Anda di halaman 1dari 8

PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Alvi Fauziah (2004016036)

Muhammad Nasrudin Baihaqi (2004016060)

Pendahuluan
Ibnu Qayyim adalah seorang cendekiawan muslim dengan berbagai ilmiah dengan
berbagai keahlian ilmiah. Iman dan akhlaknya luar biasa, dan pemikirannya tentang
khazanah Islam luar biasa. Dia hidup selama periode ketika ilmu-ilmu Islam sedang
mengalami disintegrasi dan kemunduran serta terjadi hampir di seluruh dunia Islam. Maka
Ibnu Qayyim bertindak sebagai pembaharu ajaran agama dalam artian memurnikan kembali
agama dari berbagai khurafat dan bid’ah.
Ibnu Qayyim merupakan ulama yang produktif melahirkan banyak karya. Di samping itu
ia merupakan ulama yang mempunyai ilmu yang mendalam serta beragam. Ia dikenal
sebagai teolog, fakih, mufassir, salik, dan banyak gelar ilmiah yang disematkan kepadanya.
Pemikiran Ibnu Qayyim agak fimilar dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia bergerak
terutama di bidang akidah dan tasawuf dengan menekankan ortodoksi dan normativitas
nash-nash agama dibandingkan membiarkan kedua bidang tersebut di tangan tangan falsafi.
Ibnu Qayyim dikenal sebagai penganut akidah salaf di mana pendekatan tekstual/literal
sangat diutamakan daripada pendekatan takwil.

Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam terutama dalam bidang aqidah dan tasawuf
adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Qayyim seringkali dipasangkan dengan Ibnu Taimiyah
dalam berbagai pembahasan. Sebabnya, mereka mempunyai relasi guru-murid yang kuat di
mana hampir setiap pendapat Ibnu Taimiyah, terutama tentang aqidah dan tasawuf, diikuti
oleh Ibnu Qayyim. Maka setelah Ibnu Taimiyah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai
Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Ibnu Qayyim adalah nama kunyah. Nama aslinya adalah Syamsuddin Muhammad bin Abu
Bakar bin Ayyub bin Sa’d bin Chariz bin Makki Zainuddi az-Zur’i. Ia lahir di Damaskus
pada tahun 691 H/ 1292 M. Beberapa murdinya seperti as-Shafadi mengatakan bahwa Ibnu
Qayyim lahir pada bulan Safar hari ketujuh. 1 Julukan Ibnu Qayyim didapat karena ayahnya,
Abu Bakar bin Ayyub, merupakan kepala sekolah dari lembaga az-Zaujiyah yang ada di
Damaskus. Maka dari itu, orang-orang menyebut anaknya sebagai Ibnu Qayyim atau “anak
kepala sekolah”. Seringkali banyak yang mengira Ibnu Qayyim adalah orang yang sama
dengan Ibnu Jauzi padahal kenyataannya tidak. 2
Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan pribadi Ibnu Qayyim. Para sejarawan
umumnya menyoroti keilmuan dan akhlaknya serta pengabdiannya kepada guru besarnya,
Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim digambarkan sebagai ulama yang ahli dalam berbagai bidang.
Tentu saja kesimpulan ini didapatkan karena banyak sekali karya dari Ibnu Qayyim, meliputi
aqidah, tasawwuf/suluk, fikih, tafsir, bahasa, dll.3 Beberapa karangan Ibnu Qayyim yang
populer dalam aqidah misalnya Syifa al-‘Alîl, Ar-Ruh dan bidang tasawwuf/suluk seperti
Madârij as-Sâlikîn
Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 13 tahun 751 H/ 1350
M di Damaskus. Ibnu Qayyim wafat Jenazah Ibnu Qayyim dishalatkan di masjid jami’ Bani
Umayyah setelah shalat dhuhur dengan dihadiri oleh banyak orang termasuk para ulama dan
pejabat kerajaan. Bahkan Ibnu Katsir menggambarkan bahwa hari kematiannya seperti
perayaan di mana banyak orang yang datang dan berebut membawa kerandanya. Ia
dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir Damaskus disamping makam ibunya. Umur Ibnu
Qayyim ketika wafat genap berusia 60 tahun. 4
Pembentukan Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziah
Pemikiran seseorang tentu tidak bisa terbentuk begitu saja tanpa ada sebab atau alasan
yang melatarbelakanginya. Kondisi politik, sosial, tradisi keilmuan, dan banyak aspek yang
mempengaruhi pemikiran seseorang. Bahkan seseorang adalah “anak zaman”-nya yang
berarti pemikiran yang dicetuskannya tidak jauh dan jarang sekali melampaui zamannya.
Kondisi politik dan sosial pada masa itu sangat kacau. Sejak abad ke-10, umat muslim
telah mengalami upaya invansi dari orang-orang Barat dan terjadi perang salib dalam waktu
yang berkepanjangan. Satu abad kemudian datang tentara Tartar dari arah Timur dan

