Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HADITS HUKUM PERSAKSIAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Ahkam Jinayat


Dosen Pengampu : Dr. Arif Royyani, M. S. I.

Disusun Oleh:

1. Nurul Fitriah (2102026074)


2. M. Zainul Falah Lilabidin (2102026029)
3. Herxi Thofan (21020260 )
4. Mutasim (21020260 )

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjadi saksi adalah sebagai pengantar terwujudnya kesaksian. Terwujudnya


kesaksian akan sebagai pengantar adanya vonis hukum yang bertendensi kepadanya, dan
vonis hukum akan sebagai pengantar berhasilnya kemaslahatan hukum yang valid, serta
menolak mafsadat penyelewengan hukum.1 Saksi ialah orang yang memberikan keterangan
di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau
keadaan yang dilihat, dengar atau yang dia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa
atau keadaan tertentu.2 Seorang saksi harus memenuhi kriteria berakal dan dewasa, hal ini
dikarenakan orang yang gila atau yang akalnya terganggu tidak dapat diterima
kesaksiannya sebab mereka tidak akan mampu memberikan keterangan secara baik dan
kebenarannya juga diragukan. Selain itu, syarat atau kriteria sebagai seorang saksi juga
harus adil, dan diantara syarat keadilan itu adalah kedewasaan.

Dalam Hukum Pidana Islam, seorang saksi yang dimintai keterangannya harus
memenuhi kriteria saksi. Diantara kriteria saksi dalam Hukum Pidana Islam adalah adil,
berakal, dan dewasa. Kriteria tersebut merupakan kriteria yang telah disepakati oleh ahli
fiqih sebagai kriteria seorang saksi yang dapat didengarkan keterangannya. Dari penjelasan
di atas, penulis akan menjelaskan tentang kesaksian dalam hadits ahkam jinayah, guna
memaparkan kepada pembaca mengenai kesaksian dalam hadits ahkam jinayah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari kesaksian?
2. Hadits apa yang membahas mengenai kesaksian?
3. Bagaimana syarat seseorang dapat dijadikan sebagi saksi?

C. Tujuan
1. Memaparkan definisi kesaksian
2. Menjelaskan beberapa hadits mengenai kesaksian
3. Mengetahui syarat seseorang dapat dijadikan sebagai saksi dalam suatu perkara

1
Syeikh Izzudin Ibnu Abdis Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung : Nusa Media, 2011, hlm. 183
2
Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana 2005, hlm. 153
PEMBAHASAAN

A. Pengertian Kesaksian

Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti “orang yang melihat
atau orang yang mengetahui.”3 Kata saksi dalam bahasa Arab adalah ‫ شاھد‬atau ‫ الشاھد‬yaitu
orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya, kata jama’nya adalah
‫ اشھاد‬dan ‫ شھود‬. Kata ‫ شھید‬jama’nya ialah ‫ شھداء‬masdharnya adalah ‫ الشھادة‬yang artinya
kabar yang pasti.4 Adapun saksi menurut bahasa adalah orang yang memberitahukan
tentang apa yang telah disaksikannya yang mempunyai kemampuan bahasa.
Para pakar mendefinisikan kesaksian yang antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Muhammad Salam Madzkur5
“Kesaksian adalah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan
pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang
lain”
2. Menurut Ibn al-Human6
“Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian
di depan siding pengadilan”.
3. Menurut Mahalli7
“Bahwasanya kesaksian itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak
seseorang terhadap orang lain dengan lafazh aku bersaksi.”

B. Hadits Tentang Kesaksian

‫ش َهدَاء؟ ه َهو الذي يَأْتي با‬


ُّ ‫أال أخبر هك ْم بَ َخيْر ال‬: ‫سل َم َقا َل‬
َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫عن زيد بن خالد الجنبي أن النبي صلى للاه‬
‫سأَلَهَا‬
ْ َ‫شهَادَة َق ْب َل أ َ ْن ي‬
َّ ‫ال‬

“Dari Zayd bin Khalid al-Juhani, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda :
”Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baik saksi? Ialah orang yang
memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. {HR. Muslim}8

