Anda di halaman 1dari 80

‫الرِح ِيم‬

‫الر ْحم ِن َّ‬ ‫بِس ِم ِ‬


‫اهلل َّ‬ ‫ْ‬
Judul Asli
Al-Qawaid Al-Arba’

Penulis
Muhammad bin Abdul Wahhab

Penerjemah dan Catatan Kaki


Abulmundzir Jafar Salih

Penyunting Bahasa
Abu Tebing

Penata Letak
Rumah Cakrawala

Cetakan ke-1
September, 2017

Diterbitkan Oleh
Lingkar Sahabat

Jl. Kalasan No. 1c RT 03 RW 01, Pegangsaan – Menteng, Jakarta Pusat


Tel. 085216750200, WA 081906864696
E-mail: tfpublication@gmail.com
Kata Pengantar


I slam muncul dianggap asing, dan akan kembali
asing sebagaimana kemunculannya dan ber­untung­
lah orang-orang yang dianggap asing.”
Begitulah sabda baginda Rasulullah Shallalahu
‘Alaihi Wasallam semenjak kurang lebih 14 abad yang
lampau ketika Nabi mengajak bangsa Arab kepada
kalimat tauhid “Laa ilaaha Illallah.”. Namun, mereka
menolak dan mengatakan, “Apakah dia menjadikan
sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan
saja. Sesungguhnya ini benar-benar perkara yang
ajaib!” (QS Shaad: 5)
Inilah keterasingan itu, keterasingan tauhid. Orang
yang memahaminya, mengamalkan kandungannya,
dan tidak terjatuh dalam pembatalnya, telah menjadi
asing dan semakin asing pada akhir zaman. Banyak
orang mengaku muslim, tetapi tidak sedikit dari
mereka merasa asing akan makna yang benar dari
kalimat agung ini: “Laa ilaaha Illallah.”

v
Di antara ulama yang konsern mendakwahkan
makna “Laa ilaaha Illallah” adalah Muhammad bin
Abdul Wahhab. Ulama yang lahir pada awal abad ke-
12 Hijriyah ini merupakan sosok yang sangat populer.
Karya-karyanya banyak yang menjelaskan akan hakikat
kalimat yang agung ini. Dan di antaranya adalah buku
yang ada di tangan pembaca ini, Al-Qawaid Al-Arba’
yang kami alih bahasakan judulnya menjadi Jauhilah
Kesyirikan! 4 Kaidah Mengenal Agama Musyirkin dan
Perbedaannya dengan Islam.
Dalam buku ini, penulis menerangkan garis pem­
beda ajaran yang dibawa oleh Rasululullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam berupa ajaran Islam dengan ajaran
yang beliau perangi berupa kesyirikan, yaitu dengan
memaparkan empat kaidah yang disarikan dari Al-
Qur’an dan As-sunnah yang shahihah.
Buku kecil ini layak menjadi pedoman setiap
muslim yang ingin mengetahui ajaran musyrikin agar
dapat menjauhinya. Selain itu, buku ini juga layak
dihadiahkan kepada orang-orang yang dicintai agar
terhindar dari bahaya dosa yang tidak diampuni oleh
Allah Ta’aala ini, yakni dosa kesyirikan!
Buku ini kami lengkapi dengan catatan kaki dan
faedah tambahan berupa tafsir bagi ayat-ayat Al-
Qur’an yang diambil dari tafsir Ibnu Katsir dan At-
Thabari, dan beberapa keterangan ulama seperti Imam

vi
Shan’ani, Syaikh Shalih Fauzan, dan lain-lain.
Di akhir buku ini, kami tambahkan tulisan tentang
dua masalah yang penting, yaitu hukum minta doa
kepada mayit dan hukum minta Syafaat dari orang
hidup karena banyak orang keliru dalam masalah ini.
Semoga usaha kecil ini bermanfaat dan men­
dapatkan taufik dari Allah. Hanya kepada Allah semata
kami berharap, sesungguhnya Dia Maha Penolong dan
Maha Berkuasa.

Abulmundzir Jafar Salih

vii
Biografi Penulis

B eliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin


Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Rasyid bin Buraid bin Musyrif An-Najdi At-
Tamimi, Abul Hasan. Nasabnya bertemu dengan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada Ilyas bin Mudhar.
Beliau lahir tahun 1115 Hijriyah di Uyainah, sebuah
desa di wilayah Najed. Ayahnya Asy-Syaikh Abdul
Wahhab (w. 1153 H) adalah seorang ulama besar,
mufti Uyainah dan seorang hakim agung di Uyainah
dan Huraimila’. Kakeknya, Asy-Syaikh Sulaiman (w.
1079 H) seorang mufti Najed dan ketua perkumpulan
ulama dan hakim agung Uyainah pada zamannya.
Pamannya, Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman juga
seorang penulis terkenal dan ulama yang terpandang.
Dalam lingkungan ilmu seperti inilah beliau tumbuh
besar sehingga sebelum usianya balig beliau telah
berhasil menghafal Al-Qur’an.
Sejak kecil, ia dikenal memiliki kecerdasan yang
tinggi dan kemampuan yang cepat dalam menghafal.

ix
Selain itu, ia adalah seorang kutu buku. Ia belajar
dari ayahnya kitab fikih Hambali, kitab-kitab tafsir,
hadits, dan ushul terutama karya-karya Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim. Kedua ulama inilah yang paling
banyak mempengaruhi sisi keilmuan dan sikap-sikap
ilmiyahnya di kemudian hari.
Selain menuntut ilmu dari ulama negerinya, Syaikh
juga belajar ke Bashrah, Ahsa’, Makkah, dan Madinah,
bertemu dengan para ulama di sana dan belajar kepada
mereka.
Pada tahun 1206 Hijriyah, beliau wafat di Dir’iyyah,
ibu kota Kerajaan Arab Saudi yang pertama yang
sekaligus merupakan markas para penuntut ilmu dan
basis penyebaran dakwah tauhid ke segenap penjuru
negeri kala itu.
Di antara peristiwa penting dalam kehidupan beliau
adalah pertemuannya dengan penguasa Dir’iyyah Al-
Imam Muhammad bin Su’ud, yaitu setelah penguasa
Uyainah tidak sanggup lagi melindungi Syaikh dari
orang-orang yang menentangnya. Ia pun berjalan kaki
menuju Dir’iyyah seorang diri semenjak pagi dan baru
sampai di sana pada sore harinya.
Di sana, beliau singgah di rumah salah seorang
shalihin Muhammad bin Suwailim Al-Uraini. Namun,
pemilik rumah ketika itu khawatir terhadap penguasa
Dir’iyyah disebabkan menerima Syaikh sebagai tamu di

x
rumahnya. Syaikh menenangkannya dan mengatakan,
“Jangan khawatir, apa yang aku dakwahkan ini agama
Allah! Kelak Allah akan memberi kemenangan.”
Akhirnya, sampailah berita kedatangan Syaikh
Muhammad ke telinga penguasa Dir’iyyah melalui
istrinya. Dahulu, istri Imam Muhammad adalah
seorang wanita salihah. Ia berkata kepada suaminya,
“Kabar gembira akan datangnya keberuntungan yang
besar! Keberuntungan yang Allah giring kepadamu.
Seorang dai yang mengajak kepada agama Allah,
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Segeralah
menyambutnya dan membelanya, dan jangan pernah
berhenti sama sekali!”
Imam Muhammad bin Su’ud menerima saran
istrinya. Ia pun pergi ke rumah Muhammad bin
Suwailim untuk menemui Syaikh Muhammad.
Imam Muhammad berkata, “Wahai Syaikh, kabar
gembira, kami akan membelamu, melindungimu, dan
menolongmu!”
Syaikh Muhammad menjawab, “Dan Anda, kabar
gembira dengan kemenangan, kejayaan, dan masa
depan yang baik. Ini adalah agama Allah, barangsiapa
membelanya, Allah akan memenangkannya. Dan
barangsiapa menolongnya, Allah akan menolongnya.”
Imam Muhammad berkata, “Wahai Syaikh, aku

xi
akan membaiatmu di atas agama Allah dan rasul-
Nya dan berjihad di jalan-Nya. Namun, aku khawatir,
apabila aku membelamu dan menolongmu, lalu Allah
menangkan kamu di atas musuh-musuh Islam, kamu
akan meninggalkan kami dan pindah ke tempat lain.”
Syaikh menjawab, “Tidak, aku akan membaiatmu
di atas ini semua. Aku membaiatmu di atas darah
dengan darah dan kehancuran dengan kehancuran,
dan aku tidak akan keluar dari negerimu selamanya.”
Setelah itu, Syaikh pun tinggal di Dir’iyyah dengan
penuh kemuliaan. Beliau mengajar dan berdakwah
hingga datanglah berduyun-duyun para penuntut ilmu
dan orang-orang yang ingin hijrah ke sana sampai
dimulailah jihad. Beliau mulai menyurati penguasa-
penguasa negeri tetangga dan mengajaknya kepada
tauhid serta agar mereka meninggalkan kesyirikan.
Ia juga menyurati ulama-ulamanya hingga terjadilah
diskusi-diskusi melalui surat-surat, tulisan-tulisan,
penjelasan, dan sanggahan. Pada tahun 1158 H
dikibarkanlah panji jihad dan beliau berjihad hingga
akhirnya Allah mewafatkannya tahun 1206 H. Dakwah
dan jihad diteruskan oleh para penerusnya dari anak-
anaknya dan cucu-cucunya di bawah kepemimpinan
penguasa Dir’iyyah silih berganti hingga zaman kita
sekarang ini.
Di antara anak-anak beliau adalah Asy-Syaikh Al-

xii
Imam Abdullah bin Muhammad, Asy-Syaikh Husain
bin Muhammad, Asy-Syaikh Ali bin Muhammad,
Asy-Syaikh Ibrahim bin Muhammad. Dan di antara
cucu-cucu beliau adalah Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Hasan, Asy-Syaikh Ali bin Husain, dan Asy-Syaikh
Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad, dan selain
mereka. Dan di antara murid-murid beliau adalah Asy-
Syaikh Hamad bin Nashir bin Mu’ammar dan masih
banyak lagi dari ulama-ulama Dir’iyyah.
Orang-orang yang menentang dakwah tauhid saat
itu ada tiga golongan:
Pertama, para ulama yang percaya khurafat, melihat
kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya melihat
kebatilan sebagai kebenaran. Mereka menganggap
bahwa membangun kuburan, mendirikan masjid
di atas kuburan, menyeru penghuni kuburan, dan
istighatsah kepadanya adalah agama dan petunjuk.
Mereka menganggap orang-orang yang mengingkari
perbuatan mereka sebagai orang-orang yang membenci
orang-orang salih atau para wali. Mereka ini adalah
musuh yang wajib berjihad untuk memeranginya.
Kedua, mereka adalah orang-orang yang menisbat­
kan diri-diri mereka kepada ilmu, tetapi tidak me­
mahami hakikat Syaikh Muhammad dan dakwah
beliau. Mereka taklid kepada orang lain dan percaya

xiii
terhadap tuduhan kelompok pertama kepada Syaikh.
Mereka ikut mencela Syaikh, menjelek-jelekkan
dakwahnya, dan membuat orang-orang lari.
Ketiga, orang-orang yang mengkhawatirkan
jabatan dan kehidupannya. Mereka ikut-ikutan me­
musuhi Syaikh agar jangan sampai para pembela
dakwah tauhid ke negerinya sehingga mengancam
jabatan dan kesenangannya.
Sejak era Asy-Syaikh Al-Mujaddid Muhammad bin
Abdul Wahhab sampai pada keturunan­­nya, dakwah
dengan ilmu dan jihad dengan pedang tiada henti
dikumandangkan hingga Allah tuliskan kemenangan
dan kejayaan bagi dakwah yang berkah ini sampai era
modern sekarang ini. Semoga Allah Ta’aala memberi
para ulama tauhid dan pejuangnya pahala yang besar
dan menempatkan mereka di surga-Nya, amin.

xiv
Daftar Isi

Kata Pengantar ~ v
Biografi Penulis ~ ix
Mukadimah ~ 1
Kaidah Pertama ~ 9
Kaidah Kedua ~ 13
Kaidah Ketiga ~ 21
Kaidah Keempat ~ 33
Hukum Minta Syafaat dari Orang Hidup ~ 38
Minta Didoakan Mayit ~ 48

xv
Daftar Isi Catatan Kaki

1. Arti Hanifiyah ~ 2
2. Arti Tauhid dan Rukun Syahadat ~ 4
3. Analogi Tauhid dengan Thaharah ~ 5
4. Ijma ulama tentang surat An-Nisaa Ayat 48 ~ 6
5. Tauhid Rububiyah Bukan Standar Keislaman ~ 9
6. Macam-Macam Tauhid ~ 10
7. Allah Tidak Menerima Tauhid Rububiyah Tanpa
Tauhid Uluhiyah ~ 11
8. Kejahilan Sebab Utama Kesyirikan ~ 11
9. Arti Syafaat ~ 13
10. Berdoa dengan Perantara Orang Shalih Tanpa
Unsur Ibadah Bukan Syirik Besar ~ 14
11 Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 3 Menurut Thabari &
Ibnu Katsir ~ 15
12. Tafsir Surat Yunus Ayat 18 Menurut Thabari ~ 16
13. Contoh Syafaat Manfiyah ~ 17
14. Keterangan Syaikh Ibn Baz Tentang Ragam
Peribadatan Musyrikin ~ 21

xvi
15. Arti Kata Fitnah dalam Surat Al-Anfal Ayat 39 ~ 22
16. Sanggahan Terhadap Pernyataan Seorang Da’i
Bahwa Sujud kepada Matahari & Bulan Tidak
Kafir Kalau Jahil ~ 25
17. Arti Wasilah dalam Surat Al-Isra’ Ayat 57 ~ 28
18. Mengenal Sesembahan Musyrikin: Latta, Uzza,
dan Manat ~ 30
19. Bagaimana Memahami Hadits Dzatu Anwath ~
31

xvii
‫بسم هللا الرمحن الرحيم‬
‫أسأل هللا الكرمي رب العرش العظيم أن يتوالك يف الدنيا واآلخرة وأن‬
‫جيعلك مباركاً أينما كنت وأن جيعلك ممن إذا أعطى شكر وإذا ابتلى‬
.‫صرب وإذا أذنب استغفر فإن هؤالء الثالث عنوان السعادة‬
‫اعلم أرشدك هللا لطاعته أن احلنيفية ملة إبراهيم أن تعبد هللا وحده‬
ِ ‫النْس إَِّل لِيـعب ُد‬
ِ ِْ ‫خملصاً له الدين كما قال تعاىل (وما خلَ ْقت‬
)‫ون‬ ُ َْ َ ْ ‫ال َّن َو‬ ُ َ ََ
)56 :‫(الذارايت‬

A ku memohon kepada Allah Yang Mahamulia,


Penguasa al-‘arsy yang besar (agar Dia) me­
nolongmu di dunia dan di akhirat1, dan (agar Dia)
menjadikanmu berkah di mana pun kamu berada2,
1 Jika Allah telah menjadi penolong bagimu di dunia dengan
hidayah dan taufik, dan di akhirat dengan memasukkanmu
ke dalam surga, berarti kamu telah meraih kebahagiaan yang
tidak akan disentuh penderitaan selamanya. Inilah bentuk
pertolongan Allah kepada seorang mukmin di dunia dan di
akhirat. Besar kecilnya pertolongan ini berbeda-beda sesuai
besar kecilnya keimanan dan amalan saleh seseorang saat di
dunia.

