Penulis
Muhammad bin Abdul Wahhab
Penyunting Bahasa
Abu Tebing
Penata Letak
Rumah Cakrawala
Cetakan ke-1
September, 2017
Diterbitkan Oleh
Lingkar Sahabat
“
I slam muncul dianggap asing, dan akan kembali
asing sebagaimana kemunculannya dan beruntung
lah orang-orang yang dianggap asing.”
Begitulah sabda baginda Rasulullah Shallalahu
‘Alaihi Wasallam semenjak kurang lebih 14 abad yang
lampau ketika Nabi mengajak bangsa Arab kepada
kalimat tauhid “Laa ilaaha Illallah.”. Namun, mereka
menolak dan mengatakan, “Apakah dia menjadikan
sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan
saja. Sesungguhnya ini benar-benar perkara yang
ajaib!” (QS Shaad: 5)
Inilah keterasingan itu, keterasingan tauhid. Orang
yang memahaminya, mengamalkan kandungannya,
dan tidak terjatuh dalam pembatalnya, telah menjadi
asing dan semakin asing pada akhir zaman. Banyak
orang mengaku muslim, tetapi tidak sedikit dari
mereka merasa asing akan makna yang benar dari
kalimat agung ini: “Laa ilaaha Illallah.”
v
Di antara ulama yang konsern mendakwahkan
makna “Laa ilaaha Illallah” adalah Muhammad bin
Abdul Wahhab. Ulama yang lahir pada awal abad ke-
12 Hijriyah ini merupakan sosok yang sangat populer.
Karya-karyanya banyak yang menjelaskan akan hakikat
kalimat yang agung ini. Dan di antaranya adalah buku
yang ada di tangan pembaca ini, Al-Qawaid Al-Arba’
yang kami alih bahasakan judulnya menjadi Jauhilah
Kesyirikan! 4 Kaidah Mengenal Agama Musyirkin dan
Perbedaannya dengan Islam.
Dalam buku ini, penulis menerangkan garis pem
beda ajaran yang dibawa oleh Rasululullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam berupa ajaran Islam dengan ajaran
yang beliau perangi berupa kesyirikan, yaitu dengan
memaparkan empat kaidah yang disarikan dari Al-
Qur’an dan As-sunnah yang shahihah.
Buku kecil ini layak menjadi pedoman setiap
muslim yang ingin mengetahui ajaran musyrikin agar
dapat menjauhinya. Selain itu, buku ini juga layak
dihadiahkan kepada orang-orang yang dicintai agar
terhindar dari bahaya dosa yang tidak diampuni oleh
Allah Ta’aala ini, yakni dosa kesyirikan!
Buku ini kami lengkapi dengan catatan kaki dan
faedah tambahan berupa tafsir bagi ayat-ayat Al-
Qur’an yang diambil dari tafsir Ibnu Katsir dan At-
Thabari, dan beberapa keterangan ulama seperti Imam
vi
Shan’ani, Syaikh Shalih Fauzan, dan lain-lain.
Di akhir buku ini, kami tambahkan tulisan tentang
dua masalah yang penting, yaitu hukum minta doa
kepada mayit dan hukum minta Syafaat dari orang
hidup karena banyak orang keliru dalam masalah ini.
Semoga usaha kecil ini bermanfaat dan men
dapatkan taufik dari Allah. Hanya kepada Allah semata
kami berharap, sesungguhnya Dia Maha Penolong dan
Maha Berkuasa.
vii
Biografi Penulis
ix
Selain itu, ia adalah seorang kutu buku. Ia belajar
dari ayahnya kitab fikih Hambali, kitab-kitab tafsir,
hadits, dan ushul terutama karya-karya Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim. Kedua ulama inilah yang paling
banyak mempengaruhi sisi keilmuan dan sikap-sikap
ilmiyahnya di kemudian hari.
Selain menuntut ilmu dari ulama negerinya, Syaikh
juga belajar ke Bashrah, Ahsa’, Makkah, dan Madinah,
bertemu dengan para ulama di sana dan belajar kepada
mereka.
Pada tahun 1206 Hijriyah, beliau wafat di Dir’iyyah,
ibu kota Kerajaan Arab Saudi yang pertama yang
sekaligus merupakan markas para penuntut ilmu dan
basis penyebaran dakwah tauhid ke segenap penjuru
negeri kala itu.
Di antara peristiwa penting dalam kehidupan beliau
adalah pertemuannya dengan penguasa Dir’iyyah Al-
Imam Muhammad bin Su’ud, yaitu setelah penguasa
Uyainah tidak sanggup lagi melindungi Syaikh dari
orang-orang yang menentangnya. Ia pun berjalan kaki
menuju Dir’iyyah seorang diri semenjak pagi dan baru
sampai di sana pada sore harinya.
Di sana, beliau singgah di rumah salah seorang
shalihin Muhammad bin Suwailim Al-Uraini. Namun,
pemilik rumah ketika itu khawatir terhadap penguasa
Dir’iyyah disebabkan menerima Syaikh sebagai tamu di
x
rumahnya. Syaikh menenangkannya dan mengatakan,
“Jangan khawatir, apa yang aku dakwahkan ini agama
Allah! Kelak Allah akan memberi kemenangan.”
Akhirnya, sampailah berita kedatangan Syaikh
Muhammad ke telinga penguasa Dir’iyyah melalui
istrinya. Dahulu, istri Imam Muhammad adalah
seorang wanita salihah. Ia berkata kepada suaminya,
“Kabar gembira akan datangnya keberuntungan yang
besar! Keberuntungan yang Allah giring kepadamu.
Seorang dai yang mengajak kepada agama Allah,
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Segeralah
menyambutnya dan membelanya, dan jangan pernah
berhenti sama sekali!”
Imam Muhammad bin Su’ud menerima saran
istrinya. Ia pun pergi ke rumah Muhammad bin
Suwailim untuk menemui Syaikh Muhammad.
Imam Muhammad berkata, “Wahai Syaikh, kabar
gembira, kami akan membelamu, melindungimu, dan
menolongmu!”
Syaikh Muhammad menjawab, “Dan Anda, kabar
gembira dengan kemenangan, kejayaan, dan masa
depan yang baik. Ini adalah agama Allah, barangsiapa
membelanya, Allah akan memenangkannya. Dan
barangsiapa menolongnya, Allah akan menolongnya.”
Imam Muhammad berkata, “Wahai Syaikh, aku
xi
akan membaiatmu di atas agama Allah dan rasul-
Nya dan berjihad di jalan-Nya. Namun, aku khawatir,
apabila aku membelamu dan menolongmu, lalu Allah
menangkan kamu di atas musuh-musuh Islam, kamu
akan meninggalkan kami dan pindah ke tempat lain.”
Syaikh menjawab, “Tidak, aku akan membaiatmu
di atas ini semua. Aku membaiatmu di atas darah
dengan darah dan kehancuran dengan kehancuran,
dan aku tidak akan keluar dari negerimu selamanya.”
Setelah itu, Syaikh pun tinggal di Dir’iyyah dengan
penuh kemuliaan. Beliau mengajar dan berdakwah
hingga datanglah berduyun-duyun para penuntut ilmu
dan orang-orang yang ingin hijrah ke sana sampai
dimulailah jihad. Beliau mulai menyurati penguasa-
penguasa negeri tetangga dan mengajaknya kepada
tauhid serta agar mereka meninggalkan kesyirikan.
Ia juga menyurati ulama-ulamanya hingga terjadilah
diskusi-diskusi melalui surat-surat, tulisan-tulisan,
penjelasan, dan sanggahan. Pada tahun 1158 H
dikibarkanlah panji jihad dan beliau berjihad hingga
akhirnya Allah mewafatkannya tahun 1206 H. Dakwah
dan jihad diteruskan oleh para penerusnya dari anak-
anaknya dan cucu-cucunya di bawah kepemimpinan
penguasa Dir’iyyah silih berganti hingga zaman kita
sekarang ini.
Di antara anak-anak beliau adalah Asy-Syaikh Al-
xii
Imam Abdullah bin Muhammad, Asy-Syaikh Husain
bin Muhammad, Asy-Syaikh Ali bin Muhammad,
Asy-Syaikh Ibrahim bin Muhammad. Dan di antara
cucu-cucu beliau adalah Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Hasan, Asy-Syaikh Ali bin Husain, dan Asy-Syaikh
Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad, dan selain
mereka. Dan di antara murid-murid beliau adalah Asy-
Syaikh Hamad bin Nashir bin Mu’ammar dan masih
banyak lagi dari ulama-ulama Dir’iyyah.
Orang-orang yang menentang dakwah tauhid saat
itu ada tiga golongan:
Pertama, para ulama yang percaya khurafat, melihat
kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya melihat
kebatilan sebagai kebenaran. Mereka menganggap
bahwa membangun kuburan, mendirikan masjid
di atas kuburan, menyeru penghuni kuburan, dan
istighatsah kepadanya adalah agama dan petunjuk.
