Anda di halaman 1dari 19

JOURNAL OF ISLAMIC THOUGHT AND PHILOSOPHY

Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


e-ISSN 2829-5323; p-ISSN 2829-5625
DOI. https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.1

SEJARAH DAN METODE SALAFI: ANTARA DALIL AKAL


DENGAN DALIL QUR’AN DAN HADIS

A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki
UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Abtract

According to Ibnu Taimiyah, the Salaf are those who think that there is no
way to know aqidah, law, and what is related to them, except by using the
Qur'an and Hadith. The Salaf accepted all the information contained in the
Qur'an and Hadith. Refusing means letting go of religious ties. Reason has
no power to interpret, interpret, or judge the Quran. Reason is only capable
of justifying, obeying, and explaining the approach between the arguments
of reason (contextual), and the arguments of the Qur'an and Hadith (textual)
with no difference between the arguments of reason and the arguments of
the Qur'an and Hadith. Reason has a position as a witness, not a judge, as a
determinant and reinforcement, not an opponent, as an explanation of the
arguments contained in the Qur'an. The Salaf have always put reason behind
the Qur'an and Hadith..

Keywords: Salaf, Salafiyah, Ibnu Taimiyyah


Abstrak
Kaum Salaf menurut IbnuTaimiyah adalah mereka yang berpendapat bahwa
tidak ada jalan untuk mengetahui aqidah, hukum, dan apa yang ada
hubungan dengan keduanya, kecuali dengan menggunakan Qur’an dan
Hadis. Kaum Salaf menerima semua keterangan yang ada dalam Qur’an dan
Hadis. Menolak berarti melepas tali agama. Akal tidak mempunyai
kekuasaan untuk mentakwilkan, menafsirkan, atau menghukumi Qur’an.
Akal hanya mampu membenarkan, mentaati, dan menerangkan pendekatan
antara dalil akal (kontekstual), dengan dalil Qur’an dan Hadis (tekstual)
dengan tidak ada perbedaan antara dalil akal dengan dalil Qur’an dan Hadis.
Akal berkedudukan sebagai saksi bukan hakim, sebagai penetap dan
penguat bukan penentang, sebagai penjelas dari dalil yang terkandung dalam
Qur’an. Kaum Salaf selalu menjadikan akal berada di belakang Qur’an dan
Hadis.
Kata Kunci: Salafiyah, Ibnu Taimiyyah

Article History: Reccived 30 May 2023, Revised: 05 June 2023, Accepted: 06 June 2023,
Available online 27 June 2023

https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.1.1-26
A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

A. Pendahuluan
Setelah tersebarnya Agama Islam ke penjuru dunia, baik melalui penaklukan,
perdagangan atau dakwah islamiyah, dan terjadinya hubungan langsung dengan
budaya, agama, dan kecenderungan filsafat yang berbeda, seperti Yahudi, Kristen,
dan Zoroaster. Kaum Muslim dihadapkan dengan situasi dan tantangan intelektual
baru yang harus ditanggapi dengan respons yang mencerminkan keimanan Islam.
Dengan semakin jauhnya kaum muslimin dari masa kenabian, maka semakin
pudar pula kemurnian agama, banyak bermunculan paham dan aliran baru yang
menyimpang dari aqidah Islam. Syariat Islam yang suci sudah mulai ternodai
dengan muculnya Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat. Persoalan di atas telah
memunculkan semangat keagamaan baru untuk kembali kepada ajara salaf,
kembali kepada tiga generasi pertama umat Islam, semangat pembaharuan ini
selalu digaungkan oleh kelompok yang menamakan diri mereka salafiyun atau
salafi (pengikut ajaran salaf). Namun banyak kalangan yang menganggap bahwa
eksklusifitas intelektual yang ditunjukan golongan ini terhadap umat Islam lain
yang menyebabkan mereka cenderung tidak mengakui otoritas ulama di luar
komunitas mereka.1 Dengan latar belakang demikian, tulisan ini ingin memahami
kembali istilah salaf dalam literatur klasik, membaca ulang perkembangan sejarah
”salafiyah” dan membincang beberapa hal yang terkait erat dengan salafiyah
dalam bentuknya yang dikenal sekarang.

B. Biografi Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 661
H. Beliau memiliki nama lengkap Taqiy Ad-Din Abu Al-Abbas, Ahmad bin Abd
Al-Halim ibnu Abd As-Salam ibnu Abdillah bin Al-Khidhr ibnu Muhammad bin
Al-Khidrh ibnu Ali bin Taimiyah Al-Harrany. Keluarga Ibnu Taimiyah ini
memang dikenal sebagai orang-orang yang sangat memperhatikan dan
menghargai ilmu. Kakeknya Majd Ad-Din Abd As-Salam bin Abdillah (w. 652
H) adalah seorang ulama di zamannya. Sedangkan ayahnya Syihab Ad-Din Abd
Al-Halim bin Abd’ As-Salam (w. 682 H) adalah imam di bidang tafsir, menonjol
dalam madzhab dank hilaf, nahwu dan bahasa. Ibnu Taimiyah memiliki tiga orang
1
Muhammad Imdad Robbani, Salafiyah: Sejarah dan Konsepsi, Vol. 1, No. 2, Jurnal Tasfiyah
(Agustus 2017), hal. 247

84 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

saudara. Saudara seibunya yaitu Badr Ad-Din Abu al-Qasim Muhammad bin
Khalid Al-Harrany,Zaid Ad-Din Abd Ar-Rahman bin Abd Al-Halim dan Syaraf
Ad-Din Abdullah bin Abd Al-Halim.

Riwayat pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dari rumahnya sendiri, yang


mana ayahnya adalah seorang ulama. Ibnu Taimiyah juga berguru pada ulama-
ulama yang ada di zamannya. Adapun nama-nama ulama yang menjadi guru Ibnu
Taimiyah adalah sebagai berikut:

1. Syaraf Ad-Din Al-Maqdisi, Ahmad bin As-Syaikh Kamal Ad-Din Ahmad bin
Ni’mah ibnu Ahmad Asy-Syafi’I (w. 699 H) yang merupakan seorang khatib
dan mufti Damaskus sekaligus penghulu ulama madzhab Syafi’I disana
2. Syams Ad-Din Abu Abdillah, Muhammad bin Abd Al-Qawiy bin Badran bin
Abdillah Al-Maqdisi (w. 699 H) yang merupakan seorang faqih, muhaddits
dan ahli nahwu
3. Taqiy Ad-Din Abu Abdillah, Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali bin Ahmad bin
Fadhl As-Shalhiy Al-Habaly (w. 692 H)
4. Syams Ad-Din, Abu Abdillah, Muhammad bin Ismail bin Abi Sa’ad bin Ali
Asy-Syaibani Al-Amidy (w. 704)
5. Zaid Ad-Din, Abu Al-Barakat, Al-Manja bin Usman bin As’ad At-Tanukhi
Ad-Dimasyqi (w. 695 H)2

