Anda di halaman 1dari 18

ANAK DALAM AL-QUR’AN

Makalah
Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tafsir Ijtima’i
Dosen Pengampu
Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A.,

Disusun Oleh :

Ismail Ahmed 11160340000071


Mujilaturokhmah 11160340000045

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala limpahan Nikmat, Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini, yang berjudul “Anak Dalam Al-Qur’an”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir
Ijtima’i, kami mengucapkan terima kepada kedua Orang Tua kami yang
senantiasa mendukung dan mendo’akan kami, dan kepada Bapak Dr. Abdul
Moqsith Ghazali, M.A., selaku Dosen Pengampu mata kuliah Tafsir Ijtima’i yang
senantiasa membimbing kami dalam pembuatan makalah ini serta teman-teman
yang selalu memberi dukungan dan motivasi selama pembuatan makalah ini.
Kami menyadari mungkin masih banyak kekurangan dalam tugas makalah
ini, kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan guna menjadi
bahan evaluasi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan
untuk pembaca pada umumnya.

Ciputat, Desember 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................2
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang....................................................................................3
2. Rumusan Masalah..............................................................................4
3. Tujuan Penulisan................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak.................................................................................5
B. Term-Term Anak dalam Al-Qur’an...................................................6
C. Kedudukan Anak dalam Al-Qur’an...................................................11

BAB III : PENUTUP


1. Kesimpulan........................................................................................16
2. Kritik dan Saran.................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................17

2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang –salah satunya- berfungsi


sebagai pegangan dan pedoman di dalam menjalankan segala aspek kehidupan,
baik dalam urusan beribadah, bermasyarakat, hingga kehidupan keluarga.
Seorang anak adalah anugerah yang merupakan amanat bagi orang tua. Anak
merupakan anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua sejak di
dalam kandungan sampai pada batasan usia tertentu. Seorang anak juga
merupakan salah satu anggota masyarakat yang wajib menadapatkan pelayanan
dan perlindungan.1
Dalam kehidupan sebuah keluarga, kehadiran seorang anak merupakan sebuah
anugerah dan kenikmatan yanag besar,2 juga merupakan sebuah kebanggaan dan
dambaan setiap keluarga. Karena kehadirannya sebagai buah hati mampu menjadi
pelipur lara, pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga, penerus cita-cita, dan
juga mampu sebagai pelindung orang tua, terutama ketika mereka sudah dewasa
dan orang tua sudah berusia lanjut.
Namun, dalam kenyataan hidup di dunia ini, tidak bisa dipungkiri bahwa ada
juga anak-anak yang justru malah membuat orang tuanya menderita, baik ketika
di dunia dan bahkan ketika kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi di dunia. 

Pada hakikatnya, anak-anak memang mampu menjadi mutiara kehidupan bagi


orang taunya. Tetapi, di sisi lain mereka juga dapat menjadi sumber petaka bagi
orang tuanya.3Para orang tua tentunya mendambakan dan mengharapkan anak-
anaknya kelak mampu membahagiakannya, bisa menjadi penyejuk hati dan mata
baik di dunia, terlebih ketika sudah tidak ada di dunia ini, bahkan menjadi
penyebab masuk syurga. Tidak ada satupun orang tua yang mengharapkan
anaknya menjadi sebab mereka terseret ke dalam neraka.
1
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 2007), h. 100.
2
Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan al-Qur’an: Memahami Tema-Tema Penting
Kehidupan dalam Terang Kitab Suci (Jakarta: Qaf, 2017), h. 251.
3
Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan al-Qur’an,,, h. 258.

3
Akan tetapi, banyak orang tua ataupun anak yang belum memahami hakikat
seorang anak itu sendiri, yang pada akhirnya banyak menimbulkan persoalan-
persoalan yang menjadi akibat dari ketidaktahuan mereka akan hakikat seorang
anak, seperti persoalan dalam bersikap dengan seorang anak, mendidik seorang
anak, bagi orang tua khususnya. Padahal dalam al-Qur’an semuanya itu sudah
tertera dan dijelaskan agar manusia dapat mengambil pelajaran untuk dapat
dipraktekkan dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, nampaknya perlu dilakukan kajian analisis tentang makna
atau hakikat seorang anak dalam perspektif al-Qur’an. Sehingga mampu menjadi
penjelas dan jawaban bagi persoalan-persoalan orang tua dan anak, khususnya,
yang kemudian mampu menjadi pegangan bagi orang tua dan anak dalam
menjalankan perannya dengan baik, yang kemudian mampu menghantarkan
keduanya ke dalam surganya Allah swt.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan anak dalam perspektif al-Qur’an?
b. Apa saja term-term yang digunakan al-Qur’an dalam penyebutan
anak?
c. Bagaimana kedudukan anak menurut al-Qur’an?