Mereka menganggap orang-orang yang mengingkari
perbuatan mereka sebagai orang-orang yang membenci
orang-orang salih atau para wali. Mereka ini adalah
musuh yang wajib berjihad untuk memeranginya.
Kedua, mereka adalah orang-orang yang menisbat
kan diri-diri mereka kepada ilmu, tetapi tidak me
mahami hakikat Syaikh Muhammad dan dakwah
beliau. Mereka taklid kepada orang lain dan percaya
xiii
terhadap tuduhan kelompok pertama kepada Syaikh.
Mereka ikut mencela Syaikh, menjelek-jelekkan
dakwahnya, dan membuat orang-orang lari.
Ketiga, orang-orang yang mengkhawatirkan
jabatan dan kehidupannya. Mereka ikut-ikutan me
musuhi Syaikh agar jangan sampai para pembela
dakwah tauhid ke negerinya sehingga mengancam
jabatan dan kesenangannya.
Sejak era Asy-Syaikh Al-Mujaddid Muhammad bin
Abdul Wahhab sampai pada keturunannya, dakwah
dengan ilmu dan jihad dengan pedang tiada henti
dikumandangkan hingga Allah tuliskan kemenangan
dan kejayaan bagi dakwah yang berkah ini sampai era
modern sekarang ini. Semoga Allah Ta’aala memberi
para ulama tauhid dan pejuangnya pahala yang besar
dan menempatkan mereka di surga-Nya, amin.
xiv
Daftar Isi
Kata Pengantar ~ v
Biografi Penulis ~ ix
Mukadimah ~ 1
Kaidah Pertama ~ 9
Kaidah Kedua ~ 13
Kaidah Ketiga ~ 21
Kaidah Keempat ~ 33
Hukum Minta Syafaat dari Orang Hidup ~ 38
Minta Didoakan Mayit ~ 48
xv
Daftar Isi Catatan Kaki
1. Arti Hanifiyah ~ 2
2. Arti Tauhid dan Rukun Syahadat ~ 4
3. Analogi Tauhid dengan Thaharah ~ 5
4. Ijma ulama tentang surat An-Nisaa Ayat 48 ~ 6
5. Tauhid Rububiyah Bukan Standar Keislaman ~ 9
6. Macam-Macam Tauhid ~ 10
7. Allah Tidak Menerima Tauhid Rububiyah Tanpa
Tauhid Uluhiyah ~ 11
8. Kejahilan Sebab Utama Kesyirikan ~ 11
9. Arti Syafaat ~ 13
10. Berdoa dengan Perantara Orang Shalih Tanpa
Unsur Ibadah Bukan Syirik Besar ~ 14
11 Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 3 Menurut Thabari &
Ibnu Katsir ~ 15
12. Tafsir Surat Yunus Ayat 18 Menurut Thabari ~ 16
13. Contoh Syafaat Manfiyah ~ 17
14. Keterangan Syaikh Ibn Baz Tentang Ragam
Peribadatan Musyrikin ~ 21
xvi
15. Arti Kata Fitnah dalam Surat Al-Anfal Ayat 39 ~ 22
16. Sanggahan Terhadap Pernyataan Seorang Da’i
Bahwa Sujud kepada Matahari & Bulan Tidak
Kafir Kalau Jahil ~ 25
17. Arti Wasilah dalam Surat Al-Isra’ Ayat 57 ~ 28
18. Mengenal Sesembahan Musyrikin: Latta, Uzza,
dan Manat ~ 30
19. Bagaimana Memahami Hadits Dzatu Anwath ~
31
xvii
بسم هللا الرمحن الرحيم
أسأل هللا الكرمي رب العرش العظيم أن يتوالك يف الدنيا واآلخرة وأن
جيعلك مباركاً أينما كنت وأن جيعلك ممن إذا أعطى شكر وإذا ابتلى
.صرب وإذا أذنب استغفر فإن هؤالء الثالث عنوان السعادة
اعلم أرشدك هللا لطاعته أن احلنيفية ملة إبراهيم أن تعبد هللا وحده
ِ النْس إَِّل لِيـعب ُد
ِ ِْ خملصاً له الدين كما قال تعاىل (وما خلَ ْقت
)ون ُ َْ َ ْ ال َّن َو ُ َ ََ
)56 :(الذارايت
1
serta (agar Dia) menjadikanmu di antara orang-orang
yang ketika diberi (nikmat) bersyukur, diberi cobaan
bersabar, dan ketika berdosa beristigfar. Sesungguhnya,
tiga perkara ini merupakan tanda kebahagiaan3.
Ketahuilah—semoga Allah menunjukimu untuk
menaati-Nya—bahwa hanifiyah4 ajaran Ibrahim itu
dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS Maryam: 31).
Berkah artinya adalah adanya kebaikan dari Allah pada sesuatu.
2
adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan
mengikhlaskan untuk Allah agama ini (Ad-Diin),
sebagaimana firman Allah Ta’aala:
3
فإذا عرفت أن هللا خلقك لعبادته فاعلم أن العبادة ال تسمى عبادة إال
فإذا دخل.مع التوحيد كما أن الصالة ال تسمى صالة إال مع الطهارة
.الشرك يف العبادة فسدت كاحلدث إذا دخل يف الطهارة
فإذا عرفت أن الشرك إذا خالط العبادة أفسدها وأحبط العمل وصار
صاحبه من اخلالدين يف النار عرفت أن أهم ما عليك معرفة ذلك لعل
هللا أن خيلصك من هذه الشبكة وهي الشرك ابهلل الذي قال هللا تعاىل
)ُك لِ َم ْن يَ َشاء ِ ِ ِ
َ اللَ ال يـَ ْغفُر أَ ْن يُ ْشَرَك بِِه َويـَ ْغف ُر َما ُدو َن َذل
َّ فيه (إِ َّن
)48 :(النساء
: وذلك مبعرفة أربع قواعد ذكرها هللا تعاىل يف كتابه
Dan jika kamu telah mengetahui bahwa Allah
menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya saja,
ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali
apabila dibangun di atas tauhid6, seperti halnya shalat
6 Tauhid adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata.
Asalnya dari wahhada-yuwahhidu-tauhidan yang artinya me
nyatukan. Tauhid tercapai dengan memenuhi kedua rukunnya,
yakni nafi dan al-itsbat. Nafi adalah menolak ibadah kepada
selain Allah, dan itsbat adalah mengakui bahwa ibadah hanya
milik Allah semata dengan mengerjakan ibadah kepada Allah
saja. Ketika kedua rukun ini terpenuhi pada diri seseorang, dia
termasuk ahli tauhid atau muslim. Saat salah satunya tidak
terpenuhi, dia tidak termasuk ahli tauhid alias musyrik atau
kafir dan tidak layak disebut muslim. Seseorang yang belum
menauhidkan Allah atau tauhidnya batal maka ibadahnya tidak
diterima oleh Allah Ta’aala. “Dan tidak ada yang menghalangi
4
tidak disebut shalat kecuali dibangun di atas thaharah
(bersuci).7 Dan ketika kesyirikan mencampuri ibadah,
ibadah pun menjadi batal seperti halnya hadats8 ketika
mencampuri thaharah.9
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain
kan karena kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At-Taubah:
54)
5
Dan jika kamu telah mengetahui bahwa ketika
kesyirikan mencampuri ibadah, kesyirikan itu akan
merusaknya dan menggugurkan amalan (tersebut)
serta menjadikan pelakunya di antara orang-orang
yang kekal di neraka. Kamu pun tahu bahwa yang
terpenting bagi dirimu adalah memahami hal ini10.
Semoga Allah membersihkanmu dari jaring-jaring
ini, yaitu kesyirikan kepada Allah yang Allah Ta’aala
katakan tentangnya:
6
Yaitu dengan mengetahui empat kaidah yang Allah
sebutkan di dalam kitab-Nya.
