Anda di halaman 1dari 28

Makalah Metode Pemahaman Hadits

Dosen Pengampu : Maulana M.Ag

Disusun oleh :

ZSAZSA FAUZIAH 11160340000062


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Shahîh al-Bukhârî yang dikenal sekarang merupakan kitab hadis terpopuler di kalangan kaum
muslimin sebagai sumber hadis Nabi saw dimana kevalidannya telah diakui oleh kalangan
ulama semenjak disusun oleh pengarangnya, Imam al-Bukhârî (194-256 H) sampai generasi
belakangan masa sekarang, keautentikannya menjadi dasar bagi “cendikiawan” muslim untuk
mengambil berbagai petunjuk praktis terhadap maksud dari kandungan ajaran al-Qur‟an.
Karya momental al-Bukhârî ini diakui oleh kaum muslimin pada umumnya bukan sekedar
pengakuan tanpa sebuah penelusuran, tetapi telah diadakan penelitian terhadap berbagai aspek
berkaitan dengan isi kitab shahihnya. Tentunya ini tidak terlepas dari ketekunan, kecerdasan
dan kesungguhan al-Bukhârî dalam melakukan penelitian hadis kemudian disusunlah al-Jami‟
l-Shahih al-Musnad min Hadîts Rasulillah saw wa Sunanihi wa Ayyamihi sebagai kitab shahîh
pertama dan utama setelah kitab Suci.1

Perhatian ulama yang demikian besar terhadap shahih Bukhari terlihat dari beragamnya
karangan mereka sehubungan dengan kitab ini, salah satu di antaranya adalah penjelasan,
komentar dan uraian (syarah) terhadap isi kitab tersebut telah mencapai 82 judul kitab2.
Metode pensyarahan shahih Bukhari dalam kitab Fath al-Bari karangan Ibnu Hajar al-Asqalani
akan menjadi fokus bahasan dalam makalah ini dengan melihat beberapa hal secara
komperatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Shahih Bukhari, 2 - Buku Iman
Bab: Keutamaan orang yang memelihara agamanya
No. Hadist: 50

ُ‫س ِم ْعت‬ َ ‫ِير َيقُو ُل‬ ٍ ‫س ِم ْعتُ النُّ ْع َمانَ بْنَ َبش‬ َ ‫ام ٍر َقا َل‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعي ٍْم َحدَّثَنَا زَ َك ِريَّا ُء‬
ٌ‫شبَّ َهات‬َ ‫سلَّ َم يَقُو ُل ْال َح ََل ُل بَ ِي ٌن َو ْال َح َرا ُم بَ ِي ٌن َو َب ْي َن ُه َما ُم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َر‬
ِ ‫ت ا ْستَب َْرأ َ ِلدِينِ ِه َو ِع ْر‬
‫ض ِه َو َم ْن َوقَ َع‬ َ ‫اس فَ َم ْن ات َّقَى ْال ُم‬
ِ ‫شبَّ َها‬ ِ َّ‫ير ِم ْن الن‬ ٌ ‫ََل يَ ْعلَ ُم َها َك ِث‬
‫عى َح ْو َل ْال ِح َمى يُو ِشكُ أ َ ْن ي َُواقِ َعهُ أ َ ََل َو ِإ َّن ِل ُك ِل َملِكٍ ِح ًمى‬ َ ‫ت َك َراعٍ َي ْر‬ ُّ ‫فِي ال‬
ِ ‫شبُ َها‬
‫صلَ َح‬َ ‫ت‬ َ ‫ضغَةً إِذَا‬
ْ ‫صلَ َح‬ ْ ‫س ِد ُم‬َ ‫ار ُمهُ أَ ََل َوإِ َّن فِي ْال َج‬ ِ ‫َّللاِ فِي أ َ ْر‬
ِ ‫ض ِه َم َح‬ َّ ‫أ َ ََل إِ َّن ِح َمى‬
‫ب‬ ُ ‫ي ْالقَ ْل‬ َ ‫سدَ ْال َج‬
َ ‫سد ُ ُكلُّهُ أ َ ََل َو ِه‬ َ َ‫ت ف‬ َ َ‫سد ُ ُكلُّهُ َوإِذَا ف‬
ْ َ ‫سد‬ َ ‫ْال َج‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari
'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah
jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah
memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh
(mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah
di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada
segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka
rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati".

HADITS KEENAM

‫صلَّى‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬َ ‫ي هللاُ َع ْن ُه َما قَا َل‬َ ‫ض‬ ِ ‫ان ب ِْن بَ ِشي ٍْر َر‬ ِ ‫ع ْب ِد هللاِ النُّ ْع َم‬َ ‫ع ْن أ َ ِبي‬ َ
‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ
َ ُ‫ام َب ِي ٌِّن َو َب ْي َن ُه َما أ ُم ْو ٌر ُم ْشت َ ِب َهاتٌ هللا‬َ ‫ِإ َّن ْال َحالَ َل َب ِي ٌِّن َو ِإ َّن ْال َح َر‬
‫اس فَ َم ِن ات َّ َقى‬ ِ َّ‫ الَ َي ْعلَ ُم ُه َّن َكثِي ٌْر ِمنَ الن‬،‫ض ِه‬ ِ ‫ت فَقَ ْد ا ْستَب َْرأ َ ِل ِد ْينِ ِه َو ِع ْر‬ ُّ ‫ال‬
ِ ‫شبُ َها‬
‫عى َح ْو َل‬ َ ‫الرا ِعي يَ ْر‬ َّ ‫ َك‬،‫ت َوقَ َع فِي ْال َح َر ِام‬ ِ ‫شبُ َها‬ ُّ ‫ْال ِح َمى َو َم ْن َوقَ َع فِي ال‬
‫ار ُمهُ أَالَ َو ِإ َّن‬
ِ ‫ أَالَ َو ِإ َّن ِل ُك ِِّل َملِكٍ ِح ًمى أَالَ َو ِإ َّن ِح َمى هللاِ َم َح‬،‫ي ُْو ِشكُ أ َ ْن َي ْرت َ َع ِف ْي ِه‬
َ ‫سدَ ْال َج‬
‫سد ُ ُكلُّهُ أَالَ ِفي‬ َ َ‫ت ف‬ْ َ ‫سد‬ َ ‫صلَ َح ْال َج‬
َ َ‫سد ُ ُكلُّهُ َو ِإذَا ف‬ َ ‫ت‬ َ ‫ضغَةً ِإذَا‬
ْ ‫صلَ َح‬ َ ‫ْال َج‬
ْ ‫س ِد ُم‬
‫ب[رواه البخاري ومسلم‬ ُ ‫ي ْالقَ ْل‬ َ ‫َو ِه‬
Daripada Abu Abdullah al-Nu'man ibn Basyer r.a. ‫ رضي اﷲ عنهما‬beliau berkata: Aku telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya perkara yang halal itu terang jelas, dan
sesungguhnya perkara yang haram itu terang jelas, dan di antara kedua perkara tersebut ada
perkara-perkara syubhat yang kesamaran yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.
Barangsiapa yang menjaga perkara syubhat maka sesungguhnya dia telah membersihkan
agamanya dan maruah dirinya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka
dia telah jatuh dalam perkara haram, umpama seorang pengembala yang mengembala di
sekeliling kawasan larangan, dibimbangi dia akan menceroboh masuk ke dalamnya. Ketahuilah
bahawa setiap raja ada sempadan dan sesungguhnya sempadan Allah itu ialah perkaraperkara
yang diharamkanNya. Ketahuilah bahawa dalam setiap jasad itu ada seketul daging yang
apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad dan apabila ia rosak, maka rosaklah seluruh jasad.
Ketahuilah ia adalah hati.

. Catatan: • Hadits ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syari’at. Abu Daud berkata:
Islam itu berkisar pada empat hadits, kemudian dia menyebutkan hadits ini salah satunya

Kandungan Hadist :
1. Termasuk sikap wara’5) adalah meninggalkan syubhat.
2. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
3. Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada
perbuatan dosa besar.
4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6. Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang
diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan
cara kearah sana.
8. Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.

B. Syarh Fath al-Bârî.


Dapat dikatakan bahwa kitab Syarh Fath al-Bârî merupakan syarh bagi shahîh al-Bukhârî yang
paling terlengkap.1 Kitab ini oleh penyusunnya disusun sedemikian rupa sehingga mencakup
berbagai masalah keagamaan, pensyarahan dilakukan dengan diawali sebuah kitab bernama

1
13 al-Jabawurî, Mabâhîts fî Tadwîn, h. 163. Pakar sosiolog Islam Ibn Khaldun (w. 808 H) pernah mengatakan
bahwa pensyarahan Bukhari masih merupakan hutang yang mesti dilunasi oleh umat ini, seandainya beliau
masih hidup saat Ibnu Hajar dan al-„Aini menyelesaikan syarahnya niscaya ia akan mengatakan hutang
tersebut telah dilunasi. Lihat pengantar dalam al-„Aini, `Umdah al-Qârî, h. 9.
Hadyû al-Sârî atau lebih dikenal dengan Muqaddimah Fath alBârî. Metode yang digunakan
dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama penjelasan tentang shahîh al-Bukhârî secara
menyeluruh dari berbagai aspek hal ini dilakukan pengarang dalam kitab Muqaddimah Fath al-
Bârî (1 jilid) , kedua Penjelassan terperinci dari setiap teks dalam shahîh al-Bukhârî pada kitab
Fath al-Bârî (13 jilid atau 15 jilid).

Kitab Muqaddimah berisi tentang beberapa masalah yang berkaitan erat dengan hadis-hadis
yang akan dijelaskan dalam Fath al-Bârî, disusun secara sistematis menjadi 10 pasal yang
dapat disebutkan secara ringkas sebagai berikut2:

1. Sebab musabab al-Bukhârî ra. mengarang kitab shahîhnya.


2. Penamaan shahîh al-Bukhârî dan hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitabnya dengan
persyaratan yang diakui oleh ulama sehingga menjadi kitab tervalid sesudah al-Qur‟an.
3. Faedah dari peringkasan sanad dan penggulangan dalam bab yang lain
4. Penjelasan mengenai hadis mu`allaq yang marfû` dan mauqûf dengan hukum-
hukumnya, disertai uraian hadishadis disistematikan berdasarkan kitab, dimulai dari
Bad‟u al-Wahyi sampai al-Tauhîd.
5. Susunan berbagai lafazh gharîb dijelaskan secara tertib (abjad hijaiah), seperti lafazh
dengan dimajrurkan pada awalnya berarti gereja atau tempat peribadatan orang yahudi
sebagaimana gereja bagi kaum nasrani, dan dimansubkan huruf awalnya berarti
mengganti (membeli) biasanya digunakan dalam transaksi.
6. Dalam pasal ini disebutkan nama orang yang sama nasabnya, gelaran(laqab dan
kunyah) dalam tulisan tetapi berbeda dalam penyebutan, mu‟talif wa mukhtalif seperti
lafadz , ditakhfifkan huruf awalnya dibaca al-Barâ‟ sahabat Nabi (al-Barâ‟ bin `Azib
w. 71/72 H), atau di tasydidkan dibaca al-Barrâ‟ seorang tabi‟in ( Abu `Âliyah Ziyâd
bin Fairus w. 90 H).
7. Pasal ini terdiri dari beberapa sub pasal diantaranya menjelaskan tentang nama-nama
perawi yang “dibiarkan” padahal nama itu dimiliki oleh banyak orang dengan
meyertakan tempat atau bab dalam shahih di mana nama orang itu disebut berdasarkan
huruf hijaiah seperti nama Ahmad yang dimiliki tidak kurang dari 7 orang, perawi yang
disebutkan dengan nama ayah atau kakeknya, perawi yang disebutkan dengan nasab,
atau gelarannya disebut berdasarkan tertib kitab dalam shahîh al-Bukhârî.
8. Menjelaskan hadis-hadis dalam shahîh berdasarkan kitab yang dikritik oleh sementara
ulama seperti al-Dâraquthnî (w. 385 H) dan lainnya, dengan disertakan
jawabanjawabannya.
9. Nama-nama perawi yang ”dituduh” tidak layak disusun berdasasrkan huruf hijaiah,
dengan menjawab pertentangan dengan menyertakan tabi‟ dan syâhid secara terperinci
seperti Ahmad bin Basyîr al-Kûfî Abû Bakar `Amr bin Hârits al-Makhzumî (w. 197 H)
dikritik oleh al-Nasâ‟î (w. 303 H) dan `Utsmân al-Dârimî, sedangkan Ibn Ma`in (w.
233 H) dan Abû Zur`ah3 menguatkannya. Al-Bukhârî meriwayatkan 1 hadis darinya

2
14 Keterangan lengkap tentang 10 pasal tersebut lihat Ibnu Hajar, Hadyu alSârî, h. 3-8, 15-17, 73, 91, 209-
210, 222-225, 248-249, 285-286, 384, 465-466, 474-477.
3
15 Terdapat sekitar 6 orang yang diberi gelar Abû Zur`ah lihat Ibn Hajar, Tahzîb al-Tahzîb, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1984), juz 12, 108-110. Kemungkinan Abu Zur`ah dimaksud adalah `Ubaidillah bin Abdul Karim (w. 264 H),
Tahzîb al-Tahzîb, juz 7, h. 28-30.
dengan memiliki tabi` pada kitab al-Thib. Pasal ini memuat pula tuduhan yang diajukan
pada perawi shahîh al-Bukhârî baik itu berkaitan dengan i‟tiqad maupun perbuatan
mereka.
10. Pasal terakhir ini berisi tentang jumlah hadis dalam shahîh al-Bukhârî sebanyak 7397
hadis dengan penggulangan, yang mu`allaq berjumlah 1341 buah, muttabi` 344 buah
berarti jumlah keseluruhan hadis dalam shahîh al-Bukhârî adalah 9082, belum
ditambah dengan hadis mauqûf dan maqthu‟, dengan menyertakan hitungan hadis
mu`allaq dan muttabi‟ dalam setiap kitab4. Dirincikan jumlah hadis pada setiap kitab
misalnya kitab iman terdapat 51 hadis, kitab buyu‟ 191 dan lainnya. Diuraikan pula
nama parasahabat yang meriwayatkan hadis mu`llaq maupun maushûl, dan sahabat dari
kalangan wanita seperti `Â‟isyah (w. 57 H) dan `Asmâ‟ (w. 73 H) keduanya anak Abû
Bakar ra yang meriwayatkan hadis dalam shahîh al-Bukhârî. Pasal ini ditutup dengan
biografi al-Bukhârî ra.

Penjelasan terperinci bagian kedua ditempuh dengan metode menguraikan teks-teks hadis
dalam shahîh al-Bukhârî meliputi nama perawi dijelaskan huruf beserta bacaannya bahasa
termasuk ilmu nahwu, kandungan matan dari hadis dan sub ini merupakan bahasan paling
terbanyak dalam Fath alBârî. Hal ini terlihat misalnya pada hadis berikut ini5

Para perawi dalam sanad hadis di atas terdiri dari 6 orang selain al-Bukhârî yaitu Adam bin
Iyâs (w. 220 H), Syu`bah (w. 160 H), menerima dari `Abdullah bin Safar dan Ismâ`îl (w. 145
H) keduanya dari al-Sya`bî (w. 103 H ?) dari `Abdullah bin `Amr bin al-`Ash (w. 63 H). Ibn
Hajar agaknya hanya menjelaskan perawi yang kurang dikenal 6, tetapi penjelasannya tidak
langsung kepada perawi tersebut melainkan melalui nama orang tuanya misalnya dalam contoh
perawi di atas. Adam tidak dijelaskan demikian pula dengan `Abdullah bin Safar, yang
dijelaskan adalah Iyas bapaknya Adam nama sebenarnya `Abd Rahmân ada yang mengatakan
Nahiah, Abî Safar nama aslinya Sa`îd bin Yuhmad. Fenomena ini agaknya didasari agar
pelacakan terhadap perawi dimaksud lebih mudah. Dalam aspek bahasa dijelaskan misalnya
Ismâ`îl isim majrur bil fathah karena dia sebagai athaf, sedangkan keterangan tentang
`Abdullah bin `Amr ditekankan bahwa keduanya adalah sahabat, kemungkinan untuk
menghilangkan kemusykilan sebab tidak semua orang tua dan anaknya adalah sahabat
sepertiAbân bin `Utsmân bin `Affân (20-105 H).

Saat memberikan komentar terhadap materi (hadis) dalam shahîh al-Bukhârî, Ibn Hajar tidak
meninggalkan aspek bahasanya terutama nahwu, seperti lafazh pada hadis di atas ditambahi

4
16 Tahzîb al-Tahzîb, h. 468-469. Jumlah hadis sekitar 6397 dengan pengulangan tanpa hadis mu`allaq dan
mutabi‟ . lihat: Muhammad Mahfudz bin `Abdullah al-Tirmisî, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1995), h. 18, Bandingkan pula dengan hitungan Ibn Shalâh, bahwa hadis dalam al-Bukhârî dengan pengulangan
7275 buah, sedangkan tanpa pengulagan 4000 buah, lihat: Ibn Shalâh, Muqaddimah Ibn Shalâh, h. 10.
5
17al- Bukhari, Shahîh…, h. 13.
6
18 Ibn Hajar, Fath al-Bârî, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379 H), juz I, h. 53. Kenyataan ini dapat juga dilihat pada
hadis tentang permulaan wahyu, perawinya terdiri dari Abdullah bin Yusuf (w. 218 H), Hisyâm bin `Urwah bin
Zubair (w. 145 H), `Urwah bin Zubair (w. 94 H ?), `Â‟isyah ra (w. 56/57 H). Lihat Ibn Hajar, Fath al-Bârî, h. 4.
Dalam Fath al-Bârî, hanya perawi terakhir yang dijelaskan (Abdullah) dan perawi pertama dalam hadis
permulaan wahyu, itupun berkaitan dengan kata Um al-Mu‟minin yang disandarkan pada isteri-iteri Nabi saw,
lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bârî, h. 18-19.
memiliki makna sempurna. Setelah itu kemudian dijelaskan maksud dan kandungan hadis
tersebut, dan agaknya ini yang menjadi fokus bahasan dalam syarh alBukhârî ini.

Komentar dan penjelasan ulama dicantumkan kemudian diulas oleh Ibn Hajar, sebagaimana
hadis di atas diungkapkan pendapat al-Khatabî bahwa muslim yang afdhal adalah mereka yang
dapat menunaikan hak-hak Allah dan manusia. Dan merupakan ciri dari orang muslim
sekaligus bisa menjadi suatu anjuran agar seorang muslim memperbaiki hubungannya dengan
sang Pencipta, sebab jika menjalin hubungan baik dengan sesama manusia diharuskan maka
dengan sang Khâliq adalah lebih utama.

Dikhususkan penyebutan lidah dengan tangan dikarenakan lidah merupakan alat atau sarana
untuk mengungkapkan apa yang ada sedangkan tangan dikarenakan kita umumnya
mengerjakan sesuatu dengannya. Dikecualikan dalam pengertian ini (selamatnya muslimin dari
tangannya) misalnya melaksanakan hudûd dan ta`zîr terhadap muslim yang lain. Tangan
secara maknawiyah dapat diartikan dengan istilâ‟ yaitu mengambil hak orang lain dengan cara
yang tidak dibenarkan –berarti ia bukan seorang muslim-.

Adapun lafahz muhâjir (meninggalkan) memiliki 2 makna, secara zhahir (fisik) maupun batin
(spritual), yaitu meninggalkan segala yang menjadi bisikan nafsu amarah dengan syaitan
sedangkan arti yang disebutkan pertama adalah meninggalkan fitnah dengan membawa agama
keduanya mengandung makna jawâmi` al-hikam.

Hadis di atas merupakan periwayatan al-Bukâhrî secara individual dari Muslim, tapi Muslim
meriwayatkan dari jalur yang lain dengan ma`na. Ibn Hibbân (w. 354 H) menambahkannya
dalam shahîhnya melalui sahabat yang sama dengan al-Bukhârî, demikian juga dengan al-
Hâkim (w. 405 H) dalam Mustadraknya melalui jalur sahabat Anas (w. 93 H) dengan lafadz ,
dimaksud dengan an-Nas dalam hadis ini adalah kaum muslimin secara spesifik dan
penyebutannya hanya sekedar untuk meringkaskan dan cakupan ma‟nanya lebih luas demikian
menurut Ibn Hajar7.

39. KEUTAMAAN ORANG YANG MEMELIHARA AGAMANYA

‫ي هللاُ َع ْن ُهم‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ان ب ِْن بَ ِشي ٍْر َر‬ َ ‫ع ْن أ َ ِبي‬


ِ ‫ع ْب ِد هللاِ النُّ ْع َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ََ ‫علَ ْي ِه‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ا َقا َل‬
َ ‫ ِإ َّن ْال َحالَ َل َب ِي ٌِّن َو ِإ َّن ْال َح َر‬: ‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل‬
‫ام َب ِيِّن‬ َ َ‫َو َب ْينَ ُه َما أ ُ ُم ْو ٌر ُم ْشت َ ِب َهاتٌ الَ َي ْعلَ ُم ُه َّن َك ِثي ٌْر ِمن‬
َ ‫ٌَو‬
‫ت فَقَ ْد ا ْستَب َْرأ َ ِل ِد ْينِ ِه َوع‬ ُّ ‫ فَ َم ِن اتَّقَى ال‬،‫اس‬
ِ ‫شبُ َها‬ ِ َّ‫ت َوقَ َع فِي َِالن‬ ُّ ‫ َو َم ْن َوقَ َع فِي ال‬،‫ض ِه‬
ِ ‫شبُ َها‬ ِ ‫ْر‬
‫عى َح ْو َل ْال ِح َمى ي ُْو ِشكُ أ َ ْن َي ْرت َ َع ف‬ َ ‫الرا ِعي يَ ْر‬ َّ ‫ َك‬،‫ أَالَ َو ِإ َّن ِل ُك ِِّل َملِكٍ ِح ًمى أَالَ َو ِإ َّن َِ ْال َح َر ِام‬،‫ْي ِه‬
‫تف‬ ْ َ ‫سد‬ َ َ‫سد ُ ُكلُّهُ َو ِإذَا ف‬ َ ‫صلَ َح ْال َج‬َ ‫ت‬ ْ ‫صلَ َح‬ َ ‫ضغَةً ِإذَا‬ ْ ‫س ِد ُم‬َ ‫ار ُمهُ أَالَ َو ِإ َّن فِي ْال َج‬ ِ ‫سدَ ََ ِح َمى هللاِ َم َح‬ َ
‫ي ْالقَ ْلب‬ َ ‫سد ُ ُكلُّهُ أَالَ َو ِه‬ َ ‫ْال َج‬

Keterangan Hadits:

7
19 Ibn Hajar, Fath al-Bârî, h. 53-54.
(Yang halal jelas dan yang haram jelas), yaitu dalam dzat dan sifatnya sesuai dalil yang zhahir.
(Dan diantara keduanya adalah hal yang meragukan), artinya hal-hal yang tersamarkan yang
tidak diketahui hukumnya secara pasti. Dalam riwayat Al Ushaili kata yang disebutkan adalah,
yang juga merupakan riwayat Ibnu Majah dengan lafazh Ibnu 'Aun. Maknanya, keduanya
sepakat untuk memperoleh hal yang serupa dari dua sisi yang saling bertolak belakang.
Kemudian diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abi Nu'aim, Syaikh Imam Bukhari dengan
lafazh, "Dan diantara keduanya terdapat perkara yang diragukan.

(Tidak banyak orang yang mengetahuinya). Yang dimaksud adalah tidak mengetahui
hukumnya. Hal tersebut dijelaskan dalam riwayat At-Tirmidzi dengan lafazh, "Banyak orang
yang tidak mengetahui apakah perkara tersebut halal atau haram." Yang dapat dipahami dari
kata ‘katsir’ adalah bahwa yang mengetahui hukum perkara tersebut hanya sebagian kecil
manusia, yaitu para Mujtahid, sehingga orang yang ragu-ragu adalah selain mereka. Namun,
terkadang syubhat itu timbul dalam diri para mujtahid jika mereka tidak dapat mentarjih
(menguatkan) salah satu diantara dua dalil.

(Barangsiapa yang menghindarkan diri dari hal-hal syubhat) artinya berhati-hati dengan
perkara yang syubhat. Perbedaanntara para perawi dalam lafazh hadits, adalah seperti
sebelumnya. Tapi menurut Muslim dan Ismaili adalah ‘syubuhat’ bentuk jamak (plural) dari
kata ‘syubhah’. Maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan dan perilakunya
selamat dari celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan
selamat dari perkataan orang yang mencelanya. Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang
tidak menjauh-kan diri dari syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah
menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini me-ngandung petunjuk untuk selalu
menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kemanusiaan.
(Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat). Perbedaan para perawi dalam kalimat ini
seperti yang telah kami kemukakan. Disamping itu para ulama juga berselisih tentang hukum
Syubhat, ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan makruh. Kasus ini sama
dengan perbedaan pendapat tentang hukum sebelum turunnya syariat. Ringkasnya, ada empat
penafsiran tentang syubhat. Pertama, terjadinya pertentangan dalil-dalil yang ada, seperti
disebutkan di atas. Kedua, perbedaan ulama yang bermula dari adanya dalil-dalil yang saling
bertentangan. Ketiga, yang dimaksud dengan kata tersebut (syubhat) adalah yang disebut
dengan makruh, karena kata tersebut mengandung unsur "melakukan" dan "meninggalkan".
Keempat, yang dimaksud dengan syubhat adalah yang mubah (yang diperbolehkan). Telah
dinukil dari Ibnu Munir dalam Manaqib Syaikh Al Qabari, beliau berkata, "Makruh merupakan
pembatas antara hamba dan hal-hal yang haram. Barangsiapa banyak melaksanakan perbuatan
yang makruh, maka dia berjalan menuju yang haram. Sedangkan mubah adalah pembatas
antara hamba dengan yang makruh. Barangsiapa yang banyak melakukan hal yang mubah,
maka dia telah menuju kepada hal yang dimakruhkan."

Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dengan jalur yang disebutkan oleh Imam
Muslim tanpa menyebutkan lafazhnya, dan dalam hadits tersebut terdapat tambahan, "Buatlah
pemisah antara yang halal dengan yang haram. Yang melakukan hal tersebut, maka perilaku
dan agamanya akan selamat. Orang yang menikmati hal tersebut seolah-olah menikmati yang
dilarang, ditakutkan akan jatuh ke dalam yang dilarang.'" Artinya bahwa hal mubah yang
dikhawatirkan akan menjadi makruh atau haram, maka harus dijauhi. Misalnya berlebihan
dalam hal-hal yang baik, karena hal itu akan menuntut seseorang untuk banyak bekerja yang
terkadang dapat menyebabkannya mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melalaikan
ibadahnya.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang banyak melakukan sesuatu yang makruh, akan berani
melakukan sesuatu yang haram atau kebiasaannya melakukan sesuatu yang tidak diharamkan
tersebut menyebabkannya melakukan sesuatu yang diharamkan. Atau dikarenakan ada syubhat
di dalamnya sehingga orang yang mengerjakan sesuatu yang dilarang, hatinya akan gelap
karena kehilangan sifat wara ' (kehati-hatian) dalam dirinya, dimana hal itu akan
menyebabkannya jatuh ke dalam hal yang haram.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu' (jual beli) dari Abu Farwah dari Sya'bi
yang berkaitan dengan hadits ini, "Orang yang meninggalkan dosa yang diragukan, maka
sesuatu yang jelas baginya adalah harus lebih ditinggalkan. Sedangkan orang yang
mengerjakan suatu dosa yang diragukannya, maka dikhawatirkan akan jatuh kepada sesuatu
yang jelas (dilarang)" Hadits ini merujuk kepada pendapat pertama sebagaimana yang saya
isyaratkan.
Catatan:

Ibnu Munir menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan tetapnya hukum "mujmal"
setelah Rasulullah. Adapun dalam menjadikannya sebagai dalil, masih harus diteliti kembali.
Kecuali jika yang dimaksud adalah bahwa hal tersebut mujmal dalam hak sebagian tanpa
sebagian yang lain, atau dimaksudkan untuk membantah kelompok yang mengingkari qiyas.
(Seperti penggembala yang menggembalakan). Demikianlah yang ditemukan dalam setiap teks
Imam Bukhari dengan dihapuskannya jawab syarth apabila kata 'man’ (orang) dianggap
berfungsi sebagai syarth. Penghapusan tersebut juga dikuatkan dalam riwayat Ad-Darimi dari
Abu Nu'aim Syaikh Imam Bukhari. Dalam riwayat tersebut adalah, (Barangsiapa yang
melakukan sesuatu yang diragukan maka dia terjatuh ke dalam yang haram seperti
penggembala yang menggembalakan).

Akan tetapi kata ‘man’- dalam lafazh Bukhari dapat pula dianggap sebagai man maushulah
(sambung). Dengan demikian maka tidak ada penghapusan di dalamnya, sehingga artinya
menjadi barangsiapa yang melakukan sesuatu yang diragukan, maka orang tersebut seperti
penggembala yang menggembalakan ternaknya. Pendapat pertama lebih utama untuk diterima,
karena penghapusan tersebut diperkuat dengan riwayat Muslim dan yang lainnya dari jalur
Zakaria yang juga merupakan riwayat Imam Bukhari. Berdasarkan hal ini, maka perkataannya
‫ كراع يرعى‬berfungsi sebagai kata awal untuk menarik perhatian terhadap sesuatu yang belum
terjadi dengan sesuatu yang ada.

Ada anekdot dalam perumpamaan tersebut, yaitu raja-raja Arab melindungi para pengembala
mereka di suatu tempat khusus dengan ancaman hukuman berat bagi orang yang
menggembalakan ternaknya di tempat itu tanpa izinnya. Oleh karena itu, Rasulullah
mengumpama-kannya dengan sesuatu yang masyhur atau dikenal oleh mereka. Orang yang
takut akan hukuman dan mengharapkan ridha sang raja, maka dia akan menjauhi tempat
tersebut karena khawatir ternaknya akan masuk ke dalam daerah tersebut. Oleh sebab itu,
betapapun ketatnya pengawasan seseorang terhadap binatang gembalaannya, menjauh dan
tempat itu adalah lebih selamat baginya. Sedangkan orang yang tidak takut, akan
menggembalakan ternaknya di dekat tempat tersebut tanpa ada jaminan bahwa tak ada satupun
ternaknya yang memisahkan diri dan masuk ke dalam daerah tersebut. Atau tempat yang
ditempatinya sudah gersang dan tidak ada tumbuhan, sedangkan daerah larangan masih subur
sehingga dia tidak dapat menguasai dirinya dan masuk ke dalam daerah tersebut.
Catatan:

Sebagian ulama mengklaim bahwa seumpamaan tersebut adalah perkataan Sya'bi dan ia
termasuk mudarrij dalam hadits. Pendapat tersebut diceritakan oleh Abu Amru Ad-Dani, dan
saya tidak memperhatikan dalil-dalil mereka kecuali yang dimiliki oleh Ibnu Jarud dan Ismaili
dari riwayat Ibnu 'Aun dari Sya'bi. Ibnu 'Aun berkata dalam akhir hadits, '"Saya tidak tahu
apakah perumpamaan itu berasal dari perkataan Nabi atau perkataan Sya'bi."

Menurut saya, keragu-raguan Ibnu 'Aun menetapkannya sebagai hadits marfu' tidak
menjadikannya sebagai hadits yang berstatus mudarraj, karena beberapa perawi yakin bahwa
hadits tersebut berstatus marfu'. Oleh karena itu, keragu-raguan sebagian mereka tidak
mempengaruhi hal tersebut. Begitu pula dengan tidak dituliskannyaperumpamaan tersebut
dalam riwayat beberapa perawi -seperti Abu Farwah dari Sya'bi- juga tidak berpengaruh
terhadap perawi yang mencantumkannya, karena mereka adalah huffazh (para penghafal
hadits). Agaknya inilah rahasia penghapusan kata ‫وقع في الحرام‬. (jatuh ke dalam yang haram)
dalam riwayat Al Bukhari, agar apa yang disebutkan sebelum perumpamaan berkaitan erat
dengannya. Dengan demikian, maka hadits tersebut selamat dari tuduhan mudarraj. Riwayat
yang menguatkan tidak adanya idraj dalam hadits ini adalah riwayat Ibnu Hibban, dan
dicantumkannya perumpamaan tersebut dengan status marfu" dalam riwayat Ibnu Abbas dan
juga Ammar bin Yasir.

(Sesungguhnya larangan Allah di bumi-Nya adalah hal-hal yang diharamkan-Nya). Dalam


riwayat Mustamli tidak menggunakan kalimat ‫في ارضه‬, sedangkan dalam riwayat selain Abu
Dzarr, huruf "waw" dicantumkan dalam kalimat (Dan sesungguhnya larangan Allah). Yang
dimaksud dengan ‫ محارم‬adalah perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan pekerjaan yang
wajib, maka dalam riwayat Abi Farwah diinterpretasikan dengan " (kemaksiatan) sebagai ganti
dari kata (yang diharamkan). Sedangkan kata ‫اَل‬, berfungsi memperingatkan bahwa setelahnya
adalah kebenaran.

(Segumpal darah) dinamakan hati , karena sifatnya yang selalu berubah atau karena dia adalah
bagian badan yang paling bersih, atau juga karena dia diletakkan terbalik dalam badan. ‫اذا فسد‬
‫ت‬. Penggunaan kata ‫ اذا‬menunjukkan hal tersebut biasa terjadi dan bisa juga berarti "jika"
seperti yang ada di riwayat ini. Dikhususkannya hati dalam hal ini, karena hati adalah
pemimpin badan. Jika pemimpinnya baik maka rakyat pun akan baik, demikian pula
sebaliknya. Hadits ini mengandung peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk
memperbaikinya dan isyarat bahwa naflah yang baik memiliki efek terhadap hati, yaitu
pemahaman yang diberikan oleh Allah. Pendapat tersebut dapat dijadikan dalil bahwa akal
berada di hati berdasarkan firman Allah, "Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
dapat memahami." dan firman Allah, "Sesungguhnya dalam semua itu terdapat peringatan bagi
orang yang memiliki hati. " Para ahlitafsir mengartikan hati dengan "akal". Adapun
disebutkannya hati, karena hati adalah tempat bersemayamnya akal.
Pelajaran Yang Dapat Diambil

Kalimat ‫ اَل ان في الجسد مضغة‬hanya ditemukan dalam riwayat As-Sya'bi, bahkan kebanyakan
riwayat yang berasal dari Sya'bi tidak ada kalimat tersebut. Penambahan tersebut hanya
ditemukan dalam riwayat Zakariya dari As-Sya'bi. Kemudian diikuti oleh Mujahid pada
riwayat Ahmad, Mughirah dan lainnya pada riwayat Thabrani. Kemudian dalam beberapa
riwayat digunakan kata (sehat) dan (sakit) sebagai ganti (baik) dan (rusak). Adapun korelasi
dengan kalimat sebelumnya adalah bahwa asal dari ketakwaan dan kehancuran adalah hati,
karena ia adalah pemimpin tubuh. Oleh karena itu, para ulama mengagungkan hadits ini dan
menganggapnya sebagai faktor keempat dari 4 faktor yang mendasari hukum sebagaimana
yang dinukilkan dari Abu Daud. Ada dua bait yang masyhur tentang hal tersebut;

Fondasi agama menurut kami adalah kalimat-kalimat yang disandarkan kepada sabda
khairul barriyah (manusia yang paling baik) Tinggalkan yang syubhat dan berzuhudlah
kemudian biarkan yang tidak ada di depan matamu lalu berbuatlah dengan niat.
Abu Daud menganggap kalimat, "Apa yang aku larang maka jauhilah..." sebagai ganti dari
kalimat, "Berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia." Ibnu Arabi mengisyaratkan
bahwa hadits tersebut mencakup seluruh hukum syar'i. A! Qurthubi berkata, "Hal tersebut
dikarenakan hadits tersebut mencakup perincian tentang halal dan haram serta yang lainnya,
serta adanya hubungan yang erat antara perbuatan dengan hati, maka seluruh hukum yang ada
dapat merujuk kepadanya."

Shahih Bukhari, 2 - Buku Iman


Bab: Agama adalah nasehat (loyalitas) kepada Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin.

No. Hadist: 55

‫ع ْن‬ َ ‫از ٍم‬ ِ ‫ْس ب ُْن أ َ ِبي َح‬ ُ ‫ع ْن إِ ْس َما ِعي َل قَا َل َحدَّثَنِي َقي‬
َ ‫سدَّد ٌ قَا َل َحدَّثَنَا َي ْح َيى‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫علَى ِإقَ ِام ال‬َ ‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاِ قَا َل بَا َي ْعتُ َر‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫ير ب ِْن‬
ِ ‫َج ِر‬
‫صحِ ِل ُك ِل ُم ْس ِل ٍم‬ َّ ‫اء‬
ْ ُّ‫الز َكاةِ َوالن‬ ِ َ ‫َو ِإيت‬
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya
dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah
berkata: "Aku telah membai'at Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan
menasehati kepada setiap muslim".
No. Hadist: 56

‫َّللاِ َيقُو ُل‬


َّ ‫ير بْنَ َع ْب ِد‬ َ ‫س ِم ْعتُ َج ِر‬ َ ‫ع ْن ِز َيا ِد ب ِْن ِع ََل َقةَ َقا َل‬ َ َ‫ان قَا َل َحدَّثَنَا أَبُو َع َوانَة‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَبُو النُّ ْع َم‬
ُ‫يك لَه‬َ ‫َّللا َو ْحدَهُ ََل ش َِر‬ ِ َّ ‫اء‬ َ ‫َّللاَ َوأَثْنَى َعلَ ْي ِه َوقَا َل‬
ِ َ‫علَ ْي ُك ْم بِاتِق‬ َّ َ‫ام فَ َح ِمد‬ َ َ‫ش ْعبَةَ ق‬ َ ‫ات ْال ُم ِغ‬
ُ ‫يرة ُ ب ُْن‬ َ ‫يَ ْو َم َم‬
ُّ‫ير ُك ْم فَإِنَّهُ َكانَ ي ُِحب‬ِ ‫ير فَإِنَّ َما يَأ ْ ِتي ُك ْم ْاْلنَ ث ُ َّم قَا َل ا ْستَ ْعفُوا ِِل َ ِم‬
ٌ ‫س ِكينَ ِة َحتَّى َيأْتِيَ ُك ْم أ َ ِم‬َّ ‫ار َوال‬ ِ َ‫َو ْال َوق‬
‫ي‬َّ ‫ع َل‬ َ ‫اْلس ََْل ِم فَش ََر‬
َ ‫ط‬ ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم قُ ْلتُ أُبَا ِيعُ َك‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬َّ ‫ْال َع ْف َو ث ُ َّم قَا َل أ َ َّما بَ ْعد ُ فَإِنِي أَتَيْتُ النَّ ِب‬
ِ ‫ب َهذَا ْال َمس ِْج ِد ِإ ِني لَن‬
‫َاص ٌح لَ ُك ْم ث ُ َّم ا ْست َ ْغفَ َر َونَزَ َل‬ ِ ‫علَى َهذَا َو َر‬ َ ُ‫صحِ ِل ُك ِل ُم ْس ِل ٍم فَ َبا َي ْعتُه‬ْ ُّ‫َوالن‬
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami
Abu 'Awanah dari Ziyad bin 'Alaqah berkata; saya mendengar Jarir bin Abdullah berkata ketika
Al Mughirah bin Syu'bah meninggal, sambil berdiri dia memuji Allah dan mensucikan-Nya,
berkata: "Wajib atas kalian bertakwa kepada Allah satu-satunya dan tidak menyekutukannya,
dan dengan penuh ketundukan dan ketenangan sampai datang pemimpin pengganti, dan
sekarang datang penggantinya, " kemudian dia berkata: "Mintakanlah maaf kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala buat pemimpin kalian ini (Al Mughirah), karena dia suka memberi
maaf." Lalu berkata: "Amma ba'du, sesungguhnya aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kemudian aku berkata: "Aku membai'at engkau untuk Islam". Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memberi syarat dan menasehati kepada setiap muslim, maka aku membai'at
Beliau untuk perkara itu, dan demi Pemilik Masjid ini, sungguh aku akan selalu memberi
nasihat kepada kalian" Kemudian dia beristighfar lalu turun dari mimbar.

HADITS ke 7

.ُ ‫ الد ين النصيحة‬: ‫عْن َأِبي ُ َرقـَّيَة َتِمْيِم ْبِن َأْ ٍوس الَّداِري َأَّن الَّنِبَّي َصَّلى ا ُﷲ َعَلْيِه َ َوسَّلَم َقاَل‬
. ‫ و َعاَّمِتِهْم‬،‫ َ ِولَأِﺋَّمِة الُمْسِلِمْيَن‬،‫ َ ِولَرُسْوِلِه‬،‫ َ ِولِكَتاِبِه‬،‫َ ِلَّلِه‬:‫قْلَنا ِلَمْن؟ قاَل‬
Daripada Abu Ruqaiyyah Tamim ibn Aus al-Daarie r.a. bahawa Nabi SAW telah bersabda:
Agama itu adalah nasihat. Kami berkata: Untuk siapa? Baginda bersabda: Untuk Allah, untuk
kitabNya, untuk RasulNya, untuk para lmam kaum muslimin dan untuk umat lslam
seluruhnya..
Kandungan Hadits:
1. Agama Islam berdiri tegak di atas upaya saling menasihati, maka harus selalu saling
menasihati di antara masing-masing individu muslim.
2. Nasihat wajib dilakukan sesuai kemampuan.

42. BAB SABDA RASULULLAH SAW,

‫الد ين النصيحة ﷲ ورسوله وَلﺋمة المسلمين وعماته‬


"Agama adalah keikhlasan bagi Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslim dan kaum
awamnya" Firman Allah,
‫اذا نصحوا ﷲ و رسوله‬
"Apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. "

‫عن جر ير بن عبد ﷲ قال با يعت رسو ل ﷲ ص م على اقا م الصَل ة و ايتاء الز كاة و‬
‫النصح لكل مسلم‬
57, kata Jarir bin Abdullah, "Saya bersumpah kepada Rasulullah SAW akan menegakkan
shalat, membayar zakat dan berlaku jujur terhadap semua orang muslim.
Keterangan Hadits:

Sabda Rasulullah SAW, "Agama adulah keikhlasan" Hadits ini dicantumkan oleh Imam
Bukhari sebagai tema. Tidak diriwayatkannya dengan rangkaian sanad, karena tidak masuk
dalam syarat Imam Bukhari. Disebutkannya di sini menunjukkan keabsahan hadits tersebut.
Ayat dan hadits yang disebutkannya dari Jarir juga mencakup isi hadits berikutnya.

Imam Muslim meriwayatkan, telah diceritakan dari Muhammad bin Ubbad dan Sufyan. Ia
berkata, "Saya katakan kepada Suhail bin Abi Shalih bahwa Umar menceritakan kepada kami
dari Al qaqa' dari ayahmu tentang hadits ini. Saya menduga ada salah seorang dan rawi yang
terlewati." Kemudian dia berkata, "Saya mendengarnya dari orang yang mendengar dari
ayahku, yang merupakan salah seorang sahabatnya di Syam, yaitu Atha' bin Yazid, dari Tamim
Ad-Dari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Agama adalah keikhlasan,'" maka kami bertanya,
"Untuk siapa ya Rasulullah?" Beliau bersabda, "Untuk Allah azza wa jalla. "

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Rauh bin Al Qasim. Ia berkata,
bahwa Suhail menceritakan kepada kami dari Atha' bin Yazid, dimana ia mendengarnya pada
saat beliau berkata kepada Abu Shalih dan menyebutkan hadits tersebut.

(Agama adalah keikhlasan). Kemungkinan digunakan untuk mubalagah (melebih-lebihkan),


maka artinya adalah sebagian besar agama adalah keikhlasan seperti yang disebutkan dalam
hadits "Haji adalah Arafah" Ada pula kemungkinan untuk diinterpretasikan secara zhahir,
karena setiap pekerjaan tanpa keikhlasan dari pelakunya bukan bagian dari agama.

Al Mazi berkata, bahwa ‫ النصيحة‬berarti membersihkan, mengikhlaskan, atau berasal dari kata
‫ النصح‬yang berarti menjahit dengan jarum. Maksudnya, dia menyatukan kembali saudaranya
dengan nasihat, seperti kain jahitan yang disatukan dengan jarum. Termasuk dalam hal ini
adalah ‫ اتوبة النصوح‬seakan-akan dosa telah merobek agama, dan taubat telah menjahitnya.

Kata ‫ النصيحة‬adalah kata yang masih mengandung pengertian umum, yang berarti memperoleh
keuntungan bagi orang yang dinasehati. Arti ini merupakan ringkasan dari makna kata tersebut,
bahkan tidak ada kata tunggal yang dapat mengartikan kata tesebut. Hadits ini termasuk dalam
hadits yang dikatakan sebagai salah satu dari empat pilar agama, sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Muhammad bin Aslam AthThusi.

An-Nawawi berkata, "Bahkan dengan satu hadits tersebut, tujuan agama dapat tercapai, karena
tujuan agama terbatas pada hal-hal yang disebutkan oleh hadits. Oleh karena itu, ikhlas kepada
Allah adalah tunduk kepada-Nya secara lahir dan batin, cinta kepada-Nya dengan mentaati
perintah-Nya, takut akan kemurkaan-Nya dengan menjauhi segala macam perbuatan maksiat,
dan berusaha untuk mengembalikan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya.

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Rafi' dari Abu Tsumamah, sahabat Ali, dia
berkata, "Kelompok Hawariyin berkata kepada Isa AS, 'Wahai Ruh Allah, siapakah yang ikhlas
kepada Allah?'" Beliau menjawab. "Yang mendahulukan hak Allah daripada hak manusia."

Adapun ikhlas kepada kitab Allah, adalah mempelajari dan mengajarkannya, membetulkan
huruf yang keluar ketika membaca, memahami maknanya, mengerti batasan-batasannya,
mengamalkan apa yang ada di dalamnya dan menjauhkan penyimpangan yang dilakukan oleh
golongan batil.

Ikhlas kepada Rasul, adalah dengan memuliakannya dan mendukungnya baik waktu hidup
maupun setelah wafat, menghidupkan Sunnahnya dengan belajar dan mengajarkannya,
mengikuti beliau dalam perbuatan dan perkataan, dan mencintai beliau serta para pengikutnya.

Keikhlasan terhadap para pemimpin muslim adalah menolong mereka dalam melaksanakan
apa yang harus mereka laksanakan, mengingatkan mereka ketika lupa atau lalai, memperbaiki
kelakuan mereka ketika khilaf, menyatukan mereka, dan yang paling berharga adalah
mengembalikan mereka dari kezhaliman kepada yang lebih baik. Termasuk dalam kategori
para pemimpin umat adalah para ulama mujtahid. Keikhlasan terhadapnya dapat dengan
menyebarkan ilmunya dan sejarah hidupnya, serta berbaik sangka (husnu zhari) kepada
mereka.

Sedangkan keikhlasan kepada golongan muslim awam adalah dengan mengasihi mereka,
mengusahakan yang bermanfaat bagi mereka, mengajarkan apa yang bermanfaat bagi mereka,
mencegah penyiksaan terhadap diri mereka dan mencintai mereka sebagaimana dia mencintai
dirinya sendiri serta membenci apa yang mereka benci. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan agama dapat juga diartikan dengan perbuatan, karena Rasul menamakan
keikhlasan dengan agama.

Berdasarkan hal ini, maka Imam Bukhari paling banyak menjelaskan tentang iman. Hadits ini
juga mengisyaratkan diperbolehkannya mengakhirkan keterangan setelah waktu khitah
(perintah atau pembicaraan) berdasarkan ucapan, (Kami berkata untuk siapa?) Kita dapat
menyaksikan semangat kaum salaf dalam mencari sanad yang paling tinggi, hal tersebut dapat
kita lihat dari kisah Sufyan dengan Suhail.

(Aku berjanji kepada Rasulullah). Qadhi lyadh berkata, bahwa pembaiatan Rasulullah dalam
hadits ini hanya terbatas pada shalat dan zakat saja, hal itu karena shalat dan zakat merupakan
dua hal yang sangat masyhur. Adapun tidak disebutkannya puasa dan lainnya, karena hal itu
telah masuk dalam kalimat (mendengar dan mematuhi).
Menurut saya, kalimat tersebut ditemukan pula pada riwayat Imam Bukhari dalam kitab Al
Buyu' (jual beli) dari jalur Sufyan dari Ismail seperti yang telah disebutkan, kemudian dalam
kitab Ahkam melalui riwayat milik Muslim dari jalur Sya'bi dari Jarir, "Aku berjanji kepada
Rasulullah untuk mendengar dan patuh," kemudian Beliau berkata kepadaku. "Semampumu
dan berlaku ikhlas kepada seluruh muslim."
Kemudian hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalur Abu Zar'ah bin Amru
bin Jarir dari kakeknya dengan tambahan, "Jika Jarir membeli atau menjual sesuatu selalu
berkata kepada temannya, "Ketahuilah bahwa yang kami ambil durimu lebih kami sukai dari
apa yang kami berikan kepadamu, oleh karena itu pilihlah."

Diriwayatkan juga dari Thabrani dalam biografinya bahwa budaknya membelikan kuda
untuknya seharga 300. Ketika ia melihat kuda yang dibeli oleh budaknya, maka dia mendatangi
pemiliknya dan berkata, "Kuda milikmu ini harganya lebih dari 300 dan dia menambah lagi
hingga harganya mencapai 800."

Al Qurthubi berkata, "Baiat yang dilakukan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya adalah
untuk memperbaharui janji dan menegaskan suatu perintah, maka redaksinya berbeda-beda.
Maksud ungkapan "Sesuai dengan kemampuanmu" adalah bahwa perkara yang dibaiatkan
harus berupa sesuatu yang mampu dilaksanakan, sebagaimana syarat dalam taklif
(pembebanan kewajiban). Redaksi tersebut mengindiksikan pemberian maaf bila terjadi suatu
kesalahan atau kealpaan."
‫عن ز ياد عَل قة سمعت قال جر ير بن عبد ﷲ‬
58. Dari Ziyad ilaqah RA, ia berkata, "Saya mendengar Jarir bin Abdullah berpidato pada hari
wafatnya Mughirah bin Syu'bah, 'Saya puji Allah dan saya sanjung Dia setinggi-tingginya.'"
Selanjutnya dia berkata, "Bertakwalah anda sekalian kepada Allah, yang tidak ada sekutu bagi-
Nya. Sabar dan tenanglah anda semua, hingga datang gubenur yang baru. Sesungguhnya dia
akan datang kepada anda sekarang juga. " Selelah itu dia melanjutkan, "Berilah maaf kepada
amirmu (Mughirah), karena dia orang yang pemaaf." Kemudian dia melanjutkan, 'Saya telah
datang kepada Nabi dan berjanji akan melaksanakan segala perintah Islam. Lalu beliau
memberikan beberapa syarat kepadaku, serta nasihat-nasihat untuk kaum muslimin seluruhnya.
Aku berjanji kepada beliau untuk memenuhi syarat-syarat tersebut dan mengamalkan nasihat-
nasihat itu. Demi Tuhan masjid ini, sesungguhnya saya telah menyampaikan kepada anda
sekalian. "Kemudian dia mohon ampun kepada Allah dan turun dari mimbar.
Keterangan Hadits:
(Pada hari kematian Mughirah bin Syu'bah). Pada saat itu, Mughirah adalah gubenur Kufah
pada masa kckhalifahan Muawiyah. Beliau wafat pada tahun ke 50 H. Kemudian dia
mewakilkan tugasnya kepada anaknya yang bernama Urwah. Ada yang mengatakan dia
mendelegasikan tugasnya kepada Jarir, karena peristiwa inilah dia menyampaikan khutbah di
atas. Hal tersebut diceritakan oleh Al Ala'i, Didahulukannya perintah untuk bertakwa kepada
Allah, karena biasanya kematian seorang penguasa dapat menimbulkan kekacauan dan fitnah,
apalagi penduduk Kufah yang pada waktu itu menentang para wali dan pemimpin mereka.

