Anda di halaman 1dari 10

DAKWAAN DAN PEMBUKTIAN

Di susun oleh:

Sullama Nikmah Rambe (0205193110)

Posi Anriansyah (0205193115)

Salsabila Tanjung (0205193117)

Dosen Pembimbing:

Dr. H. Syarbaini Tanjung. Lc, MA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa sitiap manusia pastinya memiliki suatu perselisihan
yang terjadi diantar umat manusia. Dimana setiap manusia menuntut sesuaitu terhadap orang
lain. Terutama umat Islam, sehingga sangat dibutuhkan suatu hukum yang dapat mengatur
jiga terjadinya suatu perselisihan antara sesama manusia.

Disamping itu, Rasullah SAW meberitakan tentang tingkah laku manusia yang apa
bila dibiarkan tanpa hukum yang mengatur dan membebaskan untuk mendakwah sejara
sembarangan, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu
setiap manusia dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara umat manusia,
Islam telah memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang terjadi.

Untuk itulah, tulisan ini diharikan. Tetapi tentu saja tulisan ini tidak dapat
menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian dakwaan, pembuktian, dan kesaksian.
Namun setidaknya apa yang di paparkan disini dapat memberikan gambaran tentang seluk
beluk dakwaan, pembuktian, dan kesaksian. Pada bagian akhir tulisan ini, kami juga
menyampaikan kesimpulan apa yang sebaiknya dilakukaan oleh setiap manusia untuk selalu
mendamaikan umat Muslim dimuka bumi ini dengan hukum-hukum Islam.

B. Rumusan masalah
a. Apakah itu pengertian Kesaksian.?
b. Apakah itu pengertian Dakwaan dan Pembuktian.?
c. Apakah itu Ancaman Sumpah Palsu.?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Saksi

Menurut Bahasa Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti
“orang yang melihat atau orang yang mengetahui”. Kata saksi dalam bahasa Arab adalah ‫شاھد‬
atau ‫ الشاھد‬yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya, kata
jama’nya adalah ‫ اشھاد‬dan ‫ شھود‬. Kata ‫ شھید‬jama’nya ialah ‫ شھداء‬masdharnya adalah ‫ الشھادة‬yang
artinya kabar yang pasti2 . Adapun saksi menurut lughat/bahasa adalah : 3 ‫ب‬ َ ‫ی ْخ‬
ِ ُ‫ب َر ه‬ ْ ‫اَ َّل ِذ‬
َ ‫ي‬
‫ان‬
ِ ‫لس‬ َ ‫ش ھَ دَ هُ الْ َم‬
َ ‫ال كُ ا ِِّل‬ َ ‫م ا‬Artinya
َ : Orang yang memberitahukan tentang apa yang telah di
saksikannya yang mempunyai kemampuan bahasa.

Menurut Istilah Syar’iy Di dalam buku-buku fikih sulit sekali ditemukan adanya
defenisi saksi menurut syar’i. pada umumnya yang di utarakan adalah defenisi kesaksian

‫ ة‬. oleh sebab itu, sebelum mengemukakan defenisi saksi, penulis terlebih dahulu akan
memaparkan beberapa defenisi tentang kesaksian. ْ‫ي َم ج‬ ٍ ْ‫ص د‬
ْ ِ‫ق ف‬ ِ ‫ب ِار‬ ْ ‫ار ة ٌ عَ ْن‬
َ ‫إخ‬ َ ‫ب‬ ِ ُ ‫لش ھَ ادَ ة‬
َ ‫ع‬ َّ َ‫ا‬
ْ َ‫ق عَ لى الْ غ‬
‫ی ِر‬ ٍ ِّ ‫ح‬
َ ‫ت‬
ِ ‫با‬ ْ ِ‫الش ھَ ادَ ة‬
َ ‫إلث‬ َّ ِ‫ف ظ‬ ِ ‫ح كْ ِم‬
ْ ‫ب َل‬ ُ ْ‫ ِل ِس ال‬.