2 Ini merupakan puncak cita-cita orang yang beriman, yaitu Allah


menjadikan seseorang berkah di mana pun ia berada; Berkah
umurnya, rejekinya, ilmunya, amalannya, keturunannya. Di
mana pun dia berada, keberkahan menyertainya, sebagai­
mana ucapan Isa ‘Alaihissalam, “Dan Dia menjadikan aku
seorang yang berbakti (berkah) di mana saja aku berada,

1
serta (agar Dia) menjadikanmu di antara orang-orang
yang ketika diberi (nikmat) bersyukur, diberi cobaan
bersabar, dan ketika berdosa beristigfar. Sesungguhnya,
tiga perkara ini merupakan tanda kebahagiaan3.
Ketahuilah—semoga Allah menunjukimu untuk
menaati-Nya—bahwa hanifiyah4 ajaran Ibrahim itu
dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS Maryam: 31).
Berkah artinya adalah adanya kebaikan dari Allah pada sesuatu.

3 Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh ajaib


keadaan orang yang beriman. Seluruh urusannya adalah baik.
Jika diberi kenikmatan, dia bersyukur dan itu yang terbaik
baginya. Dan jika diberi cobaan, ia bersabar, dan itu yang
terbaik baginya.” (HR Muslim dari Suhaib Radhiyallahu ‘Anhu)

4 Hanifiyah adalah agama Ibrahim Alaihissalam. Allah Ta’aala


berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (wahai
Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan dia bukan
termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS An-Nahl: 123)
Pada surat Al-Baqarah (135) Allah berfirman, “Dan mereka
berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi
atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah,
‘Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus.
Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.’”
Lihat juga Ali Imran (95), (65-68), An-Nisaa’ (125), Al An’am (78-
79), (161-163).
Hanif menurut bangsa Arab adalah siapa saja yang berada di atas
agama Ibrahim ‘Alaihissalam. Hanif berasal dari kata hanaf yang
artinya condong. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Aku diutus membawa hanifiah yang mudah.” yakni yang lurus
dan meninggalkan kebatilan ke kebenaran.

2
adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan
mengikhlaskan untuk Allah agama ini (Ad-Diin),
sebagaimana firman Allah Ta’aala:

ِ ‫النْس إَِّل لِيـعب ُد‬


ِ ِْ ‫وما خلَ ْقت‬
)56 :‫ون (الذارايت‬ ُ َْ َ ْ ‫ال َّن َو‬ ُ َ ََ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali (hanya) untuk beribadah kepada-Ku.” (QS
Adz-Dzariyat: 56)5

5 Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya Aku ciptakan mereka hanya


untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan
karena Aku butuh kepada mereka.”
Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
Al-Ushul Ats-Tsalatsah berkata, “Maksudnya: kecuali untuk
mentauhidkan Aku.”

3
‫فإذا عرفت أن هللا خلقك لعبادته فاعلم أن العبادة ال تسمى عبادة إال‬
‫ فإذا دخل‬.‫مع التوحيد كما أن الصالة ال تسمى صالة إال مع الطهارة‬
.‫الشرك يف العبادة فسدت كاحلدث إذا دخل يف الطهارة‬
‫فإذا عرفت أن الشرك إذا خالط العبادة أفسدها وأحبط العمل وصار‬
‫صاحبه من اخلالدين يف النار عرفت أن أهم ما عليك معرفة ذلك لعل‬
‫هللا أن خيلصك من هذه الشبكة وهي الشرك ابهلل الذي قال هللا تعاىل‬
)ُ‫ك لِ َم ْن يَ َشاء‬ ِ ِ ِ
َ ‫اللَ ال يـَ ْغفُر أَ ْن يُ ْشَرَك بِِه َويـَ ْغف ُر َما ُدو َن َذل‬
َّ ‫فيه (إِ َّن‬
)48 :‫(النساء‬
: ‫وذلك مبعرفة أربع قواعد ذكرها هللا تعاىل يف كتابه‬
Dan jika kamu telah mengetahui bahwa Allah
menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya saja,
ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali
apabila dibangun di atas tauhid6, seperti halnya shalat
6 Tauhid adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata.
Asalnya dari wahhada-yuwahhidu-tauhidan yang artinya me­
nyatu­kan. Tauhid tercapai dengan memenuhi kedua rukunnya,
yakni nafi dan al-itsbat. Nafi adalah menolak ibadah kepada
selain Allah, dan itsbat adalah mengakui bahwa ibadah hanya
milik Allah semata dengan mengerjakan ibadah kepada Allah
saja. Ketika kedua rukun ini terpenuhi pada diri seseorang, dia
termasuk ahli tauhid atau muslim. Saat salah satunya tidak
terpenuhi, dia tidak termasuk ahli tauhid alias musyrik atau
kafir dan tidak layak disebut muslim. Seseorang yang belum
menauhidkan Allah atau tauhidnya batal maka ibadahnya tidak
diterima oleh Allah Ta’aala. “Dan tidak ada yang menghalangi

4
tidak disebut shalat kecuali dibangun di atas thaharah
(bersuci).7 Dan ketika kesyirikan mencampuri ibadah,
ibadah pun menjadi batal seperti halnya hadats8 ketika
mencampuri thaharah.9
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain­
kan karena kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At-Taubah:
54)

7 Maksudnya orang yang shalat tanpa thaharah (bersuci)


meskipun gerakannya menyerupai gerakan orang shalat, tidak
disebut shalat menurut syariat. Penganalogian perkara akidah
dengan perkara ibadah seperti ini juga pernah disebutkan
penulis pada tempat yang lain.
Dalam Risalah Syakhshiyyah halaman 21. Beliau berkata, “Aku
ingatkan kalian, takutlah kepada Allah! Untuk benar-benar
memahami perkara ini karena ia merupakan pembeda antara
kekufuran dan keislaman. Jika ada seseorang mengatakan
syarat sahnya shalat ada sembilan, lalu dia bawakan semuanya.
Kemudian, saat dia melihat seseorang shalat telanjang tanpa
uzur, shalat tanpa wudu, atau tidak menghadap kiblat, dia tidak
tahu bahwa shalat orang ini rusak, dia tidak dianggap mengenal
syarat-syarat sahnya shalat walaupun hafal luar kepala ….”

8 Hadats adalah suatu kondisi yang ada pada diri seseorang


yang menghalanginya dari mengerjakan ibadah-ibadah yang
disyaratkan padanya bersuci. Contoh hadats adalah buang
angin.

9 Di antara dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tanpa tauhid


tidak diterima adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, “Allah Ta’aala berkata, ‘Aku adalah Dzat Yang
Tidak Membutuhkan Sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu
amalan, lalu dia menyekutukan Aku pada amalan itu dengan

5
Dan jika kamu telah mengetahui bahwa ketika
kesyirikan mencampuri ibadah, kesyirikan itu akan
merusaknya dan menggugurkan amalan (tersebut)
serta menjadikan pelakunya di antara orang-orang
yang kekal di neraka. Kamu pun tahu bahwa yang
terpenting bagi dirimu adalah memahami hal ini10.
Semoga Allah membersihkanmu dari jaring-jaring
ini, yaitu kesyirikan kepada Allah yang Allah Ta’aala
katakan tentangnya:

:‫ك لِ َم ْن يَ َشاءُ (النساء‬ ِ ِ ِ


َ ‫اللَ ال يـَ ْغفُر أَ ْن يُ ْشَرَك بِِه َويـَ ْغفُر َما ُدو َن َذل‬
َّ ‫إِ َّن‬
)48

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik


dan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (QS An-Nisaa’: 48)11.
selain Aku, Aku tinggalkan dia dan amalannya.’” (HR Muslim
dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

10 Yaitu dengan mempelajari tauhid untuk diamalkan dan


menge­tahui perkara-perkara yang membatalkan tauhid untuk
dihindari.

11 Ulama sepakat bahwa ayat ini berbicara tentang orang yang


belum sempat bertaubat dari kesyirikannya (yang besar) hingga
ajal menjemputnya. Adapun orang yang melakukan kesyirikan
kemudian sempat bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka

6
Yaitu dengan mengetahui empat kaidah yang Allah
sebutkan di dalam kitab-Nya.

Allah Maha Menerima Taubat. Allah berfirman, “Wahai hamba-


hambaKu yang melampaui batas dalam urusannya, jangan
kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa seluruhnya ….” (QS Az-Zumar: 53)
Adapun dosa selain kesyirikan apabila pelakunya belum sempat
bertaubat hingga ajal menjemputnya, nasibnya terserah Allah.
Apabila Allah berkehendak, dia akan diampuni. Apabila Allah
tidak berkehendak, dia akan dihukum sesuai kadar dosanya,
kemudian dia akan ditempatkan di surga.
At-Thabari mengatakan, “Ayat ini menerangkan bahwa semua
pelaku dosa besar nasibnya tergantung kehendak Allah Ta’aala.
Apabila Dia berkehendak, Dia memaafkan dosa orang itu, dan
apabila Dia berkehendak (lain) Dia hukum orang itu, selagi dosa
besarnya bukan kesyirikan kepada Allah Ta’aala.

7
8
Kaidah Pertama

:‫األوىل‬ ‫القاعدة‬
‫أن تعلم أن الكفار الذين قاتلهم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫مقرون أبن هللا تعاىل هو اخلالق املدبر وأن ذلك مل يدخلهم يف‬
ِ ‫الس َم ِاء َو ْال َْر‬
‫ض أ ََّم ْن‬ َّ ‫اإلسالم والدليل قوله تعاىل (قُ ْل َم ْن يـَْرُزقُ ُك ْم ِم َن‬
‫ت ِم َن‬ ِ ِ ِ ْ ‫السمع و ْالَبصار ومن ُيْرِج‬ ِ
َ ِّ‫ِج الْ َمي‬
ُ ‫الَ َّي م َن الْ َميّت َوُيْر‬ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ ‫ك‬ ُ ‫يَْل‬
)31:‫اللُ فـَُق ْل أَفَال تـَتـَُّقو َن) (يونس‬ َّ ‫الَ ِّي َوَم ْن يُ َدبُِّر ْال َْمَر فَ َسيـَُقولُو َن‬
ْ

K amu mengetahui bahwa orang-orang kafir yang


dahulu diperangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, mereka mengakui bahwa Allah Ta’aala
adalah Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), Al-
Mudabbir (Yang Maha Mengatur). Namun, yang
demikian ini belum memasukkan mereka ke dalam
Islam.1
1 Keyakinan seseorang bahwa Allah sebagai pencipta, pemilik,
pengatur, dan pemelihara alam semesta beserta segala isinya
bukan standar keislaman. Dengan kata lain, dengan bermodalkan
keyakinan ini saja, seseorang belum dapat disebut muslim.
Keyakinan ini yang disebut dengan tauhid rububiyah. Allah
Ta’aala menerangkan bahwa musyrikin dahulu telah beriman
dengan rububiyah Allah, tetapi mereka masih disebut musyrik.
“Dan tidaklah sebagian besar dari mereka beriman kepada

9
Dalilnya adalah firman Allah Ta’aala:
Allah, melainkan mereka musyrik.” (QS Yusuf: 106). Musyrikin
beriman bahwa hanya Allah satu-satunya pencipta, pemilik,
pengatur alam semesta beserta isinya. Namun, bersamaan
dengan itu, mereka melakukan kesyirikan dengan beribadah
kepada selain-Nya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Di antara keimanan
mereka, apabila mereka ditanya, ‘Siapakah pencipta langit,
bumi, dan gunung?’ Mereka menjawab, ‘Allah!’ Akan tetapi,
mereka musyrik kepada Allah.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
Macam-Macam Tauhid
Tauhid ada 3 macam:
Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu menunggalkan Allah dalam
penciptaan (al-khalq), kepemilikan (al-mulk), dan pengaturan
(at-tadbir). Tauhid jenis ini diakui oleh fitrah setiap manusia,
baik mukmin maupun kafir sampai Fir’aun sekalipun tidak
mengingkari bahwa hanya Allah Ta’aala satu-satunya pencipta,
dan pengakuannya bahwa dialah Rabb yang tertinggi hanyalah
karena kesombongan dan takabbur saja. Allah Ta’aala
mengisahkan perihal Musa Alaihissalam yang mendatangi
Fir’aun, “Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu telah menge­
tahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu
kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-
bukti yang nyata ….’” (QS Al-Isra’: 102)
Kedua, Tauhid Uluhiyah, yaitu memurnikan ibadah hanya
kepada Allah semata. Inilah poros perseteruan para nabi-nabi
dengan umatnya dan perbedaan antara muslim dan kafir.
Ketiga, Tauhid Asma’ was Sifat, yaitu menetapkan bagi Allah
nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana yang diberitakan
oleh-Nya dalam kitab-Nya atau rasul-Nya dalam sunnahnya
tanpa tahrif (menyelewengkan), takyif (menetapkan bentuk),
ta’thil (menolak), dan tamtsil/tasybih (menyerupakan dengan
makhluk).

