Anda di halaman 1dari 25

TASAWUF IBNU TAIMIYAH

Oleh:
Muhammad Ikhsan
(Mahasiswa S2 UI Jakarta Program Studi Kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan
Kajian Islam)
Pengantar
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak kata yang seringkali dianggap
saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. Kata itu bisa saja mewakili
sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu.
Diantara deretan kata-kata yang saling paradoks itu mungkin tidak salah jika kita
menyebut Ibnu Taimiyah (sosok tokoh pemikiran penting abad 7 H) dan Tasawuf
(sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang) sebagai salah satu contohnya.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini Ibnu Taimiyah dan Tasawuf-
dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan,
sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci,
memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini
tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini.
Sehingga bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan
kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman,
permusuhan, dan yang semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-
pertanyaan seputar kebenaran permusuhan Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha
dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya
yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.
Siapakah Ibnu Taimiyah?
Dunia Islam di era Ibnu Taimiyah sebelum dan setelah ia dilahirkan- adalah dunia Islam
yang penuh gejolak. Gejolak pemikiran dan juga gejolak politik yang berkepanjangan.
Ibnu Taimiyah sendiri dilahirkan tepat lima tahun setelah Baghdad ibukota Islam- jatuh
dan porak-poranda di tangan Bangsa Tartar.[1] Tepat pada hari Senin, 12 Rabi al-Awwal
tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara
sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan
para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Din Abu al-Abbas
Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn
Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy.[2]
2
Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di kota kecil bernama Harran itu. Ketika
usianya memasuki tujuh tahun, ia bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke
kota Damaskus karena pasukan Tartar telah memasuki dan akhirnya menguasai Harran.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak
menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din Abd al-Halim
adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di
Mesjid Jami Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama
(masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu
Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[3]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai
penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil
ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qurannya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis
dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara
mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar
dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara.
Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir
hayatnya.
3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu.
Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan
terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang siapapun ia- dapat diterima atau
ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, Tidak ada
seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang
empat.[4]
Salah satu kisah unik yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu serta kecepatan
nalar Ibnu Taimiyah adalah apa yang dikisahkan oleh muridnya, Shalih Taj al-Din. Ia
menuturkan,
Suatu ketika, aku hadir dalam majlis Syekh maksudnya: Ibnu Taimiyah-. Ternyata ada
seorang Yahudi yang bertanya kepada beliau tentang Qadar, dan pertanyaan itu telah
dirangkai dalam delapan bait puisi. Ketika orang Yahudi itu selesai, (Syekh) pun berpikir
sebentar, lalu mulailah ia menulis jawabannya. Ia terus menulis, dan kami mengira ia
menulisnya dalam bentuk prosa. Setelah selesai, orang-orang yang hadir memperhatikan
jawaban yang beliau tulis. Ternyata, jawaban itu terdiri dari berbait-bait puisi dengan
langgam puisi yang sama dengan pertanyaan sang Yahudi, jumlahnya 184 bait. Dalam
bait-bait itu, beliau menguraikan ilmu yang jika dijelaskan memerlukan 2 jilid besar.[5]
Perjalanan Hidup Hingga Ajal Menjemput
3
Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang
diperjuangkannya, ia harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah
dan dimusuhi. Setidak-tidaknya delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam
penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir kalinya pada tahun 727 H, tekanan
terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-kitab dan alat tulis ke dalam
selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di tahun itu. Tidak
lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini
untuk menghadap Tuhannya. [6]
Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang
ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya
tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749
H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis
sampai 4 buku.[7]
Sisi-sisi Lain Kepribadian Ibnu Taimiyah
Sesungguhnya ada banyak sisi menarik dari kepribadian seorang Ibnu Taimiyah. Dan hal
itu tidak hanya disimpulkan oleh orang-orang dekatnya, namun juga diakui oleh orang-
orang yang berbeda bahkan memusuhinya. Diantara sisi-sisi lain kepribadiannya adalah
sebagai berikut:
Keteguhan ibadah dan kezuhudannya
Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,
Sungguh jika pikiranku terhenti pada satu masalah atau apapun yang sulit untuk
kupahami, maka aku akan beristighfar kepada Allah Taala seribu kali atau lebih, hingga
akhirnya dadaku dilapangkan dan kekaburan masalah itu menjadi jelas.[8]
Dalam al-Uqud al-Durriyah (hal. 105) salah satu biografi tentangnya yang ditulis oleh
muridnya, Ibnu Abd al-Hady- disebutkan,
Bila malam hari tiba, ia pun menyendiri dari semua manusia, berkhalwat dengan Rabb-
nya Azza wa Jalla merendahkan diri pada-Nya, menekuni bacaan al-Quran, mengulang-
ulangi berbagai bentuk penghambaan siang dan malam. Dan bila ia telah masuk ke dalam
shalatnya, sekujur tubuh dan anggota badannya bergetar hingga bergoyang ke kiri dan ke
kanan.