Adapun cabang ilmu pengetahuan terpenting yang paling ditekuni oleh


Ibnu Taimiyah adalah teologi. Beliau juga menekuni di bidang fiqh 3. Ibnu
Taimiyyah belajar teologi Islam dan Hukum Islam dari ayahnya sendiri.
Disamping itu ia juga belajar dari ulama-ulama hadits yang terkenal. Disamping
itu ia juga mempelajari hadits sendiri dengan membaca berbagai buku yang ada.
Ketekunan Ibnu Taimiyyah dalam mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hadits
membuatnya menjadi seorang ahli hadits dan ahli hukum. Ia sangat menguasai
Rijal al-hadits (para tokoh perawi hadits) baik yang shahih, hasan atau dhoif.4

2
Muhammad Ikhsan, Belajar Toleransi dari Ibnu Taimiyah, (Jakasta: Pustaka Al-Kautsar 2014)
hal. 65-68
3
Bukhori At-Tunisi, Konsep Teologi Ibn Taimiyah, (Yogyakarta: DEEPUBLISH 2017) hal. 7-8
4
Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran” (Jakarta : UI
Press,1990), hal. 79

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 85


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai orang yang berwawasan luas, pendukung


kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani serta
menguasai berbagai disiplin keilmuan yang dibutuhkan ketika itu. Ia tidak hanya
menguasai studi Al-Qur’an, Hadits dan Bahasa Arab, tetapi ia juga mendalami
Ekonomi, Matematika, Sejarah Kebudayaan, Kesustraan Arab, Mantiq dan
filsafat. Ketika itu Ibnu Taimiyyah memproleh penghargaan dari pemerintah pada
saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena
hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan
penguasa, ia pun menolak tawaran tersebut.5

Ibnu Taimiyyah menyelesaikan pendidikannya dalam bidang


yurisprudensi (Fiqh), hadits nabi, tafsir al-Qur’an, matematika dan filsafat pada
usia yang sangat muda. Disebabkan oleh pemikirannya yang revolusioner yakni
gerakan tajdid (pembaharu) dan ijtihadnya dalam bidang muamalah, membuat
namanya terkenal diseluruh dunia.6

Sewaktu ayahnya wafat pada tahun 682H / 1284M, Ibnu Taimiyyah yang
ketika itu berumur 21 tahun, menggantikan jabatan penting ayahnya sebagai
pemegang Madrasah Dar al-Hadits as-Sukariyyah. Setelah Setahun lamanya
kemudian pada tanggal 10 Safar 684 H / 17 April 1285 M, Ibnu Taimiyyah juga
mulai memberikan kuliah umum di masjid Umayyah Damaskus dalam mata
kuliah tafsir Al-Qur’an.7

Selain itu, Ibnu Taimiyyah juga menggantikan kedudukan ayahnya sebagai


guru besar hadits dan fiqh Hambali dibeberapa Madrasah terkenal yang ada di
Damaskus, mulai dari sinilah karir Ibnu Taimiyyah dikenal sebagai juru pengubah
yang tidak rela menyaksikan kondisi umat Islam terbelenggu dengan paham-
paham keagamaan yang junud, penuh dengan berbagai bid’ah dan khurafat. Ahli-
ahli bid’ah dan khufarat merupakan musuh bebuyutan Ibnu Taimiyyah. Dia
memerangi tanpa takut dan gentar, pendiriannya tegas dan kuat memegang

5
Adiwarman Azwar Karim,”Sejarah pemikiran Ekonomi Islam”, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada,2006), hal. 352
6
Euis Amalia, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kotemporer”,
(Depok: Gramata Publishing, 2010), hal. 206
7
B. Lewis,et. All,”the Encyclopedia of Islam”, (Laiden:E.J.Brill,1979), hal. 951

86 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

prinsip. Ibnu Taimiyyah memerangi dengan pena dan kemahiran diplomasinya.


Dia yakin bahwa pena lebih mapan untuk menghancurkan bid’ah dan khufarat
yang mereka lakukan dari pada pedang. Tulisannya yang menentang bid’ah,
antara lain kitab Manasik al-Hajj, yang ia tulis untuk menentang berbagai bid’ah
yang ditemuinya ditanah Mekkah yang dinyatakan suci itu ketika melaksanakan
ibadah haji. Ketika itu ia menyaksikan beberapa upacara dan kebiasaan yang
dinilainya bid’ah. Setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Makkah ke Damaskus ia
barulah menulis kitab Manasik al-Hajj. Ketika itulah ia berkali-kali difitnah
orang-orang karena keberaniannya mengeluarkan pendapat yang bertentangan
dengan pendapat orang banyak waktu itu, sehingga berulang-ulang ia ditangkap
oleh penguasa dan hidupnya berpindah-pindah dari satu penjara kepenjara yang
lain antara Damaskus dan Kairo, dan ia tetap mengajar dan menulis meskipun
dalam penjara. Seusai bebas dari penjara pada tanggal 17 Sya’ban 695 H / 20 Juni
1296 M, Ibnu Taimiyyah menjadi guru besar di Madrasah Hanbaliyyah, suatu
Madrasah yang tertua dan paling bermutu di Damaskus pada waktu itu. Kemudian
tahun 705 H / 1306 M, ia kembali masuk penjara di Kairo, karena
mempertanggung jawabkan tulisannya tentang sifat- sifat Tuhan, yang dinilai
penguasa menimbulkan keresahan dan kerisuhan. Kemudian dibebaskan pada
tahun 702 H / 1306 M.8

Selesai menjalani hukuman, pada tanggal 8 Syawal 709 H / 11 Maret 1310


M, Ibnu Taimiyyah kembali ke Kairo dan tinggal disana sekitar tiga tahun. selain
mengarang dan mengajar, Ibnu Taimiyyah juga menjawab berbagai persolan yang
diajukan kepadanya (memberi fatwa), dan kadang-kadang dijadikan konsultan
oleh sultan Al- Malik al-Nasir, terutama masalah-masalah yang dihadapi orang-
orang Siria. walaupun usianya sudah berlanjut, ia masih tetap melibatkan dirinya
dalam kontroversi kancah perdebatan paham-paham ke Islaman. berbagai macam
bentuk hukuman yang berkali-kali menimpa dirinya ternyata tidak mampu
menggeserkan pendiriannya. Kemudian Pada bulan Juli 1326 M / bulan Sya’ban
726 H, Ibnu Taimiyyah ditangkap lagi dan dimasukkan lagi kepenjara di
Damaskus. Keadaan ini ia gunakan untuk menulis tafsir Al-Qur’an dan karya-

