Syeikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus
Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-
Numairy Al Harani Adimasqi Al Hambali.
Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan
kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam,
pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam
yang telah dimatikan oleh banyak orang.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara
sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal
tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua
dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara
Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam
hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-
kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada
seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai
beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama
besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja
datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu
Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia
memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits
sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat
dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad,
beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan
menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup,
niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada
seorang bocah seperti dia.
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan
teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu
kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah
itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di
madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar
hingga terpenuhi cita-citaku.”
Pujian ulama
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan
berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-
ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan
ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai
pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu
wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits
antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri
padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai
atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap
hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang
tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang
pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah
umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya
beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Kehidupan penjara
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat
musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan
aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah mati syahid.
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang
terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang
ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-
nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku
tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
Wafatnya
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa
hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau
selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan,
dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat
menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau
menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat
Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk
menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan
sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan
semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-
anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada
seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga
orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan
menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta
dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam
Ahmad bin Hambal.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada
waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i,
mujahidd, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.
(Dikutip: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq )
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam
ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan
membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-
Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-
kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari
syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya.
Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya
yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang
penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat
mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-
ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang
menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-
karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu
Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu
Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika
kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah
Islamiyah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi
taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul
Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat
serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya)
dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan
bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan
akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia
maupun di akhirat.
Sasarannya
Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang
agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh
Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-
orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad
ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam,
ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika
berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman,
tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan
dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul
Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan
syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan
terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.
Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta
pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan,
bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.
Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama
yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad
memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum
pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap
ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah
wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk
pengamalan dari Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan Al Qur’an
kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).
Juga firman Allah Ta’ala, “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu
maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Murid-Muridnya
Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di
antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah,
anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy
penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman
bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah,
Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-
Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin
Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil
Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz
asy-Syafi’i dan lain-lain.
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit
kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan
kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim
sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara
pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau
mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam
seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-
bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian
tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya.
Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti
mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi;
adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan
dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya
tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu
dipertanyakan.”
يز ا ْل َحمِي ِد ِ َو َي َرى الَّذِينَ ُأو ُتوا ا ْل ِع ْل َم الَّذِي ُأ
ِ نزلَ ِإلَ ْي َك مِن َّر ِّب َك ه َُو ا ْل َحقَّ َو َي ْهدِي ِإلَ ٰى صِ َراطِ ا ْل َع ِز
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji..” (Saba’ 34:6).
Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau
rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada,
ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta
amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam
berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang
berargumentasi.
Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid
turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah yang telah
mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh orang-orang
semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap pendapat-
pendapat barunya.
Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya
dan kubu lainnya kontra. Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi
berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami gangguan. Pernah
dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara terpisah-pisah di
penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah wafat.
Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang
pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan
dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil didera dengan cambuk.
Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang
yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham akan perbedaan
pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”
Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-
Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki,
menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau
panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya
yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak
bergeming.”
Tsaqafahnya
Karya-Karyanya
Beberapa Karyanya
Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir; Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-
Arna`uth; Muqaddimah I’lamil Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin; Thaha Abdur Ra’uf Sa’d; Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal
Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani; Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad; Ad-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani; Dzail Thabaqat al-Hanabilah karya Ibn Rajab Al Hanbali; Al Wafi bil Wafiyat li Ash Shafadi; Bughyatul Wu’at karya
Suyuthi; Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal
bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan
pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya
mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa
Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.
Kelahiran Beliau:
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164
Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya,
karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga
tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet
memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat
cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis
ilmu di kota kelahirannya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada
usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga
dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai
konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.
Keluarga beliau:
Kecerdasan beliau:
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat
hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab,
“Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab,
“Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama
perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya
tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin
Hambal hafal satu juta hadits”.
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu,
sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir,
tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-
orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan
yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan
menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap
guru-gurunya serta menghormatinya”.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal,
Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam
Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam
wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Kezuhudannya:
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke
tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang
juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya
lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar,
“Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti
Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh
tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun
kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis
yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap
orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang
kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau
sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka
kharismanya”.
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada
seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan
capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih
ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang
harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup
seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia
berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya
harap demikian”.
Masa Fitnah:
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari
orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi
hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam
Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang
tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari
seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai
derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan
wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan
beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi
orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!!
Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih
dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di
Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara
mereka adalah:
Murid-murid Beliau:
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan
belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling
menonjol adalah:
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.
Wafat beliau:
Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang
amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin
kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat
puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah
memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta.
Sungguh bayi mungil itu sangat menawan.
“Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah.
“Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya”
jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri,
seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka
do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pemberian nama.
Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-
Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan
didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind
binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah
seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat
pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang
produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas
ilmunya di antara para isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya
serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang
demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat
Al-Hasan begitu terpesona.
Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah.
Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang
untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri
menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang
telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’aun
membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi
Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan
kesombongannya …”.
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan
berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu,
cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji
dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada
manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan Al-
Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan
polisi dan algojonya.
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi
panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah
bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke
pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar
berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.
Saat itu tentara salib menguasai Baitil Maqdis dan daerah sekitarnya.
Karenanya, ayahnya, Abul Abbas Ahmad Bin Muahammad Ibnu Qudamah,
tulang punggung keluarga dari pohon nasab yang baik ini hajrah bersama
keluarganya ke Damaskus dengan kedua anaknya, Abu Umar dam
Muwaffaquddin, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al-Maqdisi,
sekitar tahun 551 H (Al-Hafidz Dhiya’uddin mempunyai sebuah kitab
tentang sebab hijrahnya pendududk Baitul Maqdis ke Damaskus.
Selanjutnya ia tidak pisah dengan Syaikh Nashih al-Islam Abul Fath Ibn
Manni untuk mengaji kepada belia madzab Ahmad dan perbandingan
madzab. Ia menetap di Baghdad selama 4 tahun. Di kota itu juga ia
mengaji hadis dengan sanadnya secara langsung mendengar dari Imam
Hibatullah Ibn Ad-Daqqaq dan lainnya. Setelah itu ia pulang ke Damaskus
dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576
H.
Banyak para santri yang menimba ilmu hadis kepada beliau, fiqih, dan
ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah
mengaji kepada beliau. Diantaranya, kpeonakannya sendiri, seorang qadhi
terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman Bin Abu Umar dan ulama-
ulama lainnya seangkatannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ”Setelah Al-Auza’i, tidak ada orang
yang masuk ke negri Syam yang lebih mapan di bidang fiqih melebihi Al-
Muwaffaq”.
Ibnu Ash-Shalah berkata: ”Saya tidak pernah melihat orang alim seperti Al-
Muwaffaq”.
Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu,tepat di hari Idul Fithri tahun
629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah
lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab
Imam Ahmad Bin Hanbal).