Ibnu al-Qayyim murid terdekatnya- mengatakan,
Bila ia usai menunaikan shalat subuh, ia pun tinggal duduk (berdzikir) di tempatnya
hingga matahari terbit dan mulai panas. Ia mengatakan, Inilah sarapan pagiku, kapan
saja aku tak melakukannya maka kekuatanku akan berguguran.[9]
4
Adapun mengenai kezuhudannya, maka itu adalah perkara yang diketahui dengan jelas
oleh semua orang yang mengenalnya. Karena itu, beberapa kali ia diberi hadiah harta
yang berlimpah, namun tidak lama kemudian semuanya telah habis diberikan kepada
yang membutuhkannya. Hingga bila ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan, maka
ia mengambil pakaiannya lalu diberikannya kepada fuqara.[10]
Kelapangan dadanya kepada siapa pun yang menyakitinya
Ibnu Taimiyah dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ulama yang memahami dan
merealisasikan dengan baik etika dalam berbeda pendapat. Kelapangan dadanya dalam
menyikapi siapa pun yang menjadi lawannya menyebabkan kekaguman tersendiri bagi
para penelaah pemikirannya.
Ibn al-Qayyim pernah menuturkan,
Ia selalu mendoakan kebaikan untuk musuh-musuhnya. Tidak pernah sekali pun aku
melihat ia mendoakan kebinasaan untuk mereka. Suatu hari, aku sampaikan kabar
gembira kematian salah satu penentangnya yang paling membenci dan memusuhinya.
Tapi ia justru memarahiku dan memalingkan wajahnya dariku. Apakah engkau datang
memberiku kabar gembira akan kematian seorang muslim? Ia kemudian mengucapkan:
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Lalu saat itu juga, ia segera mendatangi rumahnya dan menghibur keluarga (musuh)nya
itu. Ia berkata pada mereka, Anggaplah aku sebagai penggantinya. Aku akan membantu
kalian dalam setiap apa pun yang kalian butuhkan. Ia berbicara pada mereka dengan
lembut dan penuh hormat; hal yang kemudian menghadirkan kebahagiaan bagi mereka.
Ia kemudian berdoa sebanyak-banyaknya untuk mereka, hingga mereka sendiri takjub
dibuatnya.[11]
Al-Qadhy Ibn Makhluf al-Maliky, salah seorang penentangnya yang paling keras bahkan
pernah mengatakan,
Aku belum pernah melihat seorang pemurah yang sangat lapang dada seperti Ibnu
Taimiyah. Kami telah memprovokasi negara untuk melawannya, namun ia justru
memaafkan kami setelah ia punya kemampuan (untuk menjatuhkan kami di depan
Sultan). Ia bahkan membela dan melindungi kami.[12]
Kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari bukti kelapangan dada Ibnu Taimiyah. Lebih
dari itu, dalam berbagai karyanya ia selalu mengulang-ulangi pentingnya bersikap adil,
moderat dan pertengahan dalam menilai apapun dan siapa pun. Termasuk juga saat ia
mengkritisi berbagai aliran pemikiran dalam Islam bahkan di luar Islam-, ia selalu
menjelaskan sisi-sisi positif yang mereka miliki. Tentu saja, tanpa mengurangi
ketegasannya dalam hal-hal yang prinsipil.
IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF
5
Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang
cukup dalam terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung
tema-tema sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah:
1. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan.
2. al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi Amal al-Qulub
3. al-Ubudiyyah
4. Darajat al-Yaqin
5. al-Risalah al-Tadmuriyah
6. Risalah fi al-Sama wa al-Raqsh
7. Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu Fatawa Syaikh
al-Islam Ibn Taimiyah.
Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada
upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa
yang ia sebut dengan Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat dan mengkritisi apa yang
ia sebut sebut sebagai Tasawuf yang menyimpang. Dan berikut ini akan diuraikan
pokok-pokok pandangannya terhadap Tasawuf.
Pengertian Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah
Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang
berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun
lahir dari masalah ini; apakah sufi adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang
diarabkan? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah
kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?[13]
Perdebatan seputar asal pembentukan Tasawuf atau sufi ini juga diulas oleh Ibnu
Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah
ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai
dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang
dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan
sebuah kata untuk kemudian menjadi sufi. Meski terkadang kritiknya juga terkait
dengan wawasannya tentang sejarah.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa
sufi adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
6
Penisbatan (sufi) kepada al-Shuffahadalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (sufi adalah
penisbatan kepada al-Shuffah), maka seharusnya menjadi shuffy , dan bukan
sufi . [14]
Di samping itu, ia juga menafikan berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan
menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala
itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya
untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga
atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung
ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila
mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu menurut Ibnu Taimiyah-
penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain
menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun
ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan
diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan sufi kepada
Ahl al-Shuffah.[15]
Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa
sufi adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( )bulu domba. Di samping
karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak
mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[16]
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia
mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu
domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia
mengatakan,
Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara
lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model
pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara
yang mubah.[17]
Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih
mementingkan isi dan kandungan yang sesungguhnya daripada harus mementingkan
penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku
pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah al-Fuqara (kaum fakir), al-
Zuhhad (kaum pelaku kezuhudan), al-Salikin (para penempuh jalan menuju Allah),
Ashab al-Qalb (pemerhati dan pemilik hati), Arbab al-Ahwal (para penempuh
ahwal), Ashab al-Shufiyah (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru
(pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu
para penempuh jalan ruhani dalam Islam.[18] Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa
jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra
dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab
baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.[19]
Sejarah Pemunculan Tasawuf
7
Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang
berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan
istilah sufi telah ada di masa jahiliyyah.
Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad
2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan,
Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun
rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid.
Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu
perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat
berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: fikihnya fikih
Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah.[20]
Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1. Sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqaiq)
2. Sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. Sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)
Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani
kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi
adalah orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang
menjadi sama baginya nilai emas dan batu.[21]
Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang
kelompok ini,
Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan Shiddiqun. Ia adalah
shiddiq yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara
sungguh-sungguh. Maka seorang shiddiq juga ada yang menjadi penempuh jalan ini,
sebagaimana juga ada shiddiq dari kalangan ulama dan umara. Jenis (manusia)
shiddiq ini lebih khusus dari (manusia) shiddiq secara mutlak, namun tetap berada di
bawah para (manusia) shiddiq yang sempurna keshiddiqannya, dari kalangan para
sahabat, tabiin, dan tabi tabiin.
Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para shiddiqun,
maka para imam dan fuqaha dari Kufah pun disebut sebagai para shiddiqun. Setiap
mereka (menjadi shiddiqun) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa
mereka para sufi- adalah manusia shiddiq paling sempurna di zamannya, meski para
shiddiqun generasi awal lebih sempurna dari mereka.[22]
8
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
1. Ia harus mampu melakukan keseimbangan syari. Yaitu dengan menunaikan yang
fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki
harus komitmen dengan jalan taqwa.
2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab
syari dan meninggalkan adab-adab yang bidah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-
adab al-Quran dan sunnah Nabi saw.
3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan
dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang
bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan
menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku
lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang
yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama hingga menyebabkan orang bodoh
menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.[23]
Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati
perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan
adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah
sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah
yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum
muslimin lainnya. Mengapa? Karena menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan
ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat
Allah yang benar dan meninggalkan bidah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra,
prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan
kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah
Taala. [24]
Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan
perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial.
Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan
mengakibatkan munculnya sebuah bidah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan
kesalehan masyarakat manusia yang utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna
menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia
menyebutnya dengan, Dunia berkhidmat untuk dien (agama).[25]
Benarkah Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf;?
9
Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah
sangat membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang berhati batu.
Benarkah demikian?
Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf.
Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan
sekarang.[26] Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini
sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami
karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh
sufi besar yang konsisten dengan al-Quran dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan
menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang
diyakininya.[27]
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus
menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu
seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh
sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Quran, al-Sunnah dan pandangan
kaum salaf.
Diantara karyanya itu misalnya- adalah:
Al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi al-Amal al-Qalbiyyah. Buku ini, seperti yang dikatakannya,
(Berisi) kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan
maqamat dan ahwal, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan
kaidah-kaidah agama; seperti mahabbah pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal,
mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya, khauf dan raja
pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.[28]
Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua
istilah yang umum digunakan di kalangan sufi; maqamat dan ahwal. Dan dalam buku ini
secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagai
maqam dan hal tersebut.
Hal lain yang juga patut dicatat adalah interaksinya dengan para sufi yang hidup di
zamannya. Ternyata ia juga menyempatkan waktu untuk hadir dalam majlis mereka,
Sewaktu aku masih muda, aku pernah hadir bersama sekelompok ahli zuhud dan ibadah,
dan mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya.[29]
Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak
menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk
mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat.
Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga
tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang
10
disebutnya sebagai Tasawuf Masyru (Tasawuf yang disyariatkan). Tasawuf yang
mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah saw.
Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ide-ide asing dari Islam tidak lebih
merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat
menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya
dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini?
Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya.[30]
Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya dengan ide-ide asing
yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak dipengaruhi
ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang
melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-
Bashry, al-Harits al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu
Taimiyah dalam hal itu.
Kedua, Ibnu Taimiyah berhati batu (keras)
Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari
satu sisi saja dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi
zamannya yang diliputi pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu
Taimiyah. Sehingga tidak mengherankan di tengah kewajiban membela agama dan
tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian menjelma menjadi sosok prajurit yang keras.
Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah beberapa kali terlibat dalam
peperangan melawan pasukan Mongolia.
Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu
Taimiyah yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya
meski harus melewati hari-hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan
musuh yang telah melontarkan fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Ia juga tetaplah Ibnu
Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika tidak memahami suatu masalah, ia
pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya sembari berdoa, Wahai Dzat
Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!. Dan siapa pun yang menelaah secara utuh
tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang
membuktikan kedalaman marifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-
Nya.[31]
AHWAL DAN MAQAMAT MENURUT IBNU TAIMIYAH
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan
amal yang bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal
yang bersifat bathiniyah) itu.[32] Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas
Islam untuk semesta, Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang
menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu hanyalah milik kalangan khas, dan
tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka sebut- awam. Baginya, semua ahwal
dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar
11
utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim,
tanpa sekat-sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia misalnya- menyatakan,
Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas
dam ridha juga pada-Nya; semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum
awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu (awam dan khas
pen) bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.[33]
Berikut ini akan diulas beberapa maqamat dan ahwal yang diuraikan secara panjang lebar
oleh Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya.
Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah
1. Maqam taubat
Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum
sufi.[34] Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah
mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa sebagaimana dalam
al-Quran[35]- Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan
dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu karakter penting seorang wali Allah.
Taubat menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba
setiap waktu,
Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah
jua, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak
cucu Adam dan imam kaum bertakwa, (Muhammad) saw selalu beristighfar di setiap
waktu dan kondisi.[36]
Di dalam al-Quran, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan
selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu
taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.
Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya.
Adapun berdasarkan hukum, taubat menurutnya- dibagi menjadi dua:
Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan
larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf, sebagaimana yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Quran dan al-Sunnah.[37]
Allah berfirman,
Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai kaum beriman, agar kalian
mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Nur: 31)
12
Rasulullah saw bersabda,
Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalain kepada Allah, sebab aku bertaubat dalam
sehari sebanyak 100 kali.[38]
Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan
mengerjakan yang makruh. [39]
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya
menjadi 3 tingkatan:
Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan
melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.
Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua
jenis taubat di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.
Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis
taubat tersebut.
Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak
di sisi Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa
yang ia lakukan di awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran kesuksesannya di
akhirat jika kemudian ia menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana
amal sangat bergantung pada niat memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana
seorang hamba mengakhirinya.[40]
2. Maqam Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah
serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan
maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak
sebagaimana yang dipandang oleh sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi
sehingga terlalu sulit untuk memahami dan mengamalkannya.[41]
Dalam menegaskan konsepnya bahwa maqamat itu merupakan kewajiban semua
kalangan tanpa ada perbedaan antara awam dan khas, Ibnu Taimiyah menyatakan ,
Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa maqamat ini hanya untuk kalangan awam
dan bukan untuk kalangan khas, maka ia telah keliru jika yang ia maksud bahwa
kalangan khas telah keluar( dari kewajiban itu). Sebab tidak ada seorang mukmin pun
yang keluar (dari kewajiban menjalani maqama itu pen). Yang keluar (dari kewajiban
maqama itu) hanyalah orang kafir atau munafik.[42]
Dalam menjelaskan maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang
umum dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: (1)
13
tawakkal dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya,
umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau
dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak
bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan
bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang
mutawakkil (bertawakkal) menurutnya- adalah:
(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan keshalehan hati dan agamanya, serta
penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat
kepada Rabb-nya di setiap shalat: Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya
kepada-Mu kami meminta tolong(QS. Al-Fatihah:5), seperti dalam firman Allah Taala:
Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya.(QS.Hud:123)[43]
Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa
ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang (baca:
tidak menjadi alasan) untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah
dalam mencapai sesuatu. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap
bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk
meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah-
disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan,
maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia
di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan
sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya.
Dan sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula;
baik melalui jalan sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu
ditakdirkan satu paket dengan sebab-sebabnya. Dan pada sebab-sebab itulah manusia
bermain.[44]
3. Maqam Zuhud
Rasulullah saw pernah bersabda,
Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan terhadap dunia dan sedikit
berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah dianugrahi
hikmah.[45]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru adalah meninggalkan segala
sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Taala, dan bahwa
apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka
meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk
negri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.[46]
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan,
kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam
kehidupan.[47] Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan. Kezuhudan adalah
14
ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun
dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang
miskin tidak dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.
Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu
saja beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.[48]
Ahwal Menurut Ibnu Taimiyah
Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini
terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang
menempatkan al-mahabbah sebagai maqam. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun
para sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan maqam dan hal bahwa maqam adalah
sesuatu yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan hal adalah anugrah dari Allah
dan bersifat sementara atau tidak tetap[49]-, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu
itu termasuk maqamat atau ahwal sangat bergantung pada hasil ijtihad masing-masing
mereka.
Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban
(paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang
ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf shaleh, imam-
imam hadits dan tasawwuf.[50] Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah
adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena
Allah.[51]
Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur: cinta yang sempurna dan
ketundukan yang utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini
akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun
selain Allah. Sehingga semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka
semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah penghambaan
manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-Nya.[52]
Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia
hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada
sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan,
Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan, bergembira, merasakan
kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan menghamba pada
Rabbnya, mencintai dan kembali pada-Nya.[53]
Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan
seorang murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai
seorang syekh sufi yang menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda
dengan mencintai para wali Allah yang bertaqwa, seperti para Khulafa al-Rasyidun,
mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali iman paling kuat dan salah satu kebaikan
terbesar orang-orang bertaqwa.[54]
15
Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah kemudian memperluas konsep cinta karena Allah
hingga kemudian mencakupi seluruh kaum beriman, dan karena itu ia sangat mengkritik
fanatisme kepada salah satu syekh sufi tertentu lalu membenci syekh yang lain.[55]
Menurutnya, setiap orang beriman berhak mendapatkan cinta kita sesuai dengan kadar
ketaatan dan kedekatannya pada Allah. Semakin dekat dan taat ia pada Allah, maka
semakin tinggi pula kadar kecintaan yang wajib kita berikan.