7
8
Kaidah Pertama
:األوىل القاعدة
أن تعلم أن الكفار الذين قاتلهم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
مقرون أبن هللا تعاىل هو اخلالق املدبر وأن ذلك مل يدخلهم يف
ِ الس َم ِاء َو ْال َْر
ض أ ََّم ْن َّ اإلسالم والدليل قوله تعاىل (قُ ْل َم ْن يـَْرُزقُ ُك ْم ِم َن
ت ِم َن ِ ِ ِ ْ السمع و ْالَبصار ومن ُيْرِج ِ
َ ِِّج الْ َمي
ُ الَ َّي م َن الْ َميّت َوُيْر ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ ك ُ يَْل
)31:اللُ فـَُق ْل أَفَال تـَتـَُّقو َن) (يونس َّ الَ ِّي َوَم ْن يُ َدبُِّر ْال َْمَر فَ َسيـَُقولُو َن
ْ
9
Dalilnya adalah firman Allah Ta’aala:
Allah, melainkan mereka musyrik.” (QS Yusuf: 106). Musyrikin
beriman bahwa hanya Allah satu-satunya pencipta, pemilik,
pengatur alam semesta beserta isinya. Namun, bersamaan
dengan itu, mereka melakukan kesyirikan dengan beribadah
kepada selain-Nya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Di antara keimanan
mereka, apabila mereka ditanya, ‘Siapakah pencipta langit,
bumi, dan gunung?’ Mereka menjawab, ‘Allah!’ Akan tetapi,
mereka musyrik kepada Allah.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
Macam-Macam Tauhid
Tauhid ada 3 macam:
Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu menunggalkan Allah dalam
penciptaan (al-khalq), kepemilikan (al-mulk), dan pengaturan
(at-tadbir). Tauhid jenis ini diakui oleh fitrah setiap manusia,
baik mukmin maupun kafir sampai Fir’aun sekalipun tidak
mengingkari bahwa hanya Allah Ta’aala satu-satunya pencipta,
dan pengakuannya bahwa dialah Rabb yang tertinggi hanyalah
karena kesombongan dan takabbur saja. Allah Ta’aala
mengisahkan perihal Musa Alaihissalam yang mendatangi
Fir’aun, “Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu telah menge
tahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu
kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-
bukti yang nyata ….’” (QS Al-Isra’: 102)
Kedua, Tauhid Uluhiyah, yaitu memurnikan ibadah hanya
kepada Allah semata. Inilah poros perseteruan para nabi-nabi
dengan umatnya dan perbedaan antara muslim dan kafir.
Ketiga, Tauhid Asma’ was Sifat, yaitu menetapkan bagi Allah
nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana yang diberitakan
oleh-Nya dalam kitab-Nya atau rasul-Nya dalam sunnahnya
tanpa tahrif (menyelewengkan), takyif (menetapkan bentuk),
ta’thil (menolak), dan tamtsil/tasybih (menyerupakan dengan
makhluk).
10
ص َار
َ ْالس ْم َع َو ْالَب
َّ ك ِ ِ الس َم ِاء َو ْال َْر
ُ ض أ ََّم ْن يَْل َّ قُ ْل َم ْن يـَْرُزقُ ُك ْم ِم َن
ْ ت ِم َن
الَ ِّي َوَم ْن يُ َدبُِّر ْال َْمَر َ ِِّج الْ َمي
ِ ِ ِ ْ ومن ُيْرِج
ُ الَ َّي م َن الْ َميّت َوُيْر ُ ْ ََ
)31:اللُ فـَُق ْل أَفَال تـَتـَُّقو َن (يونس َّ فَ َسيـَُقولُو َن
“Katakanlah: Siapakah yang memberi kalian
rezeki dari langit dan bumi, siapakah yang menguasai
pendengaran dan pengelihatan dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengurus segala urusan? Maka kelak mereka
akan menjawab: Allah. Katakanlah: Tidakkah kalian
bertakwa?” (QS Yunus: 31)2
Barangsiapa mentauhidkan Allah dengan yang pertama, tetapi
tidak mentauhidkan-Nya dengan tauhid kedua, Allah tidak
menerima darinya. Al-Imam Ash-Shan’aani rahimahullah ber
kata dalam Tathhir Al I’tiqaad halaman 17 cetakan Daar Ibnul
Jauzi, “Segala puji hanya milik Allah yang tidak menerima tauhid
rububiyah dari hamba-Nya sampai mereka mentauhidkan-Nya
dengan tauhid ibadah dengan sebenar-benarnya.”
11
Kaidah Kedua
:الثانية القاعدة
أهنم يقولون ما دعوانهم وتوجهنا إليهم إال لطلب القربة والشفاعة
ين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدونِِه أ َْولِيَاءَ َما نـَْعبُ ُد ُه ْم إَِّل َ (والَّ ِذ
َ فدليل القربة قوله تعاىل
اللَ َْي ُك ُم بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن إِ َّن َ ُلِيـَُقِّرب
َِّ ون إِ َل
َّ الل ُزلْ َفى إِ َّن
)3 :ب َك َّف ٌار) (الزمر ِ ِ
ٌ اللَ ال يـَْهدي َم ْن ُه َو َكاذ َّ
ضُّرُه ْم َوال َِّ ونِ ودليل الشفاعة قوله تعاىل (ويـعب ُدو َن ِمن د
ُ َالل َما ال ي ُ ْ ُ َْ َ
)18 :الل) (يونس ِ
َّ الء ُش َف َع ُاؤ َن عْن َد ِ يـنـ َفعهم ويـ ُقولُو َن هؤ
َُ َ َ ْ ُ ُ َْ
13
Dalil qurbah adalah firman-Nya:
ِ
َ ُين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدونِِه أ َْوليَاءَ َما نـَْعبُ ُد ُه ْم إَِّل لِيـَُقِّرب
َِّ ون إِ َل
الل ُزلْ َفى َ َوالَّ ِذ
اللَ ال يـَْه ِدي َم ْن ُه َو َّ اللَ َْي ُك ُم بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن إِ َّن
َّ إِ َّن
)3 :ب َك َّف ٌار (الزمر ِ
ٌ َكاذ
“Dan orang-orang yang mengambil selain Dia
sebagai penolong-penolongnya (mereka mengatakan):
Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan agar
mereka mendekatkan diri-diri kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka pada apa yang mereka
perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada siapa yang dusta lagi sangat ingkar.”
(QS Az-Zumar: 3)6
Allah. Dari situ, mereka beribadah kepada orang-orang salih
dengan berbagai macam peribadatan, seperti sujud kepadanya,
menyembelih untuknya, bernazar, dan lain sebagainya. Mereka
berharapan, Allah akan memenuhi hajat-hajat mereka sebab
orang-orang saleh tersebut. Inilah yang menjadikan mereka
kafir musyrik meskipun mereka mengimani rububiyah Allah.
Adapun mengatakan bahwa termasuk kesyirikan kaum musyrikin
di zaman Nabi (syirik besar) adalah menjadikan Nabi atau orang
salih yang telah meninggal sebagai perantara dalam berdoa
tanpa diiringi pemberian ibadah kepadanya, ini kekeliruan yang
fatal! Konsekuensinya adalah mengafirkan mayoritas muslimin
yang jatuh kepada kebidahan. Maka perhatikanlah!
14
Dan dalil syafaat adalah firman-Nya:
15
syufa-a’ (pemberi syafaat) kami di sisi Allah.” (QS
Yunus: 18)7
7 At-Thabari berkata dalam tafsirnya, “Musyrikin yang kami
sebutkan kepadamu sifat-sifat mereka wahai Muhammad,
mereka beribadah kepada selain Allah yang tidak mencelakakan
mereka dan tidak memberi mereka manfaat di dunia dan di
akhirat. Dan ’musyrikin itu mengatakan: Mereka itu ....’, yakni
ilah-ilah dan berhala-berhala yang mereka ibadahi dengan
mengharapkan syafaat mereka disisi Allah itu adalah pemberi
syafaat kami di sisi Allah.”
Dan di akhir ayat ini, Allah sebut perbuatan mereka ini sebagai
kesyirikan. Allah Ta’aala berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah
kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya
di langit dan tidak (pula) di bumi’ Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).”
At-Thabari berkata, “Apa kalian mengabarkan kepada Allah
akan sesuatu yang tidak terjadi baik di langit maupun di bumi?
Yaitu bahwa ilah-ilah itu tidak memberi syafaat kepada mereka
di sisi Allah di langit atau di bumi. Dan dahulu orang-orang
musyrik beranggapan bahwa ilah-ilah itu memberi syafaat
kepada mereka di sisi Allah. Maka Allah katakan kepada Nabi-
Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Katakan kepada mereka:
Apa kalian mengabarkan kepada Allah bahwa apa-apa yang
tidak memberi syafaat di langit dan di bumi bisa memberi
syafaat kepada kalian?” Dan itu perkara yang batil yang
kalian tidak ketahui hakikat dan kebenarannya. Bahkan, Allah
mengetahui kebalikan yang kalian katakan; bahwa ilah-ilah
itu tidak memberi syafaat kepada siapa pun, tidak memberi
manfaat, dan tidak memudharatkan. (Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sekutukan) Allah berkata menyucikan dirinya dan
meninggikan-Nya dari apa yang diperbuat oleh musyrikin itu
berupa melakukan kesyirikan dalam peribadahan kepada-Nya
dengan sesuatu yang tidak mencelakakan dan tidak memberi
16
Macam-Macam Syafaat
8 Seperti minta kepada wali atau orang saleh yang sudah wafat
agar Allah menurunkan hujan, menyembuhkan orang sakit, atau
memberi rezki. Begitu pula meminta kepada orang mati untuk
berdoa karena telah disepakati oleh semua yang berakal bahwa
orang mati tidak bisa berbuat apa-apa termasuk berdoa. Oleh
karena itu, minta didoakan mayit termasuk minta syafaat yang
17
ين َآمنُوا أَنِْف ُقوا ِمَّا َرَزقـْنَا ُك ْم ِم ْن قـَْب ِل أَ ْن َيِْتَ يـَْوٌم ال بـَْي ٌع فِ ِيه
َ يَا أَيـَُّها الَّ ِذ
اعةٌ َوالْ َكافُِرو َن ُه ُم الظَّالِ ُمو َن َ َوال ُخلَّةٌ َوال َش َف
“Wahai orang-orang yang beriman nafkahkanlah
apa-apa yang kami berikan kepada kalian dari rezeki
sebelum datang suatu hari yang tidak terdapat pada
hari itu jualbeli maupun teman dekat atau Syafaat.
