut Dr. Subhi as-Salih, Al Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
merupakan sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, di
tulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir, serta membacanya adalah
termasuk ibadah.
2) MENURUT MUHAMMAD ALI ASH-SHABUMI
Menurut Muhammad Ali ash-Shabumi, Al Qur’an ialah firman Allah SWT
yang tidak ada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup
oara nabi dan rasul dengan perantara malaikat Jibril as, ditulis kepada mushaf-
mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita dengan cara mutawatir.
Membaca dan mempelajari Al Qur’an adalah ibadah dan Al Qur’an dimulai dari
surat Al Fatihah serta ditutup dengan surat An Nas.
3) MENURUT SYEKH MUHAMMAD KHUDARI BEIK
Menurut Syekh Muhammad Khudari Beik, Al Qur’an merupakan firman Allah
SWT yang bernahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
dipahami isinya, disampaikan kepada kita dengan cara mutawatir, ditulis dalam
mushaf yang dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas.

Al Qur’an merupakan murni wahyu yang disampaikan oleh Allah SWT, bukan
berasal dari hawa nafsu perkataan dari Rasulullah SAW. Di dalam Al Qur’an termuat
aturan-aturan kehidupan manusia di dunia dan Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang-
orang yang beriman dan bertaqwa. Al Qur’an ialah sebuah petunjuk yang bisa
mengeluarkan manusia dari keadaan gelap menuju jalan yang terang benerang. Al
Qur’an juga mempunyai fungsi sebagai pedoman bagi setiap manusia untuk mencapai
kebahagiaannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan pokok dalam Al
Qur’an terbagi menjadi tiga yakni pembahasan tentang akidah, pembahasan tentang
ibadah dan pembahasan tentang prinsip-prinsip syariat.

Al Qur’an memiliki kedudukan sebagai sumber hukum islam yang paling utama,
sumber hukum kedua adalah perkataan nabi atau hadits. Hukum islam merupakan
hukum ketuhanan, Allah SWT telah mensyariatkan kepada seluruh hambaNya. Al
Qur’an adalah dalil utama dan jalan untuk mengetahui hukum-hukum tersebut. Setiap
umat islam tentu sudah menyadari dan mengetahui bahwasanya Al Qur’an ialah kitab
suci yang merupakan petunjuk atau pedoman hidup dan dasar setiap langkah hidup. Al
Qur’an tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT saja, akan
tetapi di dalamnya juga mengatur hubungan antara manusia dan manusia bahkan
dengan lingkungan sekitarnya. Itulah yang menjadi sebab, Al Qur’an menjadi sumber
hukum pertama dan paling utama bagi umat manusia, umat islam pada khususnya.
Seseorang bisa dikatakan berpegang teguh pada Al Qur’an jika mampu mengamalkan
apa yang telah diajarkan dalam Al Qur’an.
Sumber : Ustadz Abdul Somad, https://alquranalfatih.com/ilmu-islam/pengertian-al-
quran/.

b) Nama-nama lain Al-qur’an


Diturunkannya Al Quran selain sebagai pedoman adalah untuk menyempurnakan
kitab-kitab terdahulu. Al Quran sebagai pedoman yang sempurna memiliki banyak
nama lain. Nama lain Alquran tersebut bahkan juga disebutkan atau tertera di dalam
Al Quran. Berikut ini nama lain  Alquran yang perlu kita ketahui beserta dalilnya.

1. AL KITAB JUGA NAMA LAIN ALQURAN


Al-Kitab berarti juga buku, nama ini terdapat dalam surah Al-Baqarah
ayat 2.
Artinya: “Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa.”
2. AL FURQAN
Al-Furqan memiliki arti pembeda benar salah, nama ini ada dalam QS Al-
Furqan ayat 1
Artinya: “maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada
hanba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
3. ADZ DZIKIR
Adz-Dzikr artinya pemberi peringatan, hal ini bahkan secara tersirat juga
disebutkan pada ayat sebelumnya. Nama ini terdapat dalam QS Al-Hijr ayat 9.
Artinya: “Sesungguhnya Kami-Lah yang menurunkan Adz-Dzikr dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
4. AL MAU’IDHAH
Al-Mau’dhah berarti pelajaran atau nasihat. Nama ini keluar dalam ayat
57 Surah Yunus.
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang ada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
5. ASY SYIFA
Tidak hanya Al-Mau’idhah dalam QS Yunus: 57 juga terdapat nama lain
Quran, yaitu Asy-Syifa yang berarti penyembuh. Quran memang diturunkan
oleh Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengobati
penyakit hati manusia.
Untuk itu saat kita merasa mempunyai penyakit yang berkaitan dengan
hati, misalnya saja iri, kecewa, sedih, dan sebagainya dianjurkan untuk
membaca Al-Quran.
Membaca ayat suci Al-Quran Insya Allah dapat meringankan bahkan
menghilangkan penyakit-penyakit tersebut.
6. AL HUKM
Al-Hukm berarti juga hukum atau peraturan. Seperti kita ketahui sumber
hukum Islam memang harus didasarkan pada Quran seperti yang tertulis
dalam QS Ar-Ra’d: 37.
Artinya: “dan demikianlah Kami telah menurunkan Al-Quran itu sebagai
peraturan (yang benar) dalam Bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali
tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu akan (siksa) Allah.”
7. AL HIKMAH
Kebijaksanaan merupakan arti dari Al-Hikmah yang juga nama lain dari
Quran. Hal itu terdapat dalam QS Al Isra’ ayat 39.
Artinya: “itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu.
Janganlah kamu mengadakan Tuhan yang lain selain Allah yang (bisa)
menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi
dijauhkan (dari rahmat Allah).”
8. PETUNJUK ATAU AL HUDA
Nama ini terdapat dalam Surah Al-Jin ayat 13.
Artinya: “dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk, kami
beriman kepadanya (quran). Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka
ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak pula akan penambahan
dosa serta kesalahan. ”
9. AT TANZIL (NAMA LAIN ALQURAN)
At-Tanzil memiliki arti ‘yang diturunkan’. Ini tertulis dalam QS. Asy
Syu’araa’ ayat 192.
Artinya: “dan sesungguhnya (Al-Quran) ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta Alam.”
10. KARUNIA ATAU AR RAHMAT
Terdapat dalam QS. An-Naml: 77
Artinya: “dan sesungguhnya Quran itu benar-benar menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
11. AR RUH (RUH) JUGA NAMMA LAIN ALQURAN
‫وحا ِمنْ أَ ْم ِرنَا‬ ٰ
ً ‫َو َك َذلِ َك أَ ْو َح ْينَا إِلَيْكَ ُر‬
Artinya: “dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruuh
(Quran) dengan perintah Kami.” [QS. Asy-Syura: 52]
12. PENERANG ATAU AL BAYAN (NAMA LAIN ALQURAN)
ِ ‫ٰ َه َذا بَيَانٌ لِلنَّا‬
َ‫س َو ُهدًى َو َم ْو ِعظَةٌ لِ ْل ُمتَّقِين‬
Artinya: “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” [Ali Imran: 138]
13. UCAPAN (FIRMAN ALLAH) ATAU AL KALAM
Artinya: “dan jika seorang diantara orang-orang musyrik itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, lalu antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Ddemikian
itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” [At Taubah: 6]
14. KABAR GEMBIRA ATAU AL BUSYRA
َ‫سلِ ِمين‬ ْ ُ‫ق لِيُثَبِّتَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو ُهدًى َوب‬
ْ ‫ش َر ٰى لِ ْل ُم‬ ِّ ‫س ِمنْ َربِّ َك ِبا ْل َح‬ ُ ‫قُ ْل نَ َّزلَهُ ُر‬
ِ ‫وح ا ْلقُ ُد‬
Artinya: “Katakanlah! Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan (AlQuran) itu
dari Tuhanmu dengan benar untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang
telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah).” [QS. An Nahl: 102]
15. CAHAYA ATAU AN NUR JUGA NAMA LAIN ALQURAN
‫َو َمنْ لَ ْم َي ْج َع ِل هَّللا ُ لَهُ نُو ًرا فَ َما لَهُ ِمنْ نُو ٍر‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnyatelah datang kepadamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang.” [QS. AN Nisa: 174]
16. PEDOMAN ATAU AL BASHA’IR JUGA NAMA LAIN ALQURAN
َ‫س َو ُهدًى َو َر ْح َمةٌ لِقَ ْو ٍم يُوقِنُون‬ َ َ‫ٰ َه َذا ب‬
ِ ‫صائِ ُر لِلنَّا‬
Artinya: “ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk, dan rahmat bagi
kaum yang meyakini.” [QS. Al-Jatsiyah: 20]
17. AL BALAGH (PENYAMPAIAN ATAU KABAR)
ِ ‫ٰ َه َذا بَاَل ٌغ لِلنَّا‬
‫س َولِيُ ْن َذ ُروا بِ ِه‬
Artinya: “dan ini adalah kabar yang sempurna bagi manusia dan supaya
mereka diberi peringatan dengannya agar mereka mengetahui bahwa Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil
pelajaran.”[QS. Ibrahim: 52]
18. AL QAUL (PERKATAAN ATAU UCAPAN)
َ‫ص ْلنَا لَ ُه ُم ا ْلقَ ْو َل لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َذ َّكرُون‬
َّ ‫َولَقَ ْد َو‬
Artinya:  “dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut turut
perkataan ini kepada mereka agar mendapat pelajaran.”[QS. Al-Qashash:
51]

Sumber : Ustadz Abdul Somad, https://alquranalfatih.com/ilmu-islam/nama-lain-


alquran/

c) Proses Turunnya Ayat-ayat Al-qur’an


Bulan ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nanti kedatangannya oleh umat
Muslim. Menjadi bulan yang diberkahi, di dalamnya banyak terjadi peristiwa-
peristiwa besar bagi umat Muslim, termasuk salah satu diantaranya adalah peristiwa
diturunkannya al Qur'an.

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al Qur'an sebagain


petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda antara yang hak dan yang batil." (al Baqarah : 185), turunnya al Qur'an pada
bulan ramadhan juga diperkuat ayat-ayat lain. Seperti al Qadar ayat 1, yang
didalamnya menyebut malam lailatul qadar dimana malam tersebut hanya ada pada
bulan ramadhan. ad Dukhan ayat 3, terindikiasi dengan menyebut malam yang
diberkahi.

Namun pada zahir ayat-ayat tersebut bertentangan dengan kejadian nyata dalam


kehidupan Rasulullah, yang dalam nyatanya al Qur'an diturunkan kepadanya selama
23 tahun dan dalam kejadian-kejadian tertentu. Menyikapi hal ini, ulama berpegang
pada dua pendapat pokok dan satu pendapat hasil dari ijtihad sebagaian mufasir.

Pendapat pertama adalah al Qur'an diturunkan secara keseluruhan pada


malam lailatul qadar dari lauh al-Mahfudz ke langit dunia (Bait al-'Izzah).
Kemudian Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW secara
berangsur-angsur kurang lebih selama 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun  di
Madinah sesuai dengan kejadia-kejadian yang mengiringinya mulai sejak diutus
dampai Beliau wafat.

Pendapat pertama ini berpegangan pada hadist yang diriwayatkan oleh Hakim dan
Baihaqi. "Qur'an diturunkan pada malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan ke
langit dunia sekaligus; lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur."

Pendapat kedua adalah ketiga ayat yang disebutkan di atas ialah permulaan
turunnya al Qur'an kepada Rasulullah. Permulaan turunnya adalah pada
malam lailatul qadar di bulan ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi.
Kemudian turunnya berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan
peristiwa-peristiwa selama kurang lebih 23 tahun.

Hal ini merujuk pada surat al Anfal ayat 41, yang menerangkan tentang turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad pada hari bertemunya dua pasukan. Yang arah dari
ayat ini adalah kepada perang Badar. Pendapat kedua ini juga berpegang dengan
Hadist yang diriwayatkan oleh 'Aisyah tentang mimpi yang benar dan proses
turunnya perintah atau wahyu pertama untuk membaca  (Iqra') ketika Rasulullah
berTahannus di Gua Hira.
Selanjutnya, pendapat ketiga adalah al Qur'an diturunkan ke langit dunia selama
dua puluh tiga malam lailatul qadar. Yang pada setiap malamnya selama malam-
malam lailatul qadar ada yang ditentukan Allah SWT untuk diturunkan pada setiap
tahunnya. Kemudian dari jumlah yang diturunkan tersebut diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Rasulullah sampai wafatnya.

Mayoritas ulama berpendapat tidak ada pertentangan ayat berkenaan dengan


turunnya al Qur'an dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah. Karena yang
pertama, al Qur'an memang diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lalilatul
qadar atau malam yang diberkahi. Kedua, kemudian diturunkan dari langit dunia
secara berangsur-angsur. (a’n)

