Anda di halaman 1dari 5

BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah Nama besar Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, sudah tak asing lagi di telinga umat
Islam. Ketokohan dan keilmuannya sangat disegani. Hal ini dikarenakan luasnya ilmu yang dimiliki
serta ribuan buku yang menjadi karyanya. Sejumlah julukan diberikan Ibnu Taimiyah, antara lain
Syaikhul Islam, Imam, Qudwah, 'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya. Ulama ini bernama lengkap
Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-
Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di
antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M). Dikabarkan,
Ibnu Taimiyah sebelumnya tinggal di kampung halamannya di Harran. Namun, ketika ada serangan
dari tentara Tartar, bersama orang tua dan keluarganya, mereka hijrah ke Damsyik. Mereka
berhijrah pada malam hari untuk menghindari serangan tentara Tartar tersebut. Mereka membawa
sebuah gerobak besar yang berisi kitab-kitab besar karya para ulama. Disebutkan, orang tua Ibnu
Taimiyah adalah seorang ulama juga yang senantiasa gemar belajar dan menuntut ilmu. Ia berharap,
kitab-kitab yang dimilikinya bisa diwariskan kepada Ibnu Taimiyah. Konon, sejak kecil Ibnu Taimiyah
sudah menunjukkan kecerdasannya. Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal
Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-
ulama terkenal di zamannya. Disebutkan dalam kitab *al-Uqud al-Daruriyah, * suatu hari ada
seorang ulama dari Halab (sebuah kota di Syria), sengaja datang ke Damsyik untuk melihat
kemampuan si bocah yang bernama Ibnu Taimiyah, yang telah menjadi buah bibir masyarakat.
Ketika bertemu, ulama ini menguji kemampuan Ibnu Taimiyah dengan menyampaikan puluhan
matan hadis sekaligus. Di luar dugaan, Ibnu Taimiyah dengan mudah menghapal hadis tersebut
lengkap matan dan sanadnya. Hingga ulama tersebut berkata, ''Jika anak ini hidup, niscaya Ia kelak
mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah yang memiiki kemampuan
seperti dia.'' Berkat kecerdasannya, ia dengan mudah menyerap setiap pelajaran yang diberikan.
Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin (teologi) dan
memahami berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Sehingga, banyak ulama
yang kagum akan kecerdasannya. Dan ketika dewasa, kemampuan Ibnu Taimiyah pun semakin
matang. Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar dan berfatwa, terutama
dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun
cabang-cabangnya. ''Ibnu Taimiyah mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai *rijalul
hadis* (mata rantai sanad, periwayat), ilmu *al-Jahru wa al-Ta'dil*, thabaqat sanad, pengetahuan
tentang hadis sahih dan dlaif, dan lainnya,'' ujar Adz-Dzahabi. Sejak kecil, Ibnu Taimiyah hidup dan
dibesarkan di tengah-tengah para ulama besar. Karena itu, ia mempergunakan kesempatan itu untuk
menuntut ilmu sepuas-puasnya dan menjadikan mereka sebagai 'ilmu berjalan.' Karena penguasaan
ilmunya yang sangat luas itu, ia pun banyak mendapat pujian dari sejumlah ulama terkemuka.
Antara lain, Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam kitabnya *Al-Kawakib Al-Darary,* Al-
Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh
Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya. ''Aku belum pernah melihat orang seperti
Ibnu Taimiyah, dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap*Kitabullah * dan
Sunah Rasulullah SAW selain dirinya,'' ungkap Al-Mizzy. ''Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul Islam,
lalu siapa dia ini?'' kata Al-Qadli Ibnu Al-Hariry. *Teguh pendirian* Disamping dikenal sebagai
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai sosok ulama yang keras dan teguh dalam
pendirian, sesuai dengan yang disyariatkan dalam Islam. Dia dikenal pula sebagai seorang
*mujaddid*(pembaru) dalam pemikiran Islam. Ia pernah berkata, ''Jika dibenakku ada suatu
masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang *musykil* (ragu) bagiku, aku akan beristigfar
1000 kali, atau lebih atau kurang, hingga dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal
itu aku lakukan baik di pasar, masjid, atau madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berzikir
dan beristigfar hingga terpenuhi cita-citaku. '' Tak jarang, pendapatnya itu menimbulkan polemik di
kalangan ulama, termasuk mereka yang tidak suka dengan Ibnu Taimiyah. Karena ketegasan
sikapnya dan kuatnya dalil-dalil *naqli* dan *aqli* yang dijadikannya sebagai *hujjah*(argumentas
i), ia tak segan-segan melawan arus. Ulama yang tidak suka dengannya kemudian menyebutnya
sebagai *ahlul bid'ah* dan pembuat kerusakan dalam syariat. Ibnu Taimiyah juga banyak dikecam
oleh ulama Syiah dan menyebutnya sebagai orang yang tidak suka terhadap *ahlul bayt* (keturunan
Rasul dari Fatimah RA dan Ali bin Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabi
dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak akidah Islam. Karena dianggap
berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudian dizalimi dan dimasukkan ke dalam
penjara. Di penjara, ia justru merasakan kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan
pikirannya dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari ide-idenya
selama di penjara. Di penjara, ia juga banyak menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan.
Hingga akhirnya, banyak narapidana yang belajar kepadanya. Beberapa di antaranya, yang
diputuskan bebas dan berhak keluar dari penjara, malah menetap dan berguru kepadanya. Ia wafat
di dalam penjara *Qal'ah Dimasyqy* pada 20 Dzulhijah 728 H (1328 M), dan disaksikan salah seorang
muridnya, Ibnu al-Qayyim. Bersama Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas.
Ibnu Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan) lebih beberapa hari.
Selama di penjara, Ia tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa. Jenazahnya
dishalatkan di Masjid Jami' Bani Umayah sesudah shalat Dzhuhur dan dimakamkan sesudah Ashar.
Ibnu Taimiyah dimakamkan di samping kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarifuddin.
Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para
umara, ulama, tentara, dan lainnya, hingga Kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan, semua
penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati
kepergiannya. sya/berbagai sumber *Cerdas Sejak Kecil* Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang
Syaikhul Islam yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat luas. Kepandaian dan kercerdasannya
diperolehnya dengan ketekunan dan kerajinannya dalam menuntut ilmu sejak kecil. Hampir tak ada
waktu senggang tanpa ia habiskan dengan menuntut ilmu. Dan setelah dewasa, ia pun masih suka
belajar dan berbagi pengetahuan dengan murid-murid dan ulama lainnya. Para ahli sejarah
mencatat, meskipun dalam usia kanak-kanak, ia tidak tertarik pada segala permainan dan senda
gurau sebagaimana yang diperbuat anak-anak pada umumnya. Dia tidak pernah menyia-nyiakan
waktu untuk itu. Dia pergunakan setiap kesempatan untuk menelaah soal-soal kehidupan dan sosial
kemasyarakatan, di samping terus mengamati setiap gejala yang terjadi tentang tradisi maupun
perangai manusia. Ibnu Taimiyah mempelajari berbagai disiplin ilmu yang dikenal pada masa itu.
Kemampuannya berbahasa Arab sangat menonjol. Dia menguasai ilmu nahwu (tata bahasa Arab)
dari ahli nahwu, Imam Sibawaihi. Ibnu Taimiyah juga suka belajar ilmu hisab (matematika) , kaligrafi,
tafsir, fikih, hadis, dan lainnya. Ibnu Abdul Hadi berkata, "Guru-guru di mana Ibnu Taimiyah belajar
dari mereka lebih dari dua ratus orang. Di antaranya yang teristimewa adalah Ibnu Abdid Daim Al-
Muqaddasi dan para tokoh yang setingkat dengannya. Dia belajar Musnad Imam Ahmad dan kitab-
kitab Shahih Enam secara berulang-ulang. Karena penguasaan ilmunya yang luas itu, banyak murid-
muridnya yang sukses menjadi ulama. Di antaranya *Al-Hafizh* Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu
Abdul Hadi, *Al-Hafizh* Ibnu Katsir, dan *Al-Hafizh* Ibnu Rajab Al-Hanbali. Ibnu Taimiyah juga telah
melahirkan banyak karya fenomenal yang menjadi pegangan dan rujukan ulama-ulama sesudahnya.
Di antaranya, *Minhajus Sunnah, Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih, An Nubuwah,
Ar-Raddu 'Ala Al-Manthiqiyyin, Iqtidha'u Ash-Shirathi Al-Mustaqim, Majmu' Fatawa, Risalatul Qiyas,
Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul, Syarhu Al-Ashbahani war Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-
Wasithiyyah, Al-Kailaniyyah, Al-Baghdadiyyah, Al-Azhariyyah, * dan masih banyak lagi. (sya/berbagai
sumber) Diposkan oleh Jihaduddin Fikri Amrullah di 10.29 Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, gambar ilustrasi artis.

Lahir 661 H (1263) [1]


Harran[2]

Meninggal 728 H, atau 1328 (berusia 64–65)[1]

Damascus[2]

Era Zaman Pertengahan Akhir

Agama Islam

Aliran Hanbali

Gagasan Kembali ke Tauhid, teori Mill,pembuktian


penting induktif dan analogi, kritik terhadap silogisme

Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa Arab: ‫أبو‬
‫)عب اس تقي ال دين أحمد بن عبد الس الم بن عبد هللا ابن تيمية الح راني‬, atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu
Taimiyah saja (lahir: 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H– wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah
seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW
dan Sahabat Nabi, kemudianTabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi,
dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk
kehidupan Islam.

Biografi[sunting | sunting sumber]
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan
khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang
ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada
masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya
ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.

Perkembangan dan hasrat keilmuan[sunting | sunting sumber]


Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera
menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits
negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika
umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-
bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali,
kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja
datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir.
Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus.
Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan
kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya,
sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar,
sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk
membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar
dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Kepribadiannya[sunting | sunting sumber]
Dia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan
Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku,
maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan
masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak
menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Menjadi jenderal[sunting | sunting sumber]


Dia pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota
Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan dia mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313,
dia juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, dia tetap
mengajar sebagai profesor yang ulung [3]
Pendidikan dan karyanya[sunting | sunting sumber]
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu
hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah
hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut
ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah
keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam
menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik
yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-
Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah(dalil), ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia
menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis
empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul
Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-
karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam

Wafatnya[sunting | sunting sumber]
Ibnu Taimiyah meninggal penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim,
ketika dia sedang membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi"Innal Muttaqina fi jannatin
wanaharin"[3] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit
dua puluh hari lebih. Di masa tuanya, dia menulis banyak kitab sekaligus mengisi waktunya. Dia dipenjara
karena berseberangan dengan pemerintah di zamannya. [4] Sewaktu menulis, dia sering juga saling
bersurat-suratan kepada kawan-kawannya. Akhirnya, pihak pemerintah merampas semua peralatan
tulisnya, tinta, dan kertas-kertas dari tangan dia. Namun, dia tidak pernah patah arang. Dia banyak
berdakwah dengan menulis surat kepada kawan-kawannya, dan teman-temannya memakai arang.
Sehingga, dengan terang, dia berkata, "Orang yang diopenjara adalah orang yang dipenjara harinya dari
Rabbnya; sedang, orang yang tertawan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya." [4] Ia wafat pada
tanggal 20 Dzulhijjah 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya, Syaikh
Jamal Al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya disalatkan di masjid Jami` Bani Umayah sesudah salat Zhuhur
dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Pada saat itu, tidak ada seorangpun yang tak hadir melayat kecuali ada yang berhalangan, para wanita
yang berjumlah kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan tangis dan
doa yang terdengar di atas rumah-rumah sepanjang jalan menuju makam, sementara lelaki yang hadir
diperkirakan 60.000 bahkan sampai 100.000 pelayat menurut kesaksian Ibnu Katsir.pat puj

Peninggalan[sunting | sunting sumber]
Sepanjang hidupnya, dia dikenal banyak sekali mendapat pujian dan celaan. Banyak kalangan ulama yang
memujinya, dan sebagian ahli fiqih mencela dia karena ketidaktahuan mereka. Adapun ajarannya yang
benar-benar memurnikan tauhid dari kesyirikan, khurafat, dan bid'ah, telah mengena dan diikuti oleh
pengikut Salafi yang anti-kesyirikan.
Adapun, pada diri-pribadi Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullahu 'alaih ( ‫ح َم ُه هللا عَ لَ ْي ِه‬
ِ َ‫)ر‬, telah banyak kitab
tentang studi pada biografi hidup dia; seperti kitab, risalah ilmiah, maupun yang bukan ilmiah, itu baik
dari bahasa Arab, ataupun yang bukan bahasa Arab. Studi tentang kehidupan dia bukan hanya tentang
kehidupan dia saja, berikut tentang kepribadian, dan keilmuannya, dan karya-karyanya begitu banyak. [5]

Anda mungkin juga menyukai