10
‫ص َار‬
َ ْ‫الس ْم َع َو ْالَب‬
َّ ‫ك‬ ِ ِ ‫الس َم ِاء َو ْال َْر‬
ُ ‫ض أ ََّم ْن يَْل‬ َّ ‫قُ ْل َم ْن يـَْرُزقُ ُك ْم ِم َن‬
ْ ‫ت ِم َن‬
‫الَ ِّي َوَم ْن يُ َدبُِّر ْال َْمَر‬ َ ِّ‫ِج الْ َمي‬
ِ ِ ِ ْ ‫ومن ُيْرِج‬
ُ ‫الَ َّي م َن الْ َميّت َوُيْر‬ ُ ْ ََ
)31:‫اللُ فـَُق ْل أَفَال تـَتـَُّقو َن (يونس‬ َّ ‫فَ َسيـَُقولُو َن‬
“Katakanlah: Siapakah yang memberi kalian
rezeki dari langit dan bumi, siapakah yang menguasai
pen­dengaran dan pengelihatan dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengurus segala urusan? Maka kelak mereka
akan menjawab: Allah. Katakanlah: Tidakkah kalian
bertakwa?” (QS Yunus: 31)2
Barangsiapa mentauhidkan Allah dengan yang pertama, tetapi
tidak mentauhidkan-Nya dengan tauhid kedua, Allah tidak
menerima darinya. Al-Imam Ash-Shan’aani rahimahullah ber­
kata dalam Tathhir Al I’tiqaad halaman 17 cetakan Daar Ibnul
Jauzi, “Segala puji hanya milik Allah yang tidak menerima tauhid
rububiyah dari hamba-Nya sampai mereka mentauhidkan-Nya
dengan tauhid ibadah dengan sebenar-benarnya.”

2 Ibnu Katsir berkata, Maksud “Tidakkah kalian bertakwa?” Tidak


takutkah kalian kepada Allah dengan beribadah kepada selain-
Nya di samping ibadah kalian kepada Allah dengan pikiran-
pikiran kalian dan kejahilan kalian?!
Faedah: Justru kejahilanlah yang menyeret mereka kepada
kesyirikan, yakni beribadah kepada selain Allah di samping
beribadah kepada Allah! Pada saat yang sama, ada sebagian
orang yang mengatakan, “Orang jahil gak kafir gak musyrik!”
Maka kami jawab, “Tidakkah kalian bertakwa?!”

11
Kaidah Kedua

:‫الثانية‬ ‫القاعدة‬
‫أهنم يقولون ما دعوانهم وتوجهنا إليهم إال لطلب القربة والشفاعة‬
‫ين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدونِِه أ َْولِيَاءَ َما نـَْعبُ ُد ُه ْم إَِّل‬ َ ‫(والَّ ِذ‬
َ ‫فدليل القربة قوله تعاىل‬
‫اللَ َْي ُك ُم بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن إِ َّن‬ َ ُ‫لِيـَُقِّرب‬
َِّ ‫ون إِ َل‬
َّ ‫الل ُزلْ َفى إِ َّن‬
)3 :‫ب َك َّف ٌار) (الزمر‬ ِ ِ
ٌ ‫اللَ ال يـَْهدي َم ْن ُه َو َكاذ‬ َّ
‫ضُّرُه ْم َوال‬ َِّ ‫ون‬ِ ‫ودليل الشفاعة قوله تعاىل (ويـعب ُدو َن ِمن د‬
ُ َ‫الل َما ال ي‬ ُ ْ ُ َْ َ
)18 :‫الل) (يونس‬ ِ
َّ ‫الء ُش َف َع ُاؤ َن عْن َد‬ ِ ‫يـنـ َفعهم ويـ ُقولُو َن هؤ‬
َُ َ َ ْ ُ ُ َْ

B ahwa mereka (musyrikin) beralasan3: kami tidak


menyeru mereka dan menghadap kepada mereka4
kecuali dalam rangka qurbah (mendekatkan diri kepada
Allah) dan (mengharapkan) syafaat (mereka).5
3 Maksudnya alasan mereka beribadah kepada selain Allah,
padahal mereka mengakui rububiyah hanya milik Allah.

4 Yaitu bergantung kepada sesembahan-sesembahan selain Allah,


seperti patung orang-orang saleh, kuburan, dan selainnya.

5 Syafaat artinya minta kebaikan untuk orang lain. Orang musyrikin


dahulu meyakini bahwa orang-orang saleh yang mereka buat
patungnya adalah hamba-hamba pilihan yang dapat dimintai
syafaat dan menjadi perantara dalam mendapatkan hajat kepada

13
Dalil qurbah adalah firman-Nya:

ِ
َ ُ‫ين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدونِِه أ َْوليَاءَ َما نـَْعبُ ُد ُه ْم إَِّل لِيـَُقِّرب‬
َِّ ‫ون إِ َل‬
‫الل ُزلْ َفى‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
‫اللَ ال يـَْه ِدي َم ْن ُه َو‬ َّ ‫اللَ َْي ُك ُم بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن إِ َّن‬
َّ ‫إِ َّن‬
)3 :‫ب َك َّف ٌار (الزمر‬ ِ
ٌ ‫َكاذ‬
“Dan orang-orang yang mengambil selain Dia
sebagai penolong-penolongnya (mereka mengatakan):
Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan agar
mereka mendekatkan diri-diri kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka pada apa yang mereka
perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada siapa yang dusta lagi sangat ingkar.”
(QS Az-Zumar: 3)6
Allah. Dari situ, mereka beribadah kepada orang-orang salih
dengan berbagai macam peribadatan, seperti sujud kepadanya,
me­nyembelih untuknya, bernazar, dan lain sebagainya. Mereka
berharapan, Allah akan memenuhi hajat-hajat mereka sebab
orang-orang saleh tersebut. Inilah yang menjadikan mereka
kafir musyrik meskipun mereka mengimani rububiyah Allah.
Adapun mengatakan bahwa termasuk kesyirikan kaum musyrikin
di zaman Nabi (syirik besar) adalah menjadikan Nabi atau orang
salih yang telah meninggal sebagai perantara dalam berdoa
tanpa diiringi pemberian ibadah kepadanya, ini kekeliruan yang
fatal! Konsekuensinya adalah mengafirkan mayoritas muslimin
yang jatuh kepada kebidahan. Maka perhatikanlah!

6 Pada ayat ini Allah menghukumi keyakinan musyrikin karena

14
Dan dalil syafaat adalah firman-Nya:

ِ ‫الل ما ال يضُّرهم وال يـنـ َفعهم ويـ ُقولُو َن هؤ‬


‫الء‬ ِ ِ ِ
َُ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ َ َ َّ ‫َويـَْعبُ ُدو َن م ْن ُدون‬
َّ ‫ُش َف َع ُاؤ َن ِعْن َد‬
)18 :‫الل (يونس‬
“Dan mereka beribadah kepada selain Allah dari
sesembahan yang tidak mencelakakan mereka dan
tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan mereka
mengatakan: Sesembahan-sesembahan itu adalah para
menjadikan orang-orang saleh sebagai perantara yang berhak
menerima ibadah sebagai keyakinan yang “dusta” atau tidak
benar alias batil dan merupakan bentuk kekufuran atau
pengingkaran terhadap ilahiyah Allah Ta’aala (hak sebagai satu-
satunya yang berhak diibadahi).
At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan, “Dan orang-orang
yang mengambil selain Allah sebagai penolong-penolongnya
yang orang-orang itu memberikan kecintaan kepada mereka
dan beribadah kepada mereka selain kepada Allah, orang-orang
itu berkata kepada mereka itu, ‘Kami tidak beribadah kepada
kalian wahai ilah-ilah melainkan agar kalian mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan kalian memberikan
kepada kami syafaat pada hajat-hajat kami.’”
Ibnu Katsir mengatakan, “Yang menjadikan orang-orang musyrik
beribadah kepada mereka adalah bahwa musyrikin itu membuat
berhala dalam bentuk malaikat yang mereka anggap dekat
(kedudukannya dengan Allah). Setelah itu, mereka beribadah
kepada berhala-berhala itu sebagai representasi peribadahan
mereka kepada malaikat-malaikat dengan asumsi malaikat-
malaikat itu memberi syafaatnya kepada mereka di sisi Allah,
menolong mereka dan memberi rezeki kepada mereka serta
urusan-urusan duniawi lainnya.”

15
syufa-a’ (pemberi syafaat) kami di sisi Allah.” (QS
Yunus: 18)7
7 At-Thabari berkata dalam tafsirnya, “Musyrikin yang kami
sebutkan kepadamu sifat-sifat mereka wahai Muhammad,
mereka beribadah kepada selain Allah yang tidak mencelakakan
mereka dan tidak memberi mereka manfaat di dunia dan di
akhirat. Dan ’musyrikin itu mengatakan: Mereka itu ....’, yakni
ilah-ilah dan berhala-berhala yang mereka ibadahi dengan
mengharapkan syafaat mereka disisi Allah itu adalah pemberi
syafaat kami di sisi Allah.”
Dan di akhir ayat ini, Allah sebut perbuatan mereka ini sebagai
kesyirikan. Allah Ta’aala berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah
kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya
di langit dan tidak (pula) di bumi’ Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).”
At-Thabari berkata, “Apa kalian mengabarkan kepada Allah
akan sesuatu yang tidak terjadi baik di langit maupun di bumi?
Yaitu bahwa ilah-ilah itu tidak memberi syafaat kepada mereka
di sisi Allah di langit atau di bumi. Dan dahulu orang-orang
musyrik beranggapan bahwa ilah-ilah itu memberi syafaat
kepada mereka di sisi Allah. Maka Allah katakan kepada Nabi-
Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Katakan kepada mereka:
Apa kalian mengabarkan kepada Allah bahwa apa-apa yang
tidak memberi syafaat di langit dan di bumi bisa memberi
syafaat kepada kalian?” Dan itu perkara yang batil yang
kalian tidak ketahui hakikat dan kebenarannya. Bahkan, Allah
mengetahui kebalikan yang kalian katakan; bahwa ilah-ilah
itu tidak memberi syafaat kepada siapa pun, tidak memberi
manfaat, dan tidak memudharatkan. (Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sekutukan) Allah berkata menyucikan dirinya dan
meninggikan-Nya dari apa yang diperbuat oleh musyrikin itu
berupa melakukan kesyirikan dalam peribadahan kepada-Nya
dengan sesuatu yang tidak mencelakakan dan tidak memberi

16
Macam-Macam Syafaat

.‫ شفاعة منفية وشفاعة مثبتة‬: ‫والشفاعة شفاعتان‬


‫فالشفاعة املنفية ما كانت تطلب من غري هللا فيما ال يقدر عليه إال‬
‫ين َآمنُوا أَنِْف ُقوا ِمَّا َرَزقـْنَا ُك ْم ِم ْن قـَْب ِل‬
َ ‫(ي أَيـَُّها الَّ ِذ‬
َ ‫هللا والدليل قوله تعاىل‬
)‫اعةٌ َوالْ َكافُِرو َن ُه ُم الظَّالِ ُمو َن‬ ِِ
َ ‫أَ ْن َيِْتَ يـَْوٌم ال بـَْي ٌع فيه َوال ُخلَّةٌ َوال َش َف‬
)254:‫(البقرة‬
‫والشفاعة املثبتة هي اليت تطلب من هللا والشافع مكرم ابلشفاعة‬
‫واملشفوع له من رضي هللا قوله وعمله بعد اإلذن كما قال تعاىل ( َِم ْن‬
 )255 :‫َذا الَّ ِذي يَ ْش َف ُع ِعْن َدهُ إَِّل بِِ ْذنِِه) (البقرة‬
Dan syafaat ada dua: syafaat manfiyyah (yang
dinafikan Al-Qur’an) dan syafaat mutsbatah (yang
diakui Al-Qur’an).
Syafaat manfiyah adalah yang diminta dari selain
Allah dari apa-apa yang tidak disanggupi kecuali oleh
Allah.8 Dalilnya adalah firman Allah Ta’aala:
manfaat, dan dari perbuatan mereka membuat kedustaan atas
nama Allah.”

8 Seperti minta kepada wali atau orang saleh yang sudah wafat
agar Allah menurunkan hujan, menyembuhkan orang sakit, atau
memberi rezki. Begitu pula meminta kepada orang mati untuk
berdoa karena telah disepakati oleh semua yang berakal bahwa
orang mati tidak bisa berbuat apa-apa termasuk berdoa. Oleh
karena itu, minta didoakan mayit termasuk minta syafaat yang

17
‫ين َآمنُوا أَنِْف ُقوا ِمَّا َرَزقـْنَا ُك ْم ِم ْن قـَْب ِل أَ ْن َيِْتَ يـَْوٌم ال بـَْي ٌع فِ ِيه‬
َ ‫يَا أَيـَُّها الَّ ِذ‬
‫اعةٌ َوالْ َكافُِرو َن ُه ُم الظَّالِ ُمو َن‬ َ ‫َوال ُخلَّةٌ َوال َش َف‬
“Wahai orang-orang yang beriman nafkahkanlah
apa-apa yang kami berikan kepada kalian dari rezeki
sebelum datang suatu hari yang tidak terdapat pada
hari itu jualbeli maupun teman dekat atau Syafaat.
Dan orang-orang kafir itu mereka orang-orang yang
dzalim.” (QS Al-Baqarah: 254)9
ditolak oleh Al-Qur’an dan merupakan syirik besar berdasarkan
nash Al-Qur'an.
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzhullah berkata,
“Orang yang mengatakan bahwa minta doa (kepada mayit) tidak
termasuk kepada bentuk permintaan yang syirik sesungguhnya
dia telah membatalkan pokok tauhid seluruhnya dalam perkara
ini.” (Syarah kitab At-Thahawiyah)
Dan termasuk syafaat yang dinafikan Al-Qur’an, yakni minta
syafaat kepada orang hidup untuk masuk surga atau di­
selamatkan dari neraka, seperti ucapan, “Kalau kamu masuk
surga dan tidak dapati aku di sana, tolong cari saya dan tanya
kepada Allah saya di mana! Karena sesungguhnya ucapan ini
termasuk minta syafaat kepada selain Allah. Oleh sebab itu,
meminta kepada orang hidup agar dia menolongnya di akhirat,
sama seperti minta kepada orang mati agar dia menolongnya
di akhirat. Dan minta syafaat kepada selain Allah adalah syirik
akbar yang membatalkan keislaman. Kedua pembahasan ini;
“minta doa dari mayit”, dan “minta syafaat di akhirat dari orang
yang masih hidup” telah saya khususkan pada bagian terakhir
dari buku ini.

9 Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berinfak di jalan-Nya

18
Syafaat mutsbatah adalah yang diminta dari Allah.
Dan Asy-Syaafi’ Allah muliakan dengan syafaat.10
Sedangkan Al-Masyfu’ lahu adalah orang yang diridai
Allah ucapan dan amalannya sesudah adanya izin (dari
Allah) sebagaimana firman Allah Ta’aala:

‫َم ْن َذا الَّ ِذي يَ ْش َف ُع ِعْن َدهُ إَِّل بِِ ْذنِِه‬


“Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisi-Nya
kecuali dengan izin-Nya.” (QS Al-Baqarah: 255)11
dari rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka sebelum
datang hari kiamat, yaitu hari ketika seseorang tidak bisa membeli
dirinya (dari azab Allah), menebusnya dengan harta sekalipun
hartanya emas seberat bumi. Pada hari itu, pertemanan dan
nasab menjadi tiada berguna sertatiada berguna pula syafaat
para pemberi syafaat. (diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir)

10 Adanya pihak yang diberi wewenang untuk memberikan syafaat,


bukan berarti Allah tidak mengetahui keadaan hamba-Nya
siapa yang berhak mendapatkan syafaat dan siapa yang tidak
berhak. Akan tetapi, adanya Asy-Syaafi’ (pihak-pihak yang diberi
wewenang untuk memberikan syafaat) semata-mata karena
Allah ingin memuliakan dan menampakkan kedudukan mereka
di hadapan segenap makhluk-Nya.

11 Yakni tidak seorang pun (bisa) memberi syafaat di sisi Allah


kecuali dengan izin dari-Nya karena syafaat seluruhnya milik
Allah. Akan tetapi, apabila Allah ingin merahmati seseorang dari
hamba-Nya yang Dia kehendaki, Allah mengizinkan siapa yang
ingin Allah muliakan dari hamba-hamba-Nya untuk memberi
syafaat kepada orang itu. Dan pihak yang diberi wewenang

19
memberi syafaat tadi (Asy-Syaafi’) tidak langsung memberi
syafaat sebelum diberi izin (oleh Allah). (Tafsir As-Sa’di)

20
Kaidah Ketiga

:‫القاعدة الثالثة‬
‫أن النيب صلى هللا عليه وسلم ظهر على أانس متفرقني يف عبادهتم‬
‫منهم من عبد املالئكة ومنهم من يعبد األنبياء والصاحلني ومنهم من‬
‫يعبد األشجار واألحجار ومنهم من يعبد الشمس والقمر وقاتلهم‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ومل يفرق بينهم والدليل قوله تعاىل‬
)39 :‫ل ) (األنفال‬ َِِّ ‫(وقَاتِلُوهم ح َّت ال تَ ُكو َن فِتـنةٌ وي ُكو َن ال ِّدين ُكلُّه‬
ُ ُ َ َ َْ َ ُْ َ

B ahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus


di tengah-tengah manusia yang berbeda-beda
dalam peribadatan mereka. Di antara mereka ada yang
beribadah kepada malaikat. Dan di antara mereka ada
yang beribadah kepada para nabi. Dan di antara mereka
ada yang beribadah kepada pohon-pohon dan batu-
batu. Dan di antara mereka ada yang beribadah kepada
matahari dan bulan. Dan mereka semua diperangi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan (beliau)
tidak membeda-bedakan di antara mereka.12
12 Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan
bahwa musyrikin dahulu memiliki cara peribadatan kepada
selain Allah yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang
beribadah kepada matahari dan bulan dan bintang-bintang,

21
Dalil akan hal ini adalah firman-Nya:

َِِّ ‫وقَاتِلُوهم ح َّت ال تَ ُكو َن فِتـنةٌ وي ُكو َن ال ِّدين ُكلُّه‬


‫ل‬ ُ ُ َ َ َْ َ ُْ َ
“Dan perangilah mereka semuanya, sampai tidak
terdapat fitnah13 dan agama menjadi milik Allah
dan di antara mereka ada yang beribadah kepada jin dan
selainnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
para shahabat memerangi mereka. Beliau dan para sahabat­
nya tidak membeda-bedakan mereka karena kesyirikan itu
satu (agama), walaupun objek yang diibadahinya beragam.
Oleh sebab itu, orang yang beribadah kepada matahari, bulan,
malaikat, para nabi, orang-orang saleh, bintang-bintang, atau
selain mereka semuanya musyrikun. Apakah yang diibadahi
orang saleh, benda mati, nabi, malaikat, atau selainnya. Allah
Ta’aala berfirman,“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali
untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya
ibadah itu.” (QS Al-Bayyinah: 5); “Dan Rabmu memerintahkan
jangan kalian beribadah kecuali kepada-Nya.” (QS Al-Israa’:
23); “Maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan
untuk-Nya ibadah itu.” (QS Az-Zumar; 2); “Maka sesembahan
kalian adalah sesembahan yang satu.” (QS Al-Hajj; 34).
Maka barangsiapa melanggar ayat-ayat ini serta ayat-ayat yang
semakna dengannya, dia telah melakukan kesyirikan, apakah
dia lakukan itu (beribadah) kepada para nabi atau orang-orang
saleh, atau malaikat, jin, bintang-bintang, matahari, bulan atau
selainnya. (Syarah Al-Qawaid Al-Arba’. 21 April 2016. https://
islamhouse.com/ar/books/2802932/)

13 Yaitu sampai tidak ada lagi kesyirikan karena fitnah di sini berarti
kesyirikan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma. Senada dengan ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi sekalian

22
seluruhnya.” (QS Al-Anfal: 39)
manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha Illallah ….”
(Muttafaqun ‘Alaihi dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma).
Inilah yang dicita-citakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan ini juga yang harus menjadi cita-cita semua
muslim. Pada hadits ‘Amr bin Abasah Radhiyallahu ‘Anhu
riwayat Muslim, Amr berkata kepada Nabi, “Anda siapa?” Beliau
menjawab, “Saya nabi!” ‘Amr berkata, “Apa itu nabi?” “Allah
mengutusku,” sambut beliau. “Dengan apa Dia mengutusmu?”
tanya ‘Amr lagi. Beliau menjawab, “Dengan menyambung
silaturrahim, dan menghancurkan berhala, dan agar hanya
Allah satu-satunya yang diibadahi dan tidak disekutukan dengan
suatu apa pun.”
Saat Fathu Makkah, ketika akhirnya Makkah kembali kepangkuan
muslimin, yang pertama kali Nabi lakukan adalah masuk ke
Ka’bah. Setelah itu, beliau mendorong satu per satu berhala-
berhala yang berada di perut Ka’bah dengan tongkatnya seraya
membaca firman Allah (QS Al-Israa’: 81), “Dan katakanlah: ‘Yang
benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya
yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak merasa tenang dengan
masih adanya kesyirikan di muka bumi. Diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (No. 4097) dari Jarir bin
Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata, “Dahulu ada sebuah
bangunan (berhala) di masa jahiliyah yang dikenal dengan
sebutan Dzulkhalashah atau Ka’bah Yamaniyah atau Ka’bah
Syamiyah. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ber­kata
kepadaku, ‘Maukah kamu menenangkan hatiku dari Dzul­
khalasah?’ Maka aku berangkat bersama 150 pasukan berkuda
dan kami hancurkan berhala itu dan kami bunuh siapa saja
yang kami dapati di sana (menghalangi kami). Setelah itu, kami
kembali menemui Nabi dan kami kabarkan kepadanya apa
yang telah kami perbuat, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mendoakan kami dan kabilah Ahmas (dengan kebaikan).”.

23
Dalil dari Al-Qur'an Bahwa Musyrikin Beribadah
kepada Matahari dan Bulan

‫س‬ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬ ‫و‬َ ‫ار‬
ُ ‫ه‬
َ ‫ـ‬
َّ ‫ن‬ ‫ال‬‫و‬َ ‫ل‬ ‫ي‬
َّْ‫آيتِِه الل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫م‬ِ‫ودليل الشمس والقمر قوله تعاىل (و‬
َ ِ
ُ ِ ِ ُِ ِ
ِ َّ
‫اس ُج ُدوا َّل الذي َخلَ َق ُه َّن إ ْن‬ ِ ِ ‫َّم‬
ْ ‫س َوال ل ْل َق َمر َو‬ ْ ‫َوالْ َق َمُر ال تَ ْس ُج ُدوا للش‬
)37:‫ُكنـْتُ ْم إِ َّيهُ تـَْعبُ ُدو َن) (فصلت‬
Dan dalil matahari dan bulan14 adalah firman-Nya:

ِ ‫َّم‬
‫س َوال‬ ِ َّ‫آيتِِه الل‬ ِ‫و‬
ْ ‫س َوالْ َق َمُر ال تَ ْس ُج ُدوا للش‬ ُ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬ ‫و‬
َ ‫ار‬
ُ ‫ه‬َ ‫ـ‬
َّ ‫ن‬ ‫ال‬
‫و‬ َ ‫ل‬
ُ ‫ي‬
ْ َ ‫ن‬
ْ ‫م‬ َِ
ِ ِ ِ َّ ِ ِ
‫اس ُج ُدوا َّل الذي َخلَ َق ُه َّن إ ْن ُكنـْتُ ْم إ َّيهُ تـَْعبُ ُدو َن‬ ِ
ْ ‫ل ْل َق َمر َو‬
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah
siang dan malam, dan matahari dan bulan. Jangan
kalian sujud kepada matahari dan bulan. Dan sujudlah
kalian kepada Allah yang telah menciptakan mereka
semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya
kepada-Nya.” (QS Fushshilat: 37)15
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Al-Fath, “Maksud
ketenangan di sini adalah ketenangan hati karena ‘Tidak ada
yang paling melelahkan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dari masih adanya peribadahan kepada selain Allah
Ta’aal.’” (HR Hakim dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu).

14 Maksudnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang


musyrik dulu beribadah kepada matahari dan bulan.

