Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai keturunan yang kedua atau
manusia yang masih kecil. Term anak sering dilawankan dengan orangtua atau orang
dewasa , sehingga anak sering didefinisikan sebagai orang laki-laki atau perempuan yang
belum dewasa atau belum pubertas.1

Al-Quran sendiri secara eksplisit tidak menyebutkan tentang definisi anak secara tegas.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan pengertian anak maka harus dibagi ke beberapa term yang
ada dalam al-Quran, seperti term al-walad, dalam Q.S al-Nisa:11, al-An’am:101 dan term al-
mawlud, dalam Q.S al-Baqarah :233, al-thifl dalam Q.S al-Nur: 31 dan term al-dzuriyyah
dalam Q.S Ali Iran:38.

Dalam term al-walad, al-mawlud dan al-thifl dapat disimpulkan bahwa anak adalah
manusia yang dilahirkan oleh sang ibu baik laki-laki maupun perempuan, semuanya dapat
disebut sebagai anak. Termasuk dalam hal ini adalah anak yang lahir tanpa melalui hubungan
seksual, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Isa a.s .sebagaimana dalam firman Allah swt.,

B. ‫ض ٰى أَ ْمرًا فَإِنَّ َما يَقُو ُل لَهُ ُك ْن‬ ِ ِ‫ت َربِّ أَنَّ ٰى يَ ُكونُ لِي َولَ ٌد َولَ ْم يَ ْم َس ْسنِي بَ َش ٌر ۖ قَا َل َك ٰ َذل‬
ُ ُ‫ك هَّللا ُ يَ ْخل‬
َ َ‫ق َما يَ َشا ُء ۚ إِ َذا ق‬ ْ َ‫قَال‬
ُ‫فَيَ ُكون‬

“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):
"Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak
menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah
dia.”

Sedangkan kata al-thifl al-Quran mengartikannya sebagai anak yang mengalami


pertumbuhan karena seiring perkembangan waktu sampai ahirnya dia dewasa atau baligh.

B. Term-Term Anak dalam al-Qur’an


1. Anak dengan Term al-walad (‫)الولد‬

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kata walad yang bentuk jamaknya adalah awlad dalam bahasa Arab berarti anak yang
dilahirkan oleh orangtuanya (ibu), baik ia berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, baik
sudah besar maupun masih kecil. Kata al-walad dalam al-Quran dipakai untuk
menggambarkan adanya hubungan keturunan atau nasab antara anak dan orangtua.Kata al-
walad sendiri dipakai dalam al-Quran sebanyak 65 kali. Misalnya dalam Q.S Ali Imran :47,
al-Nisa :11, al-Baqarah :233, Luqman :33, al-Balad:3.2

2. Anak dengan Term al-Thifl (‫)الطفل‬

Kata thifl bentuk jamaknya athfal dalam al-Quran terulang sebanyak 4 kali, yaitu pada
Q.S al-Nur:31dan 59, al-Hajj:5,dan al-Mukmin:67.secara semantik, kata thifl berarti al
mawlud asshaghir(bayi yang baru dilahirkan yang masih kecil). Demikian kata pakar
linguistic Abul Husain Ahmad Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah. Orang Arab
biasa berkata thifl al-zhalaam yang artinya awalnya malam, dimana masih sedikit gelapnya .
ketika dikatakan thaffalna ibilana tathfilan, hal itu berate kami baru saja memisahkan onta
kami dari anaknya. Makna ini memberi isyarat bahwa anak dinamakan thifl karena anak itu
baru tumbuh kembang, dia masih memerlukan pendamping khusus dari orangtuanya atau
pendidiknya melalui pola asuh.Istilah athifl juga memberi isyarat bahwa anak pada saatnya
memang juga harus disapih agar muncul sikap kemandirian.3

Dalam al-Quran juga sudah dijelaskan bahwa proses penyapihan yang ideal adalah ketika
nak sudah samapi usia dua tahun penuh, seperti firman Allah swt. Anda belum mahir
membaca Qur'an? Ingin segera bisa? Klik di sini sekarang! Surat Al-Baqarah Ayat 23.

۞ ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْال َموْ لُو ِد لَهُ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن‬ َ ‫ض ْعنَ أَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُتِ َّم ال َّر‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ِ ْ‫َات يُر‬
‫ث ِم ْث ُل ٰ َذلِكَ ۗ فَإ ِ ْن أَ َرادَا‬ ِ ‫ضا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَهُ بِ َولَ ِد ِه ۚ َو َعلَى ْال َو‬
ِ ‫ار‬ َ ُ‫ُوف ۚ اَل تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ إِاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬
َ ‫ضعُوا أَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجن‬
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َما‬ ِ ْ‫اض ِم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل جُ نَا َح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوإِ ْن أَ َر ْدتُ ْم أَ ْن تَ ْستَر‬ ٍ ‫صااًل ع َْن تَ َر‬ َ ِ‫ف‬
ِ َ‫ُوف ۗ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ بِ َما تَ ْع َملُونَب‬
‫صير‬ ِ ‫آتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.Apabila keduanya ingin

2
Lois Ma’luf, al- Munjid (Beirut : al- Mathba’ah al-Kotsolikiyah), h.1019.
3
Abul Husain Ahmad Ibn Faris, Mujam Maqoyis al-Luhgoh (Beirut : Dar Ilya al-Turats al-
Arabi,2001), h. 595.
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”

Ayat diatas memberikan beberapa point penting terkait dengan mengasuh anak.
Pertama, idealnya menyapih anak ketika dia sudah genap berusia dua tahun jika lebihdari dua
tahun akan berdampak tidak positif bagi perkembangan tubuh anak dan psikologinya. Kedua,
orangtua (Ayah) harus bertanggung jawab atas nafkah istri dan anaknya secara ma’ruf
(wajar), termasuk ketika istrinya diceraikan.Ketiga , jika orangtua hendak menyapih anak
kurang dari umur dua tahun, hendaknya perlu bermusyawarah termasuk berkonsultasi dengan
dokter spesialis anak, untuk minta pertimbangan apa yang terbaikmesti dilakukan.

Lebih lanjut, al-Quran menyebut anak dengan term al-thifl setidaknya dalam tiga
konteks, yaitu:

Pertama, ketika anak baru saja dilahirkan oleh ibunya, yang berarti ia masih menjadi
bayi, sebagaimana firman Allah SWT dalm Q.S al- Hajj:5

Kedua, ketika anak belum dewasa, sebagaiman firman Allah SWT dalm Q.S al-Nur :
59

َ ِ‫طفَا ُل ِم ْن ُك ُم ْال ُحلُ َم فَ ْليَ ْستَأْ ِذنُوا َك َما ا ْستَأْ َذنَ الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ۚ َك ٰ َذل‬
‫ك يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم آيَاتِ ِه ۗ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬ ْ َ ‫َوإِ َذا بَلَ َغ اأْل‬

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin,
seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat-Nya.Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Ayat tersebut mengajarkan pentingnya etik a yang harus ditanamkan orangtua ketika
anak hendak hendak memasuki kamar orangtuanya.Anak hendaknya meminta izin tidak
boleh nyelonong begitu saja masuk kedalam kamar orangtua.

Ketiga, kata al-thifl digunakan untuk dalam konteks anak yang yang baru dalam fase
perkembangan sebelum ia dewasa, dimana ia belum mengenal aurat