Sumber : Pimpinan Pusat Muhammadiyah,


http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/16788.html

d) Asbabun Nuzul Al-qur’an


Kata asbab an-nuzul merupakan kata majemuk yang terdiri atas dua suku kata,
yaitu asbab dan nuzul. Adapun asbab adalah jamak dari kata sababun yang artinya
sebab. Sedangkan al-nuzul yang artinya turun. Kedua suku kata ini dalam ilmu
gramatika bahasa Arab disebut tarkib al-idhafiy. Makna tekstual dari dua kata itu
adalah sebab-sebab turun. Adapun definisi asbabun nuzul dalam terminologi pakar
ilmu-ilmu al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Subhi Shalih dalam
bukunya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. “ Sesuatu (peristiwa atau pertanyaan) yang
dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung hukumnya
atau member jawaban tentang sebab itu atau sebagai penjelasan hukumnya, pada
masa terjadinya perisriwa itu ”.
Hampir senada dengan definisi di atas, Dr. Dawud al-Aththar mengemukakan
pengertian asbabun nuzul, yaitu : “Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang melatar
belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan
atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam peristiwa tersebut”
Dari dua definisi asbabun nuzul yang dikemukakan di atas, dapat di tarik suatu
pengertian bahwa yang menjadi “asbab” itu adakalanya terjadi suatu peristiwa yang
membutuhkan penjelasan hukum, atau adanya suatu pertanyaan yang di ajukan
kepada Nabi saw, kemudian turun suatu ayat untuk menjelaskan hukum dari peristiwa
atau pertanyaan tersebut. Makna peristiwa (waqi’ah) dalam definisi di atas dapat
dipahami dalam bentuk pertengkaran, kesalahan yang dilakukan, pujian atas suatu
sikap dan pemecahan masalah. Meskipun demikian, tidak mesti seluruh ayat-ayat
alQur’an mempunyai asbabun nuzul .
Ayat-ayat al-Qur’an bisa dikategorikan dalam dua bagian. Pertama, ayat-ayat
yang turun dikarenakan adanya suatu sebab bersamaan dengan turunnya wahyu.
Kedua, ayat-ayat yang turun lebih awal tanpa adanya peristiwa yang mendahului atau
pertanyaan yang membutuhkan hukum. Secara umum karateristik ayat-ayat yang
turun tanpa didahului peristiwa atau adanya pertanyaan adalah seperti tentang kisah-
kisah para nabi terdahulu dan umatnya, atau menjelaskan peristiwa masa lampau, atau
berita-berita ghaib yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Begitu juga ayat-ayat
yang menjelaskan hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Ayat-ayat yang turun
mengenai persoalan di atas bukan merupakan jawaban atas suatu pertanyaan atau
penjelasan peristiwa yang terjadi.
Untuk mengetahui asbabun nuzul, para ulama berpedoman kepada riwayat sahih
yang bersumber dari Rasulullah saw atau para sahabat. Hal ini dikarenakan
pemberitahuan sahabat mengenai masalah ini, jika redaksinya jelas, bukan lah
didasarkan pada ijtihad semata, tetapi mempunyai hukum marfu’ yang disandarkan
kepada Rasulullah saw . Dalam pandangan al-Wahidiy “Tidak dibolehkan seseorang
berpendapat mengenai asbabun nuzul al-Qur’an, melainkan harus berdasarkan
riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat,
mengetahui sebabsebabnya, membahas tentang pengertiannya dan
bersungguhsungguh dalam mencarinya”
Demikian juga pernyataan yang dikemukakan oleh ‘Ali as-Shabuniy bahwa “
pengetahuan tentang asbabun nuzul tidak bisa diperoleh melalui penalaran (ra’yi),
tetapi harus berdasarkan riwayat sahih yang marfu’ kepada Nabi saw”. Inilah metode
yang ditempuh ulama al-salaf al-shalih untuk menentukan asbabun nuzul. Seiring
dengan berjalannya waktu, maka semakin jauh dari sumber yang asli, dan
berimplikasi pada banyaknya ayat-ayat yang tidak bisa diketahui sebab-sebab
turunnya.
Karenanya, ulama salaf sangat selektif mengenai berbagai riwayat yang berkaitan
dengan asbabun nuzul. Seleksi yang dilakukan oleh ulama salaf dititik beratkan pada
kepribadian para rawi, sumber riwayat dan ungkapan yang digunakannnya. Khusus
mengenai peribadi rawi, orang yang memiliki kredibilitas yang tinggi lah yang
dimintai penjelasannya mengenai asbabun nuzul. Ibnu Sirin menceritakan “ketika aku
bertanya kepada ‘Ubaidah tentang ayat al-Qur’an, ia menjawab “bertakwa lah engkau
kepada Allah dan katakan lah yang benar, orang-orang yang mengetahui tentang apa
al-Qur’an itu diturunkan telah meninggal” Pernyataan Ibnu Sirin di atas-yang
merupakan salah seorang tabi’in terkemuka-menunjukkan kecermatan dan
kehatihatian mereka dalam menerima riwayat asbabun nuzul.

Sumber : Syafril, Dosen Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indragiri,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1092287&val=10960&title=ASABUN%20NUZUL%20KAJIAN
%20HISTORIS%20TURUNNYA%20AYAT%20AL-QURAN

e) Isi kandungan Al-qur’an


Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, karena untuk meneguhkan
hati  Rasulullah SAW. Al-Qur’an turun dalam kurun waktu selama 22 tahun, 2 bulan
dan 22 hari. Didalamnya banyak sekali isi kandungan Al-Quran yang dapat dijadikan
pedoman dan pegangan hidup ummat manusia. Diantaranya berisi tentang aqidah atau
tauhid, ibadah, akhlak, hukum, sejarah atau kisah-kisah para ambia, peringatan dan
ilmu pengetahuan teknologi dan sains. Antara lain :

1. Akidah
Akidah adalah keyakinan, yaitu keyakinan seseorang terhadap Allah,
rasul, para malaikat, kitab-kitab Allah, hari kiamat dan takdir. Didalam Al-
Qur’an semua dijelaskan bagaimana cara kita beriman kepada Allah SWT,
beriman kepada rasul, malaikat, kitab-kitab, hari kiamat dan takdir. Oleh
karena itu sudah sepantasnya bagi kita ummat islam untuk mengetahui isi
kandungan Al-Qur’an. Supaya dapat kita jadikan pedoman hidup kita.
2. Ibadah
Ibadah artinya  tunduk dan taat kepada Allah SWT. yaitu suatu kegiatan
yang dapat dikerjakan manusia untuk menggapai ridha-Nya Allah SWT.
didalam Al-Qur’an dijelaskan tentang bagaimana cara beribadah kepada Allah
SWT, didalam nya berisi perintah sholat, puasa, zakat, haji, kurban dan
sebagainya.
3. Akhlak
Akhlak merupakan prilaku atau tingkah laku manusia, baik akhlak terpuji
maupun akhlak tercela. Diadalam Al-Qur’an menjelaskan tentang bagaimana
prilaku akhlak yang baik, seperti akhlaknya Rasulullah SAW yang disebut
dengan “uswatun hasanah” yang dapat  kita jadikan contoh dan pedoman
dalam kehidupan kita. Sebaliknya didalam Al-Qur’an juga dijelaskan contoh
akhlak yang buruk. Seperti akhlak istri Nabi Luth AS, akhlak istri Nabi Nuh
AS, dan akhlak fir’un yang durhaka kepada Allah SWT. maka akhlak buruk
inilah yang wajib kita jauhi, sekaligus dibuang jauh-jauh agar kita selamat
didunia dan diakhirat.
4. Hukum
Hukum merupakan salah satu isi pokok ajaran al-Qur’an yang berisi
kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan dasar dan menyeluruh bagi umat
manusia.  Didalam Al-Qur’an dijelaskan berbagai hukum-hukum, diantaranya
adalah:  hukum jinayat, hukum mu’amalat, hukum munakahat, hukum faraidh,
dan jihad. Yang tujuannya adalah untuk memberikan pedoman kepada
manusia agar kehidupannya menjadi adil, damai, aman, tentram, sejahtera,
dan selamat didunia dan diakhirat.
5. Peringatan
Peringatan yaitu sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan
ancaman Allah SWT berupa siksa neraka. Dan peringatan ini juga bisa berupa
kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dengan balasan
berupa surga-Nya Allah SWT. Didalam Al-Qur’an banyak sekali berisi
peringatan-peringatan kepada kita agar kita tidak melanggar perintah Allah,
seperti peringatan larangan khamar, peringatan tentang agar kita tidak
mendurhakai orang tua, dan peringatan agar kita tidak menyukutukan Allah.
Ini semua bertujuan untuk mengingatkan  kita akan adanya azab Allah dan
hari akhir.
6. Kisah
Didalam Al-Qur’an juga berisi banyak kisah-kisah diantaranya adalah
kisah para nabi dan rasul, kisah hari kiamat, dan kisah kisah orang-orang yang
terdahulu, seperti  kisah orang-orang  yang mengalami kehinaan akibat
durhaka kepada Allah SWT, dan kisah orang-orang yang mendapatkan
kejayaan dan kemuliaan disisi Allah karena keta’atan dan keimanannya
kepada Allah SWT.
7. Dasar ilmu pengetahuan sains dan teknologi
Didalam Al-Qur’an juga berisi tentang ilmu pengetahuan sains dan
teknologi yang bersifat potensial  agar dapat dikembangkan guna untuk
kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Subhanallah, Allah maha
memberi ilmu kepada manusia, sehingga begitu banyaknya alat-alat teknologi
yang berkembang sekarang ini, yang dapat kita pergunakan untuk kehidupan
kita.  Itu semua tidak luput dari kekuasaan Allah. Oleh karena itu mari kita
jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan memperbanyak membaca
Al-Qur’an dan memahami isi kandungannya. Agar kita selamat didunia dan
diakhirat kelak.

Sumber : Pondok Modern Al-Barokah Nganjuk, http://www.albarokah-


pesantren.com/isi-pokok-kandungan-al-quran/

2. JELASKAN PENGERTIAN HADIS, NAMA-NAMA LAIN, ASBABU WURUDNYA,


PROSES PEMBUKUANNYA, KUTUBUSSITTAH DAN KELEBIHAN-
KELEBIHANNYA  KALAU ANDA MENGUTIP SERTAI BUKU REFRENSINYA
KALAU INTERNET  HARUS DITUNJUKKAN PENULIS DARI AHLI HADIS.
Jawaban :
a) Pengertian hadis
Hadits atau sunnah Nabi, ialah segala perbuatan, perkataan, ketetapan, sifat
jasmani, atau akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sunnah Nabi merupakan
dasar hukum Islam tertinggi kedua setelah Al Quran.
Secara harfiah, hadits berarti perkataan atau percakapan. Sedangkan menurut
terminologi dalam agama Islam, hadits merupakan ketetapan dan hukum dalam
agama Islam yang berasal dari perkataan, perbuatan, berikut ketetapan dan juga
persetujuan dari Rasulullah SAW. Hadits termasuk salah satu sumber hukum dalam
Islam selain Al-qur’an, ijma dan juga qiyas.
Menurut ahli hadits diantaranya adalah Al Hafidz dalam Syarh Al bukhary
dan Al Hafizh dari Shakawu, hadits adalah segala ucapan, perbuatan, dan juga
keadaan dari Nabi Muhammad SAW termasuk didalamnya segala macam keadaan
beliau yang diriwayatkan dalam sejarah baik itu tentang kelahiran beliau, tempat
tempat tertentu dan peristiwa peristiwa tertentu yang berkaitan dengan itu, baik
sebelum dibangkitkan sebagai Rasulullah maupun setelahnya.
Sumber : Ustadz Abdul Somad, https://alquranalfatih.com/ilmu-islam/pengertian-hadits/
dan Yusron, https://belajargiat.id/hadits/.

b) Nama-nama lain hadis


Apa sajakah istilah lain dari hadits? Berikut Istilah-istilah lain untuk hadits.
 As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “Jalan dan kebiasaan yang baik atau
yang jelek”. Menurut MT. Hasbi Ash Shiddieqy,ditinjau dari sudut bahasa
(lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak. Sedangkan sunnah
menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari
Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran,
sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW
diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang
membedakannya, bahkan ada yang member syarat-syarat tertentu, yang berbeda
dengan istilah hadits.
Ulama ahli hadits merumuskan pengertian Sunnah sebagai berikut:
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat
menjadi rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira’ maupun sesudahnya”.
Defenisi ini sama halnya dengan pendefenisian Hadits. Ini disebabkan
mereka memandang diri Rasulullah sebagai Uswatun Hasanah atau Qudwah
(contoh atau teladan) yang paling sempurna bukan sebagai sumber hukum.
Oleh karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh
segala berita yang diterima tentang diri rasul. Tanpa membedakan apakah isinya
berkaitan dengan penetapan hokum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak
melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya
itu dilakukan sebelum di utus menjadi Rasul atau sesudahnya.
Menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada
perkataan Sunnah dalam sabda Nabi sebagai berikut: “Sungguh telah saya
tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang
kepadanya, yakni kitabullah dan sunnah rasul-Nya” (HR Malik)
Perbedaan pengertian tersebut diatas, disebabkan karena ulama hadits
memandang Nabi SAW, sebagai yang sempurna, yang dijadikan suri tauladan
bagi umat muslim, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat AL-Ahzab ayat
21, sebagai berikut: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu”.
Ulama hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
nabi Muhammad SAW, baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum
syariat islam maupun tidak. Sedangkan agama ushul fiqih, memandang Nabi
Muhammad SAW sebagai Musyarri: artinya pembuat undang-undang disamping
Allah. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi: “…
Apa yang diberikan oleh rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang
dilarang oleh rasul jauhilah”.
 Khabar
Khabar menurut bahasa ialah berita yang disampaikan dari seseorang
kepada seseorang sedangkan jamaknya akhbar, muradinya, naba yang jamaknya
anba orang yang banyak menyampaikan khabar dinamai khabir.
Khabar menurut lughat (bahasa) serupa dengan makna hadis, ialah berita
yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut istilah sumber ahli hadis, baik warta dari Nabi maupun dari
sahabat, ataupun warta dari tabi’in.
Ada yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang
diterima dari yang selain Nabi SAW. Ada pula yang mengatakan bahwa khabar
lebih umum daripada hadis, karena masuk ke dalam perkataan khabar. Segala
yang diriwayatkan baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadis khusus
adalah yang diriwatkan dari Nabi saja. Ada juga yang mengatakan khabar dan
hadis diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi SAW. Saja. Ada juga yang
mengatakan, khabar dan hadis, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja,
sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai atsar.
Ada pula yang menyatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis
karena masuk masuk kedalam perkataan khabar. Segala yang diriwatkan baik dari
Nabi maupun dari selainya.
 Atsar
Atsar menurut bahasa ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu. Dan berarti
nukilan (yang dinukilkan). Sedangkan menurut istilah yaitu segala sesuatu yang
diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW.
Sebagian ulama menyamakan istilah Hadis dan Atsar seperti Al Thabary
memakai kata atsar untuk sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan Al
Thabawy juga memasukkan apa yang berasal dari sahabat. Sebahagian yang lain
mengatakan bahwa Atsar tidak sama dengan Hadis. Fuqaha Khurasan mengatakan
Atsar adalah perkataan sahabat.
Al Zarkasyi memakai istilah Atsar untuk Hadis Mauquf, tetapi
membolehkan juga memakai istilah Atsar untuk Hadis Marfu. Atsar pada lughat
ialah bekas sesuatu, sisa sesuatu dan berarti nukilan (yang dinuklikan) sesuatu
do’a umpamanya yang dinukilkan dari nabi dinamai do’a matsu.
Para fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan ulama
salaf, sahabat,  tabi’in dan lain-lain.
Ada yang mengatakan bahwa atsar lebih (umum) daripada khabar. atsar
dihubungkan kepada yang datang dari nabi dan yang selainnya sedangkan khabar
dihubungkan kepada yang datang dari nabi saja.
Al-Imam An-Nawawi menerangkan bahwa fuqaha Khurasan menamai perkataan-
perkataan sahabat (hadis mauquf) dengan atsar dan menamai hadis Nabi dengan
khabar. Tetapi para muhadditsin umumnya menamai hadis Nabi dan perkataan
sahabat dengan atsar juga dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk
perkataan-perkataan tabi’in saja.

