Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH EPISTEMOLOGI PARA FILSUF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Islam 1


Dosen pengampu : Dr. Eneng Nurlaili Wangi, S.Psi., M.Psi. Psikolog

Disusun oleh :

Reyvallina Meilani Nurimani 10050022218


Ayub Bakar Shiddiq 10050022233
Najwa Salsabila Sudrajat 10050022238
Syahrani Aprilia Salsabila 10050022240
Nazwa Putri Rahman 10050022245

Kelas F

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2023
A. Pendahuluan

Di antara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami, satu hal yang amat
mencolok dan amat penting ialah pengetahuan. Kerena pengetahuan merefleksikan
eksistensinya secara menyeluruh, manusia terpaksa merefleksikan pengetahuannya juga.
Bagian filsafat yang dengan sengaja berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan
manusia itu disebut “epistemology” atau ajaran tentang pengetahuan

Secara etimologis, Epistemologi merupakan bentukan dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan Logos yang juga berarti pengetahuan
atau informasi. Dari pengertian secara etimologis tersebut di atas dapatlah dikatakan
bahwa Epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan.

Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia


membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara
yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin
dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan.

Dalam lingkungan studi Islam, istilah epistemologi sering dipertukarkan


dengan istilah pemikiran. Pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi,
ingatan, angan-angan, sehingga pemikiran berarti proses, cara, perbuatan memikir

Epistemologi sebagai hasil pikiran manusia tidak bermaksud menafsirkann Islam,


tetapi bertujuan bagaimana cara memperoleh pengetahuan, bagaimana metodologi
pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sebagainya yang berhubungan dengan
epistemologi. Maka dengan sendirinya epistemologi Islam adalah menelaah epistemology
dan kacamata Islam, atau dengan kata lain adalah epistemologi menurut Islam.

Rumus tersebut menjadikan perbedaan antara epistemology Islam dengan


epistemologi pada umumnya. Epistemologi Islam disamping epistemologi secara umum
yang menyangkut wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan. Epistemologi pada
umumnya menganggap, bahwa kebenaran berpusat pada manusia karena manusia
mempunyai otorita untuk menentukan kebenaran (pengetahuan).

B. Biografi Tokoh
● Ja’far As-Sadiq
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Ja’far ibn Muḥammad al-Baqir ibn
‘Ali Zaynal Abidīn ibn Husayn ibn Ali ibn ‘Abi Ṭalib al-Hashimi al- ‘Alawi al-
Madani al-Ṣadiq. Ia dilahirkan pada tahun 80 H/699 M.3 Para sejarawan berbeda
pendapat mengenai kelahiran Ja’far ini. Selain tahun 80 H., ada pula yang
mengatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 83 H. Ada pula yang mengatakan Ja’far
dilahirkan sebelum kedua tahun tersebut. Namun riwayat yang paling kuat
menyatakan bahwa Ja’far Shadiq dilahirkan pada tahun 80 H, yakni di tahun yang
sama dengan kelahiran pamannya, Zayd ibn ‘Ali Zaynal ‘Abidin.
Ayahnya, Muḥammad al-Baqir (w. 115 H), adalah seorang ulama terkemuka di
Madinah yang menjadi rujukan banyak ahli fikih saat itu. Di ntara murid-muridnya
antara lain Sufyan alThawri (w. 161 H.) dan Abu Hanifah (w. 150 H.). Ibunya,
Ummu Farwah, juga tergolong wanita terhormat di masanya.
Ja’far memiliki garis keturunan dengan Rasulullah SAW, sedangkan dari pihak
ibunya, ia memiliki garis keturunan dengan Abu Bakr al-Ṣiddiq. Itulah sebabnya
mengapa, meskipun ia merupakan salah satu dari Imam kaum Syi’ah, ia akan marah
besar bila mendengar ada orang yang merendahkan kakeknya, Abu Bakr al- Ṣiddiq.
Selain dikenal sebagai ahli fikih, Imam Ja’far juga dikenal menguasai ilmu
filsafat, tasawuf, kimia, dan kedokteran. Di antara muridnya dalam ilmu alam adalah
Jabir ibn Ḥayyan, seorang ahli kimia dan kedokteran abad ke-8. Selain itu, Imam
Ja’far juga dianggap sebagai guru besar dalam dunia sufi, baik sufi dikalangan
Syi’ah maupun Sunni. kaum Syi’ah Ithna Asy’ariyyah menganggapnya sebagai
pendiri “mazhab hukum” kelompok ini. Mazhab hukum Syi’ah Ithna Asy’ariyyah
sendiri sering disebut dengan mazhab Ja’fari. Kepakaran Imam Ja’far di bidang
hukum tidak hanya diakui di kalangan Syi’ah saja, namun juga di dunia Sunni.
Ja’far merupakan tokoh yang sangat penting dalam sejarah perkembangan
Syi’ah. Sebelumnya, Syi’ah cenderung bersifat politis yang memposisikan dirinya
sebagai gerakan oposisi terhadap pemerintahan Umayyah. Ja’far mengubah orientasi
gerakan Syi’ah ini menjadi bercorak keagamaan.