3
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1976 ), hal. 825
4
Louis Ma’luf, Al Munjid, (Beirut: Maktabah Asy-Syarqiyyah, 1960) Hal. 406
5
Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha’ fi al-Islam, ( Kairo : Dar an-Naḥḍah al-‘Arabiyah, 1964 ), hlm. 83
6
Ibn al-Human, Syarah Fath al-Qadir, juz VII, ( Mesir : Musṭhafa al-Bab al-Halabi, 1970 ), hlm. 415
7
Mahalli, Qalyubi wa ‘Umairah, juz IV, ( Riyad : Maktabah ar-Riyaḍ li al-Hadiṭṣah, th ), hlm. 316.
8
Imam Muslim, Sahiḥ Muslim bi Syarh an-Nawawi, (Beirut : Dar al-Khair, 1994 ), hlm. 380.
Hadis ini menunjukkan, bahwa untuk memberikan kesaksian tidak mesti dipanggil baru
memberikan kesaksian namun harus aktif dalam rangka memberikan kesaksian terhadap
suatu kasus hukum. Bahkan lebih dari itu, memberikan kesaksian tidak hanya sebatas
kewajiban tetapi untuk menegakkan kebenaran dan menolak kezaliman serta secara tidak
langsung dengan kesaksian yang telah disampaikan sudah termasuk menolong orang-orang
yang terlibat dalam persoalan hukum tersebut sehingga jelas siapa yang dirugikan dari
peristiwa tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan sesuai dengan yang
seharusnya. Karena memberikan kesaksian adalah merupakan kebaikkan maka sudah
sepatutnya diungkapkan dengan sebenar-benarnya dan diucapkan dengan niat semata-mata
karena Allah SWT.

‫سلَّ َم أَ ْخبَ َرتْهَا‬


َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫صلَّى للاه‬ َ ‫سلَ َمةَ َز ْو‬
َ ‫ج النَّبي‬ َ ‫أَنَّ أ ه َّم‬: ‫سلَ َمةَ أ َ ْخبَ َرتْهه‬
َ ‫ب ب ْنتَ أَبي‬
َ َ‫ أَنَّ َز ْين‬،‫الزبَيْر‬
ُّ ‫عن ع ْهر َوةه ْب هن‬،
‫ َوإنَّهه يَأْتيني‬،‫ش ٌر‬
َ َ‫إنَّ َما أَنَا ب‬: ‫ج إلَيْه ْم َفقَا َل‬
َ ‫ َف َخ َر‬،‫جْرته‬ َ ‫أَنَّهه‬: «‫سلَّ َم‬
‫سم َع هخ ه‬
َ ‫صو َمة ببَاب هح‬ َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫صلَّى للاه‬ ‫ع َْن َر ه‬
َ ‫سول للا‬
َ ‫ َف َم ْن َق‬، َ‫ق َفأ َ ْقضي لَهه بذَلك‬
ْ ‫ضيْته لَهه بحَق هم‬
‫سل ٍم‬ ٌ ‫ب أَنَّهه صَاد‬
َ ‫ َفأ َ ْحس‬،‫ض‬ ٍ ‫ض هك ْم أ َ ْن يَكهونَ أ َ ْبلَ َغ م ْن بَ ْع‬َ ‫ َفلَعَ َّل بَ ْع‬،‫ص هم‬
ْ ‫ا ْل َخ‬،
‫ َف ْليَأْ هخ ْذ َها أَ ْو ليَتْ هر ْكهَا‬،‫َفإنَّ َما ه َي ق ْطعَةٌ منَ النَّار‬

“Dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa Zainab binti Abi Salamah menceritakan, Ummu
Salamah, istri Nabi memberitahukannya tentang sebuah peristiwa yang diceritakan Nabi
saw, bahwa ia -Nabi saw- pernah mendengar percekcokan di dekat pintu kamarnya. Karena
itu, Ia keluar menemui pihak yang bertengkar itu. -setelah itu Nabi saw mendengar
kesaksian dari dua pihak tersebut, lalu Nabi memutuskan perkara, lalu bersabda:
“Sesungguhnya, tiak lah aku ini melainkan manusia, dan orang yang saling bersengketa
datang menemuiku untuk memberikan keputusan. Bisa jadi di antara mereka ada yang lebih
fasih berbicara dibanding yang lain, dalam pertimbanganku, ia adalah orang yang jujur
sehingga aku memutuskan persengkataan tersebut berdasarkan pertimbangan itu. Maka,
keputusan apa saja yang telah ku ambil yang berkaitan dengan hak seorang muslim, maka
keputusan itu ibarat sepotong bagian dari neraka. Hendaknya itu dijalankan (kalau memang
itu adalah kebenarannya), dan hendaknya ditinggalkan (kalau diketahui bahwa itu tidak
tepat).”