Sumber : Islampedia, https://islampedia.wordpress.com/2016/01/24/istilah-lain-untuk-


hadits/

c) Asbabu wurud hadis


Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari
kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut
ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai
segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut
istilah adalah :
‫كل شيء يتوصل به الى غا يته‬
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya
suatu hukum tanpa ada  pengaruh apapun dalam hukum itu.
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
‫الماء الذي يورد‬
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[1]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-
sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu
hadis, maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang
(background) munculnya suatu hadis.
Tentang asbaabul wuruudil hadist, Imam Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i atau
lebih dikenal dengan Imam As-Syafi’i, dalam kitabnya Ar-Risaalah mengingatkan, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, ada kalanya suatu hadist lahir karena Rasulullah ditanya tentang sesuatu
hal oleh para sahabat. Akan tetapi, dalam periwayatan (transmisi)-nya, si periwayat tidak
menyampaikan hadis tersebut secara sempurna (misalkan, tidak menyebutkan pertanyaan
yang melahirkan jawaban tersebut). Atau, hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang
yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban Rasulullah tersebut. Namun ia tidak
mengetahui masalah atau latarbelakang yang melatari jawaban Rasulullah pada hadist
tersebut.
Kedua, ada kalanya Rasulullah menetapkan suatu ketentuan atas suatu masalah.
Kemudian pada kesempatan lain, menyangkut masalah yang sama, beliau menetapkan
pula suatu ketentuan yang tampaknya berbeda. Akan tetapi, sebagian orang tidak
mengetahui peristiwa yang melatarinya dalam kesempatan berbeda itu, sehingga
mengesankan ada ketidakkonsistensi atau bahkan pertentangan. Padahal sebenarnya
bukanlah demikian.
Maka memahami matan hadist dengan memperhatikan asbaabul wuruud-nya,
akan  mendapatkan pemahaman yang minimal mendekati apa yang dimaksudkan Nabi
saat mencetuskan hadist tersebut.
Paling tidak ada enam fungsi asbabul wurud antara lain untuk:
 Menentukan adanya adanya takhshish hadits yang bersifat umum.
 Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak.
 Men-tafshil (memerinci) hadits yang masih bersifat global.
 Menentukan ada tidaknya nashikh mansukh dalam suatu hadits.
 Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
 Menjelaskan maksud suatu hadits yang masih musykil (sulit dipahami atau janggal)
Ada beberapa faedah dari mempelajari sebab-sebab keluarnya hadits adalah sebagai
berikut:
 Takhshish al-’ Am (Mengkhususkan yang Umum)
 Taqyid al-Muthlaq (Membatasi yang Mutlak)
 Tafshil al-Mujmal (Merinci Hal yang Masih Global)
 Menentukan Perkara Naskh dan Menerangkan Mana Nasikh dan Mansukh
 Memperjelas Hal yang Tidak Jelas
 Untuk menolong memahami dan menafsirkan al-Hadits. Sebab sebagaimana
diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab tentang terjadinya sesuatu itu
merupakan sarana untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya.
 Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at (hukum).
 menjelaskan kemusykilan dan menunjukan illat suatu hukum, dll.
Maka, dengan memahami ilmu asbabul wurud al-hadits, kita dapat mengetahui dan
memahami dengan mudah makna, pesan dan maksud yang terkandung dalam suatu
hadits. Akan tetapi, tidak semua hadits memiliki asbabul wurud, seperti halnya tidak
semua ayat al-Quran memiliki asbab an-Nuzul-nya.

Sumber : Ilmu Hadis, https://tahdits.wordpress.com/2013/01/08/asbabul-wurud/.

d) Proses pembukuan hadis


Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah
(lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah
mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu
menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan
pengumpulan dan pembukuan adalah:
 Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan
orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin
Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan
hadits.
 Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan
orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa
penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
 Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah
terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan
pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing
golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an
dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar
bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan
hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz
merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan
hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan
tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak
berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian
banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda.
Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan
metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’
bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para
ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-
Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-
Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
1. Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
2. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3. As-Sunan karya Said bin Mansur
4. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode
berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam saja.
Sumber : Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits: Pustaka Al-Kautsar

e) Kutubussitah dan kelebihan hadis


1. Kutubussitah hadis
Istilah Kutubus Sittah digunakan untuk menyebut enam kitab induk hadits, yaitu
Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An Nasa`I, Sunan Abi Dawud, Sunan At
Tirmidzi, dan Sunan Ibni Majah. Mari kita mengenalnya secara ringkas.
1) Shahih Al Bukhari
Kitab ini diberi judul Al Jami’ Ash Shahih oleh penyusunnya. Beliau
menyeleksi hadits yang tercantum dalam kitab ini dari 600 ribu hadits.
Beliau rahimahullah bersusah payah dalam memilih, menyeleksi dan mencari
hadits yang shahih hingga setiap kali hendak menuliskan hadits (dalam kitab ini),
beliau selalu berwudhu dan mengerjakan shalat dua rakaat sembari memohon
petunjuk kepada Allah dalam menuliskannya. Setiap hadits bersanad yang beliau
tuliskan dalam kitab ini memiliki sanad shahih dari rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan sanad yang muttashil (bersambung) dimana para perawinya
telah memenuhi persyaratan dalam hal keadilan dan kesempurnaan hafalan.
Beliau menyelesaikan penyusunan kitab tersebut selama enam belas tahun.
Setelah itu, beliau mengajukan kitabnya itu kepada Imam Ahmad, Yahya bin
Ma’in, ‘Ali bin Al Madini, dan selain mereka, kemudian mereka menilainya
sebagai kitab yang bagus dan memberi rekomendasi/persaksian akan keabsahan
hadits dalam kitab tersebut.
Para ulama di setiap zaman menerima kitab tersebut dengan sepenuh hati. Al
Hafizh Adz Dzahabi berkata, “Ini adalah salah satu kitab dalam ilmu Islam yang
paling bagus dan paling utama setelah kitab Allah ta’ala.”
Jumlah hadits dalam Shahih Al Bukhari termasuk yang terulang berjumlah
7397 buah dan jika tidak termasuk yang terulang berjumlah 2602 buah.
Demikianlah yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
Al Bukhari adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi. Al Ju’fi Al Farisi adalah (maula mereka) yang
berasal Persia.
Al Bukhari dilahirkan pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh sebagai
anak yatim di bawah asuhan ibunya. Kemudian mulai menempuh perjalanan
untuk mencari hadits pada tahun 210 H. Beliau berpindah-pindah tempat di dalam
negerinya dalam rangka mencari hadits. Kemudian tinggal di Hijaz selama enam
tahun. Setelah itu, pergi ke Syam, Mesir, Jazirah, Bashrah, Kufah, dan Baghdad.
Beliau rahimahullah memiliki hafalan yang sangat kuat. Disebutkan bahwa
beliau bisa menghafal sebuah kitab dengan sekali membaca. Beliau adalah
seorang yang sangat zuhud dan wara’, jauh dari kehidupan para penguasa dan
pemimpin. Beliau seorang yang sangat pemberani dan dermawan. Para ulama
yang semasa dengan beliau dan sesudahnya memuji beliau. Imam Ahmad
berkata, “Khurasan tidak pernah mengeluarkan orang sehebat dia.” Ibnu
Khuzaimah berkata, “Di bawah kolong langit ini tidak ada orang yang lebih tahu
dan lebih hafal hadits rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Muhammad
bin Isma’il Al Bukhari.”
Beliau adalah seorang mujtahid dalam bidang fiqih. Beliau sangat teliti dalam
mengambil kesimpulan hukum suatu hadits sebagaimana dapat disaksikan dalam
judul-judul bab dalam kitab Shahih-nya.
Beliau rahimahullah wafat di daerah Khartank yang berjarak dua farsakh dari
Samarkand pada malam ‘Idul Fithri tahun 256 H dalam usia 62 tahun kurang tiga
belas hari. Beliau meninggalkan ilmu yang sangat banyak dalam berbagai kitab
karangannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan
memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya bagi kaum muslimin.
2) Shahih Muslim
Kitab ini adalah kitab yang telah terkenal dan disusun oleh Muslim bin Al
Hajjaj rahimahullah. Beliau mengumpulkan hadits-hadits shahih dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut penilaiannya di dalam kitab ini.
An Nawawi berkata, “Di dalam kitab ini beliau menerapkan metode yang sangat
bagus dalam hal ketelitian, kesempurnaan, wara’, dan ma’rifah dimana sangat
jarang seorang mendapatkan petunjuk untuk melakukan hal tersebut kecuali
beberapa orang saja di beberapa masa.”
Beliau mengumpulkan hadits-hadits yang sesuai dalam satu tempat dan
menyebutkan berbagai jalur dan lafadz-lafadz hadits yang dia susun per-bab.
Hanya saja, beliau tidak menyebutkan judul-judul bab tersebut. Mungkin karena
khawatir akan menambah tebal kitab tersebut atau karena terdapat alasan yang
lain.
Setiap bab dalam kitab ini telah diberi judul oleh sejumlah ulama yang
menjelaskannya. Di antara syarah yang paling bagus adalah yang disusun oleh An
Nawawi rahimahullah. Jumlah hadits dalam kitab ini adalah 7275 buah, termasuk
hadits yang terulang dan jika dibuang, hanya berjumlah 4000 buah.
Apabila ditinjau dari segi keabsahannya, maka mayoritas atau seluruh ulama
telah sepakat bahwa Shahih Muslim menduduki tingkat kedua setelah Shahih Al
Bukhari. Ada yang mengatakan ketika membandingkan dua kitab shahih ini:
ِ ‫اج َر قَوْ ٌم فِي ْالبُ َخ‬
‫اريِّ َو ُم ْسلِ ٍم‬ َ ‫تَ َش‬
‫ أَيُّ َذي ٍْن تقدم‬:‫ي َو قَالُوْ ا‬َّ ‫لَ َد‬
ً‫ص َّحة‬ ِ ‫ق ْالب‬
ِ ُّ‫ُخَاري‬ ُ ‫فَقُ ْل‬
َ ‫ لَقَ ْد فَا‬:‫ت‬
‫صنَا َع ِة ُم ْسلِ ٌم‬
َّ ‫ق فِي ُح ْس ِن ال‬ َ ‫َك َما فَا‬
Orang-orang berbeda pendapat tentang kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim di
hadapanku  
Mereka berkata: Mana di antara keduanya yang lebih unggul?
Aku pun berkata: Shahih Al Bukhari lebih unggul dalam hal keshahihan
Sebagaimana Shahih Muslim lebih unggul dalam hal penyusunan
Muslim adalah Abu Al Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi
An Naisaburi. Beliau dilahirkan pada tahun 210 H. Beliau melakukan perjalanan
ke berbagai negeri dalam rangka mencari hadits. Beliau pergi ke Hijaz, Syam,
‘Iraq, dan Mesir. Ketika Al Bukhari datang di Naisabur, dia belajar kepadanya,
mempelajari ilmunya dan mengikuti setiap langkahnya.
Banyak ulama ahli hadits dan selainnya memberikan pujian kepadanya. Beliau
meninggal pada tahun 261 H. Beliau meninggalkan ilmu yang banyak di dalam
karya-karyanya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan
memberi balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya yang beliau berikan kepada
kaum muslimin.