a Artinya : Kesaksian adalah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan


pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk 5 ِ‫الش ھَ ادَ ةِ ف‬ ْ ‫ب ُل‬
َّ ِ‫ف ظ‬ ٍ ِّ ‫ح‬
ِ ‫ق‬ َ ‫ت‬
ِ ‫با‬ ْ ‫ق‬
َ ‫إلث‬ ٍ ْ‫ص د‬
ِ ‫ار‬
ِ ‫ب‬ ْ
َ ‫إخ‬
َ َ‫ ى َم جْ ِل ِس الْ ق‬.
ِ‫ض اء‬

b. lain orang terhadap hak suatu menetapkan Artinya : Pemberitahuan yang benar
untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan siding pengadilan. 6 ‫ار‬
ِ ‫ب‬ ْ
َ ‫إخ‬
‫أش ھَ د‬
ْ ٍ‫ف ظ‬
ْ ‫ب َل‬
ِ ‫ی ِر‬ َ ْ‫ی ِر عَ َل ى ال‬
ْ ‫غ‬ َ ْ‫ق ِل ل‬
ْ ‫غ‬ ٍ ِّ ‫ح‬
َ ‫ب‬
ِ .

c Artinya : Bahwasanya kesaksian itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak


seseorang terhadap orang lain dengan lafazh aku bersaksi. Dari beberapa defenisi diatas,
dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan kesaksian itu harus memenuhi unsur-
unsur berikut :

a. Adanya suatu perkara / peristiwa sebagai objek b. Dalam objek tersebut terdapat
hak yang harus ditegakkan
c. Adanya orang yang memberiyahukan objek tersebut secara apa adanya tanpa
komentar

d. Orang yang memberitahukan itu memang melihat atau mengetahui benar objek
tersebut

e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada orang yang berwenang atau berhak untuk
menyatakan adanya hak bagi orang yang seharusnya berhak.

Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan kesaksian dapatlah dikemukakan


pengertian saksi bagaimana yang dikatakan oleh al-Jauhari : 7 ِّ‫الش ھَ ادَ ةِ َو ُم َؤ ِد‬ َّ ‫ح ِام ُل‬
َ ُ‫الش ا ِھ د‬
َّ ‫َو‬
‫ی ِر ِه‬ َ ‫اب عَ ْن‬
ْ ‫غ‬ َ ‫غ‬َ ‫ش ا ِھ دٌ ِل َم ا‬
َ ‫ی ھَ ا ألنَّ ھُ ُم‬Artinya
ْ : Saksi ialah orang yang mempertanggung
jawabkan kesaksian dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan suatu (peristiwa) yang
orang lain tidak menyaksikannya. Ibnu Hazm dalam membahas kesaksian dan yang terkait
dengannya tidak membuat defenisi tentang saksi secara eksplisit seperti ulama lainnya,
namun demikian, ada beberapa pernyataan Ibnu Hazm yang dapat dijadikan data untuk
mengungkapkan pengertian saksi secara terminologis. Menurut Ibnu Hazm tidak boleh
diterima kesaksian baik itu dari laki-laki atau perempuan kecuali adil

C. Dasar Hukum dan Hukum Mengemukakan Kesaksian

Dalil-dalil yang menetapkan keharusan adanya saksi ialah al-Qur’an dan


Hadits.Dalil dari al-Qur’an Menurut Abdul Wahhab Khallaf guru besar hukum Islam
Universitas Cairo, bahwa jumlah ayat mengenai kriminal ( Pidana ) hanya sekitar 30 ayat,
dan ayat yang berhubungan dengan pengadilan ada 13 ayat dari 6360 ayat yang terkandung
dalam al-Qur’an10. Dari ayat yang menetapkan kriminal dan pengadilan diatas terlihat bahwa
ayat yang berhubungan dengan penetapan keharusan adanya saksi ada 11 ayat, di antaranya
ialah : 135 : ‫ ( ألنساء‬....... ِ ‫ش ھَ دَ ا ُء‬
ُ ِ‫س ط‬ ِ ْ‫ب اال‬
ْ ‫ق‬ ْ ‫أم نُ ْو ا كُ ْو نُ ْو ا قَ َّو ِام‬
ِ َ‫ی ن‬ ْ ‫ی ھَ ا اَّ ل ِذ‬
َ َ‫ی ن‬ ُّ ‫ی أ‬
َ ( Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar- benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah….( Q.S. an- Nisa’ : 135 ).