KONSEP WALI MENURUT IBNU TAIMIYAH
Salah satu tema penting lain yang dikaji dalam Tasawuf adalah kewalian. Kata wali
sendiri secara kebahasaan maknanya berputar pada kedekatan. Karena itu bila
dikatakan wali sesuatu, maka maknanya adalah yang dekat dengan sesuatu tersebut.
[56]
Maka dalam kajian Tasawuf, wali kemudian bermakna kedekatan hamba pada Allah
dan sebaliknya juga- kedekatan Allah pada sang hamba. Kedekatan secara fisikal
(dzaty) tentulah tidak mungkin dalam hal ini, tetapi yang dimaksud adalah kedekatan
sang hamba dengan keimanan dan taqwanya, serta kedekatan Allah kepadanya dengan
segala rahmat, kasih sayang dan karunia kebaikan-Nya yang khas. Bila kedua hal ini
telah bertemu, maka disitulah terjadi apa disebut dengan al-walayah (hubungan perwalian
antara Allah dan hamba).[57]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, konsep wali pun tidak jauh berbeda dengan apa yang
umum diyakini oleh para sufi. Ia mengatakan,
Wali Allah adalah orang yang mendekatkan dan memberikan loyalitasnya kepada-Nya
dengan jalan menepati apa yang Ia cintai dan ridhai, serta mendekatkan diri dengan
ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya.[58]
Berdasarkan ini, maka ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kata auliya Allah (wali-
wali Allah) itu mencakup siapa saja yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang
memiliki iman dan taqwa, maka ia sesungguhnya juga adalah wali Allah, meskipun
kemudian kadar kewalian itu tidak sama pada setiap orang; sangat bergantung pada
kepatuhannya pada kehendak Allah.
Perluasan konsep wali oleh Ibnu Taimiyah ini, salah satunya didasarkan pada firman
Allah,
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertakwa. (QS.Yunus: 62-63).
Di dalam ayat ini, Allah seperti menegaskan bahwa untuk menjadi wali Allah yang tidak
pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan taqwa.
16
Sebagai konsekwensi konsep ini, Ibnu Taimiyah kemudian membagi wali Allah menjadi
2 golongan besar. Ia menyatakan,
Dan wali-wali Allah Taala itu terbagi menjadi dua kelompok: Sabiqun muqarrabun
dan Ashab yamin muqtashidun. Allah menyebutkan tentang mereka di beberapa tempat
dalam al-Quran al-Karim. Di dalam surah al-Waqiah, Allah mengatakan, (7-14). Lalu di
akhir surat yang sama, Ia mengatakan, (88-95).
Maka orang-orang berbakti (al-Abrar) Ashab al-Yamin- itu adalah mereka yang
mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka
melakukan apa yang diwajibkan Allah atas mereka, meninggalkan apa yang diharamkan
Allah buat mereka. Mereka tidak membebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah
sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.
Adapun para Sabiqun muqarrabun, mereka adalah yang mendekatkan diri pada Allah
dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang
wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan juga yang makruh.
Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada Allah) dengan semua yang mampu
mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka
dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan
dalam firman-Nya (al-nisa: 69). Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang
mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah Azza wa Jalla.
Sehingga semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.[59]
Ibnu Taimiyah Menetapkan Adanya Karamah Wali
Ibnu membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada intinya, ia mengakui dan
menyepakati adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Dan karamah
ini diberikan oleh Allah kepada hamba yang dipilih-Nya; baik itu dari kalangan para nabi,
ataupun selain mereka. Dan karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li
al-adat atau di luar kebiasaan umum makhluk (baca: luar biasa).
Karena itu, Ibnu Taimiyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-adat ini
menjadi 2 bagian besar: (1) yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, dan (2) yang
terjadi pada selain para rasul.
Adapun yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, maka ia dikenal dengan istilah
mujizat. Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang disertai dengan
unsur tantangan (al-tahaddi) kepada yang ingkar. Perkara-perkara luar biasa semacam ini
jelas tidak memiliki tujuan apa-apa selain untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab ini
akan menguatkan kebenaran wahyu petunjuk yang dibawa oleh para nabi dan rasul.[60]
Sedangkan perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada selain para nabi dan rasul, Ibnu
Taimiyah membaginya menjadi 3 jenis berdasarkan tinjauan dan pandangan syariat
padanya. Dalam hal ini, ia mengatakan,
17
Perkara luar biasa itu, jika menghasilkan manfaat keagamaan, maka ia termasuk amal
shaleh yang diperintahkan secara agama dan syari. Dan jika ia menghasilkan perkara
yang mubah, maka ia termasuk salah satu kenikmatan Alla yang bersifat duniawi yang
mengharuskan (ia) bersyukur. Namun jika ia mengandung perkara yang terlarang, maka
ia diharamkan dan dapat menjadi sebab (datangnya) adzab atau kemurkaan
(Allah)[61]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu
sebagaimana telah disebutkan- menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya:
1. Yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din).
2. Yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din).
3. Yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Jika ia mengandung manfaat, maka ia
adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apa pun, ia tidak lebih dari
perkara yang sia-sia.[62]
Ia juga memandang bahwa perkara yang luar biasa itu, sebagaimana dapat terjadi di
tangan para shiddiqun yang shaleh, ia juga dapat terjadi melalui tangan manusia lain yang
tidak seperti mereka; baik itu dari kalangan manusia biasa, bahkan dari kalangan manusia
durjana sekalipun.