3) Sunan An Nasa`i
An Nasa`i rahimahullah menyusun kitabnya As Sunan Al Kubra dan
memasukkan ke dalamnya berbagai hadits shahih dan cacat. Kemudian beliau
meringkasnya dalam kitab As Sunan Ash Shughra dan beliau beri judul Al
Mujtaba yang di dalamnya beliau hanya mengumpulkan berbagai hadits shahih
menurut penilaiannya.
Kitab inilah (Al Mujtaba –pent.) yang dimaksud jika ada hadits yang
riwayatnya dinisbatkan kepada An Nasa`i.
Al Mujtaba adalah kitab Sunan yang paling sedikit mengandung
hadits dla’if dan perawi yang dijarh. Derajat kitab ini berada setelah Ash
Shahihain. Ditinjau dari sisi para perawinya, kitab ini didahulukan
daripada Sunan Abi Dawud dan Sunan At Tirmidzi karena beliau sangat berhati-
hati dalam memilih para perawi. Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata, “Banyak perawi yang dipakai Abu Dawud dan At
Tirmidzi yang ditinggalkan oleh An Nasa`i dalam meriwayatkan haditsnya.
Bahkan, dalam meriwayatkan haditsnya dia meninggalkan sejumlah perawi yang
terdapat dalam Ash Shahihain.”
Kesimpulannya, syarat An Nasa`i yang digunakan dalam Al Mujtaba adalah
syarat yang paling ketat setelah syarat dalam Ash Shahihain.
An Nasa`i adalah Abu ‘Abdir Rahman, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali An
Nasa`i. Disebut juga An Nasawi karena dinisbatkan kepada daerah Nasa, sebuah
negeri yang terkenal di daerah Khurasan.
Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di Nasa. Kemudian melakukan perjalanan
untuk mencari hadits. Beliau mendengar hadits dari penduduk Hijaz, Khurasan,
Syam, Jazirah, dan selainnya. Beliau tinggal lama di Mesir. Di sanalah beliau
karya beliau tersebar luas. Kemudian beliau pergi ke Dimasyq dan mendapatkan
ujian (fitnah) di sana.
Beliau meninggal pada tahun 303 H di Ramalah, Palestina dalam usia 88
tahun. Beliau meninggalkan karya yang banyak dalam bidang hadits dan ‘ilal.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan memberinya balasan
yang lebih baik atas jasa-jasanya kepada kaum muslimin.
4) Sunan Abi Dawud
Kitab ini adalah kitab yang berisi 4800 hadits yang diseleksi oleh
penyusunnya dari 500.000 hadits. Beliau hanya menyebutkan hadits-hadits
tentang hukum. Beliau berkata, “Di dalamnya saya menyebutkan hadits yang
berderajat shahih, yang serupa (mirip) atau yang mendekati derajat shahih. Jika
dalam kitabku ini ada hadits yang mengandung kelemahan yang berat, pasti saya
jelaskan. Di dalam kitab ini tidak terdapat riwayat yang berasal dari seorang
perawi matruk. Hadits yang tidak saya komentari, berarti hadits tersebut hadits
yang shalih (baik) dan sebagian hadits lebih shahih dari yang lainnya. Dan
hadits-hadits yang saya cantumkan dalam kitab Sunan sebagian besar
merupakan hadits-hadits yang populer (masyhur).”
As Suyuthi berkata, “Kemungkinan yang dimaksud shalih (baik) olehnya
adalah baik untuk dijadikan sebagai i’tibar (shalih lil i’tibar), bukan sebagai
hujjah (shalih lil ihtijaj) sehingga dengan demikian ungkapan shalih yang beliau
kemukakan mencakup hadits yang dla’if.
Namun, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa diriwayatkan bahwa beliau (Abu
Dawud) berkata, “Hadits yang aku diamkan berarti hadits hasan.” Jika
perkataan ini memang benar berasal dari beliau, berarti tidak ada masalah
lagi.”, yakni tidak ada masalah bahwa maksud shalih dalam ungkapan beliau
tersebut adalah baik untuk dijadikan sebagai hujjah (shalih lil ihtijaj).
Ibnu Ash Shalah berkata, “Berdasarkan ucapan beliau ini, maka hadits yang
kita temukan dalam kitab beliau yang disebutkan secara mutlak dan tidak
tercantum dalam Ash Shahihain serta tidak seorangpun dari ulama hadits yang
menegaskan akan keabsahan hadits tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa
hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang hasan menurut penilaian Abu
Dawud.”
Ibnu Mandah berkata, “Abu Dawud meriwayatkan isnad yang dla’if  jika
dalam suatu permasalahan tidak terdapat hadits lain selain hadits dla’if  itu. Hal
ini beliau lakukan karena menurutnya hadits dla’if lebih kuat daripada pendapat
yang dikemukakan seorang.”
Sunan Abi Dawud ini sangat terkenal di kalangan ahli fiqih (fuqaha`) karena
kitab ini mengumpulkan hadits-hadits hukum. Penyusunnya mengatakan bahwa
dia telah menyodorkan kitabnya tersebut kepada Imam Ahmad bin Hambal dan
beliau menilainya sebagai kitab yang bagus dan baik. Ibnu Al Qayyim
memberikan pujian yang hebat (terhadap kitab ini)
dalam Muqaddimah kitab Tahdzib-nya.
Abu Dawud adalah Sulaiman bin Al Asy’ats bin Ishaq Al Azdi As Sijistani.
Beliau dilahirkan di Sijistan, salah satu daerah di Bashrah, pada tahun 202 H.
Beliau melakukan berbagai perjalanan mencari hadits. Beliau menulis hadits dari
penduduk Syam, Irak, Mesir, dan Khurasan. Beliau mengambil hadits dari Ahmad
bin Hambal dan juga dari guru-guru Al Bukhari dan Muslim.
Para ulama memberikan pujian kepadanya dan menyebutkan bahwa beliau
memiliki hafalan yang sempurna, pemahaman yang kuat, dan seorang
yang wara’. Beliau meninggal di Bashrah pada tahun 275 H dalam usia 73 tahun.
Beliau meninggalkan karya yang banyak. Semoga Allah melimpahkan rahmat-
Nya kepadanya dan memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya yang
diberikan kepada kaum muslimin.
5) Sunan At Tirmidzi
Kitab ini juga terkenal dengan nama Jami’ At Tirmidzi. At
Tirmidzi rahimahullah menyusunnya berdasarkan dengan bab-bab fiqih. Beliau
menjelaskan derajat shahih, hasan, atau dla’if setiap hadits pada tempatnya
masing-masing dan menjelaskan sisi kelemahannya. Beliau juga menjelaskan
ulama yang beliau ambil pendapatnya baik dari kalangan sahabat atau selainnya.
Di akhir kitab tersebut, beliau menyusun sebuah kitab yang membahas tentang
ilmu ’ilal dan dalamnya beliau mengumpulkan berbagai faedah yang penting.
Beliau berkata, “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini dapat diamalkan.
Sebagian ulama telah berdalil dengannya kecuali dua hadits, yaitu hadits Ibnu
‘Abbas
ٍ ْ‫ب َو ْال ِع َشا َء ِم ْن َغي ِْر َخو‬
‫ف َوالَ َسفَ ٍر‬ َ ‫الظ ْه َر َو ْال َعصْ َر بِ ْال َم ِد ْينَ ِة َو ْال َم ْغ ِر‬
ُّ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َج َم َع بَ ْين‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dan
‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya` di Madinah bukan karena takut dan bukan pula
karena sedang safar.”
Dan hadits
(( ُ‫ب فَاجْ لِ ُدوْ هُ فَإ ِ ْن عَا َد فِي الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬
َ ‫)) إِ َذا َش ِر‬
“Jika seseorang minum khamer, cambuklah. Kemudian jika masih mengulang
lagi pada kali yang keempat, bunuhlah.”
Dalam kitab ini terdapat berbagai faedah dalam bidang fiqih dan hadits yang
tidak ada dalam kitab yang lain. Para ulama dari Hijaz, ‘Iraq dan Khurasan
menilainya sebagai kitab yang bagus tatkala penyusunnya menyodorkan kitab ini
kepada mereka.
Ibnu Rajab berkata, “Ketahuilah bahwa At Tirmidzi mentakhrij
(mengeluarkan) hadits shahih, hasan, dan gharib dalam kitabnya. Namun
sebagian hadits gharib yang beliau takhrij berderajat munkar, khususnya dalam
kitab Al Fadha`il. Meskipun demikian, pada umumnya hal itu beliau jelaskan.
Setahu saya beliau tidak mentakhrij hadits dari perawi yang dituduh berdusta
dan telah disepakati sebagai perawi yang tertuduh berdusta jika bersendirian
dalam meriwayatkan hadits. Memang benar terkadang beliau mentakhrij hadits
dari perawi yang hafalannya jelek (sayyiul hifzhi) dan dari perawi yang
kebanyakan haditsnya lemah, tetapi biasanya beliau menjelaskan hal itu dan
tidak mendiamkannya.”
At Tirmidzi adalah Abu ‘Isa, Muhammad bin ‘Isa bin Surah As Sulami At
Tirmidzi. Beliau dilahirkan di Tirmidz -sebuah kota di ujung Jaihun- pada tahun
209 H. Beliau berkeliling ke seluruh negeri dan mendengar hadits dari penduduk
Hijaz, ‘Iraq, dan Khurasan.
Para ulama sepakat atas keimaman dan kemuliaan beliau. Bahkan, Al Bukhari
pun bersandar pada periwayatannya dan mengambil riwayat darinya padahal Al
Bukhari merupakan salah satu gurunya.
Beliau meninggal pada tahun 279 H dalam usia 70 tahun. Beliau
menghasilkan karya-karya yang sangat bermanfaat dalam bidang ‘ilal dan
selainnya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya dan memberinya balasan
yang lebih baik.
6) Sunan Ibnu Majah
Ini adalah kitab yang disusun oleh penulisnya berdasarkan urutan bab. Di
dalamnya penyusun mengumpulkan 4341 buah hadits. Berdasarkan pendapat
yang masyhur di kalangan mutaakhirin kitab ini termasuk kitab induk keenam
dari enam kitab induk hadits. Meskipun demikian, kitab ini derajatnya lebih
rendah dari kitab Sunan An Nasa`i, Sunan Abi Dawud, dan Sunan At Tirmidzi.
Bahkan, telah masyhur bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara
bersendirian umumnya adalah hadits dla’if. Akan tetapi, Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata lain, “ Hal itu tidaklah bersifat mutlak menurut penelitian saya. Namun,
secara global, di dalam kitab tersebut memang banyak terdapat hadits mungkar.
Wallahul Musta’an.”
Adz Dzahabi berkata, “Di dalamnya terdpat hadits-hadits mungkar dan
sejumlah kecil hadits maudlu’.”
As Suyuthi berkata, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dari para
perawi yang dituduh berdusta dan mencuri hadits, dan sebagian dari hadits-
hadits tersebut tidak diketahui kecuali dari jalur mereka ini.”
Mayoritas hadits yang beliau takhrij juga diriwayatkan oleh semua atau
sebagian penyusun enam kitab induk hadits. Dan beliau meriwayatkan hadits
secara bersendiri dan tidak diriwayatkan oleh mereka (penyusun enam kitab induk
hadits) sebanyak 1339 buah sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ustadz
Muhammad Fu`ad ‘Abdul Baqi.
Ibnu Majah adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin ‘Abdillah bin
Majah (dengan huruf ha` yang disukun, tetapi ada yang mengatakan dengan huruf
ta`) Ar Raba’i (maula mereka) Al Qazwini.
Beliau dilahirkan di Qazwin –termasuk wilayah ‘Iraq- pada tahun 209 H.
Beliau melakukan perjalanan dalam mencari hadits sampai ke Ar Ray,
Bashrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir, dan Hijaz. Beliau mengambil hadits dari
banyak orang di negeri-negeri tersebut. Beliau meninggal pada tahun 273 H
dalam usian 64 tahun. Beliau memiliki banyak karya yang bermanfaat. Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya dan memberi balasan yang lebih baik atas jasa-
jasanya kepada kaum muslimin.

2. Kelebihan hadis
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas
dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran. Hadist memiliki
peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah SWT di dalam Al-
Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam islam adalah sebagai
berikut:
 Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al Quran)
Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-Quran.
Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim terkait
perintah berwudhu, yakni:
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats
sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
ِ Ÿِ‫ ِد يَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬Ÿ‫صلَو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َوأَ ْي‬
ِ‫ ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم ا‬Ÿ‫حُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس‬Ÿ‫ق َوا ْم َس‬Ÿ ّ ‫يَااَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ااِ َذاقُ ْمتُ ْم ِالَى ال‬
‫لَى ْال َك ْعبَ ْي ِن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)
 Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al Quran)
Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian)
terhadap isi al quran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan
batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid).
Contoh hadist sebagai bayan At tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW
mengenai hukum pencurian.
ِّ‫ص ِل ْالكَف‬ ِ ‫أَتَى بِ َسا ِر‬
َ ‫ق فَقَطَ َع يَ َدهُ ِم ْن ِم ْف‬
“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau
memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”
Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:
ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ااَ ْي ِد يَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِمنَ هللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)
Dalam AlQuran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan
memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW
memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.
 Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di Al
Quran)
Hadist sebagai bayan At tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau
ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran
hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana contohnya hadist
mengenai zakat fitrah, dibawah ini:
‫ا ِم ْن‬ŸŸ‫ا ًع‬Ÿ ‫ص‬ َ ْ‫صا عًا ِم ْن تَ َم ٍراَو‬ َ ‫اس‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬ ْ ِ‫ض زَ َكا ةَ الف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ ِ‫اِ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫َش ِعي ٍْر َعلَى ُك ِّل حُرٍّ اَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).
 Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir
(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah
(menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan
yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.
Salah satu contohnya yakni:
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬
 “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:
َ‫ف َحقًّا َعلَى ال ُمتَّقِ ْين‬
ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َو ْاألَ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َمو‬
َ ‫ت اِ ْن تَ َر‬
ِ ‫ك خَ ْي َرال َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di
kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh
al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah
berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir.
Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus
mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi
hadist.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, hadist mempunyai kedudukan sebagai
sumber hukum islam kedua. Di dalam Al Quran juga telah dijelaskan berulang kali
perintah untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, sebagaimana yang terangkum
firman Allah SWT di surat An-Nisa’ ayat 80:
َ ‫َم ْن يُ ِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا َ ۖ َو َم ْن ت ََولَّ ٰى فَ َما أَرْ َس ْلنَا‬
‫ك َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”(QS.An-Nisa: 80)
Selain itu, Allah SWT menekankan kembali dalam surat Al-Asyr ayat 7:
…..…‫…… َو َمااَتَا ُك ْم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا‬
“Apa yang diperintahkan Rasul, maka laksanakanlah, dan apa yang dilarang
Rasul maka hentikanlah” (QS.Al-Hasyr:7)
Demikianlah ulasan mengenai fungsi hadist dalam islam. Semoga kita bisa
menjadi hamba yang taat kepada Al Quran dan Al-Hadist. Di samping itu, kita juga
perlu jeli dalam membedakan antara hadist yang shahih, dho’if, dan hadist palsu.
Sumber : Majelis Penulis, http://majelispenulis.blogspot.com/2011/11/mengenal-
kutubus-sittah-enam-kitab.html dan Redaksi DalamIslam,
https://dalamislam.com/landasan-agama/hadist/fungsi-hadist-dalam-islam.

3. DISKRIPSIKAN PENGERTIAN NIKAH, SYARAT DAN RUKUNNYA, HIKMAHNYA,


KRITERIA CALON PASANGAN, SERTA HAKNYA MASING-MASING (SUAMI-
ISTRI), MAKSUD SAKINAH, MAWADDAH DAN WARAHMAH. HARUS JELAS
SUMBER REFRENSINYA, KALAU INTERNET HARUS BERDASARKAN AHLI FIKHI
DAN AHLI TAFSIR. 
Jawaban :
a) Pengertian nikah
Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, kata “nikah” berasal dari kata -‫نكح‬
“mengawini “artinya yang ‫تنكح‬ŸŸ‫اس‬-‫ا‬ŸŸ‫نكاح‬-‫ا‬ŸŸ‫نكح‬-‫ ينكح‬. Kata “nikah” kemudian di bakukan
menjadi bahasa Indonesia.
Kata “nikah” atau “kawin” mengandung dua maksud. Kata “nikah” ditujukan
untuk manusia, karena kata “nikah” lebih etis di bandingkan dengan kata “kawin”,
karenanya kata “kawin” lebih cocok digunakan untuk makhluk selain manusia. Namun
adakalanya kata nikah atau kawin, sama-sama ditujukan untuk manusia, tetapi dengan
pengertian yang berbeda. Kawin diartikan dengan manusia yang melakukan hubungan
seksual, sedangkan nikah diartikan sebagai akad (upacara dihadapan petugas pencatat
nikah).
Nikah secara bahasa, berarti Al-dhammu wattadaakhul (bertindih dan
memasukkan). Sedangkan nikah secara istilah mengandung dua makna, yaitu makna
yang umum dan makna yang syar‟i. Makna nikah yang umum yaitu proses mendapatkan
kepuasan dengan cara menikmati seluruh anggota badan antara laki-laki dengan
perempuan melalui akad yang sah. Sedangkan makna nikah yang syar‟i ialah suatu
proses seseorang dalam melaksanakan perintahNya dengan jalan yang haq.
Berikut definisi para ulama dalam menjelaskan arti nikah secara istilah :
a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu akad
yang berguna untuk memiliki mut‟ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki
dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan
kesenangan dan kepuasan;
b. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafadz “nikah” atau “zauj”, yang menyimpan arti memiliki. Artinya
dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari
pasngannya;
c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang
mengandung arti mut‟ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
membayar harga;
d. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan
lafadz “nikah” atau “tazwij” untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki
dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Dalam
pengertian di atas terdapat kata-kata milik yang mengandung pengertian hak untuk
memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil
manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan
membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah di dunia.
Dari beberapa pengertian nikah menurut ulama di atas, dapat di simpulkan bahwa
pernikahan adalah suatu akad antara seorang laki-laki dan perempuan yang di dasari atas
kerelaan antara kedua belah pihak yang dilakukan oleh wali nikah menurut ketetapan
syara‟ sehingga menghalalkan keduanya untuk melakukan pencampuran sehingga satu
sama lain saling membutuhkan dan menjadi teman hidup dalam berumah tangga.
Menurut Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada BAB I
DASAR PERKAWINAN Pasl 1 dinyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.

Sumber : syekhnurjati,
http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214113440025.pdf

b) Syarat dan rukun nikah


Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi
agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi
maupun nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang harus
dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab kabul
hukumnya tidak sah.
a. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan
pernikahan, mencakup :
1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan
2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saksi
4. Ijab kabul yang  sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan
dijawab oleh calon mempelai laki-laki.
b. Syarat Nikah
Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah
1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini
 Beragama Islam
 Berjenis kelamin Laki-laki
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak memiliki halangan untuk menikah
2. Calon istri dengan syarat-syarat
 Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga
nasrani maupun yahudi)
 Berjenis kelamin Perempuan
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak terhalang untuk menikah
3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga urutan
wali nikah).
 Laki-laki
 Dewasa
 Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
 Adil
 Beragama Islam
 Berakal Sehat
 Tidak sedang berihram haji atau umrah
4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;
 Minimal terdiri dari dua orang laki-laki
 Hadir dalam proses ijab qabul
 mengerti maksud akad nikah
 beragama islam
 Adil
 dewasa
5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :
 Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik
oleh pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga
haruslah jelas dan dapat didengar oleh para saksi.