8
Muhammad Iqbal,”100 Tokoh Terhebat dalam sejarah Islam”, (Jakarta: Inti Media,2003), hal.
149

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 87


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

karya lainnya, tetapi kemudian jiwanya tersiksa, karena ketika itu ia tidak
diizinkan lagi menulis dan seluruh tinta yang disediakan untuknya diambil
semuanya. Tidak lama kemudian Ibnu Taimiyyah jatuh sakit dalam penjara, dua
puluh hari lebih ia sakit, kemudian menteri Syamsuddin menjenguknya. Setelah
duduk disamping Ibnu Taimiyyah, ia meminta maaf atas kesalahannya, Lalu Ibnu
Taimiyyah mengatakan kepadanya bahwa ia telah memaafkannya karena ia
melakukan kesalahannya bukan atas inisiatif pribadinya akan tetapi ikut orang
lain. Setelah beberapa hari Ibnu Taimiyyah meninggal pada malam senin tanggal
20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriyah. Setelah kitab-kitabnya dikeluarkan dari
penjara, ia terus membaca Al-Qur’an dan menghatamkannya setiap sepuluh hari
sekali.9

C. Pengertian Salafi
Secara bahasa salafi berasal dari bahasa Arab salafa, yaslifu salafan yang
memiliki arti yang terdahulu. Kata salaf ini ditemukan dalam Al-Qur’an surat Az-
Zukhruf ayat 56 yang berbunyi:

ٰ ْ ِِّ‫ٰه ْم َسلَ ًفا َّوَمثَ ًًل ل‬


‫ًل ِخ ِريْ َن‬ ُ ‫فَ َج َعْلن‬
“Dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang
kemudian”10

Pengertian salaf dalam ayat tersebut adalah umat para Nabi dan Rasul
terdahulu yang mana mereka dianggap panutan dalam ketaatan dan kekufuran.
Kata salaf juga disebutkan dalam hadis sebagai berikut:

‫ي‬ ٍ ‫ َعن مسر‬،‫ َعن َع يام ٍر‬،‫ حدَّثَنَا فيراس‬،َ‫ َعن أيَِب َعوانَة‬،‫حدَّثَنَا موسى‬
،‫ن‬َ ‫ةةُ أُ ا ُ اُُْممنيي‬
َ ‫ َح َّدثَ ْن ي ي َعاشي‬،‫وق‬ ُْ َ ْ ْ ٌ َ َ َ ْ َ ُ َ
‫ت فَ ي‬ ‫ ََل تُغَادر يمنَّا و ي‬،‫َجيعا‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
ُ‫اط َمة‬ ْ َ‫ فَأَقْبَ ل‬،ٌ‫اح َدة‬ َ ْ َ ْ ً َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ع ْن َده‬ ‫اج الني يي‬
َ ‫َّب‬ َ ‫ إي ََّّن ُكنَّا أَ ْزَو‬:‫ت‬
ْ َ‫قَال‬
‫ي‬ ‫ول َّي‬ ‫اَّلل َما ََتَْفى يم ْةيَ نُ َها يم ْن يم ْةيَ ية ر ُس ي‬‫ الَ و َّي‬،‫السالَ ُ َتَْ يةي‬
َ ‫ فَ لَ َّما َر‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫هَا‬ َ ‫اَّلل‬ َ َ ُ َّ ‫َعلَْي َها‬
‫ فَ لَ َّما‬،‫ ًدا‬،‫اَ َي يد‬ ً َ ُ‫ت ب‬ ْ َ َ‫ فَب‬،‫ارََا‬ َّ ‫ ُُثَّ َس‬،‫س َها َع ْن ََيييني يه أ َْو َع ْن يِشَالي يه‬ ْ ‫ « َم ْر َحبًا يِببْ نَ يت» ُُثَّ أ‬:‫ال‬
َ َ‫َجل‬ َ َ‫ب ق‬ َ ‫َر َّح‬
‫ول َّي‬ َّ ََ :‫ساشييه‬
‫َّ ي‬ ‫ي يي‬ ْ َ‫ فَيإ َذا يَ َي ت‬،َ‫ارََا الثَّانييَة‬
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ك َر ُس‬ َ ‫ْت ََلَا أَ ََّن م ْن بَ ْن ن‬
ُ ‫ فَ ُقل‬،‫ك‬ ُ ‫ض َح‬ َّ ‫َرأَى ُح ْزنَ َها َس‬
‫ َع َّما‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم َسأَلْنُ َها‬ ‫ول َّي‬ ‫ ُُثَّ أَنْ ي ي‬،‫لس ير يمن ب ينينَا‬ ‫ي‬ ‫ي‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ا ُ َر ُس‬َ َ‫ فَلَ َّما ق‬،‫ن‬ َ ‫ت تَ ْب‬ ْ َ ْ ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم يِب ي ي‬
9
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf (Jakarta:Mitra Pustaka, 2006), hal. 807
10
Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf Ayat 56