Dan orang-orang kafir itu mereka orang-orang yang
dzalim.” (QS Al-Baqarah: 254)9
ditolak oleh Al-Qur’an dan merupakan syirik besar berdasarkan
nash Al-Qur'an.
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzhullah berkata,
“Orang yang mengatakan bahwa minta doa (kepada mayit) tidak
termasuk kepada bentuk permintaan yang syirik sesungguhnya
dia telah membatalkan pokok tauhid seluruhnya dalam perkara
ini.” (Syarah kitab At-Thahawiyah)
Dan termasuk syafaat yang dinafikan Al-Qur’an, yakni minta
syafaat kepada orang hidup untuk masuk surga atau di
selamatkan dari neraka, seperti ucapan, “Kalau kamu masuk
surga dan tidak dapati aku di sana, tolong cari saya dan tanya
kepada Allah saya di mana! Karena sesungguhnya ucapan ini
termasuk minta syafaat kepada selain Allah. Oleh sebab itu,
meminta kepada orang hidup agar dia menolongnya di akhirat,
sama seperti minta kepada orang mati agar dia menolongnya
di akhirat. Dan minta syafaat kepada selain Allah adalah syirik
akbar yang membatalkan keislaman. Kedua pembahasan ini;
“minta doa dari mayit”, dan “minta syafaat di akhirat dari orang
yang masih hidup” telah saya khususkan pada bagian terakhir
dari buku ini.
18
Syafaat mutsbatah adalah yang diminta dari Allah.
Dan Asy-Syaafi’ Allah muliakan dengan syafaat.10
Sedangkan Al-Masyfu’ lahu adalah orang yang diridai
Allah ucapan dan amalannya sesudah adanya izin (dari
Allah) sebagaimana firman Allah Ta’aala:
19
memberi syafaat tadi (Asy-Syaafi’) tidak langsung memberi
syafaat sebelum diberi izin (oleh Allah). (Tafsir As-Sa’di)
20
Kaidah Ketiga
:القاعدة الثالثة
أن النيب صلى هللا عليه وسلم ظهر على أانس متفرقني يف عبادهتم
منهم من عبد املالئكة ومنهم من يعبد األنبياء والصاحلني ومنهم من
يعبد األشجار واألحجار ومنهم من يعبد الشمس والقمر وقاتلهم
رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ومل يفرق بينهم والدليل قوله تعاىل
)39 :ل ) (األنفال َِِّ (وقَاتِلُوهم ح َّت ال تَ ُكو َن فِتـنةٌ وي ُكو َن ال ِّدين ُكلُّه
ُ ُ َ َ َْ َ ُْ َ
21
Dalil akan hal ini adalah firman-Nya:
13 Yaitu sampai tidak ada lagi kesyirikan karena fitnah di sini berarti
kesyirikan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma. Senada dengan ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi sekalian
22
seluruhnya.” (QS Al-Anfal: 39)
manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha Illallah ….”
(Muttafaqun ‘Alaihi dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma).
Inilah yang dicita-citakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan ini juga yang harus menjadi cita-cita semua
muslim. Pada hadits ‘Amr bin Abasah Radhiyallahu ‘Anhu
riwayat Muslim, Amr berkata kepada Nabi, “Anda siapa?” Beliau
menjawab, “Saya nabi!” ‘Amr berkata, “Apa itu nabi?” “Allah
mengutusku,” sambut beliau. “Dengan apa Dia mengutusmu?”
tanya ‘Amr lagi. Beliau menjawab, “Dengan menyambung
silaturrahim, dan menghancurkan berhala, dan agar hanya
Allah satu-satunya yang diibadahi dan tidak disekutukan dengan
suatu apa pun.”
Saat Fathu Makkah, ketika akhirnya Makkah kembali kepangkuan
muslimin, yang pertama kali Nabi lakukan adalah masuk ke
Ka’bah. Setelah itu, beliau mendorong satu per satu berhala-
berhala yang berada di perut Ka’bah dengan tongkatnya seraya
membaca firman Allah (QS Al-Israa’: 81), “Dan katakanlah: ‘Yang
benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya
yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak merasa tenang dengan
masih adanya kesyirikan di muka bumi. Diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (No. 4097) dari Jarir bin
Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata, “Dahulu ada sebuah
bangunan (berhala) di masa jahiliyah yang dikenal dengan
sebutan Dzulkhalashah atau Ka’bah Yamaniyah atau Ka’bah
Syamiyah. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata
kepadaku, ‘Maukah kamu menenangkan hatiku dari Dzul
khalasah?’ Maka aku berangkat bersama 150 pasukan berkuda
dan kami hancurkan berhala itu dan kami bunuh siapa saja
yang kami dapati di sana (menghalangi kami). Setelah itu, kami
kembali menemui Nabi dan kami kabarkan kepadanya apa
yang telah kami perbuat, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mendoakan kami dan kabilah Ahmas (dengan kebaikan).”.
23
Dalil dari Al-Qur'an Bahwa Musyrikin Beribadah
kepada Matahari dan Bulan
س َّم
ْ الش وَ ار
ُ ه
َ ـ
َّ ن الوَ ل ي
َّْآيتِِه الل
َ ن
ْ مِودليل الشمس والقمر قوله تعاىل (و
َ ِ
ُ ِ ِ ُِ ِ
ِ َّ
اس ُج ُدوا َّل الذي َخلَ َق ُه َّن إ ْن ِ ِ َّم
ْ س َوال ل ْل َق َمر َو ْ َوالْ َق َمُر ال تَ ْس ُج ُدوا للش
)37:ُكنـْتُ ْم إِ َّيهُ تـَْعبُ ُدو َن) (فصلت
Dan dalil matahari dan bulan14 adalah firman-Nya:
ِ َّم
س َوال ِ َّآيتِِه الل ِو
ْ س َوالْ َق َمُر ال تَ ْس ُج ُدوا للش ُ َّم
ْ الش و
َ ار
ُ هَ ـ
َّ ن ال
و َ ل
ُ ي
ْ َ ن
ْ م َِ
ِ ِ ِ َّ ِ ِ
اس ُج ُدوا َّل الذي َخلَ َق ُه َّن إ ْن ُكنـْتُ ْم إ َّيهُ تـَْعبُ ُدو َن ِ
ْ ل ْل َق َمر َو
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah
siang dan malam, dan matahari dan bulan. Jangan
kalian sujud kepada matahari dan bulan. Dan sujudlah
kalian kepada Allah yang telah menciptakan mereka
semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya
kepada-Nya.” (QS Fushshilat: 37)15
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Al-Fath, “Maksud
ketenangan di sini adalah ketenangan hati karena ‘Tidak ada
yang paling melelahkan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dari masih adanya peribadahan kepada selain Allah
Ta’aal.’” (HR Hakim dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu).
24
karena tiada berguna ibadah kalian kepada Allah di samping
ibadah kalian kepada selain Dia karena Dia tidak mengampuni
dosa syirik.”
Sujud kepada matahari atau bulan merupakan perkara yang
disepakati sebagai kesyirikan yang besar. Pelakunya disamakan
dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dan para penyembah
berhala. Oleh karena itu, Al-‘Allamah Aba Buthain dalam sebuah
uraiannya menuntut orang yang abstain dari mengafirkan pelaku
syirik besar yang jahil untuk mengambil sikap abstain juga dari
mengafirkan orang-orang yang sujud kepada matahari atau
bulan karena jahil. Dengan kata lain perbuatan tersebut tidak
diperdebatkan pelakunya musyrik walau jahil. Beliau berkata,
“… dan konsekuensi dari klaimnya (bahwa orang jahil tidak kafir)
dia tidak mengafirkan orang-orang Yahudi dan Kristen yang
jahil, dan tidak pula orang-orang yang sujud kepada matahari
dan bulan dan berhala karena kejahilan mereka.” (Al Intishar li
Hizbillah Al-Muwahhidin).