Tetapi di luar itu semua, Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa karamah itu sendiri
tidak serta merta dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai
keteguhan dan konsistensi (istiqamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang
hanya mendapatkan karamah.[63] Itulah sebabnya, ia menukil sebuah ungkapan bijak
Abu Ali al-Jauzjani salah seorang syekh sufi besar di Khurasan-,
Jadilah orang yang mencari keistiqamahan, bukan pencari karamah. Sebab jiwamu
memang tertarik untuk mencari karamah, tapi Tuhanmu menuntut dan memintamu untuk
selalu istiqamah.[64]
Dalam kajiannya tentang karamah dan wali, Ibnu Taimiyah pada akhirnya menyimpulkan
bahwa hubungan kewalian (al-walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus
menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-
adat). Bahkan menurutnya- bisa saja seorang wali samasekali tidak mengalami atau
memiliki hal tersebut. Sebagaimana juga sebaliknya, bisa saja Allah membuat seorang
pendurhaka dan pendosa mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang
luar biasa (seperti berjalan di air atau di udara). Dan hal-hal luar biasa itu tidak kemudian
membuatnya menjadi wali Allah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah selalu menegaskan
bahwa wali Allah yang sesungguhnya hanyalah mereka yang beriman dan memiliki
ketakwaan sejati, sebagaimana disebutkan Allah dalam surah Yunus,
18
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertakwa. (QS.Yunus: 62-63).
Demikianlah, maka perkara-perkara luar biasa itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter
kebenaran, sebab mereka yang mengalaminya memiliki kemungkinan untuk salah dan
benar. Mereka tidak selamanya berada di atas kebenaran. Karena itu, Ibnu Taimiyah
menyatakan,
Orang-orang yang mengalami mukhathabah dan mukasyafah[65] terkadang benar
dan terkadang pula salah. Persis seperti mereka yang melakukan penelitian dan
penyimpulan dalil saat melakukan ijtihad. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban mereka
semua untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta
menimbang semua wajd, musyahadah, pendapat dan rasio merkea dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya SAW.[66]
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya peristiwa-
peristiwa spiritual oleh para sufi, seperti kasyf, wajd, ilham, dan yang semacamnya. Akan
tetapi, yang terpenting menurutnya- apa pun peristiwa itu, ia tidak dapat serta merta
dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Peristiwa-persitiwa semacam itu baginya- tidak
jauh berbeda dengan proses ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha misalnya- yang
memiliki kemungkinan salah maupun benar. Dan untuk menentukan sejauh mana
kebenaran dan kesalahannya, maka satu-satunya timbangan yang digunakan adalah
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
PENUTUP
Tentu saja tulisan singkat ini belum sepenuhnya sempurna dan utuh dalam
menggambarkan serta menguraikan pandangan-pandangan khas Ibnu Taimiyah tentang
Tasawuf. Tetapi dari uraian di atas, setidaknya ada titik-titik penting yang dapat
disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok Ibnu Taimiyah sendiri.
Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam menyikapi
Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan
kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya; yaitu
mengantarkan seorang hamba menuju Allah Taala. Itulah sebabnya, ia selalu berusaha
mengikat pandangan-pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah
mengherankan jika ia sering merujuk kepada pandangan-pandangan para syekh sufi
generasi awal yang dalam pandangannya masih teguh menjaga jalan sufi ini tetap dalam
bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-.
Demikianlah, dan waLlahu Taala ala wa alam.
(Sumber :www.abulmiqdad.multiply.com
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Al-Aqidah wa al-Syariah fi Al-Islam: Goldziher, Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Arab oleh: DR. Muhammad Yusuf Musa, dkk. Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, Cetakan
kedua. Tahun 1959.
2. Al-Bidayah wa al-Nihayah: Ibnu Katsir, Maktabah al-Maarif, Beirut, Cetakan
pertama, Tahun 1966.
3. Dairah al-Maarif al-Islamiyah: Ibrahim Zaki Khurshid, Mathbaah al-Syaab, Tahun
1969.
4. Al-Durar al-Kaminah fi Ayan al-Miah al-Tsaminah: Ibnu Hajar al-Asqalany, Dar al-
Maarif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
5. Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Harun Nasution, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta,
Cetakan kesebelas, Agustus 2004.
6. Al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan: Ibnu Taimiyah, Maktabah
Shubaih, Cetakan tahun 1378 H/1958 M.
7. Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa Ashruhu: Muhammad Abu Zahrah, Dar al-Fikr al-
Araby, Tahun 1946.
8. Al-Islam wa al-Tashawwuf: Syaikh Mushtafa Abd al-Raziq, Editor: Zaky Khurshid
dan Abd al-Halim Yunus, Mathbaah al-Syab, Kairo, t.t.
9. Jami al-Rasail: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Mathbaah
al-Madany, Cetakan tahun 1389 H/1969 M.
10. Kitab al-Iman: Ibnu Taimiyah, Koreksi: Muhammad Khalil Harras, Dar al-Thibaah
al-Muhammadiyah, Kairo, t.t.