● An-Naisaburi
Beliau memiliki nama lengkap al-Hafizh Abu ‘Abdullah Muhammad ibn
‘Abdullah ibn Muhammad ibn Hamdun ibn Hakam ibn Nu'aim ibn al-Bayyi' alDabi
at-Tahmani an-Naisaburi. Beliau lahir di Naisabur pada hari Senin 12 Rabiul Awal
321 H, dan wafat pada tahun 405 H. Beliau sering disebut dengan Abu ‘Abdullah
al-Hakim an-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi' atau al-Hakim Abu ‘Abdullah. Ayah
al-Hakim, ‘Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang
dermawan dan ahli ibadah yang sangat loyal terhadap penguasa bani Saman yang
menguasai daerah Samaniyyah.
Al-Hakim an-Naisaburi mulai menuntut ilmu sejak beliau masih kecil di
bawah bimbingan orangtuanya dan pamannya. Ketika berusia 9 tahun, beliau mulai
belajar Hadis, dan saat usianya beranjak 13 tahun, beliau pun menekuni ilmu ini
secara khusus kepada Abu Hatim (w. 342 H/952 M). Al Hakim melakukan
perjalanan ilmiah yang biasa dikenal dengan rihlah ‘ilmiyyah ke berbagai wilayah,
seperti Iraq, Khurasan, Transosiana, dan Hijaz, rihlah ‘ilmiyyah yang beliau lakukan
adalah untuk memperoleh sanad yang bernilai 'ȃli (tinggi). Ia berulang kali
mengunjungi kotakota yang menjadi tempat para ahli Hadis bermukim untuk
mendiskusikan Hadis yang ditemukannya, sehingga ia yakin akan kebenaran Hadis
tersebut.
Imam al-Hakim agaknya ingin menerapkan kriteria al-Bukhari dalam
penerimaan Hadis. Imam al-Hakim mensyaratkan tatap muka dengan guru dalam
penerimaan riwayat Hadis atau yang dikenal dengan liqȃ’, meski hanya sekali. 8
Dalam perjalanan hidupnya yang berlangsung selama 84 tahun, al-Hakim telah
memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan kajian Hadis dan ilmu
yang berkaitan dengannya melalui karya monumentalnya yakni al Mustadrak ‘alȃ
as-Sahīhain.
Imam al-Hakim hidup dan tumbuh ketika dunia Islam mengalami gonjang
ganjing yang cukup hebat disebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang
sering mengganggu kehidupan masyarakat, bahkan sering mengganggu spirit dan
ghirah intelektual. Wilayah-wilayah Islam yang terbentang luas dari Andalusia di
sebelah barat Baghdad sampai ke Transoxiana di sebelah timurnya, terpecah belah
dan masing-masing membentuk dan mendirikan beberapa kekhalifahan. Imam
al-Hakim hidup di dua kekhalifahan yakni Baghdad dan Mesir yang mayoritas
penduduknya berpaham Sunni, sedangkan para penguasa temporalnya bermazhab
Syi’ah. Mesir dikuasai oleh Syi’ah Sab’iyah dan Baghdad dikuasai oleh Syi’ah Itsna
‘Asyariyah.

● Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu
Muhammad ibnu Ya‟kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, yang
puing-puingnya terletak di dekat Teheran Modern. Iran pada tahun 320 H/932
M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Ibnu Miskawaih belajar sejarah terutama Tarik al-Thabari kepada seorang guru
yang bernama Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi (350H/960 M). Beliau juga
mendalami ilmu kimia bersama Abu al-Thayyib al-Razi. Iqbal mengungkapkan
bahwa Ibnu Maskawaih adalah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarahwan
Persia paling tersohor dan terhebat di zamannya. Ibnu Maskawaih hidup di zaman
Dinasti Buwaihi. Kemudian beliau meninggalkan Ray menuju ke Baghdad dan
mengabdi pada Pangeran Buwaihi. Ketika beliau kembali ke Ray, ia dipercaya
menjaga perpustakaan besar yang menyimpan banyak rahasia, sehingga beliau
digelar dengan al-Khazin.
Ibnu Miskawaih seorang penganut Syiah. Indikasi ini didasarkan pada
pengabdiannya kepada sultan dan wasir-wasir Syiah dalam masa pemerintahan Bani
Buwaihi (320-448 H). Ketika Sultan Ahmad 'Adhud Al-Daulah memegang tampuk
pemerintahan, ia menduduki jabatan yang penting, seperti diangkat menjadi Khazim,
penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat. Akan tetapi,
ia lebih populer sebagai seorang filolosof akhlak (al-fasafat al-'amaliyat) ketimbang
filosof ketuhanan (al-fasafat al-nazharijat al-Ilabijab). Agaknya ini dimotivasi oleh
situasi masyarakat yang sangat kacau di masanya, seperti minuman keras, perzinaan
dan lain-lain.

C. Konsep Ilmu Pengetahuan


● Ja’far as sadiq
Konsep Khumus
Khumus menurut mazhab Ja’fari merupakan kewajiban mengeluarkan harta
bagi kaum Muslimin, sebagaimana halnya zakat, yang diperuntukkan kepada ahl
al-bayt. Orang yang tidak menunaikannya termasuk dalam ke- lompok yang
merampas hak-hak ahl al-bayt. Khumus menurut mazhab Ja’fari sebenarnya telah
diberlakukan pada masa Nabi, namun kemudian dihapuskan oleh Abu Bakar. Dasar
yang digunakan oleh mazhab Ja’fari adalah QS. al-Anfal (8): 41 yang artinya:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh, maka seperlimanya
(khumus) adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan ibn sabil.”
Imam Mūsā al-Kaḍīm ibn Imām Ja’far al-Ṣādiq menafsirkan ayat di atas
dengan mengatakan bahwa apa yang untuk Allah adalah untuk Rasul-Nya, dan apa
yang untuk Rasul-Nya adalah untuk ahl al-Bayt-nya. Imam al-Ṣādiq juga pernah
berkata:”Ketika Allah telah mengharamkan sedekah bagi kami, maka Allah
menurunkan khumus untuk kami. Sedekah adalah haram bagi kami, tetapi khumus
adalah hak kami”.
Harta yang wajib dikeluarkan khumus-nya ada tujuh, yaitu: harta rampas-
an perang, barang tambang, harta terpendam (temuan), harta yang diambil dalam
laut, harta penghasilan, tanah yang dibeli oleh kafir ḍimmī dari seorang Muslim,
dan harta halal yang tercampur dengan yang haram. Meskipun ada tujuh harta yang
wajib dikeluarkan khumus-nya, namun yang disyaratkan memenuhi nishab hanya
tiga harta, yakni harta yang diambil dalam laut.

● An-Naisaburi
Dalam ilmu pengetahuan An-Naisaburi Hakim memberikan kontribusinya
dalam bidang ilmu hadis. Ia menyusun buku Ma‘rifah ‘Ulum al-hadits dan
al-Madkhal fi Ushul al-hadits yang membicarakan ilmu hadis dirayah. Kedua buku
ini dijadikan rujukan oleh para muhaddits generasi berikutnya sampai sekarang.
An-Naisaburi juga memperkenalkan ilmu pengetahuan munasabah.
Intensitas An-Naisaburi terhadap ilmu munāsabah ini tampak dalam ungkapannya
sebagai mana yang diuraikan oleh As-Suyuṭi sebagai berikut: “Setiap kali ia
(An-Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan al-Quran kepadanya, ia
berkata: ‘mengapa ayat ini diletakan setelah ayat ini, dan apa rahasianya diletakan
disamping surat ini?”. Jadi beliau mengkritik ulama Baghdad lantaran mereka tidak
mengetahui tentang hal munāsabah ayat tersebut (Jalaluddin Abdurrahman
As-Suyuthi, 2017, h. 556). Apa yang dilakukan An-Naisaburi tersebut merupakan
sebuah kejutan dan langkah baru yang berkaitan dengan tafsir pada masa itu. Ia
kemudian memiliki kompetensi untuk mengungkap korelasi antara ayat maupun
antara surat, terlepas dari sisi sesuai dan tidaknya, serta sisi pro dan kontra terhadap
apa yang ia gagas. Namun demikian, menjadi sebuah perhatian bahwa ia dianggap
sebagai pengagas ilmu munāsabah (Said, 2015, h. 28).

● Ibnu miskawaih
Manusia Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal
sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya
alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.
Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal
dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya
bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah), daya berani ( al-Natiqah).
Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir
berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur
dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya
dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang
bersifat materi.
Pengaruh Pemikiran Filosof Yunani terhadap Ibn Miskawaih Dalam hal
jiwa manusia, yang memiliki tiga daya Ibn Miskawaih memiliki pendapat yang
sama dengan Plato dan Aristoteles. Demikian pula mengenai teori Jalan Tengah,
Ibn Miskawaih berpendapat sama dengan Plato dan Aristoteles. Hanya saja dalam
pemaparan keempat pokok keutamaan itu Ibn Miskawaih lebih banyak dipengaruhi
oleh Aristoteles. Perbedaan mencolok antara Ibn Miskawaih dengan Aristoteles
terletak ketika membicarakan landasan untuk memperoleh posisi tengah.
Aristoteles hanya menyebut akal sedangkan Ibn Miskawaih menyertakan syariat di
dalamny
Ajaran Pokok Keutamaan Akhlak Ibn Miskawaih berpangkal pada teori
Jalan Tengah (Nadzar al-Aushath) yang dirumuskannya. Inti teori ini menyebutkan
bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara
ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi
tengah daya bernafsu adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara
mengumbar nafsu antara pengecut (al-Jubn) dan nekad (al-Tahawwur). Posisi
tengah daya berfikir adalah al-Hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara
kebodohan (al-Safih) dan kedunguan (al-Balah). Kombinasi dari tiga keutamaan
membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan. Keadilan ini merupakan
posisi tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili
oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan.
Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan
memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih
terkait dengan badan.
Ibnu Miskawaih mencoba mengkompromikan kedua pandangan yang
berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa
dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih
rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan
jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan,
serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan
jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia
menuju berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan
adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat
tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan
diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat
mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena
itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah
akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di
antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu
paling baik jika diobati dengan filsafat.

D. Epistemologi yang Dianut

● Epistemologi Ibnu Miskawaih


Mengenai ilmu pengetahuan Ibnu Miskawaih tidak membedakan antara
ilmu agama dan non agama, hanya menurutnya ada ilmu-ilmu mulia (al-‘ulum al
sharifah) dan ada ilmu yang hina (al-‘ulum al-radi’ah). Ilmu yang mulia adalah
yang berkaitan dengan pengembangan daya fikir (quwwat al-natiqah) seperti ilmu
pendidikan dan ilmu kedokteran karena obyeknya mengenai substansi manusia,
dan yang termasuk ilmu yang hina seperti penyamakan kulit bangkai hewan. Dari
pembagian ini dapat dinyatakan bahwa sebetulnya dalam pendidikan Islam tidak
terjadi dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Namun
dalam perkembangannya bahkan sampai sekarang terjadi dualisme pengetahuan
yang menghasilkan dikotomi ilmu agama dan Iptek satu sama lain tidak saling
menegur dan berjalan sesuai dengan keahlian masing-masing.
Pembagian ilmu menurut Ibnu Miskawaih, ada ilmu mulia (ilmu sharifah)
yang menggarap tentang pengembangan daya pikir (quwwat al-natiqah) manusia,
dan ada ilmu yang hina (ilmu radi’ah), karena ilmu ini tidak menggarap secara
langsung pengembangan daya pikir manusia atau obyeknya tidak berkenaan
dengan substansi manusia. Klasifikasi ini kalau dihubungkan dengan realita
perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi, maka mulia atau tidaknya suatu ilmu
bukan dilihat dari bidang garapannya (mengenai pengembangan daya natiqah
secara langsung atau tidak) tetapi dilihat besar manfaat atau tidaknya bagi
kesejahteraan hidup manusia.

● Epistemologi Ja’far As-sadiq


Mazhab hukum Shi’ah Ithnā Ash’ariyyah sendiri sering disebutdengan
mazhab Ja’fari. Mazhab Ja’fari pecah menjadi dua aliran, yakni aliran Akhbārī,
yakni aliran para ahli hadis yang tidak mau menggunakan rasio, dan aliran Uṣūlī
yang melakukan upaya penggalian hukum dengan menggunakan rasio. Usaha
Shaykh Mufīd ini diteruskan oleh ulama-ulama setelahnya, antara lain Sayyid
al-Murtaḍā (355- 436 H) dan al-Ṭūsī. Usaha Sayyid al-Murtaḍā ini konon tidak
terlepas dari dukungan pemerintah yang berkuasa saat itu, yakni Dinasti Buwaih,
yang mengangkatnya menjadi qāḍī di Baghdad. Aliran Uṣūlī dalam mazhab Ja’fari
semakin mendominasi wacana hukum melalui peran ulama-ulama berikutnya,
antara lain Najm al-Dīn Ja’far ibn Ḥasan al-Muḥaqqiq al-Hillī (w. 676/1277M) dan
al-’Allāmah ibn Muṭahhar al-Hillī. Ulama yang disebut terakhir ini mencoba
menyoroti aspek rasional fikih Syiah serta perbandingannya dengan fikih Sunni,
yang kemudian berakhir pada interaksi teoritis Sunni-Syiah.24
Aliran Akhbārī kembali bangkit pada abad ke-10 H/16 M. Kebangkitan kembali
aliran ini berawal dari reaksi atas interaksi Sunni-Uṣūlī yang dibuat al- Hillī.
Namun demikian, kebangkitan aliran ini tidak terlepas dari berkuasanya dinasti
Safawī (907 H/1501 M) yang menjadikan ideologi Syiah secara me- nyeluruh
sebagai basis kekuasaannya. Sementara dinasti ini dikenal lebih cenderung kepada
hadis dan fatwa imam. Ulama akhbārī masa ini di antaranya adalah Ibn Abī Jumhur
(akhir abad ke-9 H), Muḥammad Taqī al-Majlisī (w. 1070 H/1660 M), dan
Muḥammad Amīn al-Astarabadī (w. 1036 H).25

● Epistemologi An-Naisaburi
Ilmu munāsabah al-Quran meniscayakan adanya korelasi antara satu ayat atau
satu surat dengan ayat atau surat yang lainnya dan berusaha untuk menjadikan keseluruhan
ayat al-Quran menjadi satu kesatuan yang utuh.
Intensitas An-Naisaburi terhadap ilmu munāsabah ini tampak dalam ungkapannya sebagai
mana yang diuraikan oleh As-Suyuṭi sebagai berikut: “Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk
diatas kursi, apabila dibacakan al-Quran kepadanya, ia berkata: ‘mengapa ayat ini
diletakan setelah ayat ini, dan apa rahasianya diletakan disamping surat ini?”. Jadi beliau
mengkritik ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui tentang hal munāsabah ayat
tersebut (Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, 2017, h. 556). Apa yang dilakukan
An-Naisaburi tersebut merupakan sebuah kejutan dan langkah baru yang berkiatan dengan
tafsir pada masa itu. Ia kemudian memiliki kompetensi untuk mengungkap korelasi antara
ayat maupun antara surat, terlepas dari sisi sesuai dan tidaknya, serta sisi pro dan kontra
terhadap apa yang ia gagas. Namun demikian, menjadi sebuah perhatian bahwa ia
dianggap sebagai pengagas ilmu munāsabah (Said, 2015, h. 28).
Perlu diketahui, bahwa sebelum An-Naisaburi telah banyak bermunculan karya-karya yang
sedikitnya menyinggung tentang korelasi ayat atau surat, walaupun tidak secara tegas
menyebutkan ilmu munāsabah dan hanya terfokus pada sisi kemukjizatannya. Diantara
karya-karya tersebut adalah kitab majāz al- Qurān karya Ma’mar bin Al-Muṡana1, ma’ānī
al-Qurān karya Al-Farra2, al-bayān wa at-tibyān karya Al-Jahiẓ dan ta’wīl musykil
al-Qurān karya Ibn Qutaibah.. Dalam perkembangannya, munāsabah berubah menjadi
salah satu disiplin ilmu dari ilmu-ilmu al-Quran.

E. Perbandingan Ketiga Tokoh


● An-Naisaburi
Profesi sebenarnya dari tokoh ini ialah seorang dokter. Namun dia juga menguasai
ilmu psikologi. Bahkan sebelum mati pada tahun 1016 masehi, dia sempat menulis
buku nan diberi judul Al-Uqala Al-Majnin. Salah satu isi dari buku ini ialah
menerangkan suatu rasa marah atau emosi nan diluar kendali sehingga
menyebabkan seseorang dapat kehilangan akal sehatnya.
- ahli ilmu hadits
- melakukan rihlah ilmiyyah ke berbagai wilayah
- an Naisaburi menguji keaslian hadits dengan betemu langsung dengan para ahli
hadits sehingga dia yakin akan kebenaran hadits tersebut
- an Naisaburi memiliki hasil karya monumental yakni mustadrak
- tumbuh ketika dunia Islam mengalami gonjang ganjing yang cukup hebat
disebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi

● Ibuni Miskawayh
Tokoh psikologi Islam nan satu ini lahir pada tahun 941 dan mati pada 1030
Masehi. Dia menulis buku tentang interaksi rasa takut dan kematian dengan
moralitas.
Dia mengajak masyarakat buat selalu menyukai kegiatan sedekah atau derma dan
mau menjalankan kewajiban membayar zakat sebagai wahana buat mensucikan
harta.
- pemikir teistis, moralis dan sejarahwan Persia paling tersohor dan terhebat di
zamannya.
- ibuni miskawayhseorang dokter dan ahli ilmu kimia
-menyatukan pemikiran abstrak dengan pemikiran praktis membuat pemikirannnya
sangat berpengaruh
- konsep-konsep pemikiran meliputi : (tuhan, akhlak, manusia) Akan tetapi, ia lebih
populer sebagai seorang filolosof akhlak (al-fasafat al-'amaliyat)
- hasil karya : Ia telah menyusun kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq.
Kemudian karyanya yang lain adalah Tartib as Sa'adah, buku ini berisi tentang
akhlak dan politik. Ada juga Al Musthafa (syair pilihan), Jawidan Khirad
(kumpulan ungkapan bijak), As Syaribah (tentang minuman).

● Ja'far As-sadiq
Tokoh psikologi Islam terkemuka ini hayati antara tahun 702 hingga 765 Masehi
dan lahir di kota Madinah. Dia jadi terkenal sebab menguasai ilmu pengetahuan
nan luas serta agama nan mumpuni.
Dia berpendapat bila nafsu itu dapat memunculkan sifat nan egois. Sedangkan
kalbu dapat mendorong seseorang buat selalu mencintai Allah dengan tulus dan
ikhlas.
- ijtihad
- jafar as-sadiq merupakan salah satu imam kaum syiah
- jafar as-sadiq mengubah orientasi gerakan syiah menjadi corak keagamaan
- Keilmuannya mencakup esoteris dan juga eksoteris, ilmu Isyarah dan juga ilmu
Ibarah, ilmu kalam dan ilmu hadis, sunnah, ilmu alam dan ilmu-ilmu sejarah, fiqih.
- Imam Ja'afar as Sadiq menjauhkan diri dari ketegangan politik pada masanya, dan
berfokus pada mengajar dan mendidik masyarakat.
- Beliau menerapkan pengetahuan yang tajam untuk menciptakan pola Ilahi di
dunia manusia melalui Fiqh, tetapi beliau juga melihat pola-pola di alam dan dalam
sejarah dan beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya.
F. Simpulan

Epistemologi merupakan cabang dari disiplin ilmu filsafat mengenai


pengetahuan yang membahas hakikat, ruang lingkup dan batasan-batasannya. Studi
ini sebagai sarana dalam memecahkan suatu pertanyaan-pertanyaan mendasar.
Dalam pemikiran islam, epistemologi mencakup tiga struktur, yaitu epistemologi
bayani, epistemologi irfani, dan epistemologi burhani.

Mengenai ilmu pengetahuan Ibnu Miskawaih tidak membedakan antara ilmu


agama dan non agama, hanya menurutnya ada ilmu-ilmu mulia (al-‘ulum al sharifah) dan
ada ilmu yang hina (al-‘ulum al-radi’ah).

Menurut Jafar As Sadiq Mazhab hukum Shi’ah Ithnā Ash’ariyyah sendiri sering
disebut dengan mazhab Ja’fari. mazhab Ja’fari pecah menjadi dua aliran, yakni aliran
Akhbārī, yakni aliran para ahli hadis yang tidak mau menggunakan rasio, dan aliran Uṣūlī
yang melakukan upaya penggalian hukum dengan menggunakan rasio.

An-Naisaburi memperoleh ilmu dalam bidang ilmu hadits. Dari kitab hadisnya
al-Mustadrak banyak meriwayatkan hadits dari Ibnu Hibban. Ia banyak menyusun kitab
hadis dengan menggabungkan kriteria Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dalam
pengembangan ilmunya di bidang hadis, ia juga melakukan pengembaraan ilmiah ke Irak,
Khurasan (sekarang termasuk daerah Iran), dan Hijaz (sekarang termasuk Arab Saudi).
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R. (2022). MANHAJ AL-HAKIM AL-NAISABURI DALAM


AL-MUSTADRAK ‘ALA SHAHIHAIN. SHAHIH (Jurnal Ilmu Kewahyuan), 5(2), 84-99.

Hamdi, B., & Saputra, A. (2018). TEORI HUKUM JA’FARIYAH (Analisis Historis
Mazhab Fikih Ja’far As-Shadiq Dan Implikasinya Pada Produk Hukumnya). Al Hurriyah:
Jurnal Hukum Islam, 3(2), 131-140.

Hidayat, A. W., & Kesuma, U. (2019). Analisis Filosufis Pemikiran Ibnu Miskawaih
(Sketsa Biografi, Konsep Pemikiran Pendidikan, Dan Relevansinya Di Era Modern).
Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 2(1), 87-107.

Soleh, A. K., & Nuqul, F. L. (2006). Epistemologi Pemikiran Islam. El-QUDWAH.

Hasyim, M. (2018). Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani). Jurnal Al-Murabbi,


3(2), 217-228.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, h. 363; Abdul Azis Dahal,
Ensiklopedi Hukum Islam, h. 799.

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.

Rohman, A. (2022). Epistemologi Ilmu Munasabah Al-Quran. Bayani, 2(1), 25-42.

Ramli, R. (2015). PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN DALAM UPAYA


MENCARI FORMAT PENDIDIKAN YANG ISLAMI (Kajian Pemikiran Ibnu
Miskawaih). El-Furqania: Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 1(01).

Anda mungkin juga menyukai