Ibnu ‘Abbas ra berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya setiap orang bebas
mengklaim, pasti banyak orang yang mengklaim harta dan jiwa orang lain. Karena itu
orang yang mengklaim harus mendatangkan bukti, dan orang yang menyangkal harus
bersumpah.” (Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh imam Baihaqi dan yang yang lain.
Bagian dari hadits ini tertera di shahih Bukhari dan Muslim)
Kandungan dari hadits di atas yaitu sebagai berikut:

1. Ketinggian hukum Islam

Islam adalah sistem hidup yang sempurna. Islam mengajarkan aqidah yang bersih,
ibadah yang benar, akhlak yang mulia, hukum yang menjamin setiap hak dan
melindungi nyawa, harta dan kehormatan setiap individu. Peradilan adalah rujukan
dan tumpuan untuk mencari solusi saat terjadi pertikaian. Sehingga setiap hak
berada pada pemiliknya. Karena itulah Islam meletakkan dasar-dasar hukum yang
tidak memberi celah sedikitpun bagi jiwa-jiwa kotor yang berusaha merampas hak
orang lain. Hukum-hukum tersebut melindungi masyarakat dari segala bentuk
kesia-siaan dan kedhaliman. Sebagai contoh konkret adalah hadits di atas. Bahwa
sebuah dakwaan harus didukung oleh saksi dan bukti-bukti agar bisa dijadikan
pegangan bagi hakim untuk mengambil keputusan.

2. Macam-macam saksi
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan bayyinah dalam hadits di atas
adalah saksi. Kesaksian itu akan membantu terkuaknya suatu kasus, atau benar
tidaknya suatu dakwaan. Saksi itu berbeda-beda sesuai dengan kasus yang terjadi.
Namun demikian, dalam hukum Islam terdapat empat macam kesaksian,
diantaranya:
a) Kesaksian terhadap zina
Saksi terhadap perbuatan zina harus dilakukan empat laki-laki. Kesaksian
wanita, dalam masalah zina tidak bisa diterima. Allah swt. berfirman: “Dan
(terhadap) para wanita yang melakukan perbuatan keji, hendaklah ada
empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).” (an-Nisaa’: 15),
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik (menuduh mereka
telah berbuat zina), akan tetapi mereka tidak mendatangkan empat orang-
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu).” (an-Nuur: 4).
b) Kesaksian terhadap pembunuhan dan kejahatan selain zina yang
hukumannya telah ditentukan (hudud)
Kesaksian terhadap tidak kejahatan ini harus dilakukan dua orang laki-laki.
Wanita juga tidak bisa menjadi saksi terhadap kejahatan seperti ini. Allah
swt. berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu.” (ath-Thalaq: 2). Sebagian ahli fiqih seperti pengikut Imam
Syafi’i memasukkan ke dalam masalah ini hak-hak immateri, seperti:
pernikahan, perceraian, dan lain sebagainya. Karenanya mereka berbeda
pendapat bahwa masalah-masalah tersebut juga harus ada dua orang laki-
laki yang menjadi saksi.
c) Kesaksian untuk menetapkan hak-hak yang bersifat materi
Contohnya: jual beli, pinjam-meminjam, dan lain sebagainya. Dalam
masalah ini bisa dilakukan dengan dua saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan
dua perempuan. Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh seorang lelaki dan dua orang Perempuan) dari saksi-saksi yang
kamu ridlai.” (al-Baqarah: 282)
Ulama madzab Hanafi memberlakukan ketentuan ini untuk semua yang
berkaitan dengan hak milik selain hudud dan qishash.
d) Kesaksian terhadap masalah-masalah wanita yang biasanya tidak diketahui
laki-laki seperti: melahirkan, menyusui, keperawanan, dan lain sebagainya.
Dalam masalah ini kesaksian wanita bisa diterima meskipun tanpa laki-laki.
Bahkan dalam madzab Hanafi kesaksian wanita dalam masalah ini bisa
diterima meskipun hanya satu wanita.

Uqbah bin Harits ra. berkata, bahwa ia menikahi seorang gadis putri dari Ihab bin Abdul
Aziz. Seorang wanita kemudian datang kepada Uqbah dan berkata: “Sesungguhnya aku
telah menyusui kamu dan juga wanita yang telah engkau nikahi.” Uqbah menjawab: “Saya
tidak tahu kalau engkau menyusuiku dan engkau sebelumnya tidak memberitahuku.”
Setelah itu Uqbah datang kepada Rasulullah saw. dan menanyakan masalah yang
dialaminya. Rasulullah saw. menjawab: “Bagaimana kamu masih tetap menikahinya,
padahal telah dikatakan bahwa ia adalah saudara sesusuanmu.” Uqbah lalu
menceraikannya. Wanita itupun kemudian menikah dengan orang lain. (HR Bukhari).

Rasulullah saw. menerima kesaksian itu meskipun hanya satu orang wanita. Akan tetapi
ulama selain madzab Hanafi berpendapat, tetapi diharuskan adanya wanita lebih dari satu
sebagai saksi, agar kesaksiannya bisa diterima. Adapun yang dilakukan Uqbah,
menceraikan istrinya adalah karena kehati-hatiannya, bukan perintah dari Rasulullah saw.