88 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

‫ي َّ ي‬ ‫ول َّي‬
َّ َ ‫اَّلل‬ ‫ت يِلُفْ يةي َعلَى ر ُس ي‬ ْ َ‫ار يك؟ قَال‬
:‫ْت ََلَا‬
ُ ‫ قُل‬،ِّ َ‫ فَ لَ َّما تُ ُويي‬،ُ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسل َم س َّره‬ َ َ ُ ‫ َما ُك ْن‬:‫ت‬ َّ ‫َس‬
‫ي‬ ‫ي‬
‫ن‬َ ‫ أ ََّما ح‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ فَأَ َْبَ َرتْ ي ي‬،‫ أ ََّما اآل َن فَ نَ َع ْم‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ك يم َن احلَ ييق لَ َّما أَ َْبَ ْرت ي ي‬
‫ك يِبَا يِل َعلَْي ي‬ ‫ت َعلَْي ي‬
ُ ‫َع َزْم‬
ٍ ‫ي‬ ‫ «أ َّ ي‬:‫ فَيإنَّهُ أَ َْب ريِن‬،‫اريِن يِّ اِل َْم ير اِل ََّو يل‬
‫ض ي ي‬ َ ‫ َوإينَّهُ قَ ْد َع‬،ً‫ضهُ يِبل ُق ْرهن ُك َّل َسنَة َم َّرة‬
َ ‫ار‬ ُ ‫ُ َعا ير‬، ‫ل َكا َن‬،
َ ‫َن ج ْيْب‬ ََ َّ ‫َس‬
:‫ت‬
ْ َ‫ك» قَال‬ ‫أ أَ ََّن لَ ي‬
ُ َ‫السل‬َّ ‫ فَيإييِن ني ْع َم‬،‫ي‬، ‫اصي يْبف‬ َّ ‫ فَاتَّيقي‬،‫ب‬
ْ ‫اَّللَ َو‬
‫ي‬
َ ‫َج َل إيَّال قَد اقْنَ َر‬ َ ‫ َوالَ أ ََرى اِل‬،‫ن‬ ‫ا ُ َم َّرتَ ْ ي‬
َ ‫الع‬
‫ي‬
َ ‫بيه‬
‫ن أَ ْن تَ ُ يوِن‬
َْ‫ض‬
‫ «َي فَ ي‬:‫ال‬
َ ‫ أَالَ تَ ْر‬،ُ‫اط َمة‬ ‫ي‬
َ َ َ‫ ق‬،َ‫اريِن الثَّانيَة‬ َّ ‫ فَلَ َّما َرأَى َج َز يعي َس‬،‫ت‬ ‫ْ ي‬،َ‫ي رأ‬، ‫ت ب َ اشيي الَّ يذف‬
َ ُ ُ ‫فَ بَ َ ْي‬
11 ‫ي‬
»‫س ياَ ََ يذهي اِل َُّمة‬ ‫ي ي‬
َ ‫ أ َْو َسي َدةَ ن‬،‫ن‬
‫سي َدةَ ني ي ي‬
َ ‫ساَ اُُْممني‬ َ ‫َي‬
“Telah menceritakan kepada kami Musa dari Abu 'Awanah, telah menceritakan kepada
kami Firas dari 'Amir dari Masruq, telah menceritakan kepadaku Ummul Mukminin
Aisyah dia berkata, 'Suatu ketika kami para istri Nabi ‫ ﷺ‬sedang berkumpul dan berada di
sisi beliau, dan tidak ada seorang pun yang tidak hadir saat itu. Lalu datanglah Fatimah
'alaihi salam dengan berjalan kaki. Demi Allah, cara berjalannya persis dengan cara
jalannya Rasulullah ‫ﷺ‬. Ketika melihatnya, beliau menyambutnya dengan mengucapkan,
"Selamat datang hai puteriku!" Setelah itu beliau mempersilakannya untuk duduk di
sebelah kanan atau di sebelah kiri beliau. Lalu beliau bisikkan sesuatu kepadanya hingga
ia (Fatimah) menangis tersedu-sedu. Ketika melihat kesedihan Fatimah, beliau sekali
lagi membisikkan sesuatu kepadanya hingga ia tersenyum gembira. Lalu saya (Aisyah)
bertanya kepadanya ketika aku masih berada di sekitar istri-istri beliau-, 'Sesungguhnya
Rasulullah ‫ ﷺ‬telah memberikan keistimewaan kepadamu dengan membisikkan suatu
rahasia di hadapan para istri beliau hingga kamu menangis sedih.' -Setelah Rasulullah
berdiri dan berlalu dari tempat itu-, saya pun bertanya kepada Fatimah 'Sebenarnya apa
yang dibisikkan Rasulullah kepadamu?' Fatimah menjawab, 'Sungguh saya tidak ingin
menyebarkan rahasia yang telah dibisikkan Rasulullah kepada saya.' 'Setelah Rasulullah
‫ ﷺ‬meninggal dunia, saya bertanya kepadanya, 'Saya hanya ingin menanyakan kepadamu
tentang apa yang telah dibisikkan Rasulullah kepadamu yang dulu kamu tidak mau
menjelaskannya kepadaku.' Fatimah menjawab, 'Sekarang, saya akan memberitahukan.
Lalu Fatimah memberitahukan kepadaku, ia berkata, 'Dulu, ketika Rasulullah ‫ﷺ‬
membisikkan sesuatu kepadaku, untuk yang pertama kali, beliau memberitahukan bahwa
Jibril biasanya bertadarus Al-Qur'an satu atau dua kali dalam setiap tahun dan kini
beliau bertadarus kepadanya sebanyak dua kali, maka aku tahu bahwa ajalku telah
dekat. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya
sebaik-baik pendahulumu adalah aku.' Fatimah berkata, 'Mendengar bisikan itu, maka
saya pun menangis, seperti yang kamu lihat dulu. Ketika beliau melihat kesedihanku,
maka beliau pun membisikkan yang kedua kalinya kepadaku, sabdanya: 'Hai Fatimah,
tidak maukah kamu menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau menjadi
sebaik-baik wanita umat ini?”12

11
Muhammad bin Ismail, Sahih Bukhari, No. Indeks 6285 Hal 64 Juz 8 Bab Turunnya Wahyu
Kepada Rasulullah SAW
12
Terjemah Ensiklopedia Hadis, Sahih Bukhari, No. Indeks 6285 Hal 64 Juz 8 Bab Turunnya
Wahyu Kepada Rasulullah SAW

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 89


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

Dalam hadis diatas Rasulullah SAW bersabda kepada putrinya yaitu Fatimah
bahwa sebaik-baik pendahulumu adalah aku. Rasulullah menyebutkan bahwa
sebaik-baik salaf adalah dirinya sendiri13

Akar kata s-l-f yang memiliki arti mendahului sedangkan kata al-Salaf orang-
orang yang telah berlalu. Dalam ilmu fiqh kata al-Salaf adalah nama bagi setiap
orang yang diikuti pendapatnya dalam masalah agama. Tetapi hal ini berbeda
pada setiap madzhab. Misalnya Imam Hanafi menggunakan kata al-Salaf yang
digunakan bagi para ulama yang hidup di masa Imam Abu Hanifah dan
Muhammad bin al-Hasan. Sedangkan dalam madzhab Syafi’I, beliau merujuk
pada ulama yang hidup sampai abad tiga hijriyah, yang didalamnya mencakup
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Secara istilah, kata salaf dapat memiliki makna
yang berbeda sesuai madzhab14

D. Sejarah Salafi

Kata “salafiyah” berasal dari kata bahasa Arab “salafa-yaslufu-salaf”, yang


berarti “mendahului”, “nenek moyang”, “leluhur", dan “mazhab salaf”15
Ensiklopedi Dunia Islam Modern mendefinisikan generasi salaf sebagai tiga
generasi Muslim pertama. Masa itu berlangsung selama tiga abad: abad pertama
para sahabat nabi Muhammad saw (sahabah), yang berakhir dengan Anas ibn
Malik (w. 91 H/710 M atau 93 H/712 M); kemudian pengikut mereka (tabi'in)
(180 H/796 M); dan kemudian pengikut pengikut mereka (tabi' al-tabi'in) (241
H/855 M). Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-955 M) dianggap sebagai orang
terakhir dari generasi salaf. Generasi ini dikenal kaum Muslim selanjutnya karena
persahabatan mereka dengan nabi Muhammad saw dan kedekatan mereka dengan
masa hidup nabi. Pemahaman dan praktik Islam mereka yang murni, serta
sumbangan mereka bagi Islam kemudian digunakan aliran salaf sebagai dasar
ajaran mereka yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Islam seperti yang
dilakukan generasi salaf.16 Sejak abad ke-4 H/ke-9 M, upaya untuk menghidupkan