Sumber : Redaksi Dalamislam, https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/fiqih-


pernikahan.

c) Hikmah nikah
Ulama fiqih mengemukakan beberapa hikmah pernikahan, yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit
dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin
menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam penyaluran
naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negative yang
ditimbulkan oleh penyaluran secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh
karena itu, ulama fikih menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara
yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing
pihak tidak ada rasa khawatir akan akibatnya.
Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah Saw bersabda:
“Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga
demikian. Apabila seorang laki-laki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah
(salurkanlah kepada) istrinya, karena hal tersebut dapat menentramkan jiwanya” (HR.
Muslim).
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah.
Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw bersabda,
“Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena aku akan
bangga sebagai Nabi yang memiliki umat yang banyak” (HR.Ibnu Majah).
3. Sarana menggapai kedamaian dan ketentraman jiwa. Dengan pernikahan, ikatan
mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami istri akan saling
bertambah. Masing-masing merasakan ketenangan, kelembutan, dan keramahan serta
mendapatkan kebahagiaan. Inilah yang dimaksudkan Allah swt dalam firmannya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang…” (Q.S. ArRum: 21).
4. Menikah sebagai sarana kesinambungan peradaban manusia. Dengan ditetapkannya
pernikahan, manusia dapat meneruskan generasi penerusnya, yang berarti dapat
melestarikan kelangsungan hidup berikutnya. Eksistensi mereka sangat diperlukan,
karena merekalah yang mengelola bumi dan isinya. Allah swt berfirman,
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah swt menciptakan isterinya, dan daripada
keduanya Allah swt memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah swt yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-nisa: 1).
5. Sarana penyelamatan manusia dari dekadensi moral. Dengan pernikahan, masyarakat
akan terhindar dari dekadensi moral dan kerusakan sosial. Karena insting
kecenderungan kepada lawan jenis hanya dibolehkan melalui pernikahan yang sah
dan hubungan yang halal. Selaras dengan sabda Rasulullah saw:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan,
maka menikahlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu menahan
pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu
melaksanakannya, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu dapat menjadi
tameng”.
Sumber : syekhnurjati,
http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214113440025.pdf

d) Kriteria calon pasangan


1. Kriteria dalam Memilih Istri bagi Seorang Laki – Laki
Allah telah berfirman yang artinya:
“Maka, nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau tempat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak berlaku adil, maka (nikahilan) seorang saja.”(QS An-Nisa’ 4:3)
Dan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam juga telah bersabda yang artinya:
“Menikahlah dengan perempuan subur dan disenangi. Karena aku ingin
(membanggakan) banyaknya umatku (pada Nabi-nabi lain) di hari kiamat.” (Hadits
sahih riwayat Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Majah)
Dalam memilih pasangan hidup, ada baiknya seorang laki-laki
memerhatikan Wanita dalam Pandangan Islam untuk di jadikan calon istri seperti:
 Memiliki Akhlak serta dasar pendidikan agama yang baik (wanita Sholehah)
Ciri Wanita yang Baik untuk Dinikahi Menurut Islam dan juga Wanita yang
Dirindukan Surga adalah calon istri yang nantinya akan menjadi istri dan seorang
ibu diharapkan memiliki Akhlak serta dasar pendidikan agama yang baik, karena
seorang Wanita Muslimah Menurut Islam adalah yang mengerti ajaran agama
yang baik akan mampu memahami tugas dan tanggung jawabnya dalam sebuah
keluarga baik itu sebagai istri maupun sebagai seorang ibu.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam sangat menekankan Cara Memilih
Pendamping Hidup Dalam Islam dari seorang wanita, seorang pria sebaiknya
melihat dari segi agama yang dimilikinya, dan bukan atas dasar kecantikan,
keturunan, maupun kekayaan yang dimilikinya.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Harrairah RA, Rasulullah
Salallahu Alaihi Wassalam telah bersabda yang artinya:
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama
niscaya kamu bahagia.”
 Penyayang dan berbudi mulia
Seorang wanita yang penyayang memiliki artian bahwa wanita tersebut
memiliki sifat penuh cinta yang disertai dengan adanya sifat kebaikan yang
dimilikinya, sehingga menjadikan keinginan pria untuk menikahinya.
Selain itu, seorang wanita yang hendak dijadikan calon istri adalah Wanita
Shalehah yang berbudi mulia. Artinya wanita yang selalu dapat mengendalikan
baik perbuatan maupun tutur kata, sehingga nantinya dapat menghindarkannya
dari perbuatan maupun perkataan yang dapat merendahkan dirinya.
 Wanita yang bisa melahirkan
Seorang pria juga sebaiknya memilih wanita yang dapat melahirkan banyak
anak sebagai calon pasangannya. Mengapa? Karena dengan menikahi wanita yang
bisa melahirkan, berarti wanita tersebut dapat melanjutkan keturunan dari
suaminya.(Baca : Larangan Ibu Hamil Menurut Islam)
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam telah bersabda yang artinya:
“kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak …” (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana cara melihat hal tersebut?
Menurut Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin  menyatakan bahwa cara untuk
melihat seorang wanita bisa melahirkan atau tidak adalah dengan dengan melihat
kondisi kesehatan gadis tersebut di masa muda. Sedangkan menurut Syeh
Zainuddin bin Abd Azis Al Maliiariy dalam kitab Fathul Mu’in cara yang
dilakukan adalah dengan melihat kerabatnya.
 Masih gadis
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam telah menjelaskan pentingnya
menikahi seorang gadis terutama bagi pria yang belum pernah menikah
“Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda
Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah
bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa
bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
Dari hadist di atas bisa dikehui bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
sangat menekankan bagi kaum Pria yang Baik, yang belum pernah menikah untuk
lebih memilih seorang gadis untuk dijadikan pendamping hidup daripada seorang
janda.
Mengapa? Karena dengan menikahi seorang gadis, akan lebih memungkinkan
bagi seorang lelaki untuk mendapatkan segala kasih sayang, cinta, kelembutan,
serta kehalusan dengan sepenuh hati. hal tersebut disebabkan karena ialah lelaki
pertama yang dikenal, ditemui, serta melindungi sang wanita.
Hal berbeda akan ditemui pada saat menikahi seorang janda, dimana ada
kemungkinan ia merasakan perbedaan kasih sayang, kelembutan, dan Cinta yang
disebabkan oleh perbedaan akhlak antara suami yang sekarang dengan suaminya
yang dulu.
 Berwajah cantik dan bermahar ringan
Meskipun merupakan suatu larangan menikahi seorang wanita dengan hanya
melihat kecantikan dan bukan agamanya karena ditakutkan akan merendahkan
keselamatan agama, akan tetapi islam juga menekankan agar seorang pria lebih
memilih wanita yang menawan, berparas cantik, dan elok untuk dipandang.
Selain itu, Wanita Cantik Dalam Islam yang baik untuk dinikahi adalah wanita
yang bermahar ringan. Ini artinya bahwa wanita yang layak untuk dinikahi adalah
wanita yang mau menerima seberapapun besarnya mahar yang diberikan oleh
suami.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas ra,
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam telah bersabda yang artinya:
“Sebaik-baik wanita adalah wanita yang cantik parasnya dan murah maharnya”
 Bukan dari kerabat dekat
Yang dimaksudkan dengan kerabat dekat di sini adalah wanita yang masil
memiliki hubungan kekeluargaan dengan si pria, misalnya saja sepupu baik darii
pihak ayah maupun pihak ibu.
 Bernasab mulia
Wanita yang baik untuk dinikahi adalah Wanita Shalehah Idaman Pria yang
berasal dari keluarga yang taat dalam menjalankan agama, dimana orang tua yang
sholeh akan selalu mendidik anaknya dengan baik, terutama dalam hal agama dan
akhlaq, dan dalam menjalankan kehidupan berumahtangga mereka selalu
berpedoman pada ajaran agama.
2. Kriteria dalam Memilih Suami bagi Seorang Perempuan
Suami adalah imam atau pemimpin dalam keluarga, Kewajiban Laki-Laki Setelah
Menikah harus bertanggung jawab untuk memberi nafkah baik lahir maupun batin
kepada istri dan keluarganya serta memberi perlakuan yang baik kepada mereka.
Adapun kriteria calon suami yang baik menurut adalah :
 Beragama Islam
Dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 221, Allah SWT telah berfirman yang artinya
“… dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajara.” 
Dari ayat di atas, jelas sudah pentingnya memilih pria yang beragama
islam bagi seorang wanita, karena islam merupakan jalan yang akan
menyelamatkan kita dunia dan akhirat.(Baca : Hukum Suami Tidak Menafkahi
Istri Dalam Islam)
 Berilmu dan berakhlak mulia
Islam sangat menganjurkan agar seorang wanita memilih suami yang
berakhlak baik, sholeh, serta taat dalam menjalankan agama. Itulah yang
menjadikan seorang laki-laki terlihat istimewa. Karena laki-laki yang bertakwa
dan sholeh mampu mengetahui hukum-hukum Allah seperti : Bagaimana
memperlakukan istri, berbuat baik kepada istri, serta dapat menjaga kehormatan
dirinya dan agamanya.(Baca : Hukum Melawan Suami Menurut Islam)
Dengan demikian pada akhirnya ia akan dapat menjalankan segala
kewajibannya dengan sempurna dalam kehidupan berumah tangga,
seperti Kewajiban Suami terhadap Istri Dalam Islam, Cara Mendidik Anak,
menegakkan kemuliaan, serta menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga
dengan tenaga dan nafkah.(Baca : Hukum Suami Tidak Menafkahi Istri Dalam
Islam)
Untuk dapat mengetahui akhlak dan agama dari calon suami, salah satu
cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap
kehidupan sehari-hari dari calon suami. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan
bahwa adalah sangat penting bagi kita untuk memilih calon pasangan (Istri
maupun suami) yang baik, agar nantinya kehidupan berumahtangga menjadi
tentram, damai, dan bahagia.
Sumber : Redaksi DalamIslam, https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/cara-
memilih-calon-pendamping-hidup-sesuai-syariat-islam

e) Hak suami dan istri


1. Hak Suami
Kewajiban-kewajiban Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima
oleh suami adalah:
 Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami, selagi
dalam hal yang dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
 Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.
 Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridla suaminya.
 Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridla suaminya, karena ridla
Allah berada didalam ridla suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah
suaminya.
 Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan
suaminya marah.
 Menawarkan diri kepada Suami nya, mau tidur atau dalam hal apakah si Suami
“kerso” pingin berhubungan badan, atau sekedar bercumbu, atau yang sejenisnya
(karena hal ini adalah salah satu dari hak yang harus diterima oleh suami).
 Istri tidak berkhianat, atau menyimpang ketika suaminya tidak ada di rumah. Baik
terkait urusan ranjang atau tempat tidur, maupun urusan harta suaminya. Apalagi
zaman seperti saat ini, godaan-godaan, baik melalui medsos maupun melalui hal
lain, begitu gencar dan luar biasa masif, sehingga seorang istri harus bisa menjaga
diri.
 Seorang Istri sebaiknya selalu berpenampilan menarik di depan suaminya, baunya
selalu harum dan wangi, menjaga bau mulutnya.
 Istri juga sebaiknya selalu menjaga performanya, berpenampilan menarik di
depan suaminya. (Bukan malah sebaliknyanya, kalau di depan suaminya
berantakan, lusuh, bau, dan lain-lain, giliran ke luar rumah tanpa bersama suami
malah berpenampilan semenarik mungkin. Ini kurang tepat; setidaknya yang baik,
sama-sama berpenampilan menarik. Apalagi ketika bersama suaminya, tentu
harus lebih baik lagi).

2. Hak Istri
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut menyampaikan bahw hak
yang harus diterima oleh istri adalah:
 Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum,
belanja perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-
anaknya. Di samping itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik
hubungan seksual yang baik dan layak, maupun hubungan psikologis dalam
rumah tangga itu yang juga baik dan layak.
 Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah
segala sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain
adalah segala biaya tak terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya
yang dengan perhiasan istri, biaya untuk istri bersolek dan lain-lain.
 Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi
biaya pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).
 Suami harus memberikan nafkah berupa makan, maksudnya uang belanja sehari-
hari urusan dapur.
 Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.
 Suami tidak boleh memukul wajah istrinya.
 Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentah atau memarahi istri
nya kecuali di dalam rumah sendiri.
Mahar atau Mas Kawin itu adalah Hak yang wajib diterima oleh istri. Bukan
masalah besar atau kecilnya mahar. Besar atau kecilnya mahar itu sama-sama tetap
wajib diberikan kepada istri, karena, itu adalah hak istri.