Dan di antara keanehan dalam perkara ini, yaitu perkara
sujud kepada matahari dan bulan, muncul seseorang yang
mengaku menyuarakan Islam dan Sunnah, tetapi dia abstain
dari meyakini kafirnya orang yang sujud kepada matahari atau
bulan dengan alasan jahil sampai diberitahu lagi. Dalam hal
ini, dia menyandarkan pendapatnya kepada Ibnu Taimiyah
rahimahullah, padahal Ibnu Taimiyah sendiri telah mengafirkan
Fakhrurrazi, seorang ulama tafsir yang terkenal. Fakhrurrazi
dikafirkan karena karyanya yang mengajak manusia untuk
beribadah kepada bintang-bintang tanpa diberitahu lagi atau
meminjam istilah mereka tanpa “iqamatul hujjah” dulu karena
Fakhrurrazi wafat pada tahun 606 H, sedangkan Ibnu Taimiyah
lahir pada tahun 661 H. Dia bisa saja mendebat dengan
mengatakan bahwa Fakhrurrazi tidak jahil! Namun, kami
katakan, Ibnu Taimiyah telah menerangkan bahwa perkara ini
adalah perkara yang tidak menerima kejahilan. Dengan kata lain,
25
Dalil dari Al-Qur'an Bahwa Musyrikin Beribadah
kepada Malaikat, Para Nabi, dan Orang-Orang
Saleh
ِ ِ
َ ِّ(وال َيْ ُمَرُك ْم أَ ْن تـَتَّخ ُذوا الْ َمالئ َكةَ َوالنَّبِي
ني َ ودليل املالئكة قوله تعاىل
)80 :أ َْرَبابً) (آل عمران
ِ َّ ال َ َودليل األنبياء قوله تعاىل ( َوإِ ْذ ق
تَ ْيسى ابْ َن َم ْرَيَ أَأَن َ ِاللُ َي ع
ِ ي ِمن د ِ ِ ِ قـ ْلت لِلن
ك َما َ َال ُسْب َحان َ َالل ق َّ ون ُ ْ ِ ََّْاس َّات ُذ ِون َوأ ُّم َي إِ َل َ ُ
ِ
ت قـُْلتُهُ فـََق ْد َعل ْمتَهُ تـَْعلَ ُم ِ ٍ ِ ِ ِ
َ ُيَ ُكو ُن ل أَ ْن أَق
ُ س ل بَ ّق إ ْن ُكْن َ ول َما لَْي
)وبِ ت َع َّلم الْغُي
ُ ُ َ ْك أَن َ َّك إِنَ َما ِف نـَْف ِسي َوال أ َْعلَ ُم َما ِف نـَْف ِس
)116:(املائدة
ين يَ ْدعُو َن يـَبـْتـَغُو َن إِ َل َرّبِِ ُم ِ َّ ِودليل الصاحلني قوله تعاىل (أُولَئ
َ ك الذ َ
ِ
)57 :ب َويـَْر ُجو َن َر ْحَتَهُ َوَيَافُو َن َع َذابَه) (االسراء ُ الْ َوسيلَةَ أَيـُُّه ْم أَقـَْر
Dan dalil malaikat16 adalah firman-Nya:
pengetahuan tentang hal ini setara antara orang alim dan orang
awamnya. Silakan lihat kitab Mufidul Mustafid karya Asy-Syaikh
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah atau
kitab Hukum Takfir Al-Mu’ayyan karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah
Ishaq bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahumullah.
26
ِ ِ
َ َِّوال َيْ ُمَرُك ْم أَ ْن تـَتَّخ ُذوا الْ َمالئ َكةَ َوالنَّبِي
ًني أ َْرَب اب
“Dan dia tidak memerintahkan kalian untuk
mengambil malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai
rab-rab.” (QS Ali Imran: 80)
Dan dalil nabi-nabi17 adalah firman-Nya:
27
Dan dalil orang-orang saleh18 adalah firman-Nya:
ِ ِِ ِ َّ ِأُولَئ
ُ ين يَ ْدعُو َن يـَبـْتـَغُو َن إِ َل َرّب ُم الْ َوسيلَةَ أَيـُُّه ْم أَقـَْر
ب َويـَْر ُجو َن َ ك الذ َ
َر ْحَتَهُ َوَيَافُو َن َع َذابَه
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka
sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-
Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)19
18 Maksudnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa di antara orang-
orang musyrik dahulu ada yang beribadah kepada orang-orang
saleh.
28
Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits Bahwa
Musyrikin Beribadah kepada Pohon dan Batu
َت َوالْعَُّزى َوَمنَاة َّ ودليل األشجار واألحجار قوله تعاىل (أَفـََرأَيـْتُ ُم
َ الل
)19-20 :ُخَرى) (النجم ِ
ْ الثَّالثَةَ ْال
وحديث أيب واقد الليثي رضي هللا عنه قال « خرجنا مع النيب صلى
هللا عليه وسلم إيل حنني وحنن حداثء عهد بكفر وللمشركني سدرة
يعكفون عندها وينوطون هبا أسلحتهم يقال هلا ذات أنواط فمرران
بسدرة فقلنا اي رسول هللا اجعل لنا ذات أنواط كما هلم ذات أنواط
. احلديث
Dan dalil pohon-pohon dan batu-batu20 adalah
firman-Nya:
mengerjakan ketaatan-ketaatan, mengharapkan rahmat Allah,
dan takut kepada azab-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak
berhak diibadahi.
“Wasilah” yang disebutkan di ayat ini adalah amalan yang
mengantarkan kepada keridaan Allah dan surga-Nya. Inilah
wasilah yang disyariatkan pada ayat tersebut, bukan wasilah
yang dipahami oleh musyrikin dulu dan sekarang, yaitu
menjadikan antara manusia dan Allah perantara-perantara
dari para wali, orang-orang saleh, dan selain mereka yang
diharapkan syafaatnya selain Allah. (dirangkum dari penjelasan
Syaikh Shalih Fauzan)
29
ُخَرى ِ َّ أَفـََرأَيـْتُ ُم
ْ ت َوالْعَُّزى َوَمنَاةَ الثَّالثَةَ ْال
َ الل
“Maka tidakkah kamu melihat kepada Al-Latta
dan Al-Uzza. Serta Manat yang ketiga.” (QS An-Najm:
19- 20)21
21 Lata dibaca juga Latta adalah berhala yang terbuat dari batu
yang dipahat. Berhala ini terletak di Tha’if milik kabilah Tsaqif
dan sekitarnya. Satu pendapat mengatakan bahwa Latta adalah
nama orang saleh yang semasa hidupnya membagikan sawiq
(gandum yang diaduk dengan daging) kepada jemaah haji.
Ketika dia meninggal dunia orang-orang membuat bangunan di
atas kuburannya dan diibadahi selain Allah.
Adapun Uzza adalah pohon-pohon Salam yang terletak di
lembah Nakhlah antara Makkah dan Tha’if. Di sekitarnya, dibuat
bangunan dan tirai-tirai dan dijaga oleh juru kunci. Di dalamnya
terdapat setan-setan yang berbicara kepada manusia. Berhala
ini dahulu milik kabilah Quraisy dan penduduk Makkah dan
sekitarnya.
Adapun Manat adalah batu besar yang terletak di satu tempat
dekat gunung Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Berhala
ini milik kabilah Khuza’ah, ‘Aus dan Khazraj. Dahulu, mereka
memulai ibadah haji dari tempat ini. Ketiga berhala ini
merupakan berhala terbesar bangsa Arab waktu itu.
Adapun firman-Nya, “Maka tidakkah kamu melihat kepada
Al-Latta dan Al Uzza. Serta Manat yang ketiga.” Maksudnya
apakah mereka berguna bagi kalian, bisa menolong kalian?!
Ini merupakan pengingkaran dari Allah kepada musyrikin yang
beribadah kepada Latta, Uzza, dan Manat agar mereka kembali
kepada jalan yang benar karena apa yang mereka sembah itu
hanyalah batu dan pohon yang tidak bisa memberi manfaat
atau mencelakakan.
30
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: Kami pergi bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam menuju Hunain dan kami baru
saja masuk Islam. Sedangkan orang-orang musyrik
memiliki (pohon) Sidr yang mereka beri’tikaf di sana
dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Mereka
namakan (pohon itu) dengan sebutan Dzatu Anwath.