13
Suaib Tahir,”Gerakan Dakwah Salafiyyah dan Pokok-pokok Pemikirannya”, Jurnal Mumtaz
Vol.1 No.2 (2017) hal. 143-145
14
Muhammad Imdad Rabbani, op. cit., hal. 249-250
15
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), hal. 696
16
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), Jilid 5, hal. 104

90 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

jejak generasi salaf mulai terjadi. Pada abad ini, ada kemajuan berpikir yang luar
biasa dan munculnya paham baru di kalangan umat Islam, baik yang dipengaruhi
atau tidak oleh ajaran non-Islam. Pada abad ini Ahmad ibnu Hanbal, pendiri
mazhab keempat sunni adalah pelopornya, ia dikenal dengan perjuangannya
melawan doktrin Mu’tazilah tentang penciptaan Qur’an. Sikap Ibnu Hanbal yang
dengan keberanian dan tak takut mati mempertahankan keyakinannya tersebut,
membuat Ibnu Hanbal mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang
tak sepaham dengan Mu’tazilah. Paham ini selanjutnya dikenal dengan Salafiyah
klasik.17

Pada abad ke-7 H/ke-13 M, Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)


mempertahankan paham salafiyah dengan keberanian dan ketekunan yang luar
biasa. Mula-mula dalam seminar, kemudian dalam tulisan yang tersebar luas yang
menggegerkan para ulama dari berbagai mazhab. Ibn Taimiyah dengan keras
meminta kaum Muslim untuk kembali ke ajaran utama, Qur'an dan Hadis nabi
Muhammad saw., agar ajaran Islam tidak dipertahankan sebagaimana adanya (das
sein) di masyarakat, tetapi diwujudkan sebagaimana seharusnya (das sollen)
seperti yang diinginkan pembawanya, nabi Muhammad saw.18
Kaum Salaf menurut Ibnu Taimiyah adalah mereka yang berpendapat bahwa
tidak ada jalan untuk mengetahui aqidah, hukum, dan apa yang ada hubungan
dengan keduanya, kecuali dengan menggunakan Qur’an dan Hadis. Kaum Salaf
menerima semua keterangan yang ada dalam Qur’an dan Hadis. Menolak berarti
melepas tali agama. Akal tidak mempunyai kekuasaan untuk mentakwilkan,
menafsirkan, atau menghukumi Qur’an. Akal hanya mampu membenarkan,
mentaati, dan menerangkan pendekatan antara dalil akal (kontekstual), dengan
dalil Qur’an dan Hadis (tekstual) dengan tidak ada perbedaan antara dalil akal
dengan dalil Qur’an dan Hadis. Akal berkedudukan sebagai saksi bukan hakim,
sebagai penetap dan penguat bukan penentang, sebagai penjelas dari dalil yang
terkandung dalam Qur’an.19 Kaum Salaf selalu menjadikan akal berada di
belakang Qur’an dan Hadis.

17
Suhilman, Sejarah Perkembangan Pemikiran Gerakan Salafiyyah, Jurnal Islamika : Jurnal Ilmu-
Ilmu Keislaman Vol 17 No.1 (Juli 2019), hal. 70
18
Abu Bakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, (Solo: Ramadhani, 1985), hal. 28
19
John L. Esposito, op. cit., hal. 105

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 91


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

Untuk menangani kerusakan moral dan sosial umat Islam, muncul reformasi
pada abad ke-12 H/18 M. Gerakan Wahabiyah adalah yang paling signifikan.
Muhammad Ibnu Abdul Wahab, pendiri, 1703–1792 M. Beliau membangun
negara Islam di Semenanjung Arab dengan menggunakan ajaran Ibnu Hanbal dan
Ibnu Taimiyah untuk menghilangkan praktik non-Islam dan membangun negara
Islam yang menyerupai negara yang didirikan Nabi Muhammad saw. Gerakan
reformasi lainnya, seperti Sanusiyah dan Mahdiyah, memiliki kecenderungan
sufi.20 Gerakan yang sama dengan Wahabiyah bermunculan di luar dunia Arab.
Gerakan Usuman dan Fodio (1754-1817 M) di Nigeria. Gerakan Ahmad Sirhindi
(1564-1624 M), Syah Wali Allah (1702-1752 M), dan Sayyid Ahmad Barelwi
(1786-1831 M) di anak benua India. Gerakan tersebut menganjurkan pemurnian
agama, reformasi moral, dan sosial, serta persatuan Muslim. Namun, gerakan
tersebut tetap menafsirkan agama secara harfiah dan terikat pada masa lalu;
berjuang bukan untuk membangun model yang bisa hidup pada masa depan,
melainkan menciptakan kembali model awal seperti masa nabi dan para
sahabatnya.21
Meskipun demikian, gerakan tersebut meninggalkan warisan yang mengilhami
gerakan Salafiyah Modern, yang muncul pada abad ke-19 dan 20 M. Jamaluddin
al-Afghani (1839–1897 M) dan Muhammad Abduh (1849–1905 M) adalah
pendiri gerakan Salafiyah modern. Tujuan utama gerakan Salafiyah modern
adalah untuk menghilangkan mentalitas taqlid (imitasi buta) dan jumud (stagnasi),
mengembalikan Islam ke bentuk aslinya, dan mengubah kondisi moral, budaya,
dan politik kaum Muslim. Reinterpretasi Islam, kelemahan kaum Muslim, dan
reformasi institusional yang menyeluruh semuanya termasuk di antaranya.22
Salafiyah modern berpendapat bahwa penyebab yang membawa kepada
kemunduran kaum Muslim adalah sikap jumud yang terdapat pada diri umat
Islam. Jumud mengandung arti keadaan membeku, statis, dan tak ada perubahan.
Oleh karena sikap jumud, umat Islam tidak menghendaki adanya perubahan,
sebaliknya umat Islam hanya menerima tradisi yang berkembang pada saat itu.23

20
Ibid, hal.105
21
Ibid, 105-106
22
Ibid
23
Harun Nasution, Pengembangan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 62

92 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

Sikap tersebut menyebabkan umat Islam melupakan ajaran Islam yang


sebenarnya, dan berada dalam fanatik buta, serta mewujudkan
penyelewenganpenyelewengan dalam ajaran Islam. Untuk mengubah keadaan
tersebut, gerakan Salafiyah modern berusaha mengembalikan umat Islam kepada
ajaran Islam asli, yaitu ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam generasi salaf.24
Selanjutnya disesuaikan dengan keadaan dan situasi yang ada pada saat itu.
Gerakan Salafiyah modern melakukan penyesuaian mengikuti cara Ibnu
Taimiyah, membedakan antara yang tidak berubah dan yang berubah dalam
agama Islam.
E. Aliran Salafi Ibnu Taimiyah

