Ushul Piqih
(Mengenal Taqrir (Persetujuan) Nabi Muhammad SAW)
Dosen Pembingbing :
KH. Aceng Aum Umar Fahmi, S.Th.I.
Kelompok 8
Di susun oleh :
Ade Irma
Neng Sinta Nurhasanah
Fathur Rohman
Dimas
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
Atsar ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Taqrir ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau
menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SahabaT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau
masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
Tabi’in ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam
keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
Matan ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-hadits” yang
artinya adalah perkataan, percakapan atau pun berbicara. Jika diartikan dari kata dasarnya, maka
pengertian hadits adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah
Muhammad SAW. Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan
setiap tulisan yang melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah laku
Nabi Muhammad SAW.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits merupakan salah satu panduan yang dipakai oleh umat
islam dalam melaksanakan aktivitas atau pun mengambil tindakan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Taqrir?
2. Ciri khas Hadis Taqrir?
3. Posisi dan Kehujahan Hadis Taqrir?
4. Kriteria Hadis Taqrir?
C. Tujuan Penulis
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas
dalam kuliah juga agar kami , mahasiswa umumnya mampu memehami tentang taqrir.
BAB II
Pembahasan
Di antara contoh persetujuan Rasulullah Saw terhadap tindakan yang beliau saksikan
secara langsung adalah ketika Ummu Hafidah -bibi Ibnu Abbas- menghadiahkan bubur
gandum, mentega, dan daging biawak kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah Saw,
memakan bubur gandum dan mentega, dan tidak memakan daging biawak. Namun ketika
para sahabat berniat memakan daging biawak itu, beliau tidak melarang, melainkan
membiarkan mereka memakannya dengan perkakas yang ada di rumah beliau. (HR Al-
Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Al Khalid yang juga
dijuluki sebagai Saifullah telah mengabarkan kepadanya; Bahwa ia dan Rasulullah Saw
pernah menemui bibinya yaitu Maimunah yang juga bibi daripada Ibnu Abbas. kemudian
ia mendapati biawak yang telah terpanggang yang dibawa oleh saudara bibinya yakni,
Hudzaifah bintu Al Harits dari Najed. Maka Maimunah pun menyuguhkan Biawak itu
kepada Rasulullah Saw. Jarang sekali beliau memajukan tangannya untuk mengambil
makanan hingga beliau dipersilahkan bahwa makanan itu untuk beliau. Saat itu,
Rasulullah Saw menggerakkan tangannya ke arah biawak, lalu seorang wanita yang
hadir di situ berkata dan memberitahukan kepada beliau tentang makanan yang telah
disuguhkan, “Itu adalah Biawak ya Rasulullah?” Maka seketika itu, Rasulullah Saw
segera menarik tangannya kembali dari daging Biawak sehingga Khalid bin Al Walid
pun bertanya, “Apakah daging Biawak itu haram ya Rasulullah?” beliau menjawab:
“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak
memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara
Rasulullah Saw melihat ke arahku.”
Jadi yang melatar belakangi kemunculan hadits taqriri adalah dari perilaku sahabat
Nabi. Artinya, sebenarnya suatu sunnah atau materi hadis itu tidak bersumber dari Nabi,
melainkan dari para sahabat Nabi. Merekalah yang menginisiasi suatu perbuatan atau
perilaku. Merekalah yang berinovasi. Lalu disampaikan kepada Nabi, dilihat, disaksikan,
atau didengar oleh Nabi. Setelah itu, barulah Nabi meresponnya
dalam kondisi lain, perbuatan shahabat ini jika disetujui oleh Rasul dan adanya
anjuran,maka hukumnya menjadi sunnah.
Rasulullah saw mengajarkan kepada mereka bagaimana menyikapi apa yang tidak beliau
jelaskan, sebagaimana dalam riwayat berikut,
7288 – ،صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ َع ِن النَّبِ ِّي،َ ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرة،ج ِ ع َِن اَأل ْع َر، ع َْن َأبِي ال ِّزنَا ِد،ك ٌ ِ َح َّدثَنِي َمال،ُاعيل ِ َح َّدثَنَا ِإ ْس َم
ْ فَِإ َذا نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ش،اختِالَفِ ِه ْم َعلَى َأ ْنبِيَاِئ ِه ْم
وَِإ َذا،ُاجْ تَنِبُوهKKََي ٍء ف ْ ِإنَّ َما هَلَكَ َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم بِسَُؤ الِ ِه ْم َو، « َدعُونِي َما ت ََر ْكتُ ُك ْم:ال َ َق
»َأ َمرْ تُ ُك ْم بَِأ ْم ٍر فَْأتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم
Rasulullah Saw bersabda, “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian.
Sesungguhnya umat sebelum kalian celaka karena mereka (banyak) bertanya kepada
nabi mereka, lalu mereka menyalahinva. Oleh karena itu, apabila aku melarangmu
melakukan sesuatu, maka Jauhilah dia. Dan apabila aku memerintahkan kepadamu
untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuatu itu sebatas kemampuammu.”
1. Para sahabat diberikan kebebasan berbuat sehingga rasul melarang dalam urusan
keduniaan, dan memerintahkan dalam urusan ibadah
3. Komentar Rasul dari perbuatan sahabat menjadi hukum pokok dan hujjah dalam
syari’at. Hal ini sebagaimana Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan adanya
kesepakatan (ijma) atas kehujjahan hadits taqriri.
Dasar hukum kehujjahan hadis taqriri selain hadis di atas adalah firman Allah Swt.
ف َويَ ْن ٰههُ ْم ع َِن ِ ْال َم ْعرُوK ْ ِْأ ُم ُرهُ ْم بKَ ِل يKْ ِة َواِإْل ْن ِجيK َدهُ ْم فِى التَّوْ ٰرىKا ِع ْنKًهٗ َم ْكتُوْ بKَي الَّ ِذيْ يَ ِج ُدوْ ن َّ ي اُأْل ِّم ُ اَلَّ ِذ ْينَ يَتَّبِعُوْ نَ الر
َّ ِوْ َل النَّبKَّس
ٖ ِوْ ا بKKَُت َعلَ ْي ِه ۗ ْم فَالَّ ِذ ْينَ ٰا َمن
هKK ْ انKKَ َل الَّتِ ْي كKK َرهُ ْم َواَأْل ْغ ٰلKKص ْ ُع َع ْنهُ ْم ِإKKض
َ َث َوي َ رِّ ُم َعلَ ْي ِه ُم ْال َخ ٰبِئKKت َوي َُح ِ لُّ لَهُ ُم الطَّيِّ ٰبKKر َوي ُِحKKَ
ِ ْال ُم ْنك
َولِئكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن ٰ صرُوْ هُ َواتَّبَعُوا النُّوْ َر الَّ ِذيْ ُأ ْنز َل َم َعهٗۙ ُأ َ ََو َع َّزرُوْ هُ َون
ِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran),
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs. Al-A’raf : 157)
Mafhum ayat di atas menunjukkan bahwa diantara missi Rasul adalah Amar Ma’ruf
Nahyi Munkar, maka setiap perbuatan sahabat yang menyimpang, dan Rasul
mengetahhuinnya, pasti akan beliau luruskan. Karna itu Rasulullah Saw. sendiri
menegaskan keharusan setiap orang untuk mengadakan perubahan terhadap kemungkaran
yang dilihatnya,
78 – َّدثَنَاK َح،رK ٍ Kَ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعف، ح َو َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُمثَنَّى، َ ع َْن ُس ْفيَان،ٌ َح َّدثَنَا َو ِكيع،ََح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأبِي َش ْيبَة
ْ َدَأ بِ ْال ُخKَ َأ َّو ُل َم ْن ب:ال
ِدKوْ َم ْال ِعيKَ ِة يKَطب َ َيث َأبِي بَ ْك ٍر – ق ُ ب – َوهَ َذا َح ِد ٍ ق ْب ِن ِشهَا ِ َ ع َْن ط،ْس ب ِْن ُم ْسلِ ٍم
ِ ار ِ ع َْن قَي،ُش ْعبَةُ ِكاَل هُ َما
ْدKَ َذا فَقKَ َأ َّما ه: ِعي ٍدKو َسKKُا َل َأبKKَ فَق،ك َ Kِا هُنَالKKك َم ِ Kُ قَ ْد ت: فَقَا َل،طبَ ِة
َ رK ْ صاَل ةُ قَ ْب َل ْال ُخ َ َ فَق،ٌ فَقَا َم ِإلَ ْي ِه َر ُجل. ُصاَل ِة َمرْ َوان
َّ ال:ال َّ قَب َْل ال
ْ َ فَ;ِإنْ لَ ْم ي، « َمنْ َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َك; ًرا فَ ْليُ َغيِّ ْرهُ بِيَ; ِد ِه:ُولKُلَّ َم يَقK ِه َو َسKْلَّى هللاُ َعلَيKص
س;تَ ِط ْع ُ ِمعK ِه َسKا َعلَ ْيKKضى َم
َ ِو َل هللاKْت َر ُس َ َق
انِ ض َعفُ اِإْل ي َمْ َو َذلِ َك َأ،ست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه ْ َ فَِإنْ لَ ْم ي،سانِ ِه َ ِفَبِل
Tidak semua tindakan sahabat yang didiamkan Rasul disebut Hadits Taqriri yang bisa
dijadikan hujjah. Ada syarat tindakan rasul sehingga disebut hadits taqriri, yaitu:
Hadits taqriri merupakan Respon Nabi terhadap inisiatif dan inovasi sahabat Nabi,
hukumnya ada 2:
1. Adakalanya berupa penolakan yang berarti ketidaksetujuan nabi terhadap inovasi dan
inisiatif Nabi.
2. Adakalanya berupa persetujuan.
3. Adakalanya yang disampaikan secara gamblang, luagas,
4. Adakalanya hanya diekspresikan dengan diam, no comment. Semua jenis respon Nabi
tersebut.
itulah yang dinamakan dengan sunnah taqririyah. Laporan tentang sunnah taqririyyah disebut
dengan hadis taqriri.
Para sahabat diberikan kebebasan dalam bertindak, baik bertindak dalam urusan
mu’amalah maupun ibadah. Hal ini dikarenakan masih adanya Rasul sebagai sumber bayan
hukum, dimana syariat pada waktu itu belum bisa hanya diucapkan atau dipraktekan rasul,
maka perbuatan sahabat itulah yang akan menopak turunnya hukum dengan latar beakang
asbabul wurud, yang selanjutnya akan menjadi hujjah syar’iyyah, dengan kriteria,
1. Jika masalah urusan muamalah (keduniaan) selama rasul tidak melarang, maka hukumnya
boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya
2. Jika masalah urusan ibadah, lantas rasul mendiamkannya atau menganjurkannya,
3. Perbuatan ibadah itu mejadi sunnah rasul taqriiriyyah
4. Perbuatan ibadah itu menjadi terlarang, jika rasul menegurnya atau membantahnya.
Jadi, pada hakikatnya hukum itu tetap bersumber pada rasul, buka pada sahabat atau pada
manusia lainnya. Perbuatan sahabat belum menjadi hukum sebelum ada komentar dari
Rasulullaah Saw.
DAFTAR PUSTAKA
Sunan At-Tirmidzi No. 1880
Adapun Pengakuan Seorang Sahabat Telah Melakukan Sesuatu Namun Tidak Ada Indikasi
Bahwa Rasulullah Saw. Menyaksikan Atau Mengetahuinya, Maka Hal Itu Tidak Termasuk
Hadis Taqriri.
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Hari (Tahqiq Mushthafa Al Bugha), Dar Ibn
Katsir, Beirut, I407 H1987 H, No. 2436.
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Hari (Tahqiq Mushthafa Al Bugha), Dar Ibn
Katsir, Beirut, I407 H1987 H, No. 5391
Muhammad Sulaiman Al-Asyqar Mengemukakan Tiga Syarat Lain, Yaitu (1) Tidak Semakin
Jelek Bila Diingkari Perbuatannya, (2) Pelakunya Seorang Mukallaf (Syarat Ini
Diperselisihkan), Dan (3) Tidak Ada Faktor Yang Menghalangi Rasulullah Saw.
Mengingkarinya.
Aliy As’ad, Terjemah Ta’limul Mutaalim, Yogyakarta : Menara Kudus 2007, Hal.53.
Mahmud Yunus , Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung 198, Hal.334-335.
Https://Tbhbelajarhadits.Wordpress.Com/2010/06/26/Mengenal-Ilmu-Hadits/
Https://Tanyajawabfikih.Com/Metode-Syarah-Hadits-Taqriri/