15 Ibnu Katsir berkata, “(Yakni) jangan kalian menyekutukan-Nya

24
karena tiada berguna ibadah kalian kepada Allah di samping
ibadah kalian kepada selain Dia karena Dia tidak mengampuni
dosa syirik.”
Sujud kepada matahari atau bulan merupakan perkara yang
disepakati sebagai kesyirikan yang besar. Pelakunya disamakan
dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dan para penyembah
berhala. Oleh karena itu, Al-‘Allamah Aba Buthain dalam sebuah
uraiannya menuntut orang yang abstain dari mengafirkan pelaku
syirik besar yang jahil untuk mengambil sikap abstain juga dari
mengafirkan orang-orang yang sujud kepada matahari atau
bulan karena jahil. Dengan kata lain perbuatan tersebut tidak
diperdebatkan pelakunya musyrik walau jahil. Beliau berkata,
“… dan konsekuensi dari klaimnya (bahwa orang jahil tidak kafir)
dia tidak mengafirkan orang-orang Yahudi dan Kristen yang
jahil, dan tidak pula orang-orang yang sujud kepada matahari
dan bulan dan berhala karena kejahilan mereka.” (Al Intishar li
Hizbillah Al-Muwahhidin).
Dan di antara keanehan dalam perkara ini, yaitu perkara
sujud kepada matahari dan bulan, muncul seseorang yang
mengaku menyuarakan Islam dan Sunnah, tetapi dia abstain
dari meyakini kafirnya orang yang sujud kepada matahari atau
bulan dengan alasan jahil sampai diberitahu lagi. Dalam hal
ini, dia menyandarkan pendapatnya kepada Ibnu Taimiyah
rahimahullah, padahal Ibnu Taimiyah sendiri telah mengafirkan
Fakhrurrazi, seorang ulama tafsir yang terkenal. Fakhrurrazi
dikafirkan karena karyanya yang mengajak manusia untuk
beribadah kepada bintang-bintang tanpa diberitahu lagi atau
meminjam istilah mereka tanpa “iqamatul hujjah” dulu karena
Fakhrurrazi wafat pada tahun 606 H, sedangkan Ibnu Taimiyah
lahir pada tahun 661 H. Dia bisa saja mendebat dengan
mengatakan bahwa Fakhrurrazi tidak jahil! Namun, kami
katakan, Ibnu Taimiyah telah menerangkan bahwa perkara ini
adalah perkara yang tidak menerima kejahilan. Dengan kata lain,

25
Dalil dari Al-Qur'an Bahwa Musyrikin Beribadah
kepada Malaikat, Para Nabi, dan Orang-Orang
Saleh

ِ ِ
َ ِّ‫(وال َيْ ُمَرُك ْم أَ ْن تـَتَّخ ُذوا الْ َمالئ َكةَ َوالنَّبِي‬
‫ني‬ َ ‫ودليل املالئكة قوله تعاىل‬
)80 :‫أ َْرَبابً) (آل عمران‬
ِ َّ ‫ال‬ َ َ‫ودليل األنبياء قوله تعاىل ( َوإِ ْذ ق‬
‫ت‬َ ْ‫يسى ابْ َن َم ْرَيَ أَأَن‬ َ ِ‫اللُ َي ع‬
ِ ‫ي ِمن د‬ ِ ِ ِ ‫قـ ْلت لِلن‬
‫ك َما‬ َ َ‫ال ُسْب َحان‬ َ َ‫الل ق‬ َّ ‫ون‬ ُ ْ ِ َْ‫َّاس َّات ُذ ِون َوأ ُّم َي إِ َل‬ َ ُ
ِ
‫ت قـُْلتُهُ فـََق ْد َعل ْمتَهُ تـَْعلَ ُم‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ ُ‫يَ ُكو ُن ل أَ ْن أَق‬
ُ ‫س ل بَ ّق إ ْن ُكْن‬ َ ‫ول َما لَْي‬
)‫وب‬ِ ‫ت َع َّلم الْغُي‬
ُ ُ َ ْ‫ك أَن‬ َ َّ‫ك إِن‬َ ‫َما ِف نـَْف ِسي َوال أ َْعلَ ُم َما ِف نـَْف ِس‬
)116:‫(املائدة‬
‫ين يَ ْدعُو َن يـَبـْتـَغُو َن إِ َل َرّبِِ ُم‬ ِ َّ ِ‫ودليل الصاحلني قوله تعاىل (أُولَئ‬
َ ‫ك الذ‬ َ
ِ
)57 :‫ب َويـَْر ُجو َن َر ْحَتَهُ َوَيَافُو َن َع َذابَه) (االسراء‬ ُ ‫الْ َوسيلَةَ أَيـُُّه ْم أَقـَْر‬
Dan dalil malaikat16 adalah firman-Nya:

pengetahuan tentang hal ini setara antara orang alim dan orang
awamnya. Silakan lihat kitab Mufidul Mustafid karya Asy-Syaikh
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah atau
kitab Hukum Takfir Al-Mu’ayyan karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah
Ishaq bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahumullah.

16 Maksudnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa di antara orang-


orang musyrik dahulu ada yang beribadah kepada malaikat.

26
ِ ِ
َ ِّ‫َوال َيْ ُمَرُك ْم أَ ْن تـَتَّخ ُذوا الْ َمالئ َكةَ َوالنَّبِي‬
ً‫ني أ َْرَب اب‬
“Dan dia tidak memerintahkan kalian untuk
mengambil malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai
rab-rab.” (QS Ali Imran: 80)
Dan dalil nabi-nabi17 adalah firman-Nya:

ِ َْ‫ات ُذ ِون وأ ُِّمي إِ َل‬


‫ي‬ َ ِ ‫ت لِلن‬
َِّ ‫َّاس‬
َ ‫ل‬
ُْ‫ـ‬ ‫ق‬ ‫ت‬َ ‫ن‬
ْ َ
‫أ‬َ‫أ‬ ‫ي‬
ََ‫ر‬ْ ‫م‬
َ ‫ن‬َ ْ‫اب‬ ‫ى‬ ‫يس‬
َ ‫ع‬ِ ‫الل ي‬
َ َُّ ‫ال‬َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َِ َِّ ‫ون‬
ِ ‫ِمن د‬
‫س ِل بَ ٍّق‬ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ول‬
َ ‫ق‬
ُ َ
‫أ‬ ‫ن‬ْ َ
‫أ‬ ‫ل‬ ِ ‫ك َما يَ ُكو ُن‬ َ ‫ن‬
َ ‫ا‬ ‫ح‬
َ ‫ب‬
ْ ‫س‬
ُ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫الل‬ ُ ْ
ِ ِ ِ
‫ك‬ ِ ِ
َ ‫ت قـُْلتُهُ فـََق ْد َعل ْمتَهُ تـَْعلَ ُم َما ف نـَْفسي َوال أ َْعلَ ُم َما ف نـَْفس‬ ُ ‫إِ ْن ُكْن‬
ِ ‫ت َع َّلم الْغُي‬ َ َّ‫إِن‬
‫وب‬ ُ ُ َ ْ‫ك أَن‬
“Dan (ingatlah) ketika Allah berkata: Wahai Isa
putra Maryam, kamukah yang mengatakan kepada
manusia jadikanlah aku dan ibuku sebagai sesembahan
lain selain Allah. Isa berkata: Maha suci Engkau,
tidak pantas bagiku mengatakan sesuatu yang bukan
wewenangku. Jika aku pernah ucapkan demikian,
Engkau telah mengetahui. Kamu mengetahui apa yang
ada pada diriku sedangkan aku tidak mengetahui apa
yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah
Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib.” (QS Al-
Maidah: 116)

17 Maksudnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa di antara orang-


orang musyrik dahulu ada yang beribadah kepada nabi-nabi.

27
Dan dalil orang-orang saleh18 adalah firman-Nya:

ِ ِِ ِ َّ ِ‫أُولَئ‬
ُ ‫ين يَ ْدعُو َن يـَبـْتـَغُو َن إِ َل َرّب ُم الْ َوسيلَةَ أَيـُُّه ْم أَقـَْر‬
‫ب َويـَْر ُجو َن‬ َ ‫ك الذ‬ َ
‫َر ْحَتَهُ َوَيَافُو َن َع َذابَه‬
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka
sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-
Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)19
18 Maksudnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa di antara orang-
orang musyrik dahulu ada yang beribadah kepada orang-orang
saleh.

19 Ayat ini merupakan dalil bahwa di antara orang-orang musyrik


dahulu ada yang beribadah kepada orang-orang saleh. Satu
pendapat mengatakan bahwa ayat ini turun kepada orang-
orang yang beribadah kepada Al-Masih, ibunya, dan Uzair. Oleh
sebab itu, Allah mengabarkan bahwa mereka semua adalah
hamba Allah, di masa hidupnya mendekatkan diri kepada Allah,
mengharapkan rahmat-Nya, takut akan azab-Nya, dan mereka
mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ketaatan-
ketaatan atau “wasilah” karena wasilah di sini artinya kedekatan
kepada Allah dengan mengerjakan ketaatan dan peribadatan
kepada-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak berhak diibadahi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini turun kepada
orang-orang musyrik yang beribadah kepada segolongan
jin, lalu jin-jin tersebut masuk Islam sedangkan orang-orang
musyrik itu tidak mengetahui keislaman jin-jin tersebut. Jin-jin
tersebut mendekatkan diri-diri mereka kepada Allah dengan

28
Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits Bahwa
Musyrikin Beribadah kepada Pohon dan Batu

َ‫ت َوالْعَُّزى َوَمنَاة‬ َّ ‫ودليل األشجار واألحجار قوله تعاىل (أَفـََرأَيـْتُ ُم‬
َ ‫الل‬
)19-20 :‫ُخَرى) (النجم‬ ِ
ْ ‫الثَّالثَةَ ْال‬
‫وحديث أيب واقد الليثي رضي هللا عنه قال « خرجنا مع النيب صلى‬
‫هللا عليه وسلم إيل حنني وحنن حداثء عهد بكفر وللمشركني سدرة‬
‫يعكفون عندها وينوطون هبا أسلحتهم يقال هلا ذات أنواط فمرران‬
‫بسدرة فقلنا اي رسول هللا اجعل لنا ذات أنواط كما هلم ذات أنواط‬
. ‫احلديث‬
Dan dalil pohon-pohon dan batu-batu20 adalah
firman-Nya:
mengerjakan ketaatan-ketaatan, mengharapkan rahmat Allah,
dan takut kepada azab-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak
berhak diibadahi.
“Wasilah” yang disebutkan di ayat ini adalah amalan yang
mengantarkan kepada keridaan Allah dan surga-Nya. Inilah
wasilah yang disyariatkan pada ayat tersebut, bukan wasilah
yang dipahami oleh musyrikin dulu dan sekarang, yaitu
menjadikan antara manusia dan Allah perantara-perantara
dari para wali, orang-orang saleh, dan selain mereka yang
diharapkan syafaatnya selain Allah. (dirangkum dari penjelasan
Syaikh Shalih Fauzan)

20 Maksudnya, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa musyrikin dulu


ada yang beribadah kepada pohon-pohon dan batu-batu.

29
‫ُخَرى‬ ِ َّ ‫أَفـََرأَيـْتُ ُم‬
ْ ‫ت َوالْعَُّزى َوَمنَاةَ الثَّالثَةَ ْال‬
َ ‫الل‬
“Maka tidakkah kamu melihat kepada Al-Latta
dan Al-Uzza. Serta Manat yang ketiga.” (QS An-Najm:
19- 20)21
21 Lata dibaca juga Latta adalah berhala yang terbuat dari batu
yang dipahat. Berhala ini terletak di Tha’if milik kabilah Tsaqif
dan sekitarnya. Satu pendapat mengatakan bahwa Latta adalah
nama orang saleh yang semasa hidupnya membagikan sawiq
(gandum yang diaduk dengan daging) kepada jemaah haji.
Ketika dia meninggal dunia orang-orang membuat bangunan di
atas kuburannya dan diibadahi selain Allah.
Adapun Uzza adalah pohon-pohon Salam yang terletak di
lembah Nakhlah antara Makkah dan Tha’if. Di sekitarnya, dibuat
bangunan dan tirai-tirai dan dijaga oleh juru kunci. Di dalamnya
terdapat setan-setan yang berbicara kepada manusia. Berhala
ini dahulu milik kabilah Quraisy dan penduduk Makkah dan
sekitarnya.
Adapun Manat adalah batu besar yang terletak di satu tempat
dekat gunung Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Berhala
ini milik kabilah Khuza’ah, ‘Aus dan Khazraj. Dahulu, mereka
memulai ibadah haji dari tempat ini. Ketiga berhala ini
merupakan berhala terbesar bangsa Arab waktu itu.
Adapun firman-Nya, “Maka tidakkah kamu melihat kepada
Al-Latta dan Al Uzza. Serta Manat yang ketiga.” Maksudnya
apakah mereka berguna bagi kalian, bisa menolong kalian?!
Ini merupakan pengingkaran dari Allah kepada musyrikin yang
beribadah kepada Latta, Uzza, dan Manat agar mereka kembali
kepada jalan yang benar karena apa yang mereka sembah itu
hanyalah batu dan pohon yang tidak bisa memberi manfaat
atau mencelakakan.