1
Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Ibnu Qayyim Hayâtuhu Atsâruhu Mawâriduhu, (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 2002),
hlm. 21.
2
Ibid., hlm. 23.
3
Walid bin Muhammad, Juhud al-Imâm Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Fi Taqrir Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
(Kuwait: al-Mabarrah al-Khairiyyah Li ‘Ulum al-Qur’an wa as-Sunnah, 2004), hlm. 68.
4
Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wa an-Nihayah, (Giza: Dar al-Hajr, 1998), vol. 18, hlm. 523-524.
memporakporandakan dunia Islam dengan puncaknya adalah kejatuhan Baghdad. Kedua
faktor eksternal ini jelas merusak persatuan dan mental umat Islam.
Kondisi internal umat Islam pada waktu itu juga sedang tidak stabil. Kemerosotan moral
yang hampir terjadi pada setiap kalangan, baik awam maupun elit, mempunyai pengaruh
besar atas kemunduran peradaban Islam. Banyak para sejarawan muslim yang
menggambarkan kebobrokan moral umat pada waktu itu seperti gemar melakukan maksiat,
mempunyai penyakit-penyakit hati yang mempengaruhi mentalitas, dan disorganisasi antar
masyarakat. Hal itu diperparah oleh para penguasa yang hanya memenuhi kepentingan dan
hasrat pribadi untuk menaklukan dan menguasai wilayah muslim yang lain.
Kondisi sosial juga mempengaruhi pemikiran Ibnu Qayyim. Damaskus, yang merupakan
tempat kelahiran dan tempat Ibnu Qayyim menghabiskan sebagian besar kehidupannya,
merupakan tempat yang heterogen. Damaskus dihuni oleh berbagai suku dan bangsa yang
berbeda-beda, terutama karena banyaknya pelarian dan pengungsi dari Timur ketika bangsa
Mongol menyerang. Terdapat bangsa Arab, Turki, Mesir, dan Eropa dengan berbagai latar
belakang agama dan kebudayaan yang berkumpul di sana. Pluralisme budaya dan agama di
Damaskus tentu banyak pengaruhnya terhadap pemikiran Ibnu Qayyim selanjutnya. 5
Ditinjau dari setting sosial dan politiknya, kondisi yang dialami oleh Ibnu Qayyim tidak
jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Ibnu Taimiyah. Hal ini menyebabkan kedua
pemikiran tokoh tersebut tidak banyak berbeda. Apalagi, Ibnu Qayyim selalu menyertai Ibnu
Taimiyah dalam setiap kegiatan ilmiah yang dilakukannya.
Kemudian yang paling besar pengaruhnya dalam pemikiran dan kehidupan Ibnu Qayyim
adalah gurunya sendiri, Ibnu Taimiyah al-Harrani. Terlampau loyalitas Ibnu Qayyim terhadap
gurunya sehingga Ibnu Hajar al-Asqalani berkomentar:
“Dia (Ibnu Qayyim) adalah orang yang sangat berani, ilmunya luas, menguasai berbagai
macam perbedaan pendapat para ulama, dan dia bermazhab salaf. Kecintaannya kepada
gurunya (Ibnu Taimiyah) sangat besar sehingga tidak ada pendapatnya yang keluar dari
pendapat gurunya dan bahkan memperkuat argumentasinya. Ibnu Qayyim biasanya bertugas
mengkoreksi karya-karya gurunya.”6