2. Dalil dari as-Sunnah Rasulullah saw bersabda : , ‫ي هللاُ عَ ْن ھُ َم ا‬


َ ‫ض‬
ِ ‫اس َر‬
ٍ َّ‫عَ ِن ابْ ِن عَ ب‬
‫ی ِن عَ َل ى‬ َ ْ‫ع ى َو ال‬
ْ ‫ی ِم‬ ِ ْ‫ی نَ ة ُ عَ َل ى الْ ُم د‬ َ ْ‫ اَ ل‬: ‫س َّل َم قَ ا َل‬
ِّ ِ ‫ب‬ ْ ‫ص َّل ى هللاُ عَ َل‬
َ ‫ی ِھ َو‬ َ ‫ي‬
َّ ‫ب‬ َ ْ‫ا‬
ِ َّ‫لم دْ أنَّ الن‬
‫ ( رواه الترمیذى‬. ‫ی ِھ‬
ْ ‫ ) ِعى عَ َل‬. Artinya : Dari ‘Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Nabi saw bersabda :
“Pembuktian adalah kewajiban penggugat, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang
mengingkarin”. ( H.R. Baihaqi dan at-Turmudzi). Menurut istilah jumhur ulama, sinonim
kata ‫ البینة‬adalah ‫ الشھادة‬yang artinya adalah kesaksian. Pengertian ‫ البینة‬dalam al-Qur’an,
Sunnah dan perkataan para sahabat Nabi saw, adalah nama bagi setiap sesuatu yang dapat
menyatakan dan mengungkapkan kebenaran. Pengertian ini lebih umum dari pengertian
menurut istilah para ahli fikih yang mengkhususkan artinya kepada dua orang saksi laki-laki
saja atau seorang saksi laki-laki dengan sumpah penggugat.

C. Syarat-syarat Saksi Yang Diterima Kesaksiannya

Pembuktian dengan saksi di dalam kebanyakan hukum pada umumnya diterima


dengan syarat-syarat, alasannya karena kekhawatiran adanya sifat lupa dari para saksi atau
karena adanya niat menyembunyikan persaksian yang sebenarnya atau niat palsu karena
kepentingan golongan, penghasutan ataupun suapan, oleh karena itu berbagai ulama sangat
memperkeras syarat-syarat penerimaan saksi bahkan para ulama menerima persaksian ini
untuk segala masalah dengan ketentuan batasan-batasan mengenai jumlah saksi.

a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Adil
e. Menyaksikan secara langsung
f. Dapat berbicara, baik ingatan dan teliti
B. Dakwaan dan Pembuktian

Kata “Dakwa” atau “Dakwaan” asalnya dari bahasa arab, yaitu dari
kata “Da’wa” (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘awa). Yaitu, menyandarkan ( mengklaim)
kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang
tersebut kepada dirinya.

Hadits tentang Dakwaan dan Pembuktian:

‫َاس‬
ٌ ‫عى ن‬َ َّ‫اس ِبدَع َْوا ُھ ْم َالد‬ ُ ‫طى ال َّن‬ َ ‫ لَ ْويُ ْع‬: ‫علَ ْی ِه َو َس َّل َم قَ َل‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬ َّ ‫ع ْن ُھ َماأَنَّ النَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َ ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َّاس َر‬
ٍ ‫عب‬ َ ‫عن اب ِْن‬
ِ
]‫ [متفق علیه‬.ِ‫علَ ْیه‬ َ ‫عى‬ َ َّ‫علَى ْال ُمد‬
َ َ‫ِد َما َء ِر َجا ٍل َوأَ ْم َوالَه َولَ ِكنَّ ْالیَمِ یْن‬
“Dari Ibnu Abbas ra. Bahasanya Nabi SAW bersabda : seumpamanya orang-
orang diberi sesuatu hanya cukup dengan dakwaan mereka, niscaya orang-orang
mendakwakan darah dan harta orang lain akan tetapi bagi yang didakwa berhak
bersumpah.
Menurut asbabul wurudnya, ada dua orang yang berperkara dan keduanya berani
angkat sumpah, untuk itu hak sumpah masing-masing di adakan pilihan, maka siapa yang
terpilih atau keluar undiannya itulah yang berhak angkat sumpah dan di nyatakan menang
atau benar perkaranya