3. Tujuan Penulisan

Makalah ini ditulis dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui makna
anak, term-term yang digunakan al-Qur’an dalam meneyebutkan anak dan
bagaimana kedudukan anak dalam perspektif al-Qur’an.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai keturunan yang
kedua atau manusia yang masih kecil. Term anak sering dilawankan dengan
orangtua atau orang dewasa , sehingga anak sering didefinisikan sebagai orang
laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum pubertas.4
Menurut Ibnu al-Manzhur, dalam Lisan al-'Arab, kata walad berarti anak yg
baru lahir, bayi laki-laki yang dilahirkan. Dan sebagian mengatakan kalau bayi
perempuan juga dikatakan sebagai anak, dan sebagian lagi mengatakan bahwa
kata walad hanya berarti untuk anak laki-laki bukan perempuan. Ibnu Syamil
berkata, bahwa hamba laki-laki dan hamba perempuan pun dikatakan sebagai
anak selagi ia dilahirkan dari ibunya.5
Al-Quran sendiri secara eksplisit tidak menyebutkan tentang definisi anak
secara tegas. Oleh sebab itu untuk mendapatkan pengertian anak maka harus
dibagi ke beberapa term yang ada dalam al-Quran, seperti term al-walad, dalam
Q.S al-Nisa:11, al-An’am:101 dan term al-mawlud, dalam Q.S al-Baqarah :233,
al-thifl dalam Q.S al-Nur: 31 dan term al-dzuriyyah dalam Q.S Ali Iran:38.
Dalam term al-walad, al-mawlud dan al-thifl dapat disimpulkan bahwa anak
adalah manusia yang dilahirkan oleh sang ibu baik laki-laki maupun perempuan,
semuanya dapat disebut sebagai anak. Termasuk dalam hal ini adalah anak yang
lahir tanpa melalui hubungan seksual, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Isa
a.s .sebagaimana dalam firman Allah swt.,
B. ‫ض ٰى أَ ْمرًا فَإِنَّ َما‬ ِ ِ‫ال َك ٰ َذل‬
ُ ُ‫ك هَّللا ُ يَ ْخل‬
َ َ‫ق َما يَ َشا ُء ۚ ِإ َذا ق‬ َ َ‫ت َربِّ أَنَّ ٰى يَ ُكونُ لِي َولَ ٌد َولَ ْم يَ ْم َس ْسنِي بَ َش ٌر ۖ ق‬ ْ َ‫قَال‬
ُ‫يَقُو ُل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬

“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal
aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan
perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.

4
Kamus Besar Bahasa Indonesia
5
Ibnu al-Manzhur, Lisan al-‘Arab.

5
Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup
berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.”
Sedangkan kata al-thifl al-Quran mengartikannya sebagai anak yang
mengalami pertumbuhan karena seiring perkembangan waktu sampai ahirnya dia
dewasa atau baligh.
B. Term-Term Anak dalam al-Qur’an
1. Anak dengan Term al-walad (‫)الولد‬

Kata walad yang bentuk jamaknya adalah awlad dalam bahasa Arab berarti
anak yang dilahirkan oleh orangtuanya (ibu), baik ia berjenis kelamin laki-laki
maupun perempuan, baik sudah besar maupun masih kecil. Kata al-walad dalam
al-Quran dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan atau nasab
antara anak dan orangtua.Kata al-walad sendiri dipakai dalam al-Quran sebanyak
65 kali. Misalnya dalam Q.S Ali Imran :47, al-Nisa :11, al-Baqarah :233,
Luqman :33, al-Balad:3.6
2. Anak dengan Term al-Thifl (‫)الطفل‬

Kata thifl bentuk jamaknya athfal dalam al-Quran terulang sebanyak 4 kali,
yaitu pada Q.S al-Nur:31dan 59, al-Hajj:5,dan al-Mukmin:67.secara semantik,
kata thifl berarti al mawlud asshaghir(bayi yang baru dilahirkan yang masih
kecil). Demikian kata pakar linguistic Abul Husain Ahmad Ibn Faris dalam
Mu’jam Maqayis al-Lughah. Orang Arab biasa berkata thifl al-zhalaam yang
artinya awalnya malam, dimana masih sedikit gelapnya . ketika dikatakan
thaffalna ibilana tathfilan, hal itu berate kami baru saja memisahkan onta kami
dari anaknya. Makna ini memberi isyarat bahwa anak dinamakan thifl karena anak
itu baru tumbuh kembang, dia masih memerlukan pendamping khusus dari
orangtuanya atau pendidiknya melalui pola asuh.Istilah athifl juga memberi
isyarat bahwa anak pada saatnya memang juga harus disapih agar muncul sikap
kemandirian.7

6
Lois Ma’luf, al- Munjid (Beirut : al- Mathba’ah al-Kotsolikiyah), h.1019.
7
Abul Husain Ahmad Ibn Faris, Mujam Maqoyis al-Luhgoh (Beirut : Dar Ilya al-Turats
al- Arabi,2001), h. 595.

6
Dalam al-Quran juga sudah dijelaskan bahwa proses penyapihan yang ideal
adalah ketika nak sudah samapi usia dua tahun penuh, seperti firman Allah swt.
Anda belum mahir membaca Qur'an? Ingin segera bisa? Klik di sini sekarang!
Surat Al-Baqarah Ayat 23.
۞ ُ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْال َموْ لُو ِد لَه‬ َ ‫ض ْعنَ أَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَي ِْن َكا ِملَ ْي ِن ۖ ِل َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُتِ َّم ال َّر‬
ِ ْ‫َات يُر‬ُ ‫َو ْال َوالِد‬
َ ُ‫ُوف ۚ اَل تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ إِاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬
ۚ ‫ضا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَهُ بِ َولَ ِد ِه‬ ِ ‫ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
‫َاح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوإِ ْن أَ َر ْدتُ ْم أَ ْن‬
َ ‫اض ِم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل ُجن‬ٍ ‫صااًل ع َْن تَ َر‬ َ ِ‫ث ِم ْث ُل ٰ َذلِكَ ۗ فَإ ِ ْن أَ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫َو َعلَى ْال َو‬
‫ُوف ۗ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ بِ َما‬
ِ ‫ضعُوا أَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َما آتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬ ِ ْ‫تَ ْستَر‬
ِ َ‫تَ ْع َملُونَب‬
‫صير‬
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian.Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat diatas memberikan beberapa point penting terkait dengan mengasuh
anak. Pertama, idealnya menyapih anak ketika dia sudah genap berusia dua tahun
jika lebihdari dua tahun akan berdampak tidak positif bagi perkembangan tubuh
anak dan psikologinya. Kedua, orangtua (Ayah) harus bertanggung jawab atas
nafkah istri dan anaknya secara ma’ruf (wajar), termasuk ketika istrinya
diceraikan.Ketiga , jika orangtua hendak menyapih anak kurang dari umur dua
tahun, hendaknya perlu bermusyawarah termasuk berkonsultasi dengan dokter
spesialis anak, untuk minta pertimbangan apa yang terbaikmesti dilakukan.
Lebih lanjut, al-Quran menyebut anak dengan term al-thifl setidaknya
dalam tiga konteks, yaitu:

7
Pertama, ketika anak baru saja dilahirkan oleh ibunya, yang berarti ia
masih menjadi bayi, sebagaimana firman Allah SWT dalm Q.S al- Hajj:5
Kedua, ketika anak belum dewasa, sebagaiman firman Allah SWT dalm
Q.S al-Nur :59
َ ِ‫طفَا ُل ِم ْن ُك ُم ْال ُحلُ َم فَ ْليَ ْستَأْ ِذنُوا َك َما ا ْستَأْ َذنَ الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ۚ َك ٰ َذل‬
‫ك يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم آيَاتِ ِه ۗ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬ ْ َ ‫َوإِ َذا بَلَ َغ اأْل‬
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut mengajarkan pentingnya etik a yang harus ditanamkan
orangtua ketika anak hendak hendak memasuki kamar orangtuanya.Anak
hendaknya meminta izin tidak boleh nyelonong begitu saja masuk kedalam kamar
orangtua.
Ketiga, kata al-thifl digunakan untuk dalam konteks anak yang yang baru
dalam fase perkembangan sebelum ia dewasa, dimana ia belum mengenal aurat
perempuan. Artinya anak itu belum punya daya tarik seksual terhadap kaum
perempuan.
3. Anak dengan term al-Ibn (‫)االبن‬

Al-Quran juga menggunakan term kata ibn bentuk jamaknya adalah abnaa dan
banin untuk menyebut anak.kata ibn ini dengan segala bentuk derivasinya
terulang sampai 161 kali. Kata ibn masih masih satu akar dengan kata bana yang
membangun atau berbuat baik. Jika dikatakan banaa al-bayt, berarti ia
membangun sebuah rumah. Demikian juga jika dikatakan bana al-rajul berarti
ahsana ilaihi (berbuat baik kepadanya).8maka arti semantiknya mengisyaratkan
bahwa anak tersebut dengan term ibn itu dapat diibaratkan sebuah bangunan, ia
harus diberi pondasi yang kokoh agar ia tidak mudah roboh oleh gempuran badai
angina atau gempa bumi untuk itu orangtua harus memberi pondasi keimanan dan
tauhid yang kuat sejak kecil agar ia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
memiliiki prinsip dan kepribadian yang tangguh.

8
Lois Ma’luf. al-Munjid,,, h. 48.

8
Dalam al-Quran terdapat kisah Luqman al-Hakim, seorang bapak yang bijak
sangat menekankan pentingnya keimanan dan tauhid terhadap anaknya,
sebagimana firman Allah SWT dalam Q.S Luqman:13.
‫ك لَظُ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬ َّ َ‫َوإِ ْذ قَا َل لُ ْق َمانُ اِل ْبنِ ِه َوهُ َو يَ ِعظُهُ يَا بُن‬
َ ْ‫ي اَل تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ ۖ إِ َّن ال ِّشر‬
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.”
Kisah tersebut tentu patut kita teladani sebagi model untuk pendidikan anak-
anak kita.Karena salah satu tujuan dari kisah al-Quran adalah memang untuk
diambil pelajaran.
Kata ibn dalam al-Quran dapat merujuk kepada pengertian ana kadung.
Misalnya ketika al-Quran menyebut Nabi Isa sebagai anak laki-laki Maryam
(Q.SH al-Maidah:78), ketika Nabi Nuh memanggil anaknya untuk ikut naik
perahunya (Q.S Hud:42) dan ketika Luqman al-Hakim menasehati anaknya, agar
tidak berbuat syirik kepada Allah (Q.S Luqman :13)
Namun, kata ibn juga dapat merununjuk pada pengertian anak laki-laki yang
tidak ada hubungan nasab, yakni anak angkat. Contohnya pernyataan orang-orang
jahiliyah yang menisbatkan anak angkatnya dengan term abna seolah-olah seperti
anaknya sendiri, sehingga anak tersebut berhak untuk mendapatkan jatah warisan
dari orangtua angkatnya.
4. Anak dengan Term al-Bint

Kata al-Bint dalam al-Quran terulang sebanyak 19 kali. Berkaitan dengan


masalah anak perempuan al-Quran memberikan informasi tentang bagaiman
orang-orang Arab jahiliyyah memandang dan memperlakukan anak-anak
perempuan .misalnya mereka menganggap anak perempuan sebagai aib keluarga
dan mereka suka mengubur anak perempuan dalam keadaan hidup-hidupn(Q.S al-
Nahl:58-59). Dalam rangka menjaga kehormatan dan kesucian perempuan al-
Quran memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyuruh kaum perempuan

9
yang sudah dewasa mengenakan jilbab. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S al
Ahzab:
‫ين َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجاَل بِيبِ ِه َّن ۚ ٰ َذلِكَ أَ ْدن َٰى أَ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَاَل‬
«َ ِ‫ك َونِ َسا ِء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ يُ ْدن‬
َ ِ‫ك َوبَنَات‬َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي قُلْ أِل َ ْز َوا ِج‬
‫ي ُْؤ َذ ْينَ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َغفُورًا َر ِحي ًما‬
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Ayat sebenarnya sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah
atau bekerja diluar rumah. Al-Quran tetap membolehkan perempuan keluar rumah
atau bekerja diluar rumah namun ia harus berpakaian sopan sedemikian rupa
sehingga akan dipandang dan diperlakukan secara baik dan tidak diganggu.
5. Anak dengan Term Dzurriyyah

Al-Quran juga menggunakan kata dzuriyyah untuk menyebut anak cucu atau
keturunan. Kata tersebut terulang dalam al-Quran sebanyak 32 kali.
Seperti firman Allah dalam Q.S al-Nisa:9
‫ض َعافًا خَافُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا هَّللا َ َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬
ِ ً‫ش الَّ ِذينَ لَوْ ت ََر ُكوا ِم ْن خ َْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Penyebutan dzuriyyah dalam al-Quran sebagain besar ayatnya berkaitan
dengan masalah harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak cucu
keturunan yang baik. Sebagian lagi berkaitan dengan peringatan Allah agar
jangan samapai meninggalkan anak-anak yang bermasalah , dan sebagian lain
berkaitan dengan masalah balasan yang akan diterima oleh orangtua yang
memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam keimanannya.

10
C. Kedudukan Anak dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur’an, cukup banyak ayat-ayat yang secara eksplisit menjelaskan


tentang kedudukan seorang anak, di antaranya adalah:
1. Anak Sebagai Perhiasan

Kedudukan anak sebagai perhiasan (zinah) dinyatakan al-Qur’an dalam Q.S.


al-Kahfi ayat 46, yang berbunyi,
َ «ِّ«‫ت« َخ« ْي«« ٌر« ِع« ْن«« َد« َ«ر« ب‬
«‫ك« ثَ« َو« ا«بً«« ا« َو« َ«خ« ْي«« ٌر‬ «ُ «‫ا« ْل« َم« ا« ُل« َو« ا« ْل« بَ« نُ« و« َ«ن« ِز« ي«نَ« ةُ« ا« ْل« َح« يَ« ا« ِة« ا«ل« ُّد« ْن« يَ« ا« ۖ« َو« ا« ْل« بَ« ا«قِ« يَ«« ا‬
«ُ «‫ت« ا«ل«صَّ« « ا«لِ« َ«ح« ا‬
‫أَ« َم« اًل‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan


yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan.”

Di dalam ayat tersebut, harta dan anak-anak dinyatakan sebagai perhiasan.


Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa hartadan
anak-anak mengandung keindahan dan manfaat.9 Harta mempunyai keindahan
estetika dan bisa dimanfaatkan oelh manusia, adapun anak-anak merupakan
kekuatan batin bagi keluarga, juga mempunyai manfaat yang bisa diambil.

Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy mengemukakan bahwa dalam ayat


tersebut, penyebutan kata “harta” lebih didahului atas kata “anak”, karena dalam
fungsinya sebagai hiasan hidup, harta lebih menonjol dibanding dengan seorang
anak.10

Imam Al-Alusi, dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa al-mal didahulukan


karena harta lebih terlihat sebagai perhiasan di mata manusia, dan harta tanpa
anak-anak pun bisa disebut sebagai perhiasan. Namun, berbeda dengan anak,
karena ketika seseorang mempunyai anak, tetapi tidak memiliki harta, maka di
dalam hidupnya ia akan berada dalam kesempitan.11
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam,
9

2009) Jil. ke-10, h. 1049.


10
Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-
Nur 3( Surat11-23) (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 2416.
11
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’ al-Matsani (Beirut: Ihya
al-Turats al-‘Arabi, t.t.), juz ke-15, h. 286.

11
Syekh ‘Utsaimin kemudian mencoba memberi penjelasan tentang kata “al-
banun” yang bermakna “anak laki-laki” yang disebutkan setelah kata “al-mal
(harta)”. Menurutnya, penyebutan dengan kata “al-banun (anak laki-laki)”
dikarenakan pada umumnya umat-umat terdahulu berbangga-bangga dengan anak
laki-laki, terlebih pada zaman jahiliyah, dimana seorang anak perempuan
dianggap hina.12 Kemudian ia menambahkan bahwa mengapa seorang anak
disebut sebagai perhiasan, karena seseorang yang memiliki anak-anak dia akan
berhias dengannya. Yang beliau ilustrasikan dengan seseorang yang menjadi tuan
rumah yang akan kedatangan tamu dan tuan rumah tersebut memiliki 10 anak
laki-laki yang muda, kemudian mereka menyambut kedatangan tamu itu, maka
sang tuan rumah akan menemukan puncak kebahagiaan, dan hal tersebutlah yang
–menurut syekh ‘utsaimin- merupakan maksud dari perhiasan.13

Ayat tersebut mengungkapkan bahwa harta dan anak itu sebagai “zinah”
bukan dengan kata “qimah”. Hal tersebut mengandung unsur balaghah yang
dalam. Dengan penggunaan kata “zinah”, maka maknanya adalah bahwa harta dan
anak itu hanya sebagai perhiasan bukan sebagai “qimah” yang bermakna bernilai
tinggi di mata Allah swt. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemuliaan
manusia tidaklah diukur dengan harta atau anak-anak, tetapi diukur dengan iman
dan amal shaleh.

“Oleh karena itu, di akhir ayat Allahnya dengan firmannya “wal baaqiyatus
soolihaatu...”. Karena jika dalam pandangan manusia bahwa harta dan anak-anak
sebagai perhiasan yang di pamerkan manusia, maka iman dan amal sholeh adalah
sebagai baaqiyatus soolihaat yang hasilnya tidak akan pernah hilang bagi manusia
itu sendiri dan menjadi lebih baik bagi manusia sedangkan harta dan anak-anak
sering kali menjadi cobaan bagi manusia.”14
2. Anak Sebagai Fitnah (Ujian atau Cobaan)

Selain mempunyai kedudukan sebagai perhiasan, seorang anak juga menjadi


fitnah, yang dalam pengertiannya dapat berupa ujian atau cobaan. Sebagaimana
yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 28,
12
Sebagaimana firman Allah swt. pada Q.S. al-Nahl: 58-59.
13
Muhammad bin Shalih a-‘Utsaimin, Tafsir Al-Kahfi, terj. Abu Abdurrahman bin
Thayyib (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), h. 153-154.
14
“Tafsir Qur'an : Qs. Al-Kahfi Ayat 46”, http://www.piss-ktb.com/2015/04/4102-tafsir-
quran-qs-al-kahfi-ayat-46.html, diakses pada 2 Desember 2019.

12
«ٌ‫َ«و« ا« ْع« لَ« ُم« و«ا« أَ« نَّ« َم« ا« أَ« ْم« َ«و« ا«لُ« ُك« ْم« َ«و« أَ« ْ«و« اَل ُد« ُك« ْم« فِ« ْت« نَ« ةٌ« َو« أَ« َّن« هَّللا َ« ِع« ْن« َد« هُ« أَ« ْ«ج« ٌر« َع« ِظ« ي«م‬
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Harta dan anak-anak yang Allah berikan kepada manusia pada hakikatnya
adalah sebuah ujian yang Allah swt. berikan kepada manusia untuk menguji
mereka dalam melaksanakan hak Allah swt, melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.15
Hal itu juga disebutkan oleh Allah swt. dalam Q.S. Al-Taghabun ayat 15,
«ِ «‫إِ« نَّ« َم« ا« أَ« ْم« َو« ا«لُ« ُك« ْم« َو« أَ« ْ«و« اَل ُد« ُك« ْم« فِ« ْت« نَ« ةٌ« ۚ« َ«و« هَّللا ُ« ِ«ع« ْن« َد« هُ« أَ« ْ«ج« ٌر« َع‬
«ٌ‫ظ« ي«م‬

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di


sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Al-Qurthubi mengatakan bahwa harta dan anak-anak merupakan cobaan atau


ujian yang akan membawa seorang manusia pada usaha yang diharamkan oleh
Allah swt. dan juga tidak menunaikan hak Allah swt.16

Yunan Yusuf, dalam tafsirnya, mengatakan bahwa terkadang ujian yang


datang melalui anak-anak lebih memengaruhi dibanding ujian yang muncul dari
harta. Karena permintaan atau tuntutan anak-anak kepada orang tua lebih tidak
dapat dihindari oleh orang tua. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada manusia
biasa, tetapi Rasullullah saw. pun pernah mengalaminya.17

Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan kita agar tidak lalai kepada Allah
swt. tersebab harta atau anak-anak, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-
Munafiqun ayat 9,

َ ««««ِ‫يَ«««« ا« أَ« ي«ُّ« هَ«««« ا« ا«لَّ« ِذ« ي« َ«ن« آ« َم« نُ«««« و«ا« اَل تُ« ْل« ِه« ُك« ْم« أَ« ْم«««« َ«و« ا«لُ« ُك« ْم« َ«و« اَل أَ« ْ«و« اَل ُد« ُك« ْم« َع« ْ«ن« ِذ« ْك«««« ِر« هَّللا ِ« ۚ« َو« َم« ْ«ن« يَ« ْف« َع«««« ْ«ل« ٰ« َذ« ل‬
«‫ك‬
«‫ك« هُ« ُم« ا« ْل« َ«خ« ا« ِ«س« ُر« و« َن‬ َ «ِ‫فَ« أُ«و« ٰلَ« ئ‬

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an
15

(Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.) Juz ke-13, h. 486.


16
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 602.
17
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush: Bangunan Kokoh Rapi (Tangerang: Lentera Hati,
2014), hlm. 510.

13
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka
itulah orang-orang yang merugi.”

Dalam ayat tersebut, Allah swt. memperingatkan orang-orang yang beriman


agar terhindar dari akhlak orang-orang munafik yang sibuk dengan harta -yang
berlimpah dan anak-anak yang banyak-18 sehingga mereka menjadi kikir terhadap
harta mereka.19

3. Anak Sebagai Musuh

Dalam al-Qur’an anak juga dinyatakan dapat menjadi seorang musuh bagi
orang tuanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Taghabun ayat 14,
«‫يَ«««« ا« أَ« ي«ُّ« هَ«««« ا« ا«لَّ« ِذ« ي« َ«ن« آ« َم« نُ«««« و«ا« إِ« َّن« ِم« ْ«ن« أَ« ْ«ز« َو« ا« ِج« ُك« ْم« َو« أَ« ْ«و« اَل ِد« ُك« ْم« ع«َ««« ُد« ًّو« ا« لَ« ُك« ْ«م« فَ« ا«ح«ْ««« َذ« ُر« و«هُ« ْم« ۚ« َ«و« إِ« ْ«ن« تَ« ْع« فُ«««« و«ا‬
«ٌ‫ص« فَ« ُح« و«ا« َ«و« تَ« ْغ« فِ« ُر« و«ا« فَ« إِ« َّن« هَّللا َ« َغ« فُ« و« ٌر« َ«ر« ِ«ح« ي«م‬ «ْ «َ‫َ«و« ت‬

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-


anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ada beberapa kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, di


antaranya adalah kasus Auf bin Malik Al-Asyja’i yang hendak pergi berperang,
namun istri dan anaknya menangis dan membuat Auf menjadi lemah, lalu
kemudian menjadi tidak pergi berperang.20

Ayat ini berkaitan dengan umat pada generasi awal, yaitu pada masa
Rasulullah saw. yang menerima Islam sebagai agama. Mereka dengan sukarela
membawa iman mereka hijrah ke Madinah, namun hal tersebut dihalangi oleh istri
atau anak-anak mereka karena istri dan anak-anak mereka enggan untuk ikut
berhijrah, karena mereka masih tetap pada keyakinan para penyembah berhala.

18
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 453.
19
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 561.
20
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 597.

14
Pada zaman modern seperti sekarang, kondisi seperti itu masih sangat banyak
terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tindakan korupsi yang terjadi di
tengah bangsa kita -sedikit banyaknya- diakibatkan oleh keserakahan seorang istri
ataupun suami dalam sebuah keluarga untuk mengumpulkan harta yang banyak
untuk memenuhi kebutuhan yang -bukan saja- bersifat primer, tetapi juga yang
bersifat sekunder. Dan hal itulah sering terjadi istri atau suami dan anak-anak
menjadi musuh bagi kaum beriman. Oleh karena itu, waspadalah terhadap istri
atau suami dan anak-anak yang berpotensi melakukan pelanggaran agama.21

Sebab permusuhan –istri dan anak- bukanlah permusuhan yang sesungguhnya,


tetapi merupakan permusuhan yang disebabkan oleh perbuatannya. Jika pasangan
dan anak melakukan perbuatan musuh, maka dia adalah seorang musuh. Dan tidak
ada yang lebih buruk daripada menghalangi seorang hamba untuk melakukan
ketaatan.22 Secara hakikat, mereka (pasangan dan anak) bukanlah seperti musuh
sebagimana musuh dalam Islam. Oleh karenanya mereka tidak perlu dihadapi
dengan senjata. Oleh karena itu, Allah swt. memberikan tuntunan untuk
menghadapi mereka, yaitu dengan:

1. Memaafkan kesalahan yang mereka lakukan,


2. Berpaling tanpa mengecam atau menegur kesalahan mereka, dan
3. Mengampuni mereka tanpa mengumbar kesalahan-kesalahan yang mereka
perbuat.23

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
21
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 506-507.
22
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 598.
23
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 508.

15
Dari uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa secara
umum pengertian anak digunakan untuk seorang manusia –laki-laki maupun
perempuan- yang masih kecil dan belum sampai usia baligh atau dewasa.
Dalam al-Qur’an, terdapat banyak term yang digunakan untuk menyebutkan
makna anak, di antaranya adalah term al-walad, al-thifl, al-ibn, dzurriyah, dan
lain-lain.
Selain itu, al-Qur’an juga banyak menyebutkan kedudukan seorang anak
terhadap orang tua, di antaranya adalah sebagai perhiasan, sebagai ujian dan
cobaan, dan sebagai musuh.

2. Kritik dan Saran


Kami sadar dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk
itu, maka kami mengharapkan kritik yang membangun dari pembaca guna
memperbaiki tulisan kami di kemudian hari. Dan kami berharap semoga tulisan
ini mampu menjadi motivasi para pembaca untuk lebih memahami hakikat
seorang anak dalam perspektif al-Qur’an. Akhirnya, Mohon maaf atas segala
kesalahan dan Terima kasih atas segala perhatian pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Karim

16
al-Alusi. T.t. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’ al-Matsani.
Beirut: Ihya al-Turats al-‘Arabi.
al-Manzhur. Ibnu. Lisan al-‘Arab.
al-Qurthubi. 2009. Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi, dkk.. Jakarta: Pustaka
Azzam.
al-Razi, Fahruddin. T.t.. Mafatih al- Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr.
as-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-
Nur 3( Surat11-23). Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. T.t.. Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-
Qur’an. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2005. Tafsir Al-Kahfi, terj. Abu
Abdurrahman bin Thayyib. Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
al-Zuhaili, Wahbah. 2003. al-Tafsir al- Manar fi al- Aqidah wa al-syari’ah wa al-
Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr.
Faris, Abul Husain Ahmad Ibn. 2001. Mujam Maqoyis al-Luhgoh. Beirut : Dar
Ilya al-Turats al- Arabi.
http://www.piss-ktb.com/2015/04/4102-tafsir-quran-qs-al-kahfi-ayat-46.html
Ma’luf, Lois. T.t. al- Munjid. Beirut : al- Mathba’ah al-Kotsolikiyah.
Muhammad, Ahsin Sakho. 2017. Keberkahan al-Qur’an: Memahami Tema-Tema
Penting Kehidupan dalam Terang Kitab Suci. Jakarta: Qaf.
Qutub, Sayyid. 1998. Fi Dzilal al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syuruq.
Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an.
Bandung: Mizan.
Tim Redaksi. Ensiklopedi Metodologi Al-Quran. Jakarta: PT Kalam Publika.
Yusuf, Yunan. 2014. Bun-yanun Marshush: Bangunan Kokoh Rapi. Tangerang:
Lentera Hati.

17

Anda mungkin juga menyukai