Lalu, kami melintasi sebuah pohon Sidr, maka kami
katakan: Wahai Rasulullah! Buatkan untuk kami Dzatu
Anwath seperti mereka punya Dzatu Anwath … dst.22
Ketika Allah muliakan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dengan kembalinya Makkah ke pangkuan muslimin, beliau
mengutus Abu Sufyan ke Tha’if untuk menghancurkan Latta,
Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza dan membunuh
jin wanita yang ada di sana, serta mengutus Ali bin Abi Thalib
untuk menghancurkan Manat. (Dirangkum dari penjelasan
Syaikh Shalih Fauzan)
31
Musa; buatkan untuk kami sesembahan seperti mereka punya
sesembahan.” (HR Tirmidzi). Ketika Allah selamatkan Musa
Alaihissalam bersama pengikutnya dengan menyeberangi Laut
Merah, di perjalanan, mereka melintasi sekelompok orang
yang sedang i’tikaf di hadapan berhala. Para pengikut Musa
Alaihissalam minta kepada Musa untuk dibuatkan berhala
seperti yang dimiliki para penyembah berhala itu.
Syaikh Shalih Fauzan mengatakan bahwa mereka tidak sampai
melakukan kesyirikan, baik bani Israil atau para sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka hanya mengutarakan
permintaan dan belum melakukannya. Apabila mereka
melakukan apa yang mereka minta, tentu mereka menjadi
musyrik. (Dirangkum dari penjelasan Syaikh Shalih Fauzan)
Adapun Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh mengatakan bahwa ketika
Nabi shalllahu ‘Alaihi Wasallam melarang, mereka pun berhenti.
Apabila mereka melakukan apa yang mereka minta, tentu
perbuatan itu menjadi syirik besar. Namun, ketika mereka hanya
minta tanpa melakukannya, mereka hanya dihukumi melakukan
syirik kecil karena terdapat padanya unsur ketergantungan
kepada selain Allah. (Syarah Kitab Tauhid, hlm. 116)
Seperti inilah keterangan ulama tauhid tentang hadits di atas.
Mereka tidak musyrik karena tidak sampai melakukan apa yang
mereka minta. Adapun orang-orang yang akidahnya tercemar
justru mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil yang
menegaskan kejahilan adalah uzur sekali pun dalam syirik besar
karena pada hadits ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
mengafirkan para sahabat!
Asy-Syaikh Abdullah Ad-Duwais rahimahullah pada masail yang
ketujuh dari kitab Masa’il Kitab At-Tauhid mengatakan bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memberi uzur kepada
mereka, bahkan menyanggah dengan mengatakan, “Allahu
Akbar, ini adalah ajaran...sungguh kalian akan mengikuti jejak
langkah orang-orang sebelum kalian.” Beliau menilai besar
32
Kaidah Keempat
:القاعدة الرابعة
أن مشركي زماننا أغلظ شركاً من األولني ألن األولني يشركون يف
الرخاء وخيلصون يف الشدة ومشركو زماننا شركهم دائماً يف الرخاء
ِ ِ َّ ك دعوا ِ ِ ِ ِ
ُني لَه
َ اللَ مُْلص ُ َ َ و ِالشدة والدليل قوله تعاىل (فَإ َذا َركبُوا ف الْ ُف ْل
)65:اه ْم إِ َل الْبـَِّر إِ َذا ُه ْم يُ ْش ِرُكو َن) (العنكبوت
ُ ََّين فـَلَ َّما ن
َ ال ّد
وصلى هللا على حممد وآله وصحبه وسلم
33
Dan dalil akan hal ini adalah firman Allah Ta’aala:
34
ketika kami selamatkan mereka ke daratan, mereka pun
(kembali) melakukan kesyirikan.” (QS Al-Ankabut:
65)24
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.
Selesai
35
Hukum Minta
Syafaat
kepada Orang Hidup
& Minta Didoakan Orang Mati
Jafar Salih
Minta Syafaat
dari Orang Hidup
38
tanyakan aku. Katakan, Wahai Rabb, kami hamba-Mu.
Si fulan dahulu selalu mengingatkan kami kepada-
Mu.” Kemudian, beliau menangis.2
Persoalannya, bolehkah mengatakan ucapan ter
sebut kepada seseorang yang diyakini sebagai orang
saleh?
Ucapan di atas tidak keluar dari bentuk minta
syafaat. Menurut bahasa, syafaat adalah meminta
kebaikan untuk orang lain. Dalam ucapan di atas,
dia minta kepada temannya yang hidup agar di
39
akhirat, temannya ini minta kepada Allah untuk me
nyelamatkannya apabila ternyata nasibnya di neraka.
Ringkasnya, dia minta agar temannya minta kepada
Allah. Inilah bentuk minta syafaat.
Apabila bentuk permintaan di atas telah dipahami
sebagai perbuatan minta syafaat, maka ketahuilah
bahwa syafaat di akhirat ada dua macam.
1. Syafaat mutsbatah, yakni syafaat yang diakui
keberadaannya oleh Al-Qur’an.
2. Syafaat manfiyah, yakni syafaat yang diklaim oleh
orang-orang musyrik, tetapi ditolak keberadaannya
oleh Al-Qur’an.
Al-Imam Al-Mujaddid rahimahullah berkata,
“Syafaat manfiyah adalah syafaat yang diminta dari
selain Allah dalam perkara yang tidak disanggupi
kecuali oleh Allah. Sedangkan syafaat mutsbatah adalah
syafaat yang diminta dari Allah.” (Al-Qawaid Al-Arba’
yang terdapat dalam kitab Silsilah Syarah Rasa’il, hlm.
341-342).
Dalam kitab Asy-Syafaat (hlm. 21), guru kami, Al-
Walid Al-‘Allamah Al- Muhaddits Muqbil Al-Wadi’iy
rahimahullah berkata bahwaSyafaat mutsbatah (syafaat
yang diakui Al-Qur’an) tidak diterima kecuali apabila
syarat-syaratnya terpenuhi.
40
1. Kemampuan Asy-Syafi’ (pihak yang diklaim
sebagai pemberi syafaat) dalam memberi syafaat.
Allah Ta’aala berfirman, “Dan sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah
tidak dapat memberi Syafaat. Akan tetapi,
(orang yang dapat memberi Syafaat ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka
menyakini(nya).” (QS Az-Zukhruf: 86)
2. Islamnya Al-Masyfu’ lahu (pihak yang menerima
syafaat). Allah Ta’aala berfirman, “Orang-
orang yang zalim tidak mempunyai teman setia
seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang
pemberi Syafaat yang diterima Syafaatnya.” (QS
Ghafir: 18)
3. Izin Allah kepada Asy-Syafi’ untuk memberi
syafaat. Allah Ta’aala berfirman, “Siapakah
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa
izin-Nya?” (QS Al Baqarah: 255)
4. Keridaan Allah terhadap Al-Masyfu’ lahu. Allah
Ta’aala berfirman, “Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, Syafaat mereka sedikitpun
tidak berguna kecuali sesudah Allah mengitinkan
bagi orang yang dikehendaki dan diridai(Nya).”
(QS An-Najm: 26)
Ketika salah satu syarat-syarat di atas tidak
terpenuhi, hal itu termasuk ke dalam syafaat kedua,
41
yaitu syafaat yang diakui oleh musyrikin dan dinafikan
oleh Al-Qur’an.
Asy-Syaikh Ahmad Al-Hazimi hafidzahullah
menerangkan, “Perbedaan antara kedua syafaat di
atas adalah apabila diminta dari Allah dialah syafaat
mutsbatah. Dan apabila diminta dari selain Allah maka
dialah yang disebut syafaat manfiyah atau syafaat
syirkiyah (yang syirik).” (Al Qaulus Sadiid fi Bayani
Hukmi Thalabis-Syafaah minas-Syahid, hlm 5-6)
Kembali pada hakikat ucapan di atas, apabila ada
seseorang berkata kepada temannya, “Tolong aku jika
kamu tidak dapati aku di surga” atau ucapan yang
semisal dengan ini. Orang ini minta kepada temannya
yang hidup di dunia. Apabila yang diminta adalah agar
temannya berdoa di dunia untuk kebaikan dirinya di
akhirat, hal ini tidak diperdebatkan bahwa hukumnya
boleh, meski yang lebih utama adalah seseorang
berdoa sendiri. Namun, dalam kasus ini, gambarannya
berbeda. Dia bukan minta temannya berdoa di dunia,
tetapi minta temannya mencarinya di akhirat! Pada
ucapan ini terdapat beberapa pelanggaran syariat.
Pertama, tazkiyah atau pujian kepada seseorang
tanpa ilmu. Dengan ucapannya tersebut, tanpa sadar
dia telah memuji orang tersebut sebagai orang yang
istiqamah sampai akhir hayatnya. Bahkan, ucapan
42
tersebut mengandung persaksian bahwa person
tertentu sebagai ahli surga. Ini menabrak pokok sunah.
Kedua, orang ini telah berburuk sangka kepada
Allah bahwa Allah akan menempatkan dirinya di
neraka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
telah bersabda, “Jangan kalian mati kecuali dia berbaik
sangka kepada Allah.”