Sumber : KH. Fawaid Abdullah, https://tebuireng.online/memahami-hak-dan-kewajiban-


suami-istri/.

f) Maksud dari sakinah mawaddah dan warahmah


 Makna Keluarga yang Sakinah
Sakinah berasal dari bahasa arab yang artinya adalah ketenangan,
ketentraman, aman atau damai. Lawan kata dari ketentraman atau ketenangan adalah
keguncangan, keresahan, kehancuran. Sebagaimana arti kata tersebut, keluarga
sakinah berarti keluarga yang didalamnya mengandung ketenangan, ketentraman,
keamanan, dan kedamaian antar anggota keluarganya. Keluarga yang sakinah
berlawanan dengan keluarga yang penuh keresahan, kecurigaan, dan kehancuran.
Kita bisa melihat keluarga yang tidak sakinah contohnya adalah keluarga yang
didalamnya penuh perkelahian, kecurigaan antar pasangan, bahkan berpotensi
terhadap adanya konflik yang berujung perceraian. Ketidakpercayaan adalah salah
satu aspek yang membuat gagal keluarga sakinah terwujud. Misalnya saja pasangan
saling mencurigai, adanya pihak atau orang yang mengguncang rumah tangga atau
perlawanan istri terhadap suami. Hukum melawan suami menurut islam tentunya
menjadi hal yang harus diketahui pula oleh istri untuk menjaga sakinah dalam
keluarga.
Dengan adanya ketenangan, ketentraman, rasa aman, kedamaian maka
keguncangan di dalam keluarga tidak akan terjadi. Masing-masing anggota keluarga
dapat memikirkan pemecahan masalah secara jernih dan menyentuh intinya. Tanpa
ketenangan maka sulit masing-masing bisa berpikir dengan jernih, dan mau
bermusyawarah, yang ada justru perdebatan, dan perkelahian yang tidak mampu
menyelesaikan masalah. Konflik dalam keluarga akan mudah terjadi tanpa adanya
sakinah dalam keluarga.
 Makna Keluarga yang Mawaddah
Mawaddah berasal pula dari bahasa Arab yang artinya adalah perasaan kasih
sayang, cinta yang membara, dan menggebu. Mawaddah ini khususnya digunakan
untuk istilah perasaan cinta yang menggebu pada pasangannya. Dalam islam,
mawaddah ini adalah fitrah yang pasti dimiliki oleh manusia. Muncul perasan cinta
yang menggebu ini karena hal-hal yang sebabnya bisa dari aspek kecantikan atau
ketampanan pasangannya, moralitas, kedudukan dan hal-hal lain yang melekat pada
pasangannya atau manusia ciptaan Allah. Kriteria calon istri menurut
islam dan kriteria calon suami menurut islam bisa menjadi aspek yang perlu
dipertimbangkan untuk memunculkan cinta pada pasangan nantinya.
Adanya perasaan mawaddah pastinya mampu membuat rumah tangga penuh
cinta dan sayang. Tanpa adanya cinta tentunya keluarga menjadi hambar. Adanya
cinta membuat pasangan suami istri serta anak-anak mau berkorban, mau
memberikan sesuatu yang lebih untuk keluarganya. Perasaan cinta mampu
memberikan perasaan saling memiliki dan saling menjaga.
Keluarga yang ada perasaan mawaddah tentunya memunculkan nafsu yang
positif (nafsu yang halal dalam aspek pernikahan). Kita bisa melihat, keluarga yang
tidak ada mawaddah tentunya tidak akan saling memberikan dukungan, hambar, yang
membuat rumah tangga pun seperti sepi. Perselingkuhan dalam rumah tangga bisa
saja terjadi jika mawaddah tidak ada dalam keluarga. Masing-masing pasangan akan
mencari cinta lain dari orang lain.
Keluarga yang penuh mawaddah bukan terbentuk hanya karena jalan yang
instan saja. Perasaan cinta dalam keluarga tumbuh dan berkembang karena proses
dipupuknya lewat cinta suami istri serta anak-anak. Keindahan keluarga mawaddah
tentunya sangat didambakan bagi setiap manusia, karena hal tersebut fitrah dari setiap
makhluk.
 Makna Keluarga yang Rahmah
Kata Rahmah berasal dari bahasa arab yang artinya adalah ampunan, rahmat,
rezeki, dan karunia. Rahmah terbesar tentu berasal dari Allah SWT yang diberikan
pada keluarga yang terjaga rasa cinta, kasih sayang, dan juga kepercayaan. Keluarga
yang rahmah tidak mungkin muncul hanya sekejap melainkan muncul karena proses
adanya saling membutuhkan, saling menutupi kekurangan, saling memahami, dan
memberikan pengertian.
Rahmah atau karunia dan rezeki dalam keluarga adalah karena proses dan
kesabaran suami istri dalam membina rumah tangganya, serta melewati pengorbanan
juga kekuatan jiwa. Dengan prosesnya yang penuh kesabaran, karunia itu pun juga
akan diberikan oleh Allah sebagai bentuk cinta tertinggi dalam keluarga. Rahmah
tidak terwujud jika suami dan istri saling mendurhakai.

Sumber : Redaksi DalamIslam, https://dalamislam.com/hukum-


islam/pernikahan/keluarga-sakinah-mawaddah-wa-rahmah

4. DIANTARA SEKIAN BANYAK LAKI-LAKI SANGAT MENGINGINKAN POLYGAMI,


NAMUN TIDAK PAHAM ARTI KEADILAN. JELASKAN MAKSUD POLYGAMI,
HUKUMNYA MENURUT MUHAMMADIYAH,  SYARAT KEADILAN YANG
DIMAKSUD DALAM KONTEKS KEKINIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
ANAK. BERIKAN CONTOH FAKTA KEGAGALAN DALAM POLYGAMI. HARUS
JELAS SUMBER REFRENSINYA, KALAU INTERNET HARUS BERDASARKAN
AHLI FIKHI DAN AHLI TAFSIR.
Jawaban :
a) Maksud dari poligami
Kata poligami berasal dari bahassa Yunani Polus artinya banyak, Gamos artinya
perkawinan. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang
istri dalam suatu saat. Dalam kamus Teologi disebutkan, kata polygami berasal dari
bahasa Yunani yang berarti banyak perkawinan, mempunyai lebih dari satu istri pada
waktu yang sama.
Poligami dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka mempunyai
makna “sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa
lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”.
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat
yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita,
menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama
menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Salah satunya adalah
Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah
sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf.
Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal.
885. Dan Wiwit hardi priyanto, https://muslim.or.id/12664-4-syarat-poligami.html.
b) Hukum menurut Muhammadiyah
Pandangan Muhammadiyah tetang poligami dan kaitannya dengan sakinah tidaknya
sebuah bagunan keluarga Islam jika mengamalkan ajaran poligami serta bagaimana jika
dilihat dari tinjauan pemikiran Islam kontemporer.

1. Menurut Tarjih Muhammadiyah


Dalam Tuntunan Keluarga Sakinah, Majelis Tarjih memulai dengan
penjelasan Islam sebagai agama rahmat. Di sini Majelis Tarjih seakan memberikan
fondasi Keluarga Sakinah adalah Keluarga yang didasari rahmat atau belas kasih.
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (2018: 388), bagian ketiga tentang Keputusan
Musyawarah Nasional Tarjih ke-28 membahas khusus tentang “Tuntunan Menuju
Keluarga Sakinah”. Di sana dinyatakan bahwa, setelah menelurusi ayat-ayat al-Quran
maupun hadits, pernikahan dalam Islam prinsipnya adalah monogami.
Dalam Putusan Tarjih dijelaskan bila dihadapkan pada permasalahan dan
kondisi tertentu dimungkinkan poligami, tentu dengan pertimbangan mampu berlaku
adil, mendapat izin dari istri, dan mempertimbangkan pendapat anak-anak.
Kemampuan berlaku adil dan hasanah ditetapkan dalam Pengadilan Agama. Namun
jika tidak takut tidak berlaku adil, maka lebih maslahat monogami untuk menjaga
ketakwaan.
Selanjutnya, menurut Tarjih, dalam hadits-hadits poligami tidak menyebutkan
bahwa poligami itu perbuatan sunnah atau dianjurkan. Misalnya Nabi Muhammad
Saw malah melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya
menunjukkan penegasan prinsip monogami. Nabi meminta Ali memilih poligami atau
menceraikan Fatimah (putrinya). Alasan Nabi Saw adalah beliau tidak rela andaikan
poligami menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya: Fatimah.
Pada kesimpulan paling akhir Muhammadiyah menegaskan prinsip monogami
dalam Keluarga Sakinah dengan redaksi sebagai berikut: “Untuk mewujudkan
Keluarga Sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi
permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha
menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan
mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya”.
2. Pertimbangan Kemaslahatan
Manakah yang lebih maslahat dalam mewujudkan kebahagiaan, kedamaian
dan kesejahteraan keluarga? Poligami atau monogami? Untuk menjawab ini perlu
mempertimbangkan tujuan dari syariah (Maqoshid Syariah) terlebih dahulu.
Jasser Audah Misalnya, dalam bukunya Maqasid al-Syariah as  Philosophy of
Islamic Law : A Systems Approach (2008) menawarkan pendekatan sistem dalam
memahami hukum Islam.  Ada enam pendekatan sistem yaitu: (1) melihat persoalan
secara  utuh (wholeness); (2) selalu terbuka terhadap ilmu lain berbagai kemungkinan
perbaikan dan penyempurnaan (Openness); (3) saling keterkaitan antar nilai-nilai
(interrelated-hierarchy); (4) melibatkan berbagai dimensi (multi-dimensionality); (5)
mengutamakan  dan mendahulukan tujuan pokok (purposefulness); (6) ilmu apapun
(ilmu agama maupun non-agama) selalu melibatkan kognisi manusia yang bisa saja
salah (cognitive).
Bagaimana enam fitur ini bekerja untuk menganalisis poligami? Pertama,
openness, kita harus terbuka, bersedia mendengarkan dengan bijak alasan-alasan
pentingnya kaitan satu dalil poligami dengan dalil lain. Bersedia membuka pikiran
untuk mempertimbangkan antara kemanfaatan dan kemudharatan yang muncul dari
praktik poligami.
Kedua, cognitive, al-Qur’an tidak bersuara sendiri, melainkan disuarakan,
berarti adanya campur pemahaman seorang mufasir. Artinya maksud sebenarnya dari
teks-teks al-Qur’an tidak dapat dijangkau secara pasti dengan satu pemahaman
seseorang.
Ketiga, interrelated-hierarchy, tidak berpoligami adalah lebih maslahat untuk
istri, anak-anak, maupun untuk institusi keluarga besar. Kemaslahatan itu selalu
berhubungan dengan dlaruriat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Dimana pun rahan
kemaslahatan itu memiliki nilai dan kedudukan yang sama.
Keempat, multidimensionality, tidak hanya melihat dalil kebolehan
berpoligami, tetapi bersedia memberikan kesempatan pada mata dan pikiran untuk
melihat akibat dari praktik poligami, baik dari segi sosial, ekonomi, psikologis dll.
Kelima, purposefulness, tercapainya kebahagiaan di dalam rumah tangga,
terpeliharanya institusi keluarga, kepentingan keluarga pun terlindungi, psikologis
keluarga pun tidak terganggu, harkat dan martabat anak-anak dan istru tidak
tereksploitasi, sebaliknya kesejahteraan dan keharmonisan keluaga tetap terpeihara
dengan baik. Apakah dengan poligami tidak mengganggu kebahagiaan, ketentraman
dan kesejahteraan keluarga?
Keenam, wholeness, poligami tidak cukup hanya mengutip satu ayat saja,
yaitu Surah An-Nisa ayat 4 saja. Tapi harus dikaitkan dan dibandingkan juga dengan
ayat–ayat yang lain seperti Surah An-Nisa ayat 129 tentang “ketidak-mungkinan
berlaku adil pada istrinya” dan Surah An-Nisa ayat 9 tentang “larangan meninggalkan
keturunan yang lemah”.
Ini penting untuk menjadi pertimbangan. Poligami tidak sebatas masalah
mampu atau tidak mampu. Bukan masalah berani atau tidak berani. Bukan masalah
jumlah perempuan dan laki-laki. Bukan masalah halal atau haram belaka. Bukan
masalah urusan kelamin dan seksualitas belaka. Namun hal terpenting adalah
mempertimbangkan tujuan syariat yaitu kehidupan yang baik yaitu: kebahagiaan,
keharmonisan dan kesejahteraan.
3. Pertimbangan Keadilan
Salah satu nilai dasar Islam adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
begitupun dalam hal pernikahan. Sebab keduanya saling membutuhkan dan saling
memiliki antara satu dengan lainnya tidak bisa melakukan hak dan kewajibannya,
baik kepada Allah maupun kepada masyarakat tanpa adanya kesetaraan di antara
keduanya.
Adalah Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya The Second Message of
Islam, menawarkan metode nasakh. Teori naskh-nya berbeda dengan yang selama ini
dikenal. Selama ini nasakh dipahami sebagai penghapusan atau pembatalan hukum
yang sebelumnya. Tetapi Thaha menawarkan konsep baru tentang nasakh sebagai
evolusi (tatthawur) syariat dengan melakukan perpindahan dari satu teks (Al-Qur’an)
ke teks yang lain, dari satu teks yang pantas untuk mengatur (perilaku umat) abad ke-
7 dan telah diterapkan, pada suatu teks yang pada waktu itu terlalu berkemajuan, dan
oleh karena itu ditangguhkan.
Dengan teori nasikh, Thaha mengemukakan ketidak-relevannya poligami
diterapkan dalam kehidupan modern/kontemporer abad ke-21. Pertama, peralihan
dari satu teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu ayat. Kasus ini terdapat dalam
ayat yang berbicara mengenai poligami surah An-Nisa ayat 3. Dalam ayat ini
pertama-tama diberikan kelonggaran bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan
“dua, tiga atau empat perempuan”. Tapi masih dalam ayat yang sama, Allah
memberikan syarat, yaitu berlaku adil di antara istri-istrinya. Dari sini dalam ayat ini
sudah me-nasakh praktik poligami secara halus, bahwa disarankan satu saja jika takut
tidak berbuat adil. Kedua, peralihan dari satu teks ke teks lain, tidak dalam satu ayat.
Kasus ini masih dalam surat yang sama (An-Nisa), Allah telah menyatakan dengan
jelas bahwa laki-laki itu sekali-kali tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-
istrinya, sebab hati hanya akan lebih condong kepada salah satu dari istri-istrinya
tersebut (Surah An-Nisaa ayat 129).
Karena adil tidak mungkin dilakukan, sedangkan syarat poligami adalah
berlaku adil, maka praktik poligami tidak mungkin dilakukan. Maka, jika kembali
pada ayat yang sama (Surah An-Nisa ayat 3), Allah berkata dengan tegas “dan jika
kamu tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang saja”. Ini tangan diabaikan.
Watak keadilan dalam konteks ini dibatasi, sebagaimana kebebasan juga dibatasi.
Sebab keadilan merupakan hak, dan hak harus diimbangi dengan kewajiban.
Konteksnya, wanita pada saat itu sangat banyak, dan tidak berada dalam tataran yang
sejajar dengan laki-laki derajat (kehormatannya). Banyak faktor yang menjadikan
wanita ditempatkan rendah seperti itu. Munculnya pembatasan bagi wanita (yang
boleh dinikahi) merupakan keadilan yang memihak pada kaum wanita pada waktu
itu.
Jadi logikanya bukan menikah satu lalu disuruh menambah dua, tiga atau
menjadi empat. Selama ini kan sepert ini. Tetapi logikanya adalah dulu awalnya
menikah itu tanpa batas, tapi kemudian Islam membatasi menjadi maksimal
empat. Poligami sebagai pembatasan jumlah istri dapat dianggap sebagai peraturan
era transisi menuju Islam yang ideal (sejati), yaitu kesetaraan penuh antara laki-laki
dan perempuan.
Pada saatnya nanti jika zaman sudah berkemajuan, keadilan bagi perempuan
dan kesetaraan dengan laki-laki akan tercapai, bahwa yang ideal adalah monogami,
bukan poligami. Jadi poligami itu dulu dilakukan dalam kondisi tidak ideal. Keluarga
ideal atau idaman itu monogami. Siapa sekarang yang mau punya Keluarga tidak
ideal? Maka yang poligami hari ini jangan merasa paling bisa mempraktikkan syariat
Islam. Justru itu keluarga yang tidak ideal.
Barangkali itu mengapa di Muhammadiyah jarang atau sulit ditemukan, bahkan
nyaris tidak ada praktik poligami. Selain alasan pemahaman itu, munken juga karena
laki-laki dan perempuan sudah relatif setara, sama-sama sibuk, sama-sama bekerja,
sama-sama berperan di ruang publik. 

Sumber : Khoiruddin, A. 2020. “Mengapa Muhammadiyah Tidak Poligami ?” dalam


ibtimes, https://ibtimes.id/mengapa-muhammadiyah-tidak-poligami/

c) Syarat keadilan dan dampak terhadap anak


1. Harus mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak
boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman
kepada istri-istrinya yang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya
yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud,
An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya
merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah
bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu
istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu
berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3).
2. Dampak terhadap anak
Berikut ini akan dibahas mengenai masalah dan dampak poligami bagi anak dan
tumbuh kembangnya :
a. Anak Sulit Menerima Kondisi Ayah Berpoligami
Salah satu contoh dampak akibat poligami yang dilakukan oleh ayahnya, yaitu
anak akan sulit untuk menerima kondisi sang ayah memiliki wanita lain. Hal ini
karena anak melihat kondisi sang ibu yang sedih, terpuruk dan tidak tahu harus
berbuat apa. Tidak menerima kondisi tersebut secara ikhlas dan terasa
menyakitkan hati sang anak. Berikut ini macam dan jenis emosi pada anak usia
dini yang perlu orangtua perhatikan.
b. Anak Menjadi Murung
Selanjutnya dampak poligami bagi anak yang bisa terlihat yaitu adanya
perubahan sikap yang tidak biasa. Anak akan menjadi mudah murung, sedih dan
menyendiri. Kondisi ini bisa saja berlangsung lama, tergantung dari bagaimana
orangtua serta lingkungan memberikan dukungan dan arahan yang tepat.
Beberapa pola dan jenis gangguan kognitif pada anak mulai dari usia dini.
c. Anak Menjadi Temperamental
Setelah anak mengetahui apa yang terjadi terhadap orangtuanya, khususnya
poligami hal ini bisa mempengaruhi emosi anak. Anak menjadi mudah
tersinggung dan temperamental, dikarenakan anak merasa kecewa, marah dan
juga kesal terhadap kondisi orangtua dan solusi masalah yang tidak selesai dengan
bijak. Beberapa contoh jenis gangguan emosional pada anak yang bisa diketahui.
d. Anak Menjadi Masa Bodoh
Dampak poligami bagi anak selanjutnya adalah anak menjadi masa bodoh,
apatis, cuek dan sebagainya. Akibat dampak psikologis melihat orangtua yang
bertengkar, ribut, ayah yang mengkhianati sang ibu membuat anak menjadi
hancur perasaannya. Sehingga lambat laun menimbulkan rasa tidak peduli
terhadap lingkungan. Perhatikan macam juga jenis gangguan abnormalitas pada
anak usia dini.
e. Anak Menjadi Pendendam
Pengaruh buruk bagi anak apabila ayahnya berpoligami bisa menimbulkan
anak menjadi pendendam. Anak melihat sosok ibunya yang sudah melayani
ayahnya dengan sempurna, tiba – tiba dikhianati, maka anak akan berubah. Sosok
ayah yang diidolakan dan menjadi teladan bisa hilang begitu saja, apabila sang
ayah tidak dapat memberikan alasan dan nasihat yang tepat dan jelas kepada anak.
Ini dia perkembangan juga contoh egosentrisme pada anak dimulai dari usia
balita.
f. Anak Mudah Tersinggung
Salah satu dampak poligami bagi anak yang bisa dirasakan oleh orangtuanya
yaitu anak memjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung. Anak merasa orangtua
dan rumah yang ia percayai selama ini telah berkhianat. Anak tidak bisa
melampiaskan rasa marahnya, hanya bisa diungkapkan dengan perasaan
tersinggung, walaupun itu masalah sepele. Hal ini jika dibiarkan begitu saja, maka
anak dengan mudah terjerumus ke dalam perubahan mental, penyalahgunaan
kepercayaan dan sebagainya. Karena perasaan marah yang tidak terbendung, juga
labilnya emosi. Berikut ini hal dan penyebab anak remaja mudah marah yang
orangtua bisa perhatikan.
g. Anak Menjadi Membenci Sosok Ayah
Sosok ayah bagi seorang anak, baik anak laki – laki dan perempuan
merupakan sosok pelindung, imam, serta pencari nafkah yang ulung. Ibu yang
setia melayani anak dan juga ayah, mendukung setiap usaha mereka. Namun, di
tengah keharmonisan keluarga yang terjalin, tiba – tiba sang ayah berkhianat
dengan atau tanpa alasan tertentu. Apapun alasannya, anak mengetahui kalau sang
ayah berkhianat dan menyakiti hati sang ibu. Dengan kondisi seperti ini, maka
perasaan anak sangat terganggu dan tidak bisa menerima keadaan. Lambat laun
terbentuklah perasaan membenci sosok ayah yang selama ini menjadi panutannya.
Penting yang harus dilakukan yaitu peran orang tua dalam pembentukan identitas
remaja yang positif untuk masa depannya. Memiliki permasalahan pologami
dalam keluarga, siapapun orangnya pasti akan sulit untuk menerima. Hanya saja,
dengan kejujuran, komunikasi, serta alasan yang mampu diberikan kepada anak,
maka hal buruk masih dapat dihindari.

Sumber : Aini, EN. 2016. “Pengertian, Dasar Hukum, Hikmah, dan Prosedur Poligami”,
Jurusan Tarbiyah/Pai/A/IV Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo
Metro, https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/pengertian-dasar-hukum-
hikmah-dan-prosedur-poligami/. Dan Psikologi anak,
https://dosenpsikologi.com/dampak-poligami-bagi-anak.

d) Contoh kegagalan dalam poligami


'Kampung poligami' di Sidoarjo, menyisakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Seorang perempuan tampak sibuk membuat kopi dan mie instan di sebuah warung
yang terletak tak jauh dari ujung jalan Wayo di Desa Kedung Banteng, Tanggulangin
Sidoarjo. Sementara di teras dan halaman warung, anak-anak muda tampak duduk-duduk
sambil menikmati kopi mereka.
Perempuan berusia 55 tahun, Nur Khotimah, sudah sepuluh tahun terakhir
berjualan kopi dan mie instan untuk menghidupi ketiga anaknya. Suaminya menikah lagi
dengan perempuan tetangganya, namun Nur tidak bercerai secara resmi melalui
pengadilan agama.
"Sudah tidak tinggal serumah," kata Nur, "Biarkan saja, buat apa dipikirkan".
Dia mengakui sempat marah ketika suaminya baru menikah, tetapi lebih memilih
untuk bangkit menghidupi dirinya dan anak-anaknya sampai mereka kemudian bekerja.
"Kalau dipikirkan malah jadi penyakit," kata Nur pada wartawan di Jawa Timur, Nur
Cholis.
Setelah menikah, suaminya tidak memberikan nafkah lagi. Dalam UU Kekerasan
Dalam Rumah Tangga KDRT, tidak memberikan nafkah pada istri merupakan salah satu
bentuk kekerasan ekonomi.
Meski sudah berpisah, suaminya sesekali bertandang ke rumahnya untuk
menemui anak-anak dan empat cucunya. Nur mengaku tidak terlalu mempedulikannya.
Saat ini, ketiga anaknya menikah muda, yang perempuan menikah setelah lulus
SMP dan anak laki-laki dan perempuannya yang lain menikah setelah lulus SMA.
Ketiganya sudah bekerja, sebagai penata rias pengantin, satpam dan buruh pabrik. Dia tak
setuju jika anaknya menikah dengan lebih dari satu orang.
Selain dirinya, Nur mengatakan banyak perempuan mengalami nasib yang sama, ketika
suami mereka berpoligami.

Sumber : News Indonesia, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-41591696

5. TUJUAN PERNIKAHAN ADALAH UNTUK MENCAPAI KELUARGA SAKINAH,


MAWADDAH DAN WARAHMAH. NAMUN TIDAK SEDIKIT KELUARGA  GAGAL 
DALAM MEMBINA KELUARGA. JELASKAN PENYEBAB TERJADINYA
PERCERAIAN, DAN MACAM-MACAM PERCERAIAN  SERTA HAL-HAL YANG
MEMBUAT BISA RUJUK KEMBALI.
Jawaban :
a) Penyebab terjadinya perceraaian
1. Tidak Ada Sikap Lemah Lembut Satu Sama Lain
Penyebab perceraian dalam islam ialah minimnya sikap lemah lembut satu
sama lain baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam sebuah kitab shahihnya
no 2594 dari Aisyah Rasulullah bersabda “Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi
dengan kelembutan akan nampak indah”. Dari hadist tersebut jelas bahwa
Rasulullah menganjurkan untuk bersikap lemah lembut terhadap hal apapun
terlebih di dalam keluarga.
Suami istri yang tidak bersikap dan berkata lemah lembut satu sama lain
akan mudah menurunkan perasaan cinta dan mudah menimbulkan rasa sakit hati
hingga pertengkaran sehingga jika iman lemah akan mudah sekali timbul
perceraian. Cara untuk mengatasinya tentu dengan melakukan sunah Rasulullah
yaitu berbuatu baik dan bersikap lembut pada pasangan sehingga selalu merasa
diperlakukan dengan baik dan perasaan cinta tumbuh semakin dalam. cara
Rasulullah memuliakan istri wajib dipahami dan diteladani.
2. Tidak Adil
Penyebab kedua yakni adanya ketidak adilan yang dibuat salah satu pihak,
misalnya ialah seorang suami yang sibuk hingga memiliki waktu yang kurang
dengan keluarga dan lebih mementingkan bertemu dengan orang luar. Atau
seorang suami yang senantiasa membantu kebutuhan orang lain tetapi
menelantarkan istri dan keluarga. penyebab talak dalam islam adalah hal yang
berhubungan erat dengan perceraian.
“Dan berlaku adil lah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang
berlaku adil”. (Al Hujarat : 9).Memang suami memiliki hak atas hartanya tetapi
seorang istri juga memiliki hak untuk diberi nafkah lahir dan batin yang sudah
dijanjika di hadapan agama ketika mengucap janji pernikahan. Atasi dengan cara
lebih terbuka mengenai keuangan rumah tangga dan bersikap adil.
3. Rasa Setia yang Minim
“Yang paling baik dantara kalian adalah yang paling baik kepada istri
nya”. (HR Turmudzi). Setia yang minim terjadi karena lemahnya iman sehingga
mudah melihat kepada orang lain yang menurutnya lebih baik dan meremehkan
pasangannya hingga timbul percerian, atasi dengan sikap saling percaya dan
membuktikan kesetiaan dengan hanya melihat pada haknya yakni pada
pasangannya semata. ciri wanita setia menurut islam wajib dipahami untuk
diambil teladan darinya.
4. Memperpanjang Pertengkaran
“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam
kesumat (bertengkar)”. (HR Muslim). Adalah penyebab perceraian dalam islam
yang biasa terjadi pada pasangan yang tingkat kematangannya kurang, dalam hal
ini keduanya wajib terus belajar untuk menjadi orang yang dewasa sehingga
tercapai kehidupan rumah tangga yang damai dan saling mengerti satu sama lain.
jangan sampai bahaya dendam dalam islam terjadi pada kehidupan rumah tangga.
5. Kurangnya Rasa Saling Memaafkan
“Dan jika kamu memaafkan mereka dan tidak memerahi serta
mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang”. (QS At Taghabun : 14). Jelas dari hadist tersebut bahwa pasangan
yang tidak saling memaffkan menjadi penyebab perceraian dalam islam karena
selalu memandang buruk pada pasangannya. Atasi dengan cara menyadari bahwa
setiap orang pasti pernah berbuat salah dan tak ada salahnya memaafkan sebab
diri sendiri pun belum tentu lebih baik.
6. Tidak Mengoreksi Diri
Setiap pasangan wajib memperhatikan sikapnya apakah sudah baik pada
pasangannya, apakah sudah menyenangkan hati pasangan, juga apakah benar
benar tidak melakukan sesuatu yang menyakiti? “Koreksilah diri kalian sebelum
kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih)” (HR Tirmidzi). Hal ini
penting sebab menjadi bahan untuk memperbaiki diir dan meningkatkan kasih
sayang. Untuk mengatasinya wajib senantiasa instropeksi tentang semua sikap
atau tutur ata yang disampaikan pada pasangan dan selalu berusaha memberikan
yang terbaik sesuai kemampuan sehingga terjalin rumah tangga yang damai dan
jauh dari perceraian.
7. Tidak Mampu Menahan Amarah
Penyebab perceraian dalam islam ini berhubungan dengan emosi, yakni
sikap ketika pasangan melakukan sesuatu yang tidak disukai atau tidak sesuai
yang diinginkan. “Jika kalian marah dalam keadaan berdiri maka duduklah
karena dengan melakukan itu marahnya akan hilang. Dan jika belum hilang
maka hendaknya dia mengambil posisi tidur”. (HR Ahmad).
Tidak mampu menahan amarah akan membuat mudahnya pertengkaran
sehingga mudah pula timbul perceraian karena kerukunan yang semakin menurun.
Cara mengatasinya ialah satu sama lain wajib saling mengingatkan untuk
menahan emosi dan saling meningkatan rasa sabar serta saling mengingatkan
dalam kebaikan.
8. Memasang Wajah yang Tidak Enak Dilihat
“Wanita terbaik yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelesihi sesuai pada diri dan
hartanya. Serta melayani suami sebaik mungkin dan menjauhkan suami dari
benci”. (HR Ahmad). Kesibukan atau hal yang melelahkan di luar rumah kadang
membuat wajah menjadi lelah dan pasangan di rumah yang terkena imbasnya.
Hal ini menjadi penyebab perceraian sebab pasangan yang seharusnya
mendapat kasih sayang justru mendapat sikap dan raut wajah yang tidak
menyenangkan sehingga menimbulkan rasa malas untuk mendekat dan timbul
kerenggangan. Jalan untuk mengatasi ialah dengan tetap tersenyum dalam
keadaan apapun pada pasangan atau bercerita ketika menghadapi masalah yang
sulit dipecahkan.
9. Menomorduakan Kepentingan Keluarga
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita setelah
hak Allah daripada hak suami”. (Majmu ‘Al Fatawa). Dalam hal ini contohnya
ialah seorang wanita yang memang membantu perekonomian kelauarga hingga
sibuk bekerja dan terkadang memiliki waktu yang singkat untuk orang orang di
rumah atau untuk keluarganya.
Kadang hal demikian dipermasalahkan walaupun niatnya baik yaitu untuk
kesejahteraan, atasi dengan mengatur prioritas dan waktu sebaik mungkin,
waktunya di rumah harus benar benar digunakan untuk berkasih sayang dengan
keluarga.
10. Tidak Menjaga Penampilan
Banyak pasangan yang terlihat menawan ketika di luar rumah seperti di
acara kondangan dan sejenisnya tetapi memakai pakaian dan wajah seadanya
ketika di rumah sehingga tidak menark bagi suami atau istrinya. Hal tersebut
dapat menjadi penyebab perceraian dalam islam. “Sebaik baik istri kalian adalah
yang pandai menjaga diri lagi pandai membangkitkan syahwat suaminya”. (HR
Ad Dailami). Cara mengatasinya tentu dengan cara tetap terlihat semenarik
mungkin ketika berada di rumah dengan pasangan sebab hal itu akan membuat
pasangan bahagia dan merasa menjadi prioritas, sehingga semakin timbul rasa
cinta yang dalam dan jauh dari perceraian.
11. Tidak Terbuka
Tidak terbuka artinya ialah tidak jujur kepada pasangan, hal ini embuat
pasangan menjadi mudah berprasangka buruk atau salah paham sehingga mudah
timbul pertengkaran dan perceraian. Atasi dengan cara terbuka satu sama lain dan
selalu meluangkan waktu untuk berkeluh kesah sehingga selalu dekat dan tidak
timbul prasangka.
12. Tidak Menjaga Aib Satu Sama Lain
Suami istri harus menutupi keburukan pasangannya, jika mengumbar
keburukan pasangan di hadapan orang lain tentu menyakiti hati pasangan dan
timbullah pertengkaran dan perceraian. Cegah dengan cara saling menyimpan aib
satu sama lain sehingga timbul perasaan saling menjaga.
13. Kesibukan dan Prasangka Buruk
Ialah penyebab perceraian karena kurangnya komunika sehingga salah
satu merasa kurang diperhatikan dan mencari kaish sayang di luar, atasi dengan
cara mengatur waktu sebaik mungkin agar bisa bersama dengan pasangan dan
memiliki kesempatan dalam hal kebersamaan.
14. Perbedaan Keyakinan
“Janganlah kamu menikahkan orang orang musyrik dengan wanita
wanita mu sebelum mereka beriman”. (Al Baqarah : 221). Kadang ditemui
pasangan beda agama yang menikah padahal hal tersebut tidak diperbolehkan, di
perjalanan rumah tangga menjadi sering bertengkar karena tidak memahami satu
sama lain. atasi dengan cara meniatkan menikah karena Allah dan dengan orang
yang seiman, jika sudah telanjur maka memang jalan terbaik adalah berpisah
karena memang dalam islam pernikahan beda keyakinan tidak mendpaat
ridhoNya.
15. Tidak Memiliki Keturunan
“Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah utuk kamu yaitu anak”. (Al
Baqarah : 187). Penyebab perceraian dalam islam kadang juga karena belum
mendapat rezeki dari Allah untuk memiliki keturunan sehingga menyalahkan
salah satu pihak yang umumnya ditujukan pada wanita padahal keturunan adalah
hak mutlak Allah. Atasi dengan cara meningkatkan rasa iman dan memperbanyak
doa serta percaya bahwa Allah selalu memberi garis hidup dan takdir yang
terbaik.