Pertama, sumber pengambilan dan rujukan aqidah islam terbatas pada wahyu,
yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama salaf. Menurut manhaj salafi, akiqah
adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i. Mereka juga
memiliki pandangan bahwa tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, para sahabat Nabi terdidik atas dan
Sunnah serta mereka tidak berpaling dari kedua itu25. Dalam hal ini mengandung
beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Keselamatan dalam hidup dan ridha Allah SWT hanya bisa didapatkan
dengan iman kepada keduanya dan mengamalkan apa yang terdapat dari
keduanya
2. Agama Islam itu sempurna, seperti yang ada dalam Q.S Al-Maidah ayat 15-
16 yang berbunyi26:
ۤ ِ ‫ّي لَ ُكم َكثِْي را ِِِّمَّا ُكْن تُم ُتْ ُف ْو َن ِمن الْ ِكت‬ ۤ
‫ٰب َويَ ْع ُف ْوا َع ْن َكثِ ْريەۗ قَ ْد َجاءَ ُك ْم‬ َ ْ
ِ ‫ي‬ ‫ا‬‫ن‬‫ل‬
ُ‫و‬ ‫س‬‫ر‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ء‬ ‫ا‬ ِ ِ
ً ْ ُ ِّ َُ َ ْ ُ َ ْ َ ‫ٰاٰيَ ْه َل الْكتٰب قَ ْد َج‬
‫ب‬
‫ن‬ ِ ِ ٰ ‫ِمن‬
ٌْ ِ‫ٰب ُّمب‬
‫ّي‬ ٌ ‫اّلل نُ ْوٌر َّوكت‬
ِّ َ ِّ
”Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan
kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula)

24
Ibid, 63
25
Fadlan Fahamsyah, “Dinamika dan Sejarah Pemikiran Salafi”, Jurnal Al-Fawaid Vol. 10 No. 2
(September 2020) hlm 35
26
Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ”Pemikkiran Teologi Kaum Salafi: Studi atas
Pemikiran Kalam Ibn Taimiyyah”, Jurnal Ulul Albab Vol.19 No.2 (2018) hlm 324

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 93


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab
yang menjelaskan27”

‫ت اِ ََ النُّوِر ِِ ْْنِهٗ وي ه ِدي ِهم اِ َٰ ِصر ر‬


ِ ‫الس ٰل ِم وُيُْ ِرجهم ِمن الظُّلُ ٰم‬ ِ ِ
‫اط‬َ ْ ْ ْ ََ ْ َ ِّ ْ ُ ُ َ َّ ‫ض َوانَهٗ ُسبُ َل‬ ِّٰ ‫يَّ ْهد ْي بِه‬
ْ ‫اّللُ َم ِن اتَّبَ َع ِر‬
‫ُّم ْستَ ِقْي رم‬

”Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti
keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke
jalan yang lurus”28

Kedua, berittiba’ mengikuti Rasulullah dan para salaf baik dalam agama,
ibadah, aqidah dan meninggalkan takhayyul, bid’ah dan khurafat. Dalam
pandangan ulama salaf, bid’ah adalah bentuk perusakan dan penodaan terhadap
murninya agama dan orisinalitas agama. Secara garis besar bid’ah dapat diartikan
sebagai hal baru dalam agama dan bertentangan denga,n Al-Qur’an dan Sunnah29.

Ketiga, dalam memahami teks-teks agama harus berpedoman pada


pehamahaman salaf yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Berpegang
teguh kepada wahyu dan tidak mempertentangkan dengan akal serta tidak
memasukkan diri dalam filsafat. Menurut ulama salaf, filsafat adalah produk
Yunani yang dibawa ke negeri Islam agar umat Islam berpaling dari yang benar.
Imam Ahmad bin Hanbal mengakatakan bahwa “Pemiliki ilmu filsafat tidak akan
beruntung selamanya. Sedangkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa hukuman bagi
para ahli filsafat adalah dipukul dengan pelepah kurma lalu diangkut diatas unta
dan diarak ke kampong-kampung dan kabilah-kabilah lalu diserukan atas mereka
“Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan hadis lalu menuju ilmu
filsafat”

Keempat, Tidak mendahulukan siapapun diatas firman Allah dan Sabda


Rasulullah SAW. Para kaum salafi ini sangat menghormati para imam madzhab
dan ulama ijtihad tetapi mereka tidak fanatic. Kaum salafi mengakui adanya
empat madzhab ini tetapi mereka memilah antara menerima dan menolak.

27
Q.S Al-Maidah ayat 15
28
Q.S Al-Maidah ayat 16
29
Asep Saifuddin Chalim, ASWAJA, (Jakarta: Penerbit Erlangga 2017) hlm 17

94 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

Kelima, menjadikan tauhid menjadi inti dakwah bahkan mereka menekankan


tauhid sebagai identitas kaum salafi. Doktrin utama yang diajarkan dalam kaum
ini adalah menegakkan tauhid, meninggalkan syirik dan menghentikan semua
tindakan atau perbuatan yang mengarah kepada perbuatan syirik.

Keenam, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, serta membantah


kelompok-kelompang yang melenceng dari salaf. Hal ini juga dicontohkan oleh
Ibnu Taimiyah ketika membantah Jahmiyah, Murji’ah dan para ahli filsafat
lainnya. Menurut Abd Al-Malik Ramadanu Al-Jazairi mengatakan bahwa
membantah kelompok-kelompok yang menyimpang termasuk ajaran salaf.

Ketujuh, manhaj salafi menekankan adanya tafsyiah (pembersihan) dan


tarbiyah (pendidikan). Maksudnya adalah melakukan tafsiyah dengan cara
menlihat dan mengevaluasi kembali ajaran yang menyimpang dan mendidik
generasi Islam dengan ajaran Islam yang telah dibersihkan dari segala
penyimpangan30

Berikut pemikiran mengenai persoalan-persoalan kalam Ibnu Taimiyah:

1. Sifat-sifat Allah

Menurut Ibnu Taimiyah, termasuk iman kepada Allah adalah iman kepada
sifat-sifatNya, sebagaimana yang tertulis dalam kitabNya dan melalui lisan
RasulNya yaitu Muhammad SAW31. Percaya dengan sepenuh hati terhadap
sifat-sifat Allah SWT yang Ia sendiri atau RasulNya yang menyifati. Sifat-
sifat yang dimaksud disini adalah seperti sifat-sifat salbiyah, sifat ma’ani, sifat
khabariyah dan sifat dhafiyah serta percaya dan menerima sepenuhnya nama-
nama dan sifat-sifat Allah tanpa mengubah maknya, tidak menghilangkan
pengertian lafazh, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentuk tuhan
dan tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya.

Ibnu Taimiyah tidak menyetujui setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat.