5
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015),
hlm. 32.
6
Abdul ‘Adzim, Ibnu al-Qayyim az-Zaujiyah ‘Ashrihi Wa Manhajihi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1983), hlm. 71.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Qayyim dengan Ibnu Taimiyah adalah
identik. Mungkin terdapat beberapa perbedaan, terutama pada masalah fikih. Tetapi dalam
bidang akidah dan pemikiran keduanya sama-sama mengaku mengikuti madzhab salaf.
Pengaruh Ibnu Taimiyah yang membentuk pemikiran Ibnu Qayyim adalah pengajarannya
tentang fikih dan akidah Hanbali. Ahmad bin Hanbal berikut aliran fikih dan akidahnya
terkesan sangat kontekstual dibandingkan dengan aliran yang lain semisal Syafiiyah,
Malikiyah, apalagi Hanafiyah. Hal ini tampak dalam kritikan Ahmad bin Hanbal terhadap
Ghilan ar-Rai yang mempraktikan tasawuf, yang barang tentu adalah tasawuf falsafi. 7
Demikian juga Ibnu Qayyim seringkali mengingkari hal yang sama, terutama kritikannya
yang ditulis di dalam kitab Madarij as-Salikin.
Dari latar belakang ini Ibnu Qayyim membangun basis pengetahuan dan argumentasinya
dalam menyikapi fenomena zamannya. Kemerosotan moral, penyimpangan akidah,
merebaknya taklid buta, dan serangan dari bangsa-bangsa non-muslim menjadi bahan
refleksinya sehingga karya-karya Ibnu Qayyim tidak jauh dari pembahasan mengenai
rekontruksi aqidah dan tasawwuf/suluk. Kedua bidang itu menjadi concern Ibnu Qayyim
dalam berbagai kritiknya. Sementara sebagian yang lain membahasa fikih dan bahasa,
termasuk tafsir.
Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Ibnu Qayyim al-Jauziyah tidak diragukan lagi adalah seorang ulama besar terlepas dari
banyaknya kritikan kepadanya. Ia menguasai berbagai ilmu agama dengan baik di mana
sebagian ulama memujinya di dalam karya-karya mereka. Pemikiran Ibnu Qayyim dan Ibnu
Taimiyah membawa corak baru dalam sejarah pemikiran Islam, yakni pembaharuan dalam
berbagai aspek agama, terutama aqidah dan tasawwuf yang menjadi concern mereka.
Beberapa pemikiran Ibnu Qayyim di antaranya:
1. Akidah Salaf
Ibnu Qayyim dalam pengakuannya adalah pengikut mazhab salaf dalam memahami
agama. Akidah salaf diyakini sebagai akidah yang dianut oleh para pengikut
Hanabilah yang berpuncak pada Ahmad bin Hanbal meskipun pada awalnya kalangan
Asy’ariyyah juga mendukung akidah salaf tetapi kemudian mempunyai pendapat
sendiri yang kemudian melahirkan teologi Ahlussunnah. 8

7
M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam Antara Ilmu Dan Kepentingan, (Kediri: Pustaka Azhar, 2011), hlm. 274.
8
M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 76.
Akidah salaf cenderung melakukan pendekatan tekstualis dalam memahami nash-nash
keagamaan. Setiap bentuk penggunaan rasio dipertanyakan otoritasnya dan harus
tunduk di bawah otoritas wahyu. Pengikut akidah salaf tidak menerima takwil
terhadap ayat musytabihat karena mereka sepenuhnya menyerahkan maknanya
kepada Allah. Karena pendekatan yang demikian, pengikut salaf cenderung berakidah
mujassimah, yaitu meyakini bahwa Tuhan mempunyai bentuk sebagaimana makhluk-
Nya. Dampaknya adalah banyak ulama Sunni yang mengkritik akidah salaf (terutama
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) tentang kerentanan mereka jatuh ke dalam paham
mujassimah.
Salah satu pemikiran Ibnu Qayyim dari pendekatan tekstualisnya adalah pendapatnya
tentang kefanaan neraka dengan argumentasi yang tekstualis terhadap nash-nash
agama. 9 Tentu saja pendapat ini berbeda dengan pendapat yang dianut kalangan
Sunni, meskipun menurut Ibnu Qayyim terdapat sahabat Nabi yang berpendapat
demikian.
2. Pemurnian Akidah
Akidah menempati posisi sentral dalam pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Menurutnya akidah adalah hal pertama yang wajib dimiliki oleh seorang mukallaf.
Dalam hal ini, akidah yang dimaksudkan adalah akidah tauhid. Ibnu Qayyim masih
mempertahankan trilogi tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah sebelumnya, yaitu:
Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.
Ibnu Qayyim menjelaskan bagaimana trilogi ini berfungsi dalam pemurnian iman.
Tauhid Rububiyah, menurut Ibnu Qayyim, tidak cukup untuk menggenapi makna
tauhid secara keseluruhan. Tauhid ini diimani oleh setiap orang, muslim maupun non-
muslim, karena pada dasarnya mereka mempunyai konsep Tuhan yang sama, yaitu
Tuhan yang bersifat Qadim atau dahulu dan menjadi pemelihara/pengatur alam.10
Tauhid Uluhiyyah adalah tauhid yang paling sempurna dan menjadi dasar tauhid
menurut Ibnu Qayyim. Dari tauhid ini keimanan seseorang dapat diterima dan
dianggap sebagai muslim sejati (muwahhid).11 Sedangkan tauhid asma’ wa sifat
adalah keyakinan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang telah dijelaskannya dalam

9
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Hâdi al-Arwâh Ilâ al-Bilâdi al-Afrah, (Makkah: Dar ‘Âlim al-Fawâid, 2007), hlm. 745.
10
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madârij as-Sâlikîn, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 2003), vol. 3, hlm. 412.
11
Ibid., vol. 3, hlm. 414.
Qur’an dan hadis. Ibnu Qayyim berargumentasi tentang tauhid ini dengan 10 argumen
untuk menguatkan dan menegaskannya. 12
Konsep tauhid seperti ini mungkin merupakan respon Ibnu Taimiyah yang kemudian
diikuti oleh Ibnu Qayyim agar umat Islam dapat segera menempatkan posisi di antara
berbagai pemikiran yang ada pada saat itu. Dengan meyakini ketiga tauhid itu,
harapannya seorang muslim mempunyai identitas yang jelas dalam akidahnya
sehingga tidak menjadi rancu dengan identitas “Islam” yang lain. Apalagi sasaran
Ibnu Qayyim adalah umat Islam yang melakukan penyimpangan akidah seperti
pengkultusan terhadap guru, praktik tasawwul dan tabarruk, pernyataan tasawuf
falsafi yang menyebabkan kesalahpahaman pada masyarakat awam.
3. Pemurnian Tasawuf.
Tasawuf mempunyai beberapa periode yang ditentukan berdasarkan coraknya.
Terdapat 5 periode tasawuf, yaitu: masa pembentukan, masa pengembangan, masa
konsolidasi, masa filsafat, dan masa pemurnian. Ibnu Qayyim lahir dan hidup pada
saat tasawuf mengalami pemurnia dari segala bentuk penyimpangan syariat. Ia dan
gurunya dengan gigih mempertahankan tasawuf sesuai dengan tujuan awalnya dan
dengan tuntunan Quran dan hadis. Bahkan cendekiawan muslim, Fazlur Rahman,
mengatakan bahwa Ibnu Qayyim termasuk pelopor neo-sufisme yang menghidupkan
kembali tradisi ortodoks13
Ibnu Qayyim tidak semerta-merta menolak tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab yang muncul pada masa berikutnya. Bahkan,
sebagaimana yang dinyatakan Fazlur Rahman, ia mengakomodir tasawuf yang
berkembang kemudian dikembalikan kepada “bentuk asalnya”. Sebagai seorang sufi
ortodoks tentu Ibnu Qayyim menolak setiap bentuk tasawuf falsafi beserta syatahat
yang digagas oleh sufi falsafi. Bahkan Ibnu Qayyim juga mengkritik praktik tasawuf
di kalangan kaum Sunni yang tidak sesuai dengan perintah agama, misalnya terlalu
bergantung kepada konsep raja’/irja’ sehingga merasa aman dari hukuman Tuhan,
pemujaan terhadap keramat para wali, atau bersembunyi dibalik konsep tawakkal

12
Walid bin Muhammad, Juhud al-Imâm Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Fi Taqrir Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
(Kuwait: al-Mabarrah al-Khairiyyah Li ‘Ulum al-Qur’an wa as-Sunnah, 2004), hlm. 69.
13
Fazlur Rahman, Islam Sejarah Pemikiran Dan Peradaban, (Bandung: Mizan, 2017), hlm. 296.
untuk berhenti berusaha sehingga umat islam menjadi lemah. Ibnu Qayyim
menyebutnya dengan al-maghrurin atau orang-orang yang tertipu.14
Inti pemikiran tasawuf dan akidah menurut Ibnu Qayyim adalah ilmu. Setiap aspek
dari agama adalah didasari oleh ilmu. Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim
mengatakan bahwa seorang salik/sufi yang tidak didasari ilmu dalam perjalanan
spiritualnya, maka ia tidak berjalan di jalan yang semestinya. 15 Tentu yang dimaksud
di sini –dalam konteks masa Ibnu Qayyim- adalah ilmu agama.
Kesimpulan
Ibn Qoyyim adalah Salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam terutama dalam bidang
aqidah dan tasawuf. Ibn Qoyyim tidak dapat diragukan lagi, dia seorang ulama besar terlepas
dari banyaknya kritikan kepadanya. Ia menguasai berbagai ilmu agama dengan baik di mana
sebagian ulama memujinya di dalam karya-karya mereka. Pemikiran Ibnu Qayyim dan Ibnu
Taimiyah membawa corak baru dalam sejarah pemikiran Islam, yakni pembaharuan dalam
berbagai aspek agama, terutama aqidah dan tasawwuf yang menjadi concern mereka.
Beberapa pemikiran ibnu Qoyyim adalah Aqidah salaf, pemurnian Aqidah dan pemurnian
tasawuf.
Pihak yang mempengaruhi Ibnu Qoyyim dalam pemikiran dan kehidupan adalah gurunya
sendiri yaitu, Ibnu Taimiyah al-Harrani. Pengaruh Ibnu Taimiyah membentuk pemikiran Ibnu
Qayyim adalah pengajarannya tentang fikih dan akidah Hanbali. Ahmad bin Hanbal berikut
aliran fikih dan akidahnya terkesan sangat kontekstual dibandingkan dengan aliran yang lain
semisal Syafiiyah, Malikiyah, apalagi Hanafiyah. Hal ini tampak dalam kritikan Ahmad bin
Hanbal terhadap Ghilan ar-Rai yang mempraktikan tasawuf, yang barang tentu adalah
tasawuf falsafi.
Pemikiran Ibnu Qayyim pada masa ini terlihat jelas pada kelompok Salafi Wahabi yang
menganggap Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim sebagai ulama “salaf” yang merupakan
rujukan mereka. Pemikiran yang kontekstual jelas tidak sesuai dengan kondisi sekarang yang
lebih membutuhkan pendekatan kontekstual agar ajaran agama tetap relevan.

14
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ad-Da’ Wa ad-Dawa’, (Makkah: Dar ‘Âlim al-Fawâid, TT), hlm. 39.
15
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madârij as-Sâlikîn, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 2003), vol. 2, hlm. 434.
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Bakr bin Abdullah. 2002. Ibnu Qayyim Hayâtuhu Atsâruhu Mawâriduhu. Riyadh:
Dar al-‘Ashimah.
‘Adzim, Abdul. 1983. Ibnu al-Qayyim az-Zaujiyah ‘Ashrihi Wa Manhajihi. Kuwait: Dar al-
Qalam.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. TT. Ad-Da’ Wa ad-Dawa’. Makkah: Dar ‘Âlim al-Fawâid.
-------------------------------. 2007. Hâdi al-Arwâh Ilâ al-Bilâdi al-Afrah. Makkah: Dar ‘Âlim
al-Fawâid.
-------------------------------. 2003. Madârij as-Sâlikîn. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby.
Anshori, M. Subkhan. 2011. Filsafat Islam Antara Ilmu Dan Kepentingan. Kediri: Pustaka
Azhar.
Iqbal, Muhammad & Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP.
Katsir, Ibnu. 1998. Al-Bidayah Wa an-Nihayah. Giza: Dar al-Hajr.
Mansur, M. Laily. 2004. Pemikiran Kalam Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muhammad, bin Walid. 2004. Juhud al-Imâm Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Fi Taqrir Tauhid al-
Asma’ wa ash-Shifat. Kuwait: al-Mabarrah al-Khairiyyah Li ‘Ulum al-Qur’an wa as-Sunnah.
Rahman, Fazlur. 2017. Islam Sejarah Pemikiran Dan Peradaban. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai