Anda di halaman 1dari 27

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syeikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus
Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-
Numairy Al Harani Adimasqi Al Hambali.

Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan
kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam,
pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam
yang telah dimatikan oleh banyak orang.

Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara
sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal
tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua
dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara
Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam
hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-
kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada
seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga


hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini,
mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala.
Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat selamat.

Pertumbuhan dan ghirahnya kepada ilmu

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau.


Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari
berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri
itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama
tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah


menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir,
hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai
beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama
besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja
datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu
Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia
memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits
sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat
dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad,
beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan
menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup,
niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada
seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama,


mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan
berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya
untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah
Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan
teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu
kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah
itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di
madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar
hingga terpenuhi cita-citaku.”

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada


putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh
fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

Pujian ulama

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib


AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-
jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang
memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-
Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid
An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam
ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti


Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu
terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta
lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku


berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu
ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal
mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku
tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul


Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi,
setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah
sepasang mataku melihat orang seperti dia…” Kemudian melalui bait-bait
syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni


dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu
pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para
ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727
H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka
siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka
bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin
bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari
berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil
pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang
sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa
dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang
ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli
ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-
ungkapan, susunan, pem- bagian kata dan penjelasannya sangat bagus
dalam penyusunan buku-buku.”

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia


adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat
pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat,
dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik
dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi
mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai
hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan
berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-
ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan
ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai
pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu
wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits
antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri
padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai
atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap
hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang
tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang
pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah
umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya
beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada


umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika
menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan
mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang
mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “……
tiba-tiba (di tengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya
berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan
peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala,
pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam,
Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam


mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta
kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang
kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan
racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai
tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

Kehidupan penjara

Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-


anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam
berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira.
Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau
berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di
dalamnya terdapat kebaikan besar.”

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat
musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan
aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah mati syahid.
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.

Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang
terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang
ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-
nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku
tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.

Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di


dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau,
diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah, selalu
beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih.
Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah
kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah
mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya
penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan


munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka
terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke
penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada
akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi
pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya
mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis,
tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang


memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku
dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu
menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai
kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan
betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan
memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

Wafatnya

Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah


seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa
hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau
selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan,
dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat
menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau
menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat
Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk
menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan
sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan
semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-
anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada
seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga
orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan
menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta
dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam
Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada
waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i,
mujahidd, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.
(Dikutip: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq )

Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (wafat 656 H)

Nama seberanya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi


Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi.
Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah
madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil
Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul
Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu.

Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada


tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran,
sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.

Pertumbuhan Dan Thalabul Ilminya

Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam
ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan
membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-
Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-
kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari
syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.

Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di


segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang
madzhab-madzhab Salaf.

Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru


secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah
dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.

Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya.
Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya
yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang
penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat
mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-
ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang
menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-
karyanya yang bagus dan dapat diterima.

Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu
Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu
Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada


Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya
yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada
kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai
dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang
apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala
petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan
membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul
Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa
nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad
sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.

Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika
kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah
Islamiyah.

Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta


bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu
mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya
terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai
Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit
ditemukan tandingannya.

Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh


berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin
tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus
ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya
yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam asy-syarifah.

Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi
taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul
Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat
serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya)
dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).

Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan
bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan
akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia
maupun di akhirat.

Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah


benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau
tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak
berdo’a.

Sasarannya

Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang
agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh
Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-
orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad
ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam,
ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika
berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman,
tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan
dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul
Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan
syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan
terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.
Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta
pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan,
bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.

Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama
yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad
memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum
pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap
ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah
wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk
pengamalan dari Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan Al Qur’an
kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).

Juga firman Allah Ta’ala, “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu
maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).

Murid-Muridnya

Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar,


memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak
manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan
ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau.

Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di
antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah,
anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy
penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman
bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah,
Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-
Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin
Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil
Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz
asy-Syafi’i dan lain-lain.

Aqidah Dan Manhajnya

Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit
kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan
kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim
sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara
pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau
mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam
seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-
bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian
tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya.
Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti
mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi;
adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan
dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya
tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu
dipertanyakan.”

Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang


dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran
Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang
mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat
Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan
sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah
Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada


sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-
ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-
helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.

Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab


salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama
waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada
itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau
dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id
meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,

‫يز ا ْل َحمِي ِد‬ ِ ‫َو َي َرى الَّذِينَ ُأو ُتوا ا ْل ِع ْل َم الَّذِي ُأ‬
ِ ‫نزلَ ِإلَ ْي َك مِن َّر ِّب َك ه َُو ا ْل َحقَّ َو َي ْهدِي ِإلَ ٰى صِ َراطِ ا ْل َع ِز‬
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji..” (Saba’ 34:6).

Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah


para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab


taqlid.

Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering


keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat
baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab
yang masyhur.

Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai


taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban
sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu
jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah
dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan
berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam
berbagai persoalan lainnya.

Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau
rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada,
ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta
amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam
berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang
berargumentasi.

Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju


keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah
mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya
sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah
terjadi.

Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-


Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli
(menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-
Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan
yang telah diakui baik).

Ujian Yang Dihadapi

Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid
turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah yang telah
mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh orang-orang
semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap pendapat-
pendapat barunya.

Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya
dan kubu lainnya kontra. Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi
berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami gangguan. Pernah
dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara terpisah-pisah di
penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah wafat.
Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang
pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan
dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil didera dengan cambuk.

Pada saat di penjara, beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an,


tadabbur dan tafakkur. Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak
kebaikan dan ilmu pengetahuan baginya. Di samping ujian di atas, ada
pula tantangan yang dihadapi dari para qadhi karena beliau berfatwa
tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan tanpa taruhan.
Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten (teguh)
menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian
disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga
Allah melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni
kedua orang tuanya serta segenap kaum muslimin.

Pujian Ulama Terhadapnya

Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah teramat mendapatkan kasih sayang


dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah orang yang teramat dekat
dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada kebaikan dan
senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan
mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian
bagi beliau. Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan,
kewara’an, ketinggian martabat serta keluasan wawasannya.

Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang
yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham akan perbedaan
pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”

Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-
Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki,
menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau
panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya
yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak
bergeming.”

Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh


kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih
akan tetap duduk di tempatnya untuk dzikrullah hingga sinar matahari pagi
makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku,
jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga
pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka
akan didapat kedudukan imamah dalam hal din (agama).’”
Ibnu Rajab pernah menukil dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-
Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau mendalami masalah
hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian terhadap rijalul
hadits (para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami masalah fiqih
dengan ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan
masalah-masalah Ushul.”

Tsaqafahnya

Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim


dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah
segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam
dan Mesir.

Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab


sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan
diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang
tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala
pengetahuan ilmiah yang agung.

Karya-Karyanya

Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan,


terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar
prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi
pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin.

Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar


maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan
tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun
khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya.

Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu


Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak
kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-
perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi
meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya
dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.

Beberapa Karyanya

1. Tahdzib Sunan Abi Daud,


2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka
nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais
Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil
Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal
Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal
Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil
li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab
serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.
Wafatnya

Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia


dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’
Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Sumber:

Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir; Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-
Arna`uth; Muqaddimah I’lamil Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin; Thaha Abdur Ra’uf Sa’d; Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal
Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani; Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad; Ad-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani; Dzail Thabaqat al-Hanabilah karya Ibn Rajab Al Hanbali; Al Wafi bil Wafiyat li Ash Shafadi; Bughyatul Wu’at karya
Suyuthi; Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi

Imam Ahmad Bin Hambal

Nama dan Nasab:

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal
bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan
pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya
mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa
Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.

Kelahiran Beliau:

Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164
Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya,
karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga
tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet
memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat
cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis
ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu

Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada
usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga
dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai
konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau:

Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam


Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak
terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam.
Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta
memakai kain.

Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga beliau:

Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang


melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang
mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat
banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau:

Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita,


“Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu
saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku,


“Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu
tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya,
atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu
matannya”.

Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat
hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab,
“Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab,
“Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama
perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya
tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin
Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama terhadap beliau:

Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu,
sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir,
tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-
orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan
yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan
menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap
guru-gurunya serta menghormatinya”.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal,
Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam
Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam
wara’ dan Imam dalam Sunnah”.

Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin


Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan
orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

Kezuhudannya:

Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke
tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang
juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya
lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar,
“Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

Tekunnya dalam ibadah

Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-


semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu
mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima
puluh raka’at.

Wara’ dan menjaga harga diri

Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa


uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau
menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan
lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau
menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun
beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu’ dengan kebaikannya:

Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti
Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh
tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun
kebaikan yang ada padanya kepada kami”.

Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah


Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.

Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis
yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap
orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang
kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau
sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka
kharismanya”.

Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya


dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas
jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi
katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya
kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu

Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada
seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan
capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih
ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.

Hati-hati dalam berfatwa:

Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang
harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup
seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia
berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya
harap demikian”.

Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran

Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu


ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin
Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa
mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.

Masa Fitnah:

Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah


Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam
akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al
Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-
Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan
menyeru manusia kepada kesesatan ini.

Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan


paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah
menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa
seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama
para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia
selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh
dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia
akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.

Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang


tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut
oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang
membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya
agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau
menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-
orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji
kepalanyarkalian namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR.
Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan
kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.

Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang


menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah
melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad
bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.

Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan


siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap
mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya.
Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah
mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang
diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda
terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat
maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih

Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari
orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi
hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam
Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang
tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari
seniornya”.

Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai
derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan
wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan
beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi
orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!!
Guru-guru Beliau

Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih
dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di
Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara
mereka adalah:

1. Ismail bin Ja’far


2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.

Murid-murid Beliau:

Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan
belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling
menonjol adalah:

1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.

Wafat beliau:

Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas


terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas
Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan
ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya:


1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini
memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh

Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan


sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa
memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya.
Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan
sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering
membanggakannya namun jauh darinya.
Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah Sumber: Majalah
As Salam

Al Hasan Al Bashri (30-110 H)

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa


mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seorang putera
mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah
mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang
bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang
amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin
kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat
puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah
memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta.
Sungguh bayi mungil itu sangat menawan.

“Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah.
“Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya”
jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri,
seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka
do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pemberian nama.
Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-
Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan
didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind
binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah
seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat
pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang
produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas
ilmunya di antara para isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubungan antara


Al-Hasan dengan keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin
terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada
keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda cilik ini mereguk
ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan
menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu


meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa
Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan
sahabat-sahabat Rasulullah lainnya.

Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya
serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang
demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat
Al-Hasan begitu terpesona.

Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota


Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal
dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu
dalam Daulah Islamiyyah.

Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para


sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.Di Basrah,
Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu
Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan
qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-
sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan
Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai
seorang faqih yang terpercaya.

Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak


didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-
Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para
pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum
dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga
penguasa.

Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal


akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat
melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang
berani mengajukan kritik atasnya atau menentangnya. Hasan Al-Basri
adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani
mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri,
Hasan Al-Basri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah.
Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang
untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri
menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang
telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’aun
membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi
Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan
kesombongannya …”.

Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan
berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu,
cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji
dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada
manusia dan tidak menyembunyikannya.”

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para


ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah
itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian
mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan Al-
Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan
polisi dan algojonya.

Sungguh luar biasa ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang


mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi
sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna.


Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan
Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan
mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang
dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada sang
Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan
mempesona. Semua pertanyaannya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-
Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-
Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda
mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj.
Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri
menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan.
Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana
Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim.”

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh


penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik.
Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu
gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan
nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas
hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang
menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-
kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa
pendapatmu? Nasihatilah aku …”

Berkata Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah kepada Allah


ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid ketika
engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan
Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika
engkau mentaati Allah, Allah akan memeliharamu dari siksaan Yazid di
dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu
dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air
mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam
itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi
panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah
bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke
pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar
berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi


Beliau adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh
Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu
Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi. Beliau berhijrah ke lereng bukit Ash-
Shaliya, Damaskus, dan dibubuhkanlah namanya ad-Damsyiqi ash-Shalihi,
nisbah kepada kedua daerah itu. Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di
desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitil Maqdis,
Tanah Suci di Palestina.

Saat itu tentara salib menguasai Baitil Maqdis dan daerah sekitarnya.
Karenanya, ayahnya, Abul Abbas Ahmad Bin Muahammad Ibnu Qudamah,
tulang punggung keluarga dari pohon nasab yang baik ini hajrah bersama
keluarganya ke Damaskus dengan kedua anaknya, Abu Umar dam
Muwaffaquddin, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al-Maqdisi,
sekitar tahun 551 H (Al-Hafidz Dhiya’uddin mempunyai sebuah kitab
tentang sebab hijrahnya pendududk Baitul Maqdis ke Damaskus.

Di Damaskus mereka singgah di Masjid Abu Salih, di luar gerbang timur.


Setelah dua tahun di sana, mereka pindahke kaki gunung Qaisun di
Shalihia, Damaskus. Di masa-masa itu Muwaffaquddin menghafal Al Quran
dan menimba ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya, Abul’Abbas, seorang
ulama yang memiliki kedudukan mulia srta seorang yang zuhud.Kemudian
ia berguru kepada para ulama Damskus lainnya. Ia hafal Mukhtasar Al
Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal) dan kitab-kitab lainnnya.

Ia memiliki kemajuan pesat dalam menkaji ilmu. Menginjak umur 20 tahun,


ia pergi ke Bghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi
(anak saudara laki-laki ibunya) dan keduanya umurnya sama.

Muwaffaquddin semula menetap sebentar di kediaman Syekh Abdul Qadir


Al-Jailani,di Baghdad. Saat itu Shaikh berumur 90 tahun. Ia mengaji
kepada beliau Mukhtasar Al-Khiraqi denagan penuh ketelitian dan
pemahaman yang dalam, karena ia talah hafal kitab itu sejak di Damaskus.
Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah.

Selanjutnya ia tidak pisah dengan Syaikh Nashih al-Islam Abul Fath Ibn
Manni untuk mengaji kepada belia madzab Ahmad dan perbandingan
madzab. Ia menetap di Baghdad selama 4 tahun. Di kota itu juga ia
mengaji hadis dengan sanadnya secara langsung mendengar dari Imam
Hibatullah Ibn Ad-Daqqaq dan lainnya. Setelah itu ia pulang ke Damaskus
dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576
H.

Di Baghdad dalam kunjungannya yang kedua, ia lanjutkan mengajihadis


selama satu tahun, mendengar langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath
Ibn Al-Manni. Setelah itu ia kembali ke Damaskus.
Pada tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji,seusai ia pulang ke
Damaskus. Di sana ia mulai menyusun kitabnya Al-Mughni Syarh
Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Kitab ini
tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secarar umum, dan
khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal. Sampai-sampai Imam
‘Izzudin Ibn Abdus Salam As-Syafi’i, yang digelari Sulthanul ‘Ulama
mengatakan tentang kitab ini: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa
sebelum saya menyanding kitab al-Mughni”.

Banyak para santri yang menimba ilmu hadis kepada beliau, fiqih, dan
ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah
mengaji kepada beliau. Diantaranya, kpeonakannya sendiri, seorang qadhi
terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman Bin Abu Umar dan ulama-
ulama lainnya seangkatannya.

Di samping itu beliau masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai


disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya denagn matang.
Beliau banyak menulis kitab di bidang fiqih ini,ynag kitab-kitab karyanya
membuktikan kamapanannya yang sempurna di bidang itu. Sampai-sampai
ia menjadi buah bibir orang banyak dari segala penjuru yang
membicarakan keutamaan keilmuan dan munaqib (sisi-sisi keagungannya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ”Setelah Al-Auza’i, tidak ada orang
yang masuk ke negri Syam yang lebih mapan di bidang fiqih melebihi Al-
Muwaffaq”.

Ibnu Ash-Shalah berkata: ”Saya tidak pernah melihat orang alim seperti Al-
Muwaffaq”.

Cucu Ibn Al-Jauzi barkata: ”Orang yang melihat Al-Muwaffaq seakan-akan


ia melihat salah seorang sahabat nabi. Seakan-akan cahaya memancar
dari wajahnya.”

Imam Al-Muwaffaqiq adalh seorang imam di berbagai disiplin ilmu syar’i. Di


zaman beliau, setelah saudaranya(Abu Umar), tiada orang yang lebih
zuhud, lebih wara’ dan lebih mapan ilmunya melebihi beliau.

Beliau mengikuti jejek As-Salaf dalam masalah aqidah, kezuhudan, dan


kewara’an. Beliau sangat pemalu, sangat menjauh dari gemerlapnya dunia
dan dari pengejarnya. Beliau sosok yang pemaaf, tidak kaku dan sangat
rendah hati, cinta kepada orang yang kesusahan, mulia akhlaknya, banyak
berkorban untuk orang lain, tekun beribadah, kaya keutamaan, berotak
cerdas, sangat jeli dalam ilmunya, sangat tenang, sedikit bicara, dan
banyak kerja. Orang merasa tentram dan damai dengan sekedar
memandang wajahnya walau sebelum beliau berbicara. Kebaikan dan
kemuliaan sifat beliau tidak terhitung. Al-Hafidzh Dhiya’uddin al-Maqdisi,
demikian juga al-Hafidzh Adz-Dzahabi, menulis sebuah kitab tentang
biogrfi Imam Ibnu Qudamah ini.

Kemasyhuran Imam Ibnu Qudamah tidak terbatas pada masalah keilmuan


dan ketaqwaan, akan tetapi beliau juga seorang mujahod yang terjun di
medan jihad fisabilillah bersama pahlawan besar Shalahuddin al-Ayyubi
yang berhasil menyatukan kekuatan militer umat Islam pada tahun 583 H
untuk menumpas tentara salib dan membersihkan tanah suci Quds dari
najis mereka. Para penulis biografi Imam Ibnu Qudamah menyebutkan
bahwa belia dan saudara kandungnya, Abu Umar, beserta murid-murid
beliau dan beberapa orang keluarganya turut berjihad di bawah panji-panij
para mujahidin yang dimenangkan oleh Alloh ini. Beliau berdua dan murid-
muridnya mempunyai satu kemah yang senantiasa berpindah-pindah
kemanapun para mujahidin berpindah dan mengambil posisi.

Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu,tepat di hari Idul Fithri tahun
629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah
lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab
Imam Ahmad Bin Hanbal).

Anda mungkin juga menyukai