Menurutnya ayat-ayat atau hadis-hadis yang didalamnya mengandung sifat-

30
Fadlan Fahamsyah, “Dinamika dan Sejarah Pemikiran Salafi”, Jurnal Al-Fawaid Vol. 10 No. 2
(September 2020) hlm 35-38
31
Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ”Pemikkiran Teologi Kaum Salafi: Studi atas
Pemikiran Kalam Ibn Taimiyyah”, Jurnal Ulul Albab Vol.19 No.2 (2018) hlm 325

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 95


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

sifat Allah SWT harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya dengan
catatan tidak menyerupakan sifat-sifat Allah SWT dengan sifat-sifat
makhlukNya32.

2. Kehendak Allah dan Kebebasan Manusia

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang bertentangan. Di


satu sisi ia mengakui bahwa Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu,
termasuk perbuatan manusia dan jika Allah SWT, maka jadilah sesuatu dan
apa yang tidak dikehendakinya maka tidak akan terjadi. Al-Hanbali (1425 H)
mengatakan bahwa “… Karena sesungguhnya Allah merupakan pencipta
setiap sesuatu, dari perbuatan-perbuatan hambanya dan selainnya. Dan
sesungguhnya apa yang Dia kehendaki akan terjadi dan apa-apa yang tidak
Dia kehendaki tidak akan terjadi”

Tetapi di sisi lain Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa bahwa hamba
adalah pelaku yang sebenarnya. Dalam hal ini Al-Hanbali juga mengakatan
“Dan hamba adalah pelaku yang sejati”. Apa yang menjadi pendiriannya
mengenai kehendak Allah ini sangat mirip dengan kalangan Jabariyah yang
berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam segala tindakannya dan tidak
ada pilihan kebebasan dalam kekuasaan dalam bertindak. Sementara itu
pendapat Ibnu Taimiyah mengenai kebebasan dalam bertindak yang hampir
sama dengan kalangan Qadariyah. Kalangan Qadariyah berpendapat bahwa
manusia itu tidaklah terpaksa, tetapi setiap hamba bebas untuk memilih
perbuatan-perbuatannya.

Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah menolak disamakan dengan kelompok


Jabariyah, karena menurutnya Jabariyah sama sekali menafikan perbuatan
manusia sebagai konsekuensi bahwa manusia itu terpaksa. Ibnu Taimiyah
menolak ini dengan mengatakan “Kaum salaf dan para imam tidak ada yang
berkata: seorang hamba bukan pelaku sebenarnya (dari perbuatan-
perbuatannya). Ia juga tidak merdeka, tidak punya kehendak dan tidak punya
kekuasaan. Tidak juga diantara mereka berkata: seorang hamba adala pelaku

32
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia 2014) hlm 140-141

96 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

sebenarnya dari perbuatan-perbuatanya, sementara Allah adalah penipta


zatNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya”33.

Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar
manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu, hamba adalah pelaku perbuatan
yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak dan memiliki
tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya34.

3. Al-Qur’an adalah Kalam Allah

Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad itu adalah kalam Allah yang sebenarnya, bukan kalam selain
Allah. Maka dari itu tidaa boleh ada yang berpendapat atau berpikiran bahwa
Al-Qur’an itu adalah hikayat atau ungkapan dari kalam Allah, atau terjemah
dari Allah. Bahkan ketika Al-Qur’an itu dibaca manusia atau mereka menulis
dalam bentuk mushaf, maka hal itu tidak membuat Al-Qur’an bukan lagi
kalam Allah.

4. Makna Iman

Menurut Ibnu Taimiyah, ulama salaf mendefinisikan iman sebagai


perkataan dan perbuatan, yakni perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati
dan anggota badan. Bagi yang menghendaki adanya keyakinan (i‘tiqâd) dalam
cakupan iman, karena mereka memahami “perkataan” tersebut tidak
mencakup keyakinan, tetapi hanya mencakup perkataan zahir. Sedangkan
bagi yang menambahnya dengan niat, karena kata “perbuatan” tidak
mencakup niat, begitu juga kata “perkataan,” yang hanya mencakup perkataan
hati dan lisan. Yang termasuk perbuatan hati misalnya mencintai Allah dan
Rasul-Nya, takut kepada Allah, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-
Nya, membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, beramal ikhlas karena
Allah, tawakal, dan sebagainya. Ibnu Taymiyah sangat menekankan aspek
“perkataan” dan “perbuatan” sekaligus dalam konsepsinya mengenai iman.
Karenanya, konsepsinya tentang iman sangatlah luas, karena ia menyamakan

33
Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ”Pemikkiran Teologi Kaum Salafi: Studi atas
Pemikiran Kalam Ibn Taimiyyah”, Jurnal Ulul Albab Vol.19 No.2 (2018) hlm 326-329
34
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia 2014) hlm 141

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 97


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

kata “îmân” dengan kata “al-birr,” “al-taqwâ,” dan “al-dîn” (sebagaimana


keterangan terdahlu). Maka menurutnya, semua yang dicintai Allah termasuk
kategori “iman.” Demikian juga dengan “al-birr,” “al-taqwâ,” dan “al-dîn,”
semua yang dicintai-Nya termasuk kategori ketiganya.35

Pokok-pokok pemahaman manhaj salafi dalam masalah akiqah yaitu


sebagai berikut:

1. Meyakini dengan sepenuh hati rukun iman, yaitu iman kepada Allah,
malaikat-malaikatNya,kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir dan
qadha’ dan qadlar’
2. Mencintai sahabat-sahabat Rasulullah, karena para sahabat adalah
golongan yang paling sempurna iman dann kebaikannya. Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa diantara pokok ajaran salaf
adalah mencintai sahabat Nabi, meneladani mereka, tidak boleh
mencela, tidak boleh melaknat dan mendo’akan mereka.
3. Mencintai keluarga Nabi dan memuliakannya. Menurut Ibnu Taimiyah
diantara manhaj salaf adalah mencintai keluarga Nabi, menjaga wasiat
Nabi, selain itu kaum salafi juga loyal kepada istri-istri Nabi karena
mereka adalah ibu-ibu orang yang beriman.
4. Mengimani semua nama-nama dan sifai-sifat Allah tanpa
menyerupakan, mengganti maknanya dan tanpa meniadakannya
5. Berkaitan dengan kepemimpinan dan kekuasaan, kaum salafi
mengatakan bahwa taat kepada para pemimpin kaum muslimin
hukumnya wajib, selama mereka tidak mengarah ke kemaksiatan.
6. Dalam masalah mencintai dan membenci, kaum salaf membaginya
menjadi tiga kelompok. Yang pertama mereka yang mendapat cinta
yang mutlak adalah mereka yang beriman kepada Allah SWT. Kedua,
mereka yang mendapatkan cinta dan disisi lain juga mendapatkan
benci adalah muslim yang ahli maksiat, yang melakukan kewajiban
tetapi melakukan apa yang diharamkan.Ketiga, mereka yang
mendapatkan kebencian adalah mereka yang kafir.
35
Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ”Pemikkiran Teologi Kaum Salafi: Studi atas
Pemikiran Kalam Ibn Taimiyyah”, Jurnal Ulul Albab Vol.19 No.2 (2018) hlm 330