Hadits di atas menjelaskan mengenai penyelesaian kasus perselisihan yang terjadi di


َ ٌ‫ )(اَ ْل ُمد‬mengaku bahwa haknya
antara dua orang yang salah seorang di antara mereka ‫عى‬
َ ‫)اَ ْل ُمدَّعى‬. Berkenan dengan hal ini, Nabi SAW. Menjelaskan
terampas oleh yang lainnya (‫علَ ْی ِه‬
bahwa orang yang mengaku bahwa haknya terampas oleh orang hendaknya dia memberikan
bukti (ُ‫ )اَ ْلبَ ِیِّنَة‬yang dapat membenarkan dan menguatkan pengakuannya itu. Apabila orang yang
mengaku haknya terampas tidak dapat memberikan bukti-bukti tersebut, hendaknya orang
yang tertuduh merampas hak itu menyampaikan sumpah untuk menolak apa yang dituduhkan
kepadanya sehingga sumpah berada di pihaknya. Keberadaan sumpah tersebut dapat
menguatkan posisinya sebagai orang yang terbebas dari tuduhan.

Hukum-hukum pembuktian (Ahkam al-hayyinat) sama seperti halnya hukum-hukum


islam lainnya, merupakan hukum-hukum syara’ yang di gali dari dalil-dalil yang bersifat
rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang-
kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).

Bukti adalah, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan
hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaanya.

Macam-macam Pembuktian:

1. Pengakuan
2. Sumpah
3. Kesaksian
4. Dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan.

Adanya bukti dipihak yang mengaku haknya terampas dan adanya sumpah di pihak
orang yang tertuduh mengandung hikmah bahwa seandainya semua orang yang mengaku-
ngaku itu di berikan kesempatan untuk memperoleh apa yang diakuinya tanpa ada bukti dan
begitu pula orang yang tertuduh mengelak tuduhan tersebut tampa ada sumpah, maka orang-
orang yang merasa tidak diawasi oleh Allah dan tidak merasa takut kepada siksa-nya akan
merampas hak orang lain dengan sekehendak hatinya, baik hak berupa kekayaan maupun
jiwa.
Namun demikian, Allah yang maha bijaksana dan maha mengetahui telah menetapkan
berbagai aturan dan sanksinya bagi orang-orang yang menganggap remeh terhadap masalah
kejahatan perampasan hak orang lain sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk mengaku
dan menolak sekehendak hatinya. Dengan berbagai aturan dan berbagai sanksinya itu.

Menurut Ibnu Daqiq Al-‘id, hadits diatas menunjukkan bahwa penetapan hukum
harus ditentukan berdasarkan ketetapan syara’, meskipun seorang mudda’i lebih
mengarahkan pada kebenaran terhadap pengakuannya.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dari Rasulullah SAW dengan lafaz:

َ ُ‫ َو ْالیَمِ ین‬, ‫علَى اَ ْل ُمدَّ عِي‬


‫علَى َم ْن أَ ْنك َِر‬ َ ُ‫ اَلبَ ِیِّنَة‬: ‫صحِ یح‬ ِّ ‫ول ِْلبَ ْی َھ ِق‬
َ ‫ي ِ ِبا ْسنَا ٍد‬
Menurut riwayat Baihaqi dengan sanad shahih:“Bukti itu (wajib diadakan) bagi
penggugat dan sumpah itu (wajib dilakukan) bagi orang yang ingkar. ( HR. Al-
Baihaqi).