Ketiga, dia telah minta kepada makhluk sesuatu
yang tidak dimiliki oleh makhluk karena telah
dimaklumi bahwa syafaat hanya milik Allah. Oleh
karena itu, tidak dinukil dari seorang pun sahabat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang melakukan
hal ini di antara mereka, kecuali satu riwayat dari
Rabi’ah bin Ka’ab Al Aslami Radhiyallahu ‘Anhu yang
minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim.
Rabi’ah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku minta
kepadamu menjadi temanmu di surga.” Dan dalam
riwayat Imam Ahmad, dia berkata, “Aku minta
kepadamu syafaatmu.” Namun, maksud ucapan Rabi’ah
ini adalah seperti yang dijelaskan oleh Al-‘Allamah
Ibnu Baz rahimahullah, beliau berkata, “Maksud
(ucapan Rabi’ah), aku minta kepadamu menemanimu
di surga dengan kamu tunjuki aku sebab-sebabnya.”
(http://www.binbaz.org.sa/noor/1366)
43
Dapat juga dikatakan bahwa hal ini berlaku khusus
untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena
telah diketahui bahwa Allah memberikan kepadanya
wewenang syafaat. Namun, selain beliau, kita yang
hidup tidak mengetahui bahwa seseorang diberi
wewenang memberikan syafaat atau tidak, sekalipun
dia orang saleh semasa hidupnya, apalagi orang itu
belum wafat.
Keempat, perbuatan ini membuka celah bagi
orang-orang musyrik untuk mendebat ahli tauhid.
Kenapa kalian melarang kami minta syafaat kepada
Nabi, sedangkan kalian sendiri minta kepada teman
atau guru kalian, apakah guru dan teman kalian lebih
tinggi kedudukannya dari Nabi?
Apabila ucapan tersebut kita dudukkan dengan
syarat-syarat syafaat mutsbatah satu per satu, tampak
dengan jelas hukum perkara ini.
Untuk memperjelas perkara yang sudah terang ini
sehingga tidak menyisakan sedikit pun keraguan, kami
mengajukan pertanyaan kepada beberapa ulama Saudi
Arabia yang bisa kami hubungi.
Pertanyaan diajukan kepada Prof. Dr. Isham Sinani
hafidzahullah oleh Yayasan Sahabat Iman, Semarang.
Pertanyaan:“Tersebar di tengah-tengah kami
ucapan seseorang kepada saudaranya yang saleh,
44
‘Apabila Allah masukkan kamu ke dalam surga, berilah
syafaat kepadaku.’ Apa hukum ucapan seperti ini?”
Jawaban Prof. Dr. Isham Sinani hafidzahullah:
“Permintaan seperti ini tidak sepatutnya karena
syafaat bukan miliknya. Ditambah lagi, seseorang
(yang dimintai ini) bisa tertipu keadaannya. Kedua,
bahwa salaf kita dahulu dan para salehin tidak ada
yang mengatakan ucapan ini.”
45
Ketika seseorang menanyakan hal ini kepada Asy-
Syaikh Walid bin Rasyid Asy-Su’aidan hafidzahullah,
beliau berkata, “Orang hidup tidak memiliki syafaat di
akhirat. Orang yang memintanya telah minta syafaat
dari pihak yang tidak memilikinya.”
Ada pendapat lain yang mengatakan boleh
mengucapkan ucapan ini kepada orang saleh yang
masih hidup, tetapi dengan syarat, “Apabila Allah
berikan kepadamu surga dan Allah izinkan kepadamu
memberi syafaat ….” Pendapat ini disandarkan kepada
Ubadah bin Shamith Radhiyallahu ‘Anhu oleh Asy-
Syaikh Musthafa Al-Adawi tanpa menyebutkan sumber
dan kesahihannya.
Pendapat terakhir membolehkan memintanya dari
orang yang berangkat jihad karena dianggap akan mati
syahid. Akan tetapi, persoalannya, siapa yang tahu
bahwa orang itu mati syahid atau tidak, bahkan bisa
saja ternyata dia selamat dan umurnya panjang.
Simpulannya, yang utama adalah tidak mengatakan
ucapan ini dan yang semisal dengannya kepada siapa
pun dari orang yang masih hidup, apalagi kepada
orang yang sudah wafat. Terlebih, dalam masalah
ini, ada ulama yang mengatakan bahwa ucapan ini
termasuk syirik besar, seperti yang dijelaskan oleh
Asy-Syaikh Ahmad Al-Hazimi hafidzahullah dalam
46
pembahasan khusus tentang ini. (http://alhazme.net/
articles.aspx?article_no=2047)
Apabila kita menginginkan syafaat dari orang-
orang yang beriman, kita boleh mengucapkan,
“Allahumma Syaffi’ fiyya Ikhwani Al Muslimin” (Ya
Allah, berikanlah kepadaku syafaat teman-temanku
yang beriman). Kita memintanya kepada Allah yang
memilikinya, tanpa memastikan siapa teman yang
beriman yang dimaksud.
Wallahua’lam
Tajurhalang, 27 Februari 2017
47
Minta Didoakan MayitT
48
Mereka mengatakan bahwa orang jahiliyah dulu
menjadi musyrik karena memberikan ibadah kepada
selain Allah. Sementara itu, meminta syafaat kepada
Nabi tanpa memberikan ibadah kepadanya bukan
kesyirikan, melainkan hanya kebidahan saja.3
Dalam hal ini, mereka bersandar—di antaranya—
kepada ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-
Fatawa (1/351) ketika menyebutkan macam-macam
bentuk doa yang menyimpang, beliau berkata sebagai
berikut.
49
sehingga mereka menolak mengatakannya sebagai
kesyirikan.
Selain itu kelompok ini juga menolak klaim
yang mengatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyah
rahimahullah dengan bidah tersebut adalah
bidah syirkiyyah (kesyirikan) dengan alasan bahwa
beliau sendiri telah membedakan antara perbuatan
syirik besar dan perbuatan bidah.
Dalam kitab Rad ‘Alal Akhna’i (hlm. 354)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata bahwa telah
didapati pada sebagian orang-orang belakangan
dalam perkara ini sebuah kebidahan yang tidak
dianggap mustahab oleh seorang pun imam yang
empat, seperti minta istigfar kepadanya (mayit), dan
sebagian orang-orang jahil dari masyarakat awam
menambahkan (padanya) perbuatan yang haram atau
kufur berdasarkan kesepakatan muslimin seperti sujud
kepada hujrah dan tawaf di sana dan perbuatan semisal
ini dari perkara-perkara yang bukan di sini tempat
yang tepat untuk menjelaskannya.
Minta istigfar kepada mayit adalah minta kepada
mayit untuk berdoa atau minta doa kepada mayit
seperti mengatakan, “Wahai fulan (mayit), doakan
saya.”
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah mem
bedakannya dengan perbuatan sujud kepada hujrah dan
50
mengerjakan tawaf di sana yang termasuk kekufuran
berdasarkan ijma’ karena beribadah kepada selain
Allah. Mereka berkata bahwa ini berarti ada perbedaan
antara keduanya.4
Pertanyaannya benarkah kedua kasus ini berbeda
atau sebenarnya sama?
Pertama, umat Islam sepakat bahwa doa adalah
ibadah yang agung yang diperintahkan di dalam Islam
sebagaimana firman Allah,
51
ند َربِِّه ۚ إِنَّهُ َل
َ آخَر َل بـُْرَها َن لَهُ بِِه فَِإَّنَا ِح َسابُهُ ِع ٰ َِّ ومن ي ْدع مع
َ الل إِ َلًا َ َ ُ َ ََ
يـُْفلِ ُح الْ َكافُِرو َن
“Dan barangsiapa berdoa di samping Allah kepada
ilah yang lain yang dia tidak memiliki keterangan
tentangnya sesungguhnya perhitungan dia adalah di
sisi Rabnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak
beruntung.” (QS Al Mu’minun: 117)
Berdoa kepada selain Allah adalah seperti shalat
atau puasa untuk kuburan, menyembelih untuk wali
atau jin, dan lain-lain. Termasuk dalam perkara ini
adalah meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak
dapat disanggupi kecuali oleh Allah, seperti minta
hujan, rezeki, kesembuhan, dan lain sebagainya. Kedua
macam doa ini disepakati hukumnya, yakni syirik
besar.
Kedua, tidak dimungkiri bahwa minta syafaat
termasuk dalam pengertian minta hajat. Syafaat
artinya minta kebaikan untuk orang lain. Jadi, minta
syafaat kepada makhluk artinya minta kepadanya
untuk meminta. Oleh karena itu, minta doa kepada
mayit termasuk minta syafaat dan ia tidak keluar dari
pengertian minta hajat.5 Memang seseorang yang
5 Ucapan orang yang mengatakan minta kepada mayit untuk
berdoa bukan termasuk minta hajat, karena dalam hal ini
52
minta doa kepada mayit tidak minta kepadanya untuk
melakukan perbuatan, seperti memberi rezeki atau
menyembuhkan penyakit, tetapi minta kepada mayit
untuk berdoa tidak bisa dikeluarkan dari pengertian
minta hajat kepadanya karena berdoa juga merupakan
perbuatan.