Sumber : Redaksi Dalamislam, https://dalamislam.com/hukum-


islam/pernikahan/penyebab-perceraian-dalam-islam

b) Macam-macam perceraian
Talak dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :
1. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Talak Sharih (Talak langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada
istrinya dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan terang. Meskipun talak
ini diucapkan tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang suami
tetap dianggap menjatuhkan talak/ cerai. Hal ini telah ditegaskan
dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah :
‫واتفقوا على أن الصريح يقع به الطالق بغير نية‬
Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafadz sharih (tegas)
statusnya sah, tanpa melihat niat (pelaku).”
Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :

 Aku menceraikanmu
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.
b. Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada
istrinya dengan menggunakan kata-kata yang di dalamnya mengandung
makna perceraian akan tetapi tidak secara langsung. Seorang suami yang
apabila menjatuhkan talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak
ada niat untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak
jatuh.
Akan tetapi apabila sang suami mempunyai niat untuk
menceraikan istrinya ketika mengucapkan kalimat-kalimat talak tersebut,
maka talak dianggap jatuh. Contoh Lafadz talak kinayah :

 “Pulanglah engkau pada orang tuamu karena aku tidak lagi


menghendakimu”
 “Pergi saja engkau dari sini kemanapun engkau suka”
 “Tidak ada hubungan apapun lagi di antara kita,” dan lain sebagainya.
2. Dilihat dari pelaku perceraian
Jika ditinjau dari segi tersebut, cerai atau talak terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Cerai Talak oleh Suami
Ini merupakan jenis perceraian atau talak yang paling umum terjadi,
dimana seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Begitu seorang
suami mengucapkan lafadz talak kepada sang istri, maka talak atau cerai
tersebut telah dianggap jatuh atau terjadi.
Jadi status perceraiannya terjadi tanpa harus menunggu keputusan dari
pengadilan agama. Dengan kata lain, keputusan dari Pengadilan Agama
hanyalah sebagai formalitas saja.
Talak jenis ini dibedakan menjadi 5 jenis, yaitu :
 Talak Raj’i
Yaitu suatu proses perceraian dimana suami mengucapkan
talak satu atau talak dua kepada istrinya. Akan tetapi sang suami bisa
melakukan rujuk dengan istrinya ketika sang istri masih dalam
masa iddah, dan ketika masa iddah telah habis atau lewat, rujuk yang
dilakukan oleh suami tidak dibenarkan kecuali harus dengan akad
nikah yang baru.
Allah SWT berfirman :
‫وه َُّن‬ŸŸ‫ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُم‬Ÿ‫ لُّ لَ ُك ْم أَ ْن تَأْ ُخ‬Ÿ‫ا ٍن ۗ َواَل يَ ِح‬Ÿ‫ ِري ٌح بِإِحْ َس‬Ÿ‫ُوف أَوْ ت َْس‬ ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ُ ‫الطَّاَل‬
ٌ ‫ق َم َّرتَا ِن ۖ فَإ ِ ْم َسا‬
ْ ‫د‬Ÿَ‫ا ا ْفت‬ŸŸ‫ا فِي َم‬ŸŸ‫َش ْيئًا إِاَّل أَ ْن يَ َخافَا أَاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۖ فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َم‬
‫َت‬
َ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَأُو ٰلَئِكَ هُ ُم الظَّالِ ُمون‬
َ ‫بِ ِه ۗ تِ ْل‬
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229)
 Talak Bain
Ini adalah suatu proses perceraian dimana seorang suami
mengucapkan atau melafadzkan talak tiga kepada istrinya. Dalam
kasus seperti ini, sang suami tidak diperbolehkan untuk rujuk dengan
istrinya, kecuali sang istri telah menikah kembali dengan orang lain
lalu sang istri diceraikan oleh suami barunya tersebut dan telah habis
masa iddahnya.
Allah SWT berfirman :
‫ا‬ŸŸ‫ا أَ ْن يَتَ َرا َج َع‬ŸŸ‫ا َح َعلَ ْي ِه َم‬ŸŸَ‫طلَّقَهَا فَاَل تَ ِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَ ْن ِك َح َزوْ جًا َغي َْرهُ ۗ فَإ ِ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬
َ ‫إِ ْن‬
َ ‫إِ ْن ظَنَّا أَ ْن يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۗ َوتِ ْل‬
َ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS.
Al- Baqarah ayat 230)
 Talak Sunni
Ini adalah perceraian dimana seorang suami mengucapkan
talak kepada istri yang belum disetubuhi ketika si istri dalam keadaan
suci dari haid.
 Talak Bid’i
Yaitu perceraian dimana suami menjatuhkan talak kepada
istrinya yang masih dalam masa haid atau istri yang dalam keadaan
suci dari haid akan tetapi sudah disetubuhi.
 Talak Taklik
Yaitu perceraian yang terjadi akibat syarat atau sebab-sebab
tertentu. Jadi apabila sang suami melakukan sebab atau syarat-syarat
tersebut, maka terjadilah perceraian atau talak.
b. Gugat Cerai oleh istri
Ini merupakan proses perceraian dimana sang istri mengajukan
permohonan gugat cerai atas suaminya kepada Pengadilan Agama, dan
sebelum lembaga pemerintah tersebut memutuskan secara resmi, maka
perceraian dianggap belum terjadi.
Ada dua istilah terkait gugat cerai yang dilakukan oleh istri atas suaminya,
yaitu :
 Fasakh
Yaitu pengajuan perceraian yang dilakukan seorang istri atas
suaminya tanpa adanya kompensasi yang diberikan oleh istri kepada
sang suami. Fasakh bisa dilakukan ketika :

 Suami telah dianggap tidak memberikan nafkah lagi baik nafkah


lahir maupun batin kepada istrinya selama enam bulan berturut-
turut.
 Apabila seorang suami meninggalkan istrinya selama empat tahun
berturut-turut tanpa adanya kabar berita
 Suami dianggap tidak melunasi mas kawin atau mahar yang telah
disebutkan di dalam akad nikah, baik sebagian maupun
keseluruhan.
 Suami berlaku buruk kepada istrinya seperti menganiaya,
menghina, maupun tindakan lainnya yang dapat mengancam
keselamatan dan keamanan sang istri.
 Khulu’
Yaitu proses perceraian atas permintaan dari pihak istri dan suami
setuju dengan hal tersebut dengan syarat sang istri memberikan imbalan
kepada sang suami. Di dalam Al-Qur’an surat Al- Baqarah ayat 229
disebutkan bahwa
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya.”
Dampak dari gugatan cerai yang dilakukan istri tersebut adalah
hilangnya hak suami untuk melakukan rujuk selama sang istri sedang
dalam masa iddah atau yang disebut dengan talak ba’in sughra. Dan
apabila sang suami menghendaki untuk rujuk, maka ia harus melakukan
proses melamar dan menikahi kembali wanita yang telah menjadi mantan
istrinya tersebut. Dan apabilan wanita tersebut hendak menikah dengan
pria lain, maka ia harus menunggu hingga masa iddahnya selesai.

Sumber : Redaksi Dalamislam, https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/talak

c) Hal-hal yang membuat bisa rujuk kembali


Menurut Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyah al-Bajuri, ada tiga hal yang
harus diperhatikan sebelum dilakukan rujuk: (1) suami yang hendak rujuk, (2) istri yang
akan dirujuk, dan (3) redaksi rujuk (lihat: Hasyiyah al-Bajuri [Semarang: Maktabah
al-‘Alawiyyah], tt., jilid 2, hal. 174). Berikut adalah penjelasannya. 
Pertama, suami yang melakukan rujuk harus orang yang sah melakukan
pernikahan. Seperti baligh, berakal sehat, dan memiliki kemauan sendiri. Artinya, tidak
sah rujuk dilakukan oleh anak kecil, orang tunagrahita, dan orang murtad. Berbeda
dengan laki-laki yang sedang ihram atau mabuk, walaupun disengaja, maka keduanya
tetap sah melakukan rujuk.  
Kedua, istri yang dirujuk masih dalam masa iddah dari talak raj‘i—yakni talak
satu atau talak dua—bukan dari talak ba’in. Sehingga, tidak sah rujuk setelah habis masa
iddah. Jika suami tetap ingin kembali kepada istrinya, maka ia harus melakukan akad
baru, sebagaimana akad perkawinan pada umumnya. 
‫ فله مراجعتها ما لم تنقض عدتها فإن انقضت عدتها حل له نكاحها بعقد جديد‬Ÿ‫وإذا طلق امرأته واحدة أو اثنتين‬ 
Artinya, “Jika seorang suami menalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka ia
berhak rujuk kepadanya selama masa iddahnya belum habis. Jika masa iddah telah habis
maka sang suami boleh menikahinya dengan akad yang baru.” (Lihat: Abu Syuja, al-
Ghâyah wa al-Taqrîb, Alam al-Kutub, tt., hal. 33).  
Begitu pula jika talak yang dijatuhkan adalah talak tiga atau talak ba’in. Walaupun masa
iddah belum habis, maka sang suami tidak bisa langsung rujuk atau menikah dengannya
kecuali setelah terpenuhi lima persyaratan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh
Abu Syuja dalam al-Ghâyah wa al-Taqrîb: 
‫ابتها‬ŸŸ‫ا وإص‬ŸŸ‫ه به‬ŸŸ‫يره ودخول‬ŸŸ‫ا بغ‬ŸŸ‫ه وتزويجه‬ŸŸ‫دتها من‬ŸŸ‫اء ع‬ŸŸ‫فإن طلقها ثالثا لم تحل له إال بعد وجود خمس شرائط انقض‬
‫وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه‬
Artinya, “Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya
(rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat: (1) sang istri sudah habis masa iddahnya
darinya, (2) sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil), (3) si istri
pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya, (4) si istri sudah
berstatus talak ba’in dari muhallil, (5) masa iddah si istri dari muhallil telah habis,”
(Lihat: Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Alam al-Kutub, tanpa tahun, hal.  33).  
Seperti halnya istri yang ditalak ba’in, istri yang ditalak dengan talak fasakh dan
istri yang ditalak khulu‘ pun tidak bisa dirujuk. Sehingga sang suami yang ingin kembali
kepadanya harus melakukan akad baru. Begitu pula yang ditalak tetapi belum pernah
dicampuri, juga tidak bisa rujuk sebab ia tidak memiliki masa iddah.  Sebagaimana
keadaan suami yang merujuk, keadaan istri yang dirujuk juga tidak boleh dalam keadaan
murtad.  
Ketiga, ungkapan yang dipergunakan untuk rujuk bisa ungkapan sharih (jelas)
atau ungkapan kinayah (sindiran) disertai dengan niat. Contoh ungkapan sharih, “Aku
rujuk kepadamu,” atau “Engkau sudah dirujuk,” atau “Aku mengembalikanmu kepada
pernikahanku.” Sedangkan ungkapan kinayah contohnya “Aku kawin lagi denganmu,”
atau “Aku menikahimu lagi.” Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut berlaku bagi orang
yang normal bicara. Sedangkan bagi orang yang tunawicara cukup dengan isyarat yang
memberikan makna yang sama.       
Lebih lanjut, Syekh Ibrahim mempersyaratkan agar ungkapan rujuk di atas tidak
diikuti dengan ta’liq atau batas waktu tertentu. Seperti ungkapan, “Aku rujuk kepadamu
jika engkau mau,” meskipun istrinya menjawab, “Aku mau.” Atau ungkapan, “Aku rujuk
kepadamu selama satu bulan.” 
Kemudian, rujuk tidak cukup dilakukan dengan niat saja tanpa diucapkan. Pun
tidak cukup hanya dilakukan dengan tindakan semata, seperti dengan hubungan suami-
istri. Tetaplah harus ducapkan, bahkan sunnahnya, di hadapan dua saksi. Tujuannya agar
terhindar dari fitnah dan keluar dari wilayah perdebatan orang yang mewajibkannya. 
Kemudian, rujuk juga boleh dilakukan tanpa kerelaan istri. Namun, tentu saja hal
ini perlu dipertimbangkan, mengingat salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan
ketenangan dan kebahagiaan bersama. Jika kerelaan istri diabaikan, bukan mustahil
tujuan itu tidak akan tercapai walaupun sudah rujuk.  

Sumber : Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-


Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa
Barat (https://islam.nu.or.id/post/read/108875/3-hal-yang-harus-diperhatikan-saat-suami-
ingin-rujuk)

Anda mungkin juga menyukai