Hadis ini kedudukannya besar sekali. Merupakan sumber dasar peradilan dan hukum,
dimana peradilan antara manusia itu hanya ada ketika terjadi perselisihan, seseorang
mengaku bahwa sesuatu itu merupakan hak-nya, tetapi kemudian diingkari oleh lawannya.
Atau seseorang mengaku bebas dari suatu tuntutan yang dikenakan padanya.

Nabi SAW menjelaskan hukum pokok yang dapat memecahkan perselisihan diantara
mereka, sehingga jelas siapa yang melakukan kebenaran dan siapa yang melakukan kebatilan.
Orang yang mengaku memiliki suatu barang, menuduh seseorang berutang, menuntut suatu
hak dan akibat-akibatnya pada orang lain, namun orang yang dituduh itu mengingkarinya,
maka asal pokok barang-barang itu adalah milik orang yang mengingkari tersebut. Orang
yang menuduh (menggugat) ini apa bila dapat mendatangkan bukti-bukti yang dapat
menunjukkan kebenaran pemilikannya. Sedangkan apabila tidak memperoleh bukti-bukti,
maka ia bukan pemilik barang yang dikuasai orang yang digugat itu, kecuali setelah
disumpah yang merupakan alat pembuktian pula.

Begutu pula orang yang terbebas dari kewajiban yang harus ditanggungnya dan
diingkari oleh pemegang hak (tergugat), dengan katanya “ia tetap merupakan
tanggungjawabnya”, maka apabila penggugat memiliki bukti-bukti bahwa ia telah
menunaikan (kewajiban itu), maka ia bebas. Sedangkan apabila tidak ada bukti, maka orang
tersebut tetap berkewajiban menunaikan tanggungannya karena itu merupakan asal
pokoknya. Tetapi, si pemegang hak (tergugat) itu juga harus disumpah atas tetapnya
kewajiban itu.

Begutu pula halnya dalam menuduh adanya aib (cacat) , syarat dan waktu, semuanya
termasuk dalam masalah ini. Maka diketahui bahwa hadits ini mengharuskan para hakim
untuk memutus masalah peradilan seluruhnya karena bukti-bukti merupakan alat bagi
penjelas kebenaran dan ia berbeda sesuai dengan berbedanya hak dan kewajiban. Para ulama
telah merincinya dalam buku-buku mereka.

c. ancaman sumpah palsu

materi hadits tentang larangan sumpah palsu yang diriwayatkan oleh sahabat nabi
terjemahan hadits

“diriwayatkan dari Abu bakar R.A : nabi SAW menanyakan hal ini tiga kali:
“maukah kalian kuberi tahu dosa terbesar dari dosa-dosa besar?”mereka berkata” ya
rasulullah “nabi SAW. Bersabda: “(1) mempersekutukan allah, dan (2) durhaka kepada
orang tua.”kemudian nabi bangkit dan berkata, “(3) dan kuperingatkan kalian untuk tidak
membuat kesaksian palsu’. Dan setelah itu membahas panjang lebar perihal peringatan
(untuk tidak memberikan kesaksian palsu) sehingga kami berpikir bahwa nabi tidak ingin
berhenti (membahasnya)” (H.R bukhari)