11. Al-Luma: Abu Nashr al-Thusy, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, Tahun 1971.
12. Majmu al-Fatawa: Ibnu Taimiyah, Dikumpulkan oleh Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Qasim, Mathabi al-Riyadh, Cetakan pertama, t.t.
13. Majmuah al-Rasail al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathbaah Ali Shubaih, Tahun 1385
H/ 1966 M.
14. Majmuah al-Rasail wa al-Masail: Ibnu Taimiyah, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
t.t.
15. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Dawatuhu al-
Ishlahiyah: DR. Said Abdul Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004.
20
16. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad
Salim, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t.
17. Al-Mujam al-Falsafy: DR. Abd al-Munim al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo,
Cetakan pertama, Tahun 1410 H/1990 M.
18. Al-Mujizah wa Karamat al-Auliya: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid,
Baghdad, t.t.
19. Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathbaah al-Amiriyyah, Kairo, t.t.
20. Nasyat al-Fikr al-Falsafy: DR. Ali Samy al-Nasysyar, Dar al-Maarif, Cetakan
kelima, Tahun 1971.
21. Al-Qamus al-Muhith: Muhammad ibn Yaqub al-Fairuz Abady, Muassasah al-
Risalah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 1987.
22. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Abu al-Qasim al-Qusyairy, Tahqiq: DR. Abdul Halim
Mahmud, Dar al-Talif, Cetakan pertama, Tahun 1385 H/ 1966 M.
23. Al-Shufiyah wa al-Fuqara: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Jamil Ghazi,
Mathbaah al-Madany, Mesir, t.t.
24. Al-Siyasah al-Syariyyah fi Ishlah al-Raiy wa al-Ra iyah: Ibnu Taimiyah, Al-
Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, t.t.
25. Sunan Ibnu Majah: Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mathbaah al-Halaby,
Mesir, t.t.
26. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: Ibn al-Imad al-Hanbaly, Al-Maktabah
al-Tijariyah, Beirut, t.t.
27. Syuab al-Iman: Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqy, Tahqiq: Muhammad al-
Sayyid Zaghlul, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Tahun 1410 H/1990 M.
28. Al-Taarruf li Madzahib Ahl Al-Tashawwuf: Syaikh Abu Bakr al-Kalabadzy, Dar al-
Ittihad al-Araby, Cetakan pertama, Tahun 1389 H/1969 M.
29. Tadzkirah al-Huffazh: Al-Dzahaby, Cetakan Haidar Abad, t.t.
30. Tafsir al-Razy (al-Tafsir al-Kabir): Fakhr al-Din al-Razy, Dar Ihya al-Turats al-
Araby, Beirut, t.t.
31. Al-Tashawwuf: Ibnu Taimiyah (Lih. Majmu al-Fatawa).
21
32. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah: DR. Abd al-Fattah Muhammad
Sayyid Ahmad, Dar al-Wafa, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M.
33. Thabaqat al-Shufiyyah: Abu Abd al-Rahman al-Sulamy, Tahqiq: DR. Ahmad al-
Syarbashy, Mathbaah al-Syab, t.t.
34. Al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi al-Amal al-Qalbiyyah: Ibnu Taimiyah, Al-Mathbaah al-
Salafiyyah, Kairo, Tahun 1386 H.
35. Al-Ubudiyyah: Ibnu Taimiyah, Dar al-Talif, Cetakan ketiga, Tahun 1366 H/1947
M.
36. Al-Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: Ibnu Abd al-Hady,
Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqy, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M.
37. Al-Wabil al-Shayyib min al-Kalim al-Thayyib: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tahqiq:
Muhammad Basyir Uyun, Maktabah Dar al-Bayan, Beirut, Cetakan kelima, 1995.
NOTA KAKI
[1] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15.
[2] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144.
[3] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288.
[4] Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn
Taimiyah, 189-190.
[5] Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 20. Kisah juga menjadi jawaban terhadap
pandangan sebagian pemikir Islam terutama saat membahas puisi-puisi al-Hallaj dan
yang semacamnya- yang mengatakan bahwa para ulama yang mengkritisi mereka seperti
Ibnu Taimiyah samasekali tidak memahami bahasa-bahasa puisi dan sastra. Tentu sangat
sulit diterima akal sehat, jika Ibnu Taimiyah yang dengan cepat dapat menggubah syair
ternyata tidak dapat memahami syair-syair al-Hallaj. Perlu juga diketahui, bahwa
penguasaan terhadap syair sebagai bagian dari keahlian bahasa adalah hal yang umum
dikuasai oleh para ulama Islam terdahulu. Ini tidak lain, karena mereka meyakini bahwa
memahami al-Quran dan al-Sunnah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan
penguasaan bahasa yang mumpuni. Wallahu alam.
[6] Lih. Syadzarat al-Dzahab, 6/71, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/132-133.
[7] Lih. Dairah al-Maarif al-Islamiyah, hal. 235.
[8] Ibid., hal. 21
22
[9] Al-Wabil al-Shayyib, hal. 57.
[10] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 22-23.
[11] Ibid., hal. 23.
[12] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 23. Ketika sultan meminta Ibnu
Taimiyah untuk memberi fatwa untuk menghabisi kelompok Ibnu Makhluf al-Maliky,
Ibnu Taimiyah malah mengatakan, Apa jadinya kerajaan Anda jika didukung oleh para
ulama itu?