C. Syarat-syarat seorang saksi

Saksi memiliki peranan penting dalam menetapkan seseorang bersalah atau tidak pada
suatu peristiwa hukum, maka dalam Islam untuk memilih seorang saksi dipilih secara
selektif guna mendapatkan informasi yang akurat. Menurut para ulama ada beberapa
persyaratan bagi seorang saksi yang antara lain sebagai berikut :9

1. Beragama Islam, menurut Mahalli bahwa seharusnya para saksi terdiri dari
kaum Muslimin bukan dari kalangan non Muslim terutama terhadap suatu
pristiwa hukum yang terjadi antara sesama umat Islam. Bahkan seyogianya para
saksi terdiri dari orangorang Muslim yang beriman tingkat tinggi jangan orang
Muslim yang berstatus Islam KTP (fasik atau kurang mengamalkan ajaran-
ajaran Islam), maka apabila tidak ada yang lain disini perlu ketelitian.
2. Bersifat adil, termasuk memberitahukan secara apa adanya dengan apa yang
dilihatnya terhadap objek pristiwa hukum tersebut tanpa menambahi dan
menguranginya, maka menurut Ibnu Hazm bahwa tidak boleh diterima
kesaksian seorang laki-laki maupun perempuan yang tidak adil.
3. Balig dan berakal, para ulama fikih berpendapat bahwa salah satu dari orang-
orang yang bebas dari hukum adalah anak-anak dan orang gila termasuk
kesaksian mereka ditolak sebab menurut al-Jauhari dikarenakan tentang
kesaksian berkaitan berat dengan tanggungjawab.
4. Memiliki kecakapan, seorang saksi seharusnya dari orang-orang yang dapat
berbicara untuk menyampaikan dan menerangkan apa yang telah disaksikannya
kepada hakim maka menurut Louis Ma’luf bahwa seorang saksi hendaknya
memiliki kecakapan. Kecakapan dalam berbicara merupakan hal yang sangat
penting untuk bertindak sebagai saksi, namun di era modern ini sebagian ulama
membolehkan menerima kesaksian orang bisu dengan bahasa isyaratnya sebab
di zaman sekarang sudah banyak ahli Bahasa bidang dialog dengan orang bisu
apalagi yang menjadi saksi tersebut pandai menuliskannya dengan tangannya
sendiri sehingga dapat dipahami kesaksiannya.

9
Arbanur Rasyid, KESAKSIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Jurnal el-Qanuniy: Jurnal Ilmu-
Ilmu Kesyariahan dan Pranata Sosial, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan Volume 6
Nomor 1 Edisi Januari-Juni 2020, Hal. 36
PENUTUP

A. Simpulan
1. Kesaksian adalah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan
pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang
lain
2. Terdapat dua hadits yang telah dipaparkan oleh penulis, hadits pertama menjelaskan
mengenai kesaksian tidak hanya sebatas kewajiban tetapi untuk menegakkan
kebenaran dan menolak kezaliman serta secara tidak langsung dengan kesaksian
yang telah disampaikan sudah termasuk menolong orang-orang yang terlibat dalam
persoalan hukum tersebut sehingga jelas siapa yang dirugikan dari peristiwa
tersebut. Sedangkan hadits kedua menjelaskan mengenai macam-macam saksi
diantaranya, kesaksian terhadap zina, kesaksian terhadap pembunuhan dan
kejahatan selain zina (hudud), kesaksian terhadap hak-hak yang bersifat materi, dan
kesaksian terhadap masalah wanita yang biasanya tidak diketahui laki-laki.
3. Syarat seseorang dapat menjadi saksi dalam sebuah perkara yaitu: beragama Islam,
adil, baligh dan berakal, serta memiliki kecakapan.
DAFTAR PUSTAKA

Ibn al-Human, Syarah Fath al-Qadir, juz VII, (Mesir : Musṭhafa al-Bab al-Halabi, 1970)
Lubis, Sulaikin dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana
2005

Ma’luf, Louis. Al Munjid, (Beirut: Maktabah Asy-Syarqiyyah, 1960)


Madzkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo : Dar an-Naḥḍah al-‘Arabiyah,
1964
Mahalli, Qalyubi wa ‘Umairah, juz IV, (Riyad : Maktabah ar-Riyaḍ li al-Hadiṭṣah, th)
Muslim, Imam. Sahiḥ Muslim bi Syarh an-Nawawi, (Beirut : Dar al-Khair, 1994)

Rasyid, Arbanur KESAKSIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Jurnal el-Qanuniy:


Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahan dan Pranata Sosial, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
IAIN Padangsidimpuan Volume 6 Nomor 1 Edisi Januari-Juni 2020,

Salam, Syeikh Izzudin Ibnu Abdis. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung : Nusa Media, 2011
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976)
https://repositori.uin-alauddin.ac.id/4830/1/Abdul%20Rahman%20Zain.pdf

https://alquranmulia.wordpress.com/2013/11/12/hadits-arbain-ke-33-dasar-dasar-hukum-
dalam-islam/

Anda mungkin juga menyukai