Ketiga, bahwa syafaat seluruhnya hanya milik
Allah. Oleh karena itu, memintanya dari selain Allah
termasuk minta dari yang tidak memilikinya.
َِ ُالش َفاعة
ۖ ج ًيعا ِِ
َ َّ قُل َّّل
53
Shalih Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan, “Dan
orang-orang yang mengatakan bahwa perbuatan
ini, yaitu minta doa (kepada mayit) berbeda
dengan perbuatan minta (kepada selain Allah) yang
menjadikan pelakunya musyrik, sesungguhnya telah
membatalkan pokok tauhid seluruhnya pada bab ini.
Maka memisahkan (antara dua macam perbuatan ini)
menabrak dalil.” (Syarah At-Thahawiyah)
54
Ibnu Katsir rahimahullah telah mengatakan,
“Allah Ta’aala berfirman memerintahkan segenap
hamba -Nya untuk men tauhidkan-Nya dalam per
ibadahan kepada-Nya, dan tidak menyeru di sisi-Nya
siapa pun.”
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Firman
Allah, ‘Maka janganlah kamu menyeru seorang pun di
dalamnya disamping Allah.’ Ini adalah celaan kepada
orang-orang musyrikin yang menyeru selain Allah di
samping (mereka menyeru) Allah di Masjidil Haram
….”
Dan Allah Ta’aala berfirman:
55
akhirat selain sesembahanmu dan penciptamu. Yang
dimaksud (dengan selain Allah) adalah ilah-ilah dan
berhala-berhala. (Dan) jangan pula kamu beribadah
kepadanya dengan mengharapkan manfaat darinya
atau khawatir mudarat. Karena sesungguhnya mereka
semua tidak memberimu manfaat dan mudarat. (Dan)
apabila kamu lakukan itu, dimana kamu menyerunya
selain Allah, ‘maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang dzalim” termasuk orang-
orang yang menyekutukan Allah, yang zalim kepada
dirinya sendiri.”
Larangan dalam ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya
bersifat umum mencakup semua bentuk doa dan
permintaan serta termasuk di antaranya minta doa
kepada mayit.
Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata bahwa
minta doa dari mayit agar Allah memberi keselamatan,
atau agar Allah memberi ampunan, atau agar Allah
memenuhi hajat dan seterusnya ini semua termasuk
ke dalam pengertian berdoa (menyeru/minta).
Allah Ta’aala berfirman, “Dan sesungguhnya masjid-
masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah
kamu menyeru seseorang pun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah.” (QS Jin: 18)
Al-‘Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman bin
Hasan rahimahullah berkata bahwa minta kepada
56
makhluk dan minta pertolongan melalui mereka
dalam hal yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah
adalah kesyirikan yang terang. Dan apabila seseorang
berkata, “Wahai waliyullah, berikanlah syafaat
kepadaku”, permintaannya haram. Dan minta syafaat
dari mereka mirip ucapan orang Kristen (yang berkata),
“Wahai bunda Maria berikanlah untuk kami syafaat
di sisi anak dan bapa”. Dan umat Islam telah ijma’
(sepakat) bahwa ini adalah kesyirikan. (Kasyfu Maa
Alqaahu Iblis, hlm. 213)
Dalam Mishbah Adz-Dzalam (hlm. 211), beliau juga
berkata bahwa telah dimaklumi ucapan Nashara (yang
mengatakan), “Wahai Bunda Maria berilah syafaat
kepada kami di sisi Allah” adalah termasuk seruan
apabila dikeraskan. Dan hal itu tidak mengeluarkannya
dari pengertian doa dan ibadah berdasarkan ijma’ umat
Islam.
Adapun dalam halaman 259, beliau mengatakan,
“Dan telah berlalu bahwa ucapan Nashara, ‘Wahai
Bunda Maria, berikanlah syafaat kepada kami disisi
Allah’ adalah kesyirikan sesuai ijma’ umat Islam.”
Kalau sebelum ini diketahui dari ucapan Ibnu
Taimiyah rahimahullah bahwa beliau mengatakan
perbuatan tersebut hanya bidah, ketahuilah bahwa
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga memiliki ucapan
dalam banyak tempat yang mengatakan perbuatan ini
57
adalah syirik besar. Dalam Majmu’ Al Fatawa (1/158-
159), beliau mengatakan sebagai berikut.
Dan terkadang mereka berbicara kepada mayit
di kuburnya, “Mintalah untukku kepada Rabmu” atau
berbicara kepada orang hidup yang tidak hadir seperti
di saat orang itu hadir. Dan mereka mendendangkan
nyanyian-nyanyian yang mengatakan, “Wahai tuanku
Fulan, nasibku tergantung kepadamu”, “Aku berada
dalam tanggunganmu”, “Berikanlah syafaat untukku
di sisi Allah”, “Mintakan kepada Allah untuk kami agar
Dia memenangkan kami dari musuh kami”, “Mintakan
kepada Allah agar Dia mengangkat kesulitan kami”,
“Aku mengadu kepadamu ini dan itu, dan mintalah
kepada Allah agar Dia menyingkap kesulitan ini”, atau
mereka berkata, “Mintalah kepada Allah agar Dia
mengampuni aku”. Maka semua ini dari perbuatan
berbicara kepada para malaikat, nabi dan orang-
orang saleh setelah mereka wafat, di kuburan mereka
dan di saat ketidakhadiran mereka (yang hidup), dan
berbicara dengan berhala-berhala tersebut adalah
termasuk jenis kesyirikan paling besar yang ada pada
orang-orang musyrikin selain Ahli Kitab.
58
perantaraan mereka. Makhluk meminta, sedangkan
mereka (perantara ini) minta kepada Allah, persis seperti
perantara yang ada di sisi raja-raja. Mereka minta kepada
raja-raja hajat keperluan rakyatnya karena kedekatan
perantara tersebut dengan rakyat. Dan rakyat minta
kepada perantara-perantara tersebut sebagai bentuk
adab dari mereka untuk tidak langsung minta kepada
raja, atau karena minta melalui perantara lebih ampuh
daripada minta secara langsung, karena dekatnya
perantara tersebut kepada raja dalam meminta hajat.
Barangsiapa menetapkan mereka sebagai perantara
dalam bentuk seperti ini, maka dia kafir musyrik, wajib
diminta bertobat. Apabila dia bertaubat (dilepas), dan
jika tidak maka dibunuh. (Majmu’ Fatawa, 1/126)
Simpulan
59
karena dalil dalam perkara agama adalah kitabullah,
hadits, dan ijma’, bukan ucapan seorang alim.
Adapun ucapan seseorang kepada mayit, nabi, atau
selainnya “Wahai fulan, doakan kami” atau “Wahai
fulan, berilah syafaatmu kepada kami” adalah
permintaan dan seruan. Perkara ucapan ini sebagai
permintaan, hal itu telah kami singgung di atas.
Sedangkan menempatkan ucapan ini sebagai seruan,
maka hukumnya termasuk syirik besar karena orang
yang menyeru mayit atau orang yang gaib darinya
meyakini si mayit atau orang yang gaib yang diserunya
memiliki kemampuan khusus, seperti mendengar
ucapan orang yang menyerunya atau melakukan
tindakan sesuai keinginan orang yang menyerunya.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’aala,
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َّ
وه ْم َل يَ ْس َمعُوا ُ ُين تَ ْدعُو َن من ُدونه َما يَْل ُكو َن من قطْم ٍري إِن تَ ْدع َ َوالذ
ۚ استَ َجابُوا لَ ُك ْم ۖ َويـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة يَ ْك ُفُرو َن بِ ِش ْركِ ُك ْم ِ
ْ ُد َعاءَ ُك ْم َولَ ْو َسعُوا َما
ك ِمثْ ُل َخبِ ٍري
َ َُوَل يـُنـَبِّئ
60
Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan
keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui.” (QS Fathir: 14)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarah Kasyf
Syubuhat (hlm. 93) tentang orang yang minta syafaat
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa
sesungguhnya orang musyrik ini tidak mengharap
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk
memberinya syafaat karena kalau dia menginginkannya
dia akan bilang, “Ya Allah, jadikanlah Nabi-
Mu memberikan syafaatnya kepadaku”. Akan
tetapi, dia menyeru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam langsung. Dan menyeru selain Allah adalah
syirik besar yang mengusir pelakunya dari agama.
Wallahua’lam.
Tajurhalang, 24 Februari 2017
61