30
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: Kami pergi bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam menuju Hunain dan kami baru
saja masuk Islam. Sedangkan orang-orang musyrik
memiliki (pohon) Sidr yang mereka beri’tikaf di sana
dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Mereka
namakan (pohon itu) dengan sebutan Dzatu Anwath.
Lalu, kami melintasi sebuah pohon Sidr, maka kami
katakan: Wahai Rasulullah! Buatkan untuk kami Dzatu
Anwath seperti mereka punya Dzatu Anwath … dst.22
Ketika Allah muliakan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dengan kembalinya Makkah ke pangkuan muslimin, beliau
mengutus Abu Sufyan ke Tha’if untuk menghancurkan Latta,
Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza dan membunuh
jin wanita yang ada di sana, serta mengutus Ali bin Abi Thalib
untuk menghancurkan Manat. (Dirangkum dari penjelasan
Syaikh Shalih Fauzan)

22 Abu Waqid Al-Laitsiy Radhiyallahu ‘Anhu termasuk di antara


orang-orang yang masuk Islam belakangan, yaitu pada tahun
kembalinya Makkah kepangkuan muslimin (Fathu Makkah),
tahun kedelapan hijriyah. Ia dan beberapa sahabat lainnya
yang baru keislamannya dan belum mengerti tauhid secara
sempurna, minta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
untuk dibuatkan Dzatu Anwath seperti yang dimiliki orang-
orang musyrik. Dzatu Anwath adalah pohon Sidr (bidara).
Musyrikin suka menggantungkan senjata-senjata mereka di
pohon itu dengan mengharapkan keberkahannya. Mendengar
permintaan itu, Nabi Shallalllahu ‘Alaihi Wasallam mengingkari
dengan bertakbir dan berkata, “Ini adalah ajaran, apa yang
kalian minta persis seperti yang diminta bani Israil kepada

31
Musa; buatkan untuk kami sesembahan seperti mereka punya
sesembahan.” (HR Tirmidzi). Ketika Allah selamatkan Musa
Alaihissalam bersama pengikutnya dengan menyeberangi Laut
Merah, di perjalanan, mereka melintasi sekelompok orang
yang sedang i’tikaf di hadapan berhala. Para pengikut Musa
Alaihissalam minta kepada Musa untuk dibuatkan berhala
seperti yang dimiliki para penyembah berhala itu.
Syaikh Shalih Fauzan mengatakan bahwa mereka tidak sampai
melakukan kesyirikan, baik bani Israil atau para sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka hanya mengutarakan
permintaan dan belum melakukannya. Apabila mereka
melakukan apa yang mereka minta, tentu mereka menjadi
musyrik. (Dirangkum dari penjelasan Syaikh Shalih Fauzan)
Adapun Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh mengatakan bahwa ketika
Nabi shalllahu ‘Alaihi Wasallam melarang, mereka pun berhenti.
Apabila mereka melakukan apa yang mereka minta, tentu
perbuatan itu menjadi syirik besar. Namun, ketika mereka hanya
minta tanpa melakukannya, mereka hanya dihukumi melakukan
syirik kecil karena terdapat padanya unsur ketergantungan
kepada selain Allah. (Syarah Kitab Tauhid, hlm. 116)
Seperti inilah keterangan ulama tauhid tentang hadits di atas.
Mereka tidak musyrik karena tidak sampai melaku­kan apa yang
mereka minta. Adapun orang-orang yang akidahnya tercemar
justru mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil yang
menegaskan kejahilan adalah uzur sekali pun dalam syirik besar
karena pada hadits ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
mengafirkan para sahabat!
Asy-Syaikh Abdullah Ad-Duwais rahimahullah pada masail yang
ketujuh dari kitab Masa’il Kitab At-Tauhid mengatakan bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memberi uzur kepada
mereka, bahkan menyanggah dengan mengatakan, “Allahu
Akbar, ini adalah ajaran...sungguh kalian akan mengikuti jejak
langkah orang-orang sebelum kalian.” Beliau menilai besar

32
Kaidah Keempat

:‫القاعدة الرابعة‬
‫أن مشركي زماننا أغلظ شركاً من األولني ألن األولني يشركون يف‬
‫الرخاء وخيلصون يف الشدة ومشركو زماننا شركهم دائماً يف الرخاء‬
ِ ِ َّ ‫ك دعوا‬ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ني لَه‬
َ ‫اللَ مُْلص‬ ُ َ َ ‫و ِالشدة والدليل قوله تعاىل (فَإ َذا َركبُوا ف الْ ُف ْل‬
)65:‫اه ْم إِ َل الْبـَِّر إِ َذا ُه ْم يُ ْش ِرُكو َن) (العنكبوت‬
ُ ََّ‫ين فـَلَ َّما ن‬
َ ‫ال ّد‬
‫وصلى هللا على حممد وآله وصحبه وسلم‬

B ahwa musyrikin pada zaman kita lebih jelek


kesyirikannya daripada musyrikin zaman dahulu
karena musyrikin dahulu menyekutukan Allah pada saat
lapang, dan pada saat terjepit mereka mengikhlaskan
(ibadah kepada Allah). Sedangkan musyrikin zaman
sekarang kesyirikan mereka terus-menerus, pada saat
lapang dan sempit.23
perkara ini dengan tiga ucapan ini: “Allahu Akbar”, “ini adalah
ajaran”, dan “kalian akan mengikuti jejak langkah orang-orang
sebelum kalian.”

23 Musyrikin dahulu menyekutukan Allah hanya saat senang,


tenang, dan aman. Namun, ketika mereka ditimpa cobaan,
musibah, atau bencana, mereka hanya menyeru Allah semata

33
Dan dalil akan hal ini adalah firman Allah Ta’aala:

‫اه ْم إِ َل الْبـَِّر‬ ِ ِ ِ َّ ‫ك دعوا‬ ِ ِ ِ ِ


ُ ََّ‫ين فـَلَ َّما ن‬
َ ‫ني لَهُ ال ّد‬
َ ‫اللَ مُْلص‬ ُ َ َ ‫فَإ َذا َركبُوا ف الْ ُف ْل‬
‫إِ َذا ُه ْم يُ ْش ِرُكو َن‬
“Maka jika mereka menaiki kapal mereka menyeru
Allah dengan mengikhlaskan bagi Allah agama ini. Tapi
dan mereka lupa kepada sesembahan-sesembahan yang
biasa mereka seru sebelumnya. Akan tetapi, musyrikin zaman
sekarang menyekutukan Allah pada semua keadaan, baik lapang
maupun sempit. Saat lapang, mereka menyekutukan Allah. Saat
sempit, kesyirikan mereka semakin menjadi-jadi.
Hal lain yang menjadikan kesyirikan musyrikin sekarang lebih
jelek daripada musyrikin zaman dahulu. Musyrikin dahulu
hanya menyekutukan Allah dalam perkara ibadah (uluhiyah),
sedangkan dalam hal rububiyah mereka tetap mentauhidkan
Allah. Akan tetapi, musyrikin sekarang melakukan kesyirikan
dalam perkara ibadah (uluhiyah) dan rububiyah.
Alasan lain, musyrikin zaman dahulu menyekutukan Allah
dengan hamba-hamba pilihan, malaikat, nabi, dan orang saleh.
Selain itu, mereka juga menyekutukan Allah dengan benda mati
yang tunduk kepada Allah dan tidak bermaksiat, seperti mata­
hari, bulan, pohon, atau batu. Akan tetapi, musyrikin zaman
sekarang ada yang beribadah kepada orang-orang yang fasik
semasa hidupnya. Ketika orang fasik itu mati, dia diibadahi
selain ibadah kepada Allah, seperti yang dilakukan sekelompok
pengikut tarikat-tarikat kafir yang beribadah kepada syaikh-
syaikh mereka yang pada saat hidup, mereka menghalalkan yang
Allah haramkan atau sebaliknya, mengharamkan yang Allah
halalkan. Ada juga yang beribadah kepada orang yang semasa
hidupnya mengajak kepada kesyirikan dan ketika mati diibadahi
di samping ibadah mereka kepada Allah. Wal iyadzu billah.

34
ketika kami selamatkan mereka ke daratan, mereka pun
(kembali) melakukan kesyirikan.” (QS Al-Ankabut:
65)24
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.

Selesai

24 At-Thabari berkata, bahwa apabila musyrikin itu naik ke


kapal di lautan, kemudian mereka takut tenggelam dan takut
kebinasaan, “...mereka menyeru Allah dengan mengikhlaskan
bagi Allah agama ini”, yakni saat terjepit dan saat musibah
datang mereka mengikhlaskan tauhid hanya untuk Allah
dan memurnikan ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya.
Pada kondisi itu, mereka tidak minta keselamatan melalui
sesembahan-sesembahan mereka (selain Allah) dan tandingan-
tandingan mereka, tetapi mereka minta keselamatan hanya
kepada Allah yang telah menciptakan mereka. “Dan ketika
Allah selamatkan mereka ke daratan ....”, yakni ketika Allah
selamatkan mereka dari musibah yang mengancam dan kembali
ke daratan mereka kembali menjadikan bagi Allah sekutu
dalam peribadahan. Mereka kembali menyeru sesembahan-
sesembahan dan berhala-berhala mereka di samping ibadah
mereka kepada Allah.

35
Hukum Minta

Syafaat
kepada Orang Hidup
& Minta Didoakan Orang Mati

Jafar Salih
Minta Syafaat
dari Orang Hidup

G ambaran permasalah ini sebagaimana seseorang


yang berkata kepada temannya, gurunya, atau
selainnya, “Wahai fulan, jika kamu masuk surga dan
tidak mendapati aku di sana, cari aku atau tanyakan
kepada Allah aku di mana.”
Ucapan ini adalah suatu kesalahan dalam meng­
ambil hukum dari sebuah hadits sahih. Hadits tersebut
berbicara tentang syafaat yang diberikan oleh orang-
orang yang beriman kepada temannya yang beriman
di akhirat.1 Akan tetapi, hadits ini sama sekali tidak
menerangkan bahwa ketika di dunia, mereka saling
meminta syafaat dari temannya, baik untuk dimasukkan
ke dalam surga maupun diselamatkan dari neraka.
Ada juga ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnul
Jauzi yang berkata kepada teman-temannya, “Kalau
kalian tidak mendapati aku di surga di antara kalian,
1 Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu.

38
tanyakan aku. Katakan, Wahai Rabb, kami hamba-Mu.
Si fulan dahulu selalu mengingatkan kami kepada-
Mu.” Kemudian, beliau menangis.2
Persoalannya, bolehkah mengatakan ucapan ter­
sebut kepada seseorang yang diyakini sebagai orang
saleh?
Ucapan di atas tidak keluar dari bentuk minta
syafaat. Menurut bahasa, syafaat adalah meminta
kebaikan untuk orang lain. Dalam ucapan di atas,
dia minta kepada temannya yang hidup agar di

2 Ibnul Jauzi (w. 597) adalah Jamaluddin Abul Faraj. Beliau


merupakan seorang ulama yang menonjol dan menguasai
banyak bidang keilmuan. Karya tulisnya mencapai 300-an.
Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai singa podium yang sangat
berpengaruh. Di antara karya tulisnya yang paling dikenal adalah
Zaadul Masiir fi ilmi Tafsir, Shaidul Khatir, Talbis Iblis, dll. Akan
tetapi, akidah beliau kurang jelas, seringkali condong kepada
Asy’ariyah dan sesekali condong kepada akidah salaf. Ibnu
Rajab Al-Hambali berkata, “Di antara sebab sebagian guru-guru
kami dan para imam dari Baitul Maqdis mengkritiknya adalah
kecondongannya kepada takwil pada sebagian ucapannya. Dan
kritikan mereka kepadanya dalam hal ini cukup keras. Dan tidak
diragukan bahwa ucapannya dalam perkara ini goncang dan
bertabrakan.”
Imam Muwaffaqud-Diin Al Maqdasi berkata, “Dahulu Ibnul Jauzi
imam di zamannya dalam menyampaikan nasihat, banyak hafal
hadits dan seorang penulis. Hanya saja, kami tidak suka dengan
karya-karyanya terkait sunah dan juga kepada metodenya.”
https://islamqa.info/ar/127762

39
akhirat, temannya ini minta kepada Allah untuk me­
nyelamatkannya apabila ternyata nasibnya di neraka.
Ringkasnya, dia minta agar temannya minta kepada
Allah. Inilah bentuk minta syafaat.
Apabila bentuk permintaan di atas telah dipahami
sebagai perbuatan minta syafaat, maka ketahuilah
bahwa syafaat di akhirat ada dua macam.
1. Syafaat mutsbatah, yakni syafaat yang diakui
keberadaannya oleh Al-Qur’an.
2. Syafaat manfiyah, yakni syafaat yang diklaim oleh
orang-orang musyrik, tetapi ditolak keberadaannya
oleh Al-Qur’an.
Al-Imam Al-Mujaddid rahimahullah berkata,
“Syafaat manfiyah adalah syafaat yang diminta dari
selain Allah dalam perkara yang tidak disanggupi
kecuali oleh Allah. Sedangkan syafaat mutsbatah adalah
syafaat yang diminta dari Allah.” (Al-Qawaid Al-Arba’
yang terdapat dalam kitab Silsilah Syarah Rasa’il, hlm.
341-342).
Dalam kitab Asy-Syafaat (hlm. 21), guru kami, Al-
Walid Al-‘Allamah Al- Muhaddits Muqbil Al-Wadi’iy
rahimahullah berkata bahwaSyafaat mutsbatah (syafaat
yang diakui Al-Qur’an) tidak diterima kecuali apabila
syarat-syaratnya terpenuhi.

40
1. Kemampuan Asy-Syafi’ (pihak yang diklaim
sebagai pemberi syafaat) dalam memberi syafaat.
Allah Ta’aala berfirman, “Dan sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah
tidak dapat memberi Syafaat. Akan tetapi,
(orang yang dapat memberi Syafaat ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka
menyakini(nya).” (QS Az-Zukhruf: 86)
2. Islamnya Al-Masyfu’ lahu (pihak yang menerima
syafaat). Allah Ta’aala berfirman, “Orang-
orang yang zalim tidak mempunyai teman setia
seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang
pemberi Syafaat yang diterima Syafaatnya.” (QS
Ghafir: 18)
3. Izin Allah kepada Asy-Syafi’ untuk memberi
syafaat. Allah Ta’aala berfirman, “Siapakah
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa
izin-Nya?” (QS Al Baqarah: 255)
4. Keridaan Allah terhadap Al-Masyfu’ lahu. Allah
Ta’aala berfirman, “Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, Syafaat mereka sedikit­­pun
tidak berguna kecuali sesudah Allah mengitin­kan
bagi orang yang dikehendaki dan diridai(Nya).”
(QS An-Najm: 26)
Ketika salah satu syarat-syarat di atas tidak
terpenuhi, hal itu termasuk ke dalam syafaat kedua,

41
yaitu syafaat yang diakui oleh musyrikin dan dinafikan
oleh Al-Qur’an.
Asy-Syaikh Ahmad Al-Hazimi hafidzahullah
me­­nerang­kan, “Perbedaan antara kedua syafaat di
atas adalah apabila diminta dari Allah dialah syafaat
mutsbatah. Dan apabila diminta dari selain Allah maka
dialah yang disebut syafaat manfiyah atau syafaat
syirkiyah (yang syirik).” (Al Qaulus Sadiid fi Bayani
Hukmi Thalabis-Syafaah minas-Syahid, hlm 5-6)
Kembali pada hakikat ucapan di atas, apabila ada
seseorang berkata kepada temannya, “Tolong aku jika
kamu tidak dapati aku di surga” atau ucapan yang
semisal dengan ini. Orang ini minta kepada temannya
yang hidup di dunia. Apabila yang diminta adalah agar
temannya berdoa di dunia untuk kebaikan dirinya di
akhirat, hal ini tidak diperdebatkan bahwa hukumnya
boleh, meski yang lebih utama adalah seseorang
berdoa sendiri. Namun, dalam kasus ini, gambarannya
berbeda. Dia bukan minta temannya berdoa di dunia,
tetapi minta temannya mencarinya di akhirat! Pada
ucapan ini terdapat beberapa pelanggaran syariat.
Pertama, tazkiyah atau pujian kepada seseorang
tanpa ilmu. Dengan ucapannya tersebut, tanpa sadar
dia telah memuji orang tersebut sebagai orang yang
istiqamah sampai akhir hayatnya. Bahkan, ucapan

42
tersebut mengandung persaksian bahwa person
tertentu sebagai ahli surga. Ini menabrak pokok sunah.
Kedua, orang ini telah berburuk sangka kepada
Allah bahwa Allah akan menempatkan dirinya di
neraka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
telah bersabda, “Jangan kalian mati kecuali dia berbaik
sangka kepada Allah.”
Ketiga, dia telah minta kepada makhluk sesuatu
yang tidak dimiliki oleh makhluk karena telah
dimaklumi bahwa syafaat hanya milik Allah. Oleh
karena itu, tidak dinukil dari seorang pun sahabat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang melakukan
hal ini di antara mereka, kecuali satu riwayat dari
Rabi’ah bin Ka’ab Al Aslami Radhiyallahu ‘Anhu yang
minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim.
Rabi’ah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku minta
kepadamu menjadi temanmu di surga.” Dan dalam
riwayat Imam Ahmad, dia berkata, “Aku minta
kepadamu syafaatmu.” Namun, maksud ucapan Rabi’ah
ini adalah seperti yang dijelaskan oleh Al-‘Allamah
Ibnu Baz rahimahullah, beliau berkata, “Maksud
(ucapan Rabi’ah), aku minta kepadamu menemanimu
di surga dengan kamu tunjuki aku sebab-sebabnya.”
(http://www.binbaz.org.sa/noor/1366)

43
Dapat juga dikatakan bahwa hal ini berlaku khusus
untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena
telah diketahui bahwa Allah memberikan kepadanya
wewenang syafaat. Namun, selain beliau, kita yang
hidup tidak mengetahui bahwa seseorang diberi
wewenang memberikan syafaat atau tidak, sekalipun
dia orang saleh semasa hidupnya, apalagi orang itu
belum wafat.
Keempat, perbuatan ini membuka celah bagi
orang-orang musyrik untuk mendebat ahli tauhid.
Kenapa kalian melarang kami minta syafaat kepada
Nabi, sedangkan kalian sendiri minta kepada teman
atau guru kalian, apakah guru dan teman kalian lebih
tinggi kedudukannya dari Nabi?
Apabila ucapan tersebut kita dudukkan dengan
syarat-syarat syafaat mutsbatah satu per satu, tampak
dengan jelas hukum perkara ini.
Untuk memperjelas perkara yang sudah terang ini
sehingga tidak menyisakan sedikit pun keraguan, kami
mengajukan pertanyaan kepada beberapa ulama Saudi
Arabia yang bisa kami hubungi.
Pertanyaan diajukan kepada Prof. Dr. Isham Sinani
hafidzahullah oleh Yayasan Sahabat Iman, Semarang.
Pertanyaan:“Tersebar di tengah-tengah kami
ucapan seseorang kepada saudaranya yang saleh,

44
‘Apabila Allah masukkan kamu ke dalam surga, berilah
syafaat kepadaku.’ Apa hukum ucapan seperti ini?”
Jawaban Prof. Dr. Isham Sinani hafidzahullah:
“Permintaan seperti ini tidak sepatutnya karena
syafaat bukan miliknya. Ditambah lagi, seseorang
(yang dimintai ini) bisa tertipu keadaannya. Kedua,
bahwa salaf kita dahulu dan para salehin tidak ada
yang mengatakan ucapan ini.”

Pertanyaan yang sama diajukan kepada Prof. Dr.


Syaikh Abdullah Dumaiji hafidzahullah, Guru Besar
Akidah Universitas Ummul Qura, Makkah, oleh
Yayasan Sahabat Teladan, Bogor;
Pertanyaannya: “Apa hukum minta syafaat dari
orang hidup, seperti seseorang yang berkata kepada
temannya, ‘Kalau kamu tidak dapati aku di surga
carilah aku dan tanyakan kepada Allah aku (di mana)’,
yakni dia minta kepada temannya yang masih hidup
untuk memberinya syafaat di akhirat kelak apakah
untuk masuk surga atau keluar dari neraka?”
Jawaban Prof. Dr. Syaikh Abdullah Dumaiji
hafidzahullah: “(Minta) syafaat dibolehkan dan boleh
juga memintanya dari orang yang masih hidup di
dunia dalam artian minta didoakan karena doa adalah
syafaat. Adapun caranya seperti yang disebutkan di
pertanyaan, ini tidak boleh. Apakah yang dimintai
syafaat ini dijamin masuk surga? Dijamin mendapatkan
izin dari Allah memberi syafaat? Dijamin ada keridaan
Allah untuk yang mendapatkannya?”

45
Ketika seseorang menanyakan hal ini kepada Asy-
Syaikh Walid bin Rasyid Asy-Su’aidan hafidzahullah,
beliau berkata, “Orang hidup tidak memiliki syafaat di
akhirat. Orang yang memintanya telah minta syafaat
dari pihak yang tidak memilikinya.”
Ada pendapat lain yang mengatakan boleh
mengucapkan ucapan ini kepada orang saleh yang
masih hidup, tetapi dengan syarat, “Apabila Allah
berikan kepadamu surga dan Allah izinkan kepadamu
memberi syafaat ….” Pendapat ini disandarkan kepada
Ubadah bin Shamith Radhiyallahu ‘Anhu oleh Asy-
Syaikh Musthafa Al-Adawi tanpa menyebutkan sumber
dan kesahihannya.
Pendapat terakhir membolehkan memintanya dari
orang yang berangkat jihad karena dianggap akan mati
syahid. Akan tetapi, persoalannya, siapa yang tahu
bahwa orang itu mati syahid atau tidak, bahkan bisa
saja ternyata dia selamat dan umurnya panjang.
Simpulannya, yang utama adalah tidak mengatakan
ucapan ini dan yang semisal dengannya kepada siapa
pun dari orang yang masih hidup, apalagi kepada
orang yang sudah wafat. Terlebih, dalam masalah
ini, ada ulama yang mengatakan bahwa ucapan ini
termasuk syirik besar, seperti yang dijelaskan oleh
Asy-Syaikh Ahmad Al-Hazimi hafidzahullah dalam

46
pembahasan khusus tentang ini. (http://alhazme.net/
articles.aspx?article_no=2047)
Apabila kita menginginkan syafaat dari orang-
orang yang beriman, kita boleh mengucapkan,
“Allahumma Syaffi’ fiyya Ikhwani Al Muslimin” (Ya
Allah, berikanlah kepadaku syafaat teman-temanku
yang beriman). Kita memintanya kepada Allah yang
memilikinya, tanpa memastikan siapa teman yang
beriman yang dimaksud.

Wallahua’lam
Tajurhalang, 27 Februari 2017

47
Minta Didoakan MayitT

B elakangan ini muncul pernyataan popular yang


mengatakan bahwa minta doa kepada mayit
hukumnya bidah, bukan termasuk kesyirikan. Orang-
orang yang berpendapat seperti ini membedakan
antara perbuatan beribadah kepada orang saleh seperti
yang dilakukan musyrikin1, dengan perbuatan minta
syafaat kepada mereka seperti mengatakan,  “Wahai
Rasulullah, doakan kami!”2
1 Orang-orang jahiliyah dahulu menjadi musyrik karena ber­
ibadah kepada orang-orang saleh. Mereka beribadah kepada
orang-orang saleh bukan karena orang-orang saleh itu bisa
mengabulkan doa atau meluluskan hajat, melainkan semata-
mata karena mengharapkan syafaat mereka di sisi Allah. Mereka
menyembelih, bernadzar, bersujud kepada orang-orang saleh
yang mereka anggap sebagai perantara antara mereka dengan
Allah. Hal ini sebagaimana yang Allah terangkan di dalam Al-
Qur’an surat Az-Zumar ayat 3 dan surat Yunus ayat 18.

2 Minta doa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaiihi Wasallam saat


beliau masih hidup termasuk tawasul yang dibolehkan. Dahulu,
sebagian sahabat minta doa kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Sesudah beliau wafat, tidak didapati satu pun
riwayat yang menyatakan ada sahabat yang datang ke kuburan
beliau untuk minta didoakan.

48
Mereka mengatakan bahwa orang jahiliyah dulu
menjadi musyrik karena memberikan ibadah kepada
selain Allah. Sementara itu, meminta syafaat kepada
Nabi tanpa memberikan ibadah kepadanya bukan
kesyirikan, melainkan hanya kebidahan saja.3
Dalam hal ini, mereka bersandar—di antaranya—
kepada ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-
Fatawa  (1/351) ketika menyebutkan macam-macam
bentuk doa yang menyimpang,  beliau berkata sebagai
berikut.

Kedua, mengatakan kepada mayit atau orang yang


tidak hadir (gaib) dari para nabi dan orang-orang saleh,
“berdoalah kepada Allah untukku”,  atau  “berdoalah
kepada Rabmu untukku”, atau  “mintakan kepada
Allah untukku”. Ucapan ini seperti perkataan orang-
orang Nashara kepada Maryam dan selainnya. Bentuk
doa yang seperti ini tidak ada satu pun orang berilmu
yang ragu bahwa ini tidak boleh,  dan ia termasuk
bidah yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun
dari pendahulu umat ini.

Ucapan Ibnu Taimiyah  rahimahullah,  “… dan ia


termasuk bidah” inilah yang menjadi pegangan mereka
3 Dan di sana ada yang mengatakan bahwa perbuatan ini boleh
dan bukan kebidahan sama sekali. Di antara mereka  adalah
seorang penulis kontemporer Dr. Muhammad Said Ramadhan
Al-Buthi. Pendapatnya tidak kami bahas di sini karena jauhnya
pendapat ini dari kebenaran.

49
sehingga mereka menolak mengatakannya sebagai
kesyirikan.
Selain itu kelompok ini juga menolak klaim
yang mengatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyah
rahimahullah  dengan  bidah  tersebut adalah
bidah  syirkiyyah  (kesyirikan) dengan alasan bahwa
beliau sendiri telah membedakan antara perbuatan
syirik besar dan perbuatan bidah.
Dalam kitab  Rad ‘Alal Akhna’i  (hlm. 354)
Ibnu Taimiyah  rahimahullah  berkata bahwa telah
didapati pada sebagian orang-orang belakangan
dalam perkara ini  sebuah kebidahan yang tidak
dianggap  mustahab  oleh seorang pun imam yang
empat, seperti minta istigfar kepadanya (mayit),  dan
sebagian orang-orang jahil dari masyarakat awam
menambahkan (padanya) perbuatan yang haram atau
kufur berdasarkan kesepakatan muslimin seperti sujud
kepada hujrah dan tawaf di sana dan perbuatan semisal
ini dari perkara-perkara yang bukan di sini tempat
yang tepat untuk menjelaskannya.
Minta  istigfar  kepada mayit adalah minta kepada
mayit untuk berdoa atau minta doa kepada mayit
seperti mengatakan,  “Wahai fulan (mayit), doakan
saya.” 
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah mem­
bedakannya dengan perbuatan sujud kepada hujrah dan

50
mengerjakan tawaf di sana yang termasuk kekufuran
berdasarkan ijma’ karena beribadah kepada selain
Allah. Mereka berkata bahwa ini berarti ada perbedaan
antara keduanya.4
Pertanyaannya benarkah kedua kasus ini berbeda
atau sebenarnya sama?
Pertama,  umat Islam sepakat bahwa doa adalah
ibadah yang agung yang diperintahkan di dalam Islam
sebagaimana firman Allah, 

ۚ ‫ب لَ ُك ْم‬ ِ ‫ال ربُّ ُكم ادع ِون أ‬


ْ ‫َستَج‬
ْ ُ ْ ُ َ َ َ‫َوق‬
“Dan Rabmu berkata: berdoalah kepadaku aku
akan penuhi.” (QS Ghafir: 60).
Oleh sebab itu, berdoa kepada selain Allah adalah
kesyirikan yang mengusir seseorang dari Islam.
Allah Ta’aala berfirman,

4 Terdapat perbedaan yang sengit dalam mendudukkan ucapan


Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam perkara ini. Apa yang telah
dinukil adalah dalil bagi pihak yang menganggap bahwa kedua
bentuk perbuatan di atas adalah berbeda. Selain itu, terdapat
ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah juga di tempat lainnya yang
menguatkan pendapat mereka yang menganggap keduanya
adalah sama, sama-sama syirik besar yang membatalkan Islam.
Kami akan nukilkan pada uraian di atas insya Allah.

51
‫ند َربِِّه ۚ إِنَّهُ َل‬
َ ‫آخَر َل بـُْرَها َن لَهُ بِِه فَِإَّنَا ِح َسابُهُ ِع‬ ٰ َِّ ‫ومن ي ْدع مع‬
َ ‫الل إِ َلًا‬ َ َ ُ َ ََ
‫يـُْفلِ ُح الْ َكافُِرو َن‬

“Dan barangsiapa berdoa di samping Allah kepada
ilah yang lain yang dia tidak memiliki keterangan
tentangnya sesungguhnya perhitungan dia adalah di
sisi Rabnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak
beruntung.” (QS Al Mu’minun: 117)
Berdoa kepada selain Allah adalah seperti shalat
atau puasa untuk kuburan, menyembelih untuk wali
atau jin, dan lain-lain. Termasuk dalam perkara ini
adalah meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak
dapat disanggupi kecuali oleh Allah, seperti minta
hujan, rezeki, kesembuhan, dan lain sebagainya. Kedua
macam doa ini disepakati hukumnya, yakni syirik
besar.
Kedua,  tidak dimungkiri bahwa minta syafaat
termasuk dalam pengertian minta hajat. Syafaat
artinya minta kebaikan untuk orang lain. Jadi, minta
syafaat kepada makhluk artinya minta kepadanya
untuk meminta.  Oleh karena itu, minta doa kepada
mayit termasuk minta syafaat dan ia tidak keluar dari
pengertian minta hajat.5 Memang seseorang yang
5 Ucapan orang yang mengatakan minta kepada mayit untuk
berdoa bukan termasuk minta hajat, karena dalam hal ini

52
minta doa kepada mayit tidak minta kepadanya untuk
melakukan perbuatan, seperti memberi rezeki atau
menyembuhkan penyakit, tetapi minta kepada mayit
untuk berdoa tidak bisa dikeluarkan dari pengertian
minta hajat kepadanya karena berdoa juga merupakan
perbuatan.
Ketiga,  bahwa syafaat seluruhnya hanya milik
Allah. Oleh karena itu,  memintanya dari selain Allah
termasuk minta dari yang tidak memilikinya. 

َِ ُ‫الش َفاعة‬
ۖ ‫ج ًيعا‬ ِِ
َ َّ ‫قُل َّّل‬

“Katakanlah; milik Allah-lah Syafaat seluruhnya.”6


(QS Az-Zumar: 44)

Berdasarkan tiga perkara pokok ini, maka minta


doa kepada mayit (minta syafaat) tidak bisa dipisahkan
dari perbuatan minta hajat kepadanya. Asy-Syaikh
orang tersebut bukan minta si mayit untuk berbuat seperti
memberinya rezeki, adalah pemisahan yang membutuhkan
dalil.

6 Telah dijelaskan bahwa termasuk minta syafaat adalah minta


doa. Yang dikritisi di sini adalah minta doa kepada mayit.
Sementara itu, minta doa kepada orang yang masih hidup, hal
ini tidak diperselisihkan hukumnya boleh.

53
Shalih Alu Syaikh  hafidzahullah mengatakan, “Dan
orang-orang yang mengatakan bahwa perbuatan
ini, yaitu minta doa (kepada mayit) berbeda
dengan perbuatan minta (kepada selain Allah) yang
menjadikan pelakunya musyrik, sesungguhnya telah
membatalkan pokok tauhid seluruhnya pada bab ini.
Maka memisahkan (antara dua macam perbuatan ini)
menabrak dalil.” (Syarah At-Thahawiyah)

Larangan Berdoa kepada Selain Allah Ta’aala

Apabila jelas oleh kita perkara ini, ketahuilah


sesungguhnya Allah Ta’alaa telah melarang seseorang
berdoa (menyeru/minta) kepada selain-Nya dalam
banyak ayat Al-Qur’an.
Allah Ta’aala berfirman:

‫وأن املساجد هلل فال تدع مع هللا أحدا‬

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah


kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru
seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah)
Allah.” (QS Jin: 18)

54
Ibnu Katsir rahimahullah telah mengatakan,
“Allah  Ta’aala  berfirman memerintahkan segenap
hamba­ -Nya untuk men­ tauhidkan-Nya dalam per­
iba­dah­an kepada-Nya, dan tidak menyeru di sisi-Nya
siapa pun.”
Al-Qurthubi  rahimahullah  mengatakan, “Firman
Allah,  ‘Maka janganlah kamu menyeru seorang pun di
dalamnya disamping Allah.’  Ini adalah celaan kepada
orang-orang musyrikin yang menyeru selain Allah di
samping (mereka menyeru) Allah di Masjidil Haram
….”
Dan Allah Ta’aala berfirman:

‫يضرك فإن فعلت فإنك إذاً من‬


ُّ ‫وال تدعُ من دون هللا ماال ينفعك وال‬
‫الظاملني‬

“Dan janganlah kamu menyeru selain Allah dari


apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula)
memberi mudarat kepadamu; sebab jika kamu berbuat
(yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS Yunus:
106)
At-Thabari  rahimahullah  mengatakan, “Wahai
Muhammad, jangan kamu seru apa pun yang tidak
memberimu manfaat dan mudarat di dunia dan di

55
akhirat selain sesembahanmu dan penciptamu. Yang
dimaksud (dengan selain Allah) adalah  ilah-ilah  dan
berhala-berhala. (Dan) jangan pula kamu beribadah
kepadanya dengan mengharapkan manfaat darinya
atau khawatir mudarat. Karena sesungguhnya mereka
semua tidak memberimu manfaat dan mudarat. (Dan)
apabila kamu lakukan itu, dimana kamu menyerunya
selain Allah,  ‘maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang dzalim”  termasuk orang-
orang yang menyekutukan Allah, yang zalim kepada
dirinya sendiri.”
Larangan dalam ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya
bersifat umum mencakup semua bentuk doa dan
permintaan serta termasuk di antaranya minta doa
kepada mayit.
Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata bahwa
minta doa dari mayit agar Allah memberi keselamatan,
atau agar Allah memberi ampunan, atau agar Allah
memenuhi hajat dan seterusnya ini semua termasuk
ke dalam pengertian berdoa (menyeru/minta).
Allah  Ta’aala  berfirman,  “Dan sesungguhnya masjid-
masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah
kamu menyeru seseorang pun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah.” (QS Jin: 18)
Al-‘Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman bin
Hasan  rahimahullah  berkata bahwa minta kepada

56
makhluk dan minta pertolongan melalui mereka
dalam hal yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah
adalah kesyirikan yang terang. Dan apabila seseorang
berkata,  “Wahai waliyullah, berikanlah syafaat
kepadaku”, permintaannya haram. Dan minta syafaat
dari mereka mirip ucapan orang Kristen (yang berkata),
“Wahai bunda Maria berikanlah untuk kami syafaat
di sisi anak dan bapa”.  Dan umat Islam telah ijma’
(sepakat) bahwa ini adalah kesyirikan.  (Kasyfu Maa
Alqaahu Iblis, hlm. 213)
Dalam Mishbah Adz-Dzalam (hlm. 211), beliau juga
berkata bahwa telah dimaklumi ucapan Nashara (yang
mengatakan),  “Wahai Bunda Maria berilah syafaat
kepada kami di sisi Allah”  adalah termasuk seruan
apabila dikeraskan. Dan hal itu tidak mengeluarkannya
dari pengertian doa dan ibadah berdasarkan ijma’ umat
Islam.
Adapun dalam halaman 259, beliau mengatakan,
“Dan telah berlalu bahwa ucapan Nashara,  ‘Wahai
Bunda Maria, berikanlah syafaat kepada kami disisi
Allah’ adalah kesyirikan sesuai ijma’ umat Islam.”
Kalau sebelum ini diketahui dari ucapan Ibnu
Taimiyah  rahimahullah  bahwa beliau mengatakan
perbuatan tersebut hanya bidah, ketahuilah bahwa
Ibnu Taimiyah  rahimahullah  juga memiliki ucapan
dalam banyak tempat yang  mengatakan perbuatan ini

57
adalah syirik besar. Dalam Majmu’ Al Fatawa (1/158-
159), beliau mengatakan sebagai berikut.
Dan terkadang mereka berbicara kepada mayit
di kuburnya, “Mintalah untukku kepada Rabmu” atau
berbicara kepada orang hidup yang tidak hadir seperti
di saat orang itu hadir. Dan mereka mendendangkan
nyanyian-nyanyian yang mengatakan, “Wahai tuanku
Fulan, nasibku tergantung kepadamu”, “Aku berada
dalam tanggunganmu”, “Berikanlah syafaat untukku
di sisi Allah”, “Mintakan kepada Allah untuk kami agar
Dia memenangkan kami dari musuh kami”, “Mintakan
kepada Allah agar Dia mengangkat kesulitan kami”,
“Aku mengadu kepadamu ini dan itu, dan mintalah
kepada Allah agar Dia menyingkap kesulitan ini”, atau
mereka berkata,  “Mintalah kepada Allah agar Dia
mengampuni aku”.  Maka semua ini dari perbuatan
berbicara kepada para malaikat, nabi dan orang-
orang saleh setelah mereka wafat, di kuburan mereka
dan di saat ketidakhadiran mereka (yang hidup), dan
berbicara dengan berhala-berhala tersebut adalah
termasuk jenis kesyirikan paling besar yang ada pada
orang-orang musyrikin selain Ahli Kitab.

Beliau juga mengatakan bahwa apabila kamu


menetapkan perantara-perantara antara Allah dengan
makhluknya, seperti para  hujjab  (protokoler) yang
ada antara raja dengan rakyatnya, di mana mereka
mengangkat kepada Allah hajat keperluan makhluk-
Nya, sehingga Allah menunjuki hamba-Nya dan
memberi rezeki kepada mereka dengan sebab

58
perantaraan mereka. Makhluk meminta, sedangkan
mereka (perantara ini) minta kepada Allah, persis seperti
perantara yang ada di sisi raja-raja. Mereka minta kepada
raja-raja hajat keperluan rakyatnya karena kedekatan
perantara tersebut dengan rakyat. Dan rakyat minta
kepada perantara-perantara tersebut sebagai bentuk
adab dari mereka untuk tidak langsung minta kepada
raja, atau karena minta melalui perantara lebih ampuh
daripada minta secara langsung, karena dekatnya
perantara tersebut kepada raja dalam meminta hajat.
Barangsiapa menetapkan mereka sebagai perantara
dalam bentuk seperti ini, maka dia kafir musyrik, wajib
diminta bertobat. Apabila dia bertaubat (dilepas), dan
jika tidak maka dibunuh. (Majmu’ Fatawa, 1/126)

Simpulan

Sejauh yang kami ketahui, pihak yang mengatakan


bahwa minta doa kepada mayit hanya kebidahan (bukan
kesyirikan yang besar) tidak memiliki sandaran selain
ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Sedangkan Ibnu
Taimiyah sendiri memiliki ucapan lain yang berbeda,
yakni ucapan yang menggolongkannya sebagai syirik
besar. Oleh karena itu, membawa ucapan beliau sejalan
dengan petunjuk Al-Qur’an lebih tepat, lebih sesuai,
dan lebih beradab daripada mempertentangkannya

59
karena dalil dalam perkara agama adalah kitabullah,
hadits, dan ijma’, bukan ucapan seorang alim.
Adapun ucapan seseorang kepada mayit, nabi, atau
selainnya  “Wahai fulan, doakan kami”  atau  “Wahai
fulan, berilah syafaatmu kepada kami”  adalah
permintaan dan seruan. Perkara ucapan ini sebagai
permintaan, hal itu telah kami singgung di atas.
Sedangkan menempatkan ucapan ini sebagai seruan,
maka hukumnya termasuk syirik besar karena orang
yang menyeru mayit atau orang yang gaib darinya
meyakini si mayit atau orang yang gaib yang diserunya
memiliki kemampuan khusus, seperti mendengar
ucapan orang yang menyerunya atau melakukan
tindakan sesuai keinginan orang yang menyerunya.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’aala, 

ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َّ
‫وه ْم َل يَ ْس َمعُوا‬ ُ ُ‫ين تَ ْدعُو َن من ُدونه َما يَْل ُكو َن من قطْم ٍري إِن تَ ْدع‬ َ ‫َوالذ‬
ۚ ‫استَ َجابُوا لَ ُك ْم ۖ َويـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة يَ ْك ُفُرو َن بِ ِش ْركِ ُك ْم‬ ِ
ْ ‫ُد َعاءَ ُك ْم َولَ ْو َسعُوا َما‬
‫ك ِمثْ ُل َخبِ ٍري‬
َ ُ‫َوَل يـُنـَبِّئ‬

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain


Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.  Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada
menendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.

60
Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan
keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui.” (QS Fathir: 14)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin  rahimahullah  berkata dalam  Syarah Kasyf
Syubuhat (hlm. 93) tentang orang yang minta syafaat
kepada Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa
sesungguhnya orang musyrik ini tidak mengharap
dari Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  untuk
memberinya syafaat karena kalau dia menginginkannya
dia akan bilang,  “Ya Allah, jadikanlah Nabi-
Mu memberikan syafaatnya kepadaku”.  Akan
tetapi, dia menyeru Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam langsung. Dan menyeru selain Allah adalah
syirik besar yang mengusir pelakunya dari agama.

Wallahua’lam.
Tajurhalang, 24 Februari 2017
 

61

Anda mungkin juga menyukai