98 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

7. Kaum salaf meyakini bahwa sihir dan tukang sihir itu ada. Menurut
manhaj salaf, barangsiapa yang melakukan sihir dan percaya bahwa ia
bisa memberikan manfaat tanpa izim Allah, berarti dia telah kafir
8. Menjauhi ahl al-ahwa wa al-bida’ (pengikut hawa nafsu dan bida’).
Bid’ah menurut manhaj salaf adalah perkara yang diada-adakan dalam
perkara agama yang tidak ada dizaman Nabi dan sahabat
9. Mengimani berita-berita yang dikabar oleh Rasululllah SAW, tanpa
mengingkari sedikitpun selama berita-berita bersumber dari teks
agama yang valid, seperti berita tentang adzab, nikmat kuburm, hari
kebangkitan, padang mahsyar dll
10. Manhaj salafi mengimani dan meyakini adanya mukjizat dan karamah
para wali, akan tetapi bagi mereka karamah wali itu tidak selalu berupa
perkara atau kejadian, tetapi karamah yang paling tinggi adalah mereka
yang istiqomah dan konsisten dalam menjalankan perintah agama36
F. Kesimpulan

Secara bahasa salafi berasal dari bahasa Arab salafa, yaslifu salafan yang
memiliki arti yang terdahulu. Akar kata s-l-f yang memiliki arti mendahului
sedangkan kata al-Salaf orang-orang yang telah berlalu. Dalam ilmu fiqh kata al-
Salaf adalah nama bagi setiap orang yang diikuti pendapatnya dalam masalah
agama. Tetapi hal ini berbeda pada setiap madzhab. Misalnya Imam Hanafi
menggunakan kata al-Salaf yang digunakan bagi para ulama yang hidup di masa
Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan. Sedangkan dalam madzhab
Syafi’I, beliau merujuk pada ulama yang hidup sampai abad tiga hijriyah, yang
didalamnya mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Secara istilah, kata salaf
dapat memiliki makna yang berbeda sesuai madzhab.

Berikut pemikiran mengenai persoalan-persoalan kalam Ibnu Taimiyah. Yang


pertama mengenai sifat-sifat Allah. Ibnn Taimiyah berpendapat bahwa termasuk
iman kepada Allah adalah iman kepada sifat-sifatNya, sebagaimana yang tertulis
dalam kitabNya dan melalui lisan RasulNya yaitu Muhammad SAW. Percaya
dengan sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah SWT yang Ia sendiri atau RasulNya

36
Fadlan Fahamsyah, “Dinamika dan Sejarah Pemikiran Salafi”, Jurnal Al-Fawaid Vol. 10 No. 2
(September 2020) hlm 38-40

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 99


A Sabroni Al Fajri, Dafina Ainani Zahra, Jilan Ratu Nur Hamidah Sidiki

yang menyifati. Yang kedua, tentang kebebasan Allah dan Manusia, Ibnu
Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia,
yaitu Allah pencipta segala sesuatu, hamba adalah pelaku perbuatan yang
sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak dan memiliki tanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Yang ketiga, tentang Al-Qur’an dan
Kalam Allah, Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad itu adalah kalam Allah yang sebenarnya, bukan kalam selain Allah.
Maka dari itu tidaa boleh ada yang berpendapat atau berpikiran bahwa Al-Qur’an
itu adalah hikayat atau ungkapan dari kalam Allah, atau terjemah dari Allah. Yang
keempat, makna iman. Menurut Ibnu Taimiyah, ulama salaf mendefinisikan iman
sebagai perkataan dan perbuatan, yakni perkataan hati dan lisan, serta perbuatan
hati dan anggota badan

Pokok-pokok manhaj salafi sebagai berikut, meyakini dengan sepenuh hati


rukun iman, mencintai sahabat dan keluarga nabi, mengimani nama dan sifat
Allah, taat kepada pemimpin, mencintai dan membenci, barangsiapa yang
melakukan sihir maka dia kafir, menjauhi bid'ah, mengimani berita berita yang di
kabarkan oleh Rasulullah dan percaya pada karomah wali.

Daftar Pustaka

Robbani, Muhammad Imdad. (2017). Salafiyah: Sejarah dan Konsepsi. Jurnal


Tasfiyah, 1(2), 247.

Ikhsan, Muhammad. (2014). Belajar Toleransi dari Ibnu Taimiyah. Pustaka Al-
Kautsar.

At-Tunisi, Bukhori. (2017). Konsep Teologi Ibnu Taimiyah. Yogyakarta:


DEEPUBLISH.

Sjadzali, Munawir. (1990). Islam dan Tata Negara : Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Karim, Adiwarman Azwar. (2006). Sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:


PT.Raja Grafindo Persada.

100 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Sejarah dan Metode Salafi: antara Dalil Akal dengan Dalil Qur’an dan Hadis

Amalia, Euis. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kotemporer. Depok: Gramata Publishing.

B. Lewis,et. All. (1979). The Encyclopedia of Islam. Laiden: E.J.Brill.

Iqbal, Muhammad. (2003). 100 Tokoh Terhebat dalam sejarah Islam. Jakarta: Inti
Media.

Chalim, Asep Saifuddin. (2017). ASWAJA. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Farid, Syaikh Ahmad. (2006). 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Mitra Pustaka.

Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf Ayat 56

Muhammad bin Ismail, Sahih Bukhari, No. Indeks 6285 Hal 64 Juz 8 Bab
Turunnya Wahyu Kepada Rasulullah SAW

Terjemah Ensiklopedia Hadis, Sahih Bukhari, No. Indeks 6285 Hal 64 Juz 8 Bab
Turunnya Wahyu Kepada Rasulullah SAW

Tahir, Suaib. (2017). Gerakan Dakwah Salafiyyah dan Pokok-pokok


Pemikirannya. Jurnal Mumtaz, 1(2). 143-145.

Suhilman. (2019). Sejarah Perkembangan Pemikiran Gerakan Salafiyyah. Jurnal


Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 17(1).

Aceh, Abu Bakar. (1985). Salaf: Islam dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani.

Nasution, Harun. (1975). Pengembangan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Fahamsyah, Fadlan. (2020). Dinamika dan Sejarah Pemikiran Salafi. Jurnal Al-
Fawaid, 10(2). 35.

Washil, Izzuddin & Fata, Ahmad Khoirul. (2018). Pemikkiran Teologi Kaum
Salafi: Studi atas Pemikiran Kalam Ibn Taimiyyah. Jurnal Ulul Albab,
19(2). 330.

Rozak, Abdul., dan Anwar, Rosihon. (2014). Ilmu Kalam. Bandung : CV. Pustaka
Setia

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 101

Anda mungkin juga menyukai