[13] Lih. al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma, hal. 26, Al-
Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200.
[14] Majmu Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa
Auliya al-Syaithan, hal. 16.
[15] Lih. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 36-37.
[16] Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-
Syaithan, hal. 36. Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48.
[17] Ibid., hal. 69.
[18] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368.
[19] Lih. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 58.
[20] Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/6-7. Salah kisah yang dijadikan bukti
tentang hal ini oleh Ibnu Taimiyah adalah kisah kematian Abu Jubair al-Ama.
Dikisahkan oleh Shalih al-Murry, Suatu ketika, aku membacakan ayat al-Quran kepada
seorang ahli ibadah (maksudnya: Abu Jubair al-Ama pen): Pada hari wajah-wajah
mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, Duhai andaikata dulu kami
menaati Allah dan menaati RasulNya. (QS. al-Ahzab: 66). Ia pun pingsan. Tidak lama
kemudian ia sadar kembali, dan berkata, Tambahlah bacaanmu, wahai Shalih! Maka
aku pun membaca: Setiap kali mereka ingin keluar darinya (neraka), mereka pun
dikembalikan ke dalamnya.(QS. al-Sajadah: 20). Ia pun tersungkur dan meninggal
dunia. Lih. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, 9/255.
[21] Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19.
[22] Al-Shufiyyah wa al-Fuqara, hal. 26.
[23] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20.
[24] Lih. Al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 58.
23
[25] Al-Siyasah al-Syariyyah, hal. 179.
[26] Seperti yang disebutkan oleh Goldziher dalam al-Aqidah wa al-Syariah dan Louis
Massignon dalam Dairah al-Maarif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273.
[27] Lih. Syarh alAqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128. Di sini secara khusus ia memuji
pemuka-pemuka sufi seperti Al-Fudhail bin Iyadh (w.187 H) dan Maruf al-Karkhy.
[28] al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 38.
[29] Majmu al-Rasail al-Kubra, 2/324. Lih. juga pengakuannya yang lain dalam
Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/418.
[30] Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10.
[31] Lih. Al-Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu al-Fatawa, 11/75, dan Nasyat al-Fikr
al-Falsafy fi al-Islam, 3/15.
[32] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/15.
[33] Op.cit., 10/16. Lih. juga al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 16. Ibnu Taimiyah juga
mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi untuk awam dan khas
yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan
maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan
kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan
ketinggian maqam sang sufi.
[34] Lih. Al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 77.
[35] QS. Al-Baqarah: 222.
[36] Al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 64.
[37] Lih. Jami al-Rasail, hal.227.
[38] HR. Muslim no. 2702.
[39] Lih. Jami al-Rasail, hal. 227.
[40] Lih. Al-Suluk, hal.219.
[41] Lih. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 221.
[42] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/17.
[43] Majmu al-Fatawa, 10/18.
24
[44] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/21-22.
[45] HR. Ibnu Majah, no. 4101, dan al-Baihaqy dalam Syuab al-Iman, no. 10529.
[46] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/28-29.
[47] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu
Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat
sah keislaman seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.
[48] Diantaranya misalnya maqam ridha, ubudiyyah, khauf dan raja. Lih. Majmu al-
Fatawa 10/616, al-Tuhfah al-Iraqiyyah hal.58, al-Ubudiyyah hal. 43, dan Kitab al-Iman
hal. 19.
[49] Lih. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, hal. 54. Lihat catatan kaki sebelumnya (no.
48) dimana Ibnu Taimiyah menganggap khauf sebagai salah satu maqamat, sementara
dalam literatur Tasawuf lain khauf dikategorikan sebagai salah satu ahwal.
[50] Lih. Al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 73.
[51] Ibid., hal.45.
[52] Majmu al-Fatawa, (10/193).
[53] Ibid., (10/194)
[54] Majmu al-Fatawa, (18/315).
[55] Ibid., (18/320).
[56] Lih. Mukhtar al-Shihah, hal. 736-737, al-Qamus al-Muhith, 4/401, Tafsir al-Razy,
7/17, al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 49-50.
[57] Lih. Al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 50.
[58] Majmuah al-Rasail wa al-Masail, (1/50).
[59] Al-Tashawwuf, hal. 76.
[60] Lih. Al-Rasail wa al-Masail, (5/154).
[61] Al-Mujizah wa Karamat al-Auliya, hal. 39.
[62] Lih. Al-Rasail wa al-Masail, 5/158, Majmu al-Fatawa, 11/320, al-Mujizah wa
Karamat al-Auliya, hal. 40.
25
[63] Lih. Ibn Taimiyah, Hayatuhu wa Ashruhu wa Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 318.
[64] Thabaqat al-Shufiyyah, hal. 58.
[65] Mukhathabah dan mukasyafah adalah istilah yang biasa digunakan kaum sufi untuk
menunjukkan jalan dan cara seorang sufi mendapatkan ilmu, baik itu melalui
pendengaran yang ghaib (mukhathabah) atau mukasyafah (penyingkapan tabir yang
ghaib melalui ilham). Lih. Al-Mujam al-Falsafy, hal. 278.
[66] Al-Rasail wa al-Masail, (1/53).

Anda mungkin juga menyukai