(Hingga datang kepada kalian seorang amir), maksudnya adalah datang seorang amir sebagai
ganti gubenur yang wafat. Untuk ini dapat dipahami, bahwa maksud ungkapan di alas tidak
berarti bahwa perintah tersebut akan berakhir dengan datangnya seorang amir pengganti, tetapi
konsistensi tersebut harus tetap dijaga setelah datangnya seorang amir.
(Sekarang). Kalimat ini menunjukkan dekatnya waktu, karena ketika Muawiyah mengetahui
kematian Mughirah, dia langsung menulis surat kepada wakilnya di Bashrah, yaitu Ziyad,
untuk segera berangkat ke Kufah untuk menjadi gubenur di sana.

(Mohonkan kepada Allah ampunan bagi amir kalian). Demikian yang ditulis dalam sebagian
besar riwayat. Akan tetapi dalam riwayat Ibnu Asakir dan Al Ismaili dalam Al Mustakhraj
disebutkan dengan redaksi, ‫ا ستغفروا‬

(Karena Dia senang memaafkan). Dalam redaksi tersebut terdapat petunjuk, bahwa pahala
akan didapat dari apa yang dilakukan.
(Dan ikhlas). Kata tersebut menunjukkan kelembutan Rasulullah SAW.

(Dan Tuhan masjid ini) menunjukkan bahwa khutbahnya dilakukan di masjid. Bisa jadi kalimat
tersebut mengisyaratkan kepada Baitul Haram berdasarkan riwayat Ath-Thabrani dengan
redaksi, "Dan Tuhan Ka'bah." Disebutkannya hal itu untuk menunjukkan kemuliaan sumpah
tersebut agar dapat diterima.
(penasihat). Kalimat ini mengandung isyarat bahwa dia mematuhi apa yang disepakati dalam
baiat dengan Rasulullah, dan apa yang diucapkannya tidak menyimpan maksud tertentu.

(Kemudian turun) menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilakukannya di atas mimbar atau
dimaksudkan duduk, karena kalimat tersebut merupakan lawan dari berdiri.
Pelajaran yang dapat diambil:

Kata ', (nasihat) dalam hadits ini dikhususkan untuk orang Islam, karena memang yang
mendominasi pertemuan tersebut adalah orang muslim. Jika tidak, maka nasihat tersebut
ditujukan kepada orang kafir untuk menyeru mereka kepada Islam.

Imam Bukhari menutup pembahasan Iman dengan bab "Nasihat", hal itu menunjukkan bahwa
dia mengamalkan apa yang terkandung dalam hadits tersebut sebagai anjuran untuk
mengamalkan hadits yang shahih. Kemudian dia menutupnya dengan khutbah Jarir yang
menjelaskan kondisinya pada saat menyusun khutbah, maka redaksi "Sesungguhnya telah
datang kepada kalian saat ini" menunjukkan kewajiban berpegang pada syariat yang ada hingga
datang orang yang menegakkannya.
Lalu ucapan "Mohonkan kepada Allah untuk mengampuninya", mengisyaratkan agar dia
didoakan karena perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Kemudian khutbah tersebut ditutup
dengan perkataan, "Mohon ampunlah kalian! Kemudian dia turun" Dengan demikian,
timbullah perasaan bahwa ini adalah akhir bab. Kemudian Imam Bukhari melanjutkan dengan
bab "Ilmu", sebagaimana yang terkandung dalam hadits nasihat bahwa sebagian besar didapat
dengan belajar dan mengajar.
Penutup:

Kitab Iman dan pembukaannya, mulai bab diturunkannya wahyu mencakup 81 hadits marfu'
dengan pengulangan. Dalam bab "Bad'ul Wahyi " terdapat 15 hadits dan dalam bab "Iman"
terdapat 66 hadits dan 33 hadits yang diulang. Kemudian dalam bentuk mutaha 'ah atau
komentar terdapat 22 hadits, dengan rincian: dalam bab "Wahyu" 8 hadits, dalam bab "Iman"
14 hadits dan yang maushul yang diulang berjumlah 8 hadits. Lalu dari ta 'liq (komentar) yang
tidak dimaushulkan hingga akhir ada 3 hadits, dan sisanya adalah 48 hadits maushul yang tidak
diulang. Semua hadits tersebut telah disepakati oleh Muslim kecuali tujuh:

1. Syu'bah dari Abdullah bin Amru dalam bab "Muslim dan Muhajir".
2. Al A'raj dari Abu Hurairah dalam bab "Cinta Rasulullah".
3. Ibnu Abi Sha'sha'ah dari Abi Sa'id dalam bab "Menghindar dari Fitnah".
4. Anas dari Ubadah pada bab "Lailatul Qadar".
5. Sa'id dari Abu Hurairah pada bab "Agama itu Mudah",
6. Al Ahnaf dari Abi Bakrah pada bab "Yang Membunuh dan yang Terbunuh".
7. Hisyam dari ayahnya dari Aisyah pada bab "Aku yang Paling Mengetahui tentang
Agama Kalian".

Jumlah yang mauquf kepada sahabat dan tabiin adalah 13 Atsar muallaq, Aecuali atsar Ibnu
Nathur yang berstatus maushul (bersambung). Begitu pula dengan khutbah Jarir yang menjadi
penutup kitab Iman. Wallahu alam.

Shahih Bukhari, 2 - Buku Iman


Bab: Sesungguhnya amal itu bergantung dengan niat dan pengharapan, dan setiap
mukmin akan mendapatkan sesuai dengan niatnya
No. Hadist: 52

َ‫ع ْلقَ َمة‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫يم‬ َ ‫س ِعي ٍد َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإب َْرا ِه‬ َ ‫ع ْن َي ْح َيى ب ِْن‬ َ ٌ‫َّللاِ ب ُْن َم ْسلَ َمةَ قَا َل أ َ ْخ َب َرنَا َما ِلك‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
َّ ُ‫ع ْبد‬
‫ئ َما ن ََوى‬ ٍ ‫سلَّ َم قَا َل ْاِل َ ْع َما ُل بِالنِيَّ ِة َو ِل ُك ِل ْام ِر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬
ُ ‫ع ْن‬ َ ‫اص‬ٍ َّ‫ب ِْن َوق‬
‫ُصيبُ َها‬ ِ ‫َت ِه ْج َرتُهُ لد ُ ْنيَا ي‬ ْ ‫سو ِل ِه َو َم ْن َكان‬ ِ َّ ‫سو ِل ِه فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى‬
ُ ‫َّللا َو َر‬ َّ ‫َت ِه ْج َرتُهُ ِإلَى‬
ُ ‫َّللاِ َو َر‬ ْ ‫فَ َم ْن َكان‬
‫أ َ ْو ْام َرأَةٍ َيت َزَ َّو ُج َها فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari
Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung
niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang
perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.".

Hadit ke 1
‫سو ِل ِه ف ِه ْج َرتُهُ إلى‬ َ ِ‫َت ِه ْج َرتُهُ إلى ﷲ‬
ُ ‫ور‬ ْ ‫ت و ِإنَّما ِل ُك ِل امريءٍ ما ن ََوى فَ َم ْن َكان‬ ِ ‫إنَّ َما اِلع َمال بالنِيَّا‬
‫ُص ْيبُها أو امرأ ٍة َي ْن ِك ُح َها ف ِه ْج َرتُهُ إلى ما هَا َج َر إلي ِه‬ ِ ‫َت ِه ْج َرت ُهُ ِلد ُ ْن َيا ي‬
ْ ‫س ْو ِل ِه و َم ْن َكان‬
ُ ‫ور‬
َ ِ‫ﷲ‬
Daripada Amirul Mukminin Abu Hafsin 'Umar ibn al-Katthab r.a. beliau berkata: Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: Bahawa sesungguhnya setiap amalan itu bergantung
kepada niat, dan bahawa sesungguhnya bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa
yang hijrahnya menuju kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan
RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya kerana dunia yang dia mahu mencari habuannya, atau
kerana seorang perempuan yang dia mahu kahwininya, maka hijrahnya ke arah perkara yang
ditujuinya itu. Hadis ini diriwayat oleh dua orang Imam Ahli Hadis; Abu Abdullah Muhammad
ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Barzirbah al-Bukhari dan Abu al-Husain Muslim
ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairie al-Naisaburi dalam kitab sahih mereka berdua yang
merupakan antara kitab yang paling sahih (Al-Imam al-Bukhari meriwayatkannya pada
bahagian awal kitab sahihnya, juga dalam Kitab Iman dan beberapa tempat lain dalam kitab
sahihnya. Al-Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab al-Imarah Bab : ‫باب ) إنما اِلعمال‬
‫ قوله‬hadis nombor 1908). Hadis ini adalah salah satu hadis utama dalam lslam.
Kandungan Hadist:

1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah
tidak akan menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua
amal shaleh dan ibadah.
4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari
keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia
merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah
adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan
perbuatan.
Catatan:

1. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam
Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga
ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan
anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut.
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata," Hadits ini mencakup tujuh puluh
bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata," Hadits ini merupakan
sepertiga Islam.
2. Sebab dituturkannya hadits ini, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke
Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama:
“Ummu Qais” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal
dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).

41. SETIAP PERBUATAN HARUS DISERTAI NIAT DAN INGIN MENDAPATKAN


PAHALA, KARENA SETIAP ORANG TERGANTUNG KEPADA NIATNYA
Maka tema ini mencakup shalat, wudhu; zakat, haji, puasa dan berbagai hukum. Allah
berfirman, "Katakanlah setiap orang berbual menurut kebiasaannya masing-masing," (Qs. Al
Israa' (17): 85) maksudnya tergantung niatnya. Nafkah seorang pria kepada keluarganya
dihitung sebagai shadaqah, dan ada yang berkata, "Bahkan jihad dan niat."

‫َت‬ْ ‫ئ َما ن ََوى فَ َم ْن َكان‬ ٍ ‫سلَّ َم قَا َل ْاِل َ ْع َما ُل ِبالنِيَّ ِة َو ِل ُك ِل ْام ِر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬
ُ ‫ع ْن‬
َ
ٍ‫صيبُ َها أ َ ْو ْام َرأَة‬
ِ ُ‫َت ِه ْج َرتُهُ لد ُ ْن َيا ي‬ ْ ‫سو ِل ِه َو َم ْن َكان‬ ِ َّ ‫سو ِل ِه فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى‬
ُ ‫َّللا َو َر‬ ِ َّ ‫ِه ْج َرتُهُ ِإلَى‬
ُ ‫َّللا َو َر‬
‫َيت َزَ َّو ُج َها فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه‬
54. Dan Umar, Rasulullah bersabda, "Setiapperbuatan dengan niat, dan setiap orang tergantung
dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya demi dunia yang dikejarnya dan
perempuan yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang dimaksud."
Keterangan Hadits:

Bab ini menerangkan bahwa setiap perbuatan syar'iyyah tergantung dengan niat dan hisbah
(keinginan untuk mendapatkan pahala). Hanya saja tidak ditemukan dalam hadits ini bahwa
setiap perbuatan hanya untuk mendapatkan, pahala semata, akan tetapi ia berargumentasi
dengan hadits Umar bahwa setiap perbuatan tergantung niatnya dan hadits Ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa setiap amal adalah untuk mendapatkan pahala. Kalimat ‫ولكل امرئ ما نوى‬
adalah bagian dari hadits yang pertama. Dimasukkannya kata hisbah diantara dua kalimat yang
lain, adalah untuk menunjukkan bahwa hadits kedua menjelaskan apa yang tidak ada dalam
hadits pertama.

Dalam hal ini mencakup masalah wudhu, karena ada perbedaan pendapat bagi golongan yang
tidak mensyaratkan niat dalam wudhu seperti yang dinukil dari Auza'i dan Abu Hanifah serta
yang lainnya. Dalil mereka adalah, wudhu bukan ibadah independen (bebas), akan tetapi
merupakan sarana ibadah seperti shalat. Pendapat mereka bertentangan dengan tayammum
yang juga merupakan sarana akan tetapi disyaratkan niat.
Mayoritas Ulama berargumentasi tentang diwajibkannya niat dalam wudhu dengan hadits
shahih, karena dengan niat akan mendapat pahala. Sedangkan kewajiban zakat akan gugur
dengan diambilnya harta oleh penguasa walaupun pemiliknya tidak berniat, karena penguasa
lelah menempati posisi niat tersebut. Ibadah haji menjadi fardhu bagi siapa yang menghajikan
orang lain berdasarkan dalil khusus, yaitu hadits Ibnu Abbas dalam kisah Syubrumah.

Adapun disebutkan puasa di sini sebagai sanggahan bagi orang yang menyatakan bahwa puasa
Ramadhan tidak membutuhkan niat, karena Ramadhan itu sendiri telah dibedakan dengan
bulan yang lain. Imam Bukhari menyebutkan terlebih dahulu haji daripada puasa berdasarkan
hadits "Bunial Islam" yang telah disebutkan. Sementara yang dimaksud hukum di sini adalah,
setiap transaksi yang mengandung peradilan, yang mencakup jual beli, nikah, ikrar dan lain
sebagainya. Setiap perbuatan yang tidak disyaratkan adanya niat, adalah karena adanya dalil
khusus. Ibnu Munir menyebutkan kaidah perbuatan yang memerlukan niat dan yang tidak.
Beliau berkata, "Setiap perbuatan yang tidak menimbulkan dampak seketika tetapi
dimaksudkan mencari pahala, maka disyaratkan niat. Apabila perbuatan tersebut menimbulkan
efek seketika dan telah dipraktekkan sebelum datangnya syariah karena adanya kesesuaian
diantara keduanya, maka tidak disyaratkan niat, kecuali yang mengerjakannya memiliki
maksud lain untuk mendapat pahala."

Semua yang bersifat maknawi seperti rasa takut dan raja' (permohonan) maka tidak
disyaratkannya niat, karena perbuatanperbuatan tersebut tidak akan terwujud tanpa disertai
dengan niat, jika tidak ada niat, maka mustahil perbuatan tersebut akan terwujud. Oleh karena
i m, niat merupakan syarat logis bagi perbuatan tersebut. Berdasarkan hai tersebut, maka tidak
disyaratkan niat untuk menghindari adanya pengulangan yang tidak perlu. Sedangkan
perkataan yang harus disertai niat ada tiga. Pertama, perkataan yang dimaksudkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan menghindari rtya'. Kedua, untuk membedakan kalimat lain
yang tidak dimaksud. Ketiga, membuat kalimat baru untuk keluar dari pembicaraan
sebelumnya.

(Tergantung niatnya) merupakan penafsiran dari firman Allah, "Sesuai dengan kehendaknya."
Ditafsirkannya kata syakilah dengan niat dapat dibenarkan dengan riwayat dari Hasan Al
Bashri dari Muawiyah bin Qurrah Al Muzani dan Qatadah yang diriwayatkan oleh Abdu bin
Humaid Ath-Thabari dari mereka. Dari Mujahid disebutkan kata syakilah (menurut kebiasaan
masing-masing) berarti thariaah (jalan) atau arah, dan ini adalah pendapat mayoritas. Namun
ada yang mengartikan agama. Semua pendapat tersebut saling berdekatan.
(Akan tetapi jihad dan niat). Kalimat tersebut merupakan bagian dari hadits Ibnu Abbas yang
awalnya, "Tidak ada hijrah setelah jathu Makkah" dan hadits ini dimasukkan oleh Imam
Bukhari dalam status maushul dalam kitab Jihad dari jalur Thawus. (Semua perbuatan
tergantung niatnya). Demikian pula ditemukan dalam riwayat Malik dengan menghilangkan
kata ‫ انما‬pada permulaannya. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari Al Qa'nabi. yaitu
Abdullah bin Maslamah.
BAB III
Kesimpulan
Terdapat beragamnya karya para ulama hadis dalam mensyarah kitab shahih Bukhari
menandakan bahwa perhatian mereka demikian besar terhadap hadis Nabi saw. Kitab Fath al-
Bârî karangan Ibn Hajar merupakan syarah paling momental untuk memahami kitab shahîh
alBukhârî. sedangkan Fath al-Bârî lebih unggul dalam memaparkan permasalahan hadis di
kitab shahîh al-Bukhârî dan menerangkan dengan rinci suatu hadis.

DAFTAR PUSTAKA
al-Asqalânî . Abû Fadhl Ahmad bin `Ali bin Muhammad. Hadyu alSârî Muqaddimah Fath al-
Bârî. Diedit oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Muhibbuddin al-Khatib. Beirut: Dâr al-
Ma‟rifah, 1379 H.
___________. Fath al-Bârî. Juz I. Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379 H..
___________. Tahzîb al-Tahzîb. Juz 7 & 12. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984.

Anda mungkin juga menyukai