Memberi kesaksian tidak benar dalam suatu perkara, disertai sumpah palsu,
merupakan dosa besar (kabair). Namun banyak orang menganggap biasa-biasa saja. Terutama
apabila dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang bercorak politik atau
ekonomi. Di dalam Al Qura, S.Al Furqan : 63-77, diuraikan tentang sifat-sifat hamba Allah
(ibadurahman) yang akan mendapat martabat tinggi di dunia dan akhirat. Yaitu orang yang
rendah hati, melaksanakan salat malam, yang selalu meminta perlindungan dari azab neraka
jahanam, tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan harta dengan cara tidak boros dan tidak
kikir, tidak menyekutukan Allah, yang bertaubat dari segala perbuatan dosa, berbuat amal
saleh, dan orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. tegasnya, orang yang memberikan
kesaksian palsu, yang pasti dibumbui sumpah palsu, tidak termasuk “ibadurahman”. Hamba
Allah yang mendapat martabat kemuliaan hidup di dunia dan ahirat. Alias, orang hina dina
ditinjau dari aspek syariah dan mentalitas Pemberi kesaksian palsu, telah berbuat zalim
kepada orang yang dirugikan oleh kesaksiannya, sehingga harta, kehormatan, bahkan
nyawanya hilang akibat kesaksian palsu itu.
Sekaligus berbuat zalim pula kepada orang yang diuntungkan oleh kesaksian palsu
tersebut, sebab orang itu akan memperoleh harta, kedudukan atau kehormatam haram, yang
membuat ia masuk neraka.“Barangsiapa yang aku putuskan untuk mendapat harta
saudaranya tanpa hak, sebenarnya ia tidak mendapatkannya, karena yang diperolehnya
hanyalah sepotong api neraka”(hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Kesaksian palsu seseorang berdampak pula terhadap penghalalan harta, kehormatan,


dan darah yang diharamkan dan dilindungi Allah SWT : “Harta kekayaan, darah dan
kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim lainnya”(hadis sahih riwayat Imam
Muslim).

Ada dosa besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Yaitu, menyekutukan Allah,
menyakiti kedua orang tua, perkataan dusta dan kesaksian palsu (Hadis sahih riwayat Imam
Bukhari dan Imam Muslim).

Kesaksian palsu tak terlepaskan dari sumpah palsu. Sumpah palsu ini termasuk dosa
besar pula, setara dengan menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, dan membunuh
(hadis sahih riwayat Imam Bukhari). Sumpah palsu ialah sumpah yang dilakukan dengan
berdusta secara sengaja. Termasuk sumpah menggunakan nama Allah (demi Allah), namun
sama sekali bertentangan dengan keagungan dan kesucian nama Allah, karena bertentangan
dengan kenyataan ucapan “demi Allah” tak sesuai dengan pengakuan hati dan tujuan
niatnya. Menyebut “demi Allah”hanya sekedar formalitas, polesan bibir, untuk menguatkan
kedustaannya agar seolah-olah dianggap benar dan sungguh-sungguh.

Ditegaskan oleh Nabi Muhammad Rasulullah Saw, siapa saja yang bersumpah untuk
mendapatkan harta dari seorang Muslim, maka ia akan berjumpa dengan kemurkaan Allah,
walaupun harta yang diperolehnya hanya sebesar ranting kayu arak (hadis sahih riwayat
Imam Muslim).

Baik kesaksian palsu, maupun sumpah palsu, pasti berlumur dusta. Padahal orang
yang berdusta adalah terkutuk (Q.s.adz Dzariyat : 10). Orang-orang pendusta selalu
dimohonkan mendapat laknat Allah (Q.s.Ali Imran : 61).

Menurut Nabi Saw, dusta merupakan salah satu ciri sifat orang munafik, di samping
ingkar janji dan mengkhianati kepercayaan (hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim). Dusta paling besar, adalah memperlihatkan (mengatakan) kepada seseorang,
sesuatu yang tidak dilihatnya dengan nyata (hadis sahih riwayat Imam Bukhari). Alias
mengada-ada atau merekayasa fakta. Wallahu alam.

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Dakwaan adalah kata dari “Dakwa” atau “Dakwaan”. Yaitu, “Da’wa” (Bentuk
jamaknya ‘ad-Da-‘awa, yaitu, menyandarkan kepemilikan sesuatu yang berada ditangan
orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada dirinya. Selain itu
Pembuktian yaitu, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan
suatu hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Macam-macam dakwaan
meliputi: pengakuan, Sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang menyakinkan.

Sedangkan ancama sumpah palsu adalah dosa besar ketiga setelah syrik dan durhaka
berdasarkan hadits rasulullah sangat melarang bagi orang yang melakukan sumpah dan
kesaksian palsu mengingat akibat yang akan ditimbulkan dari sumpah tersebut akan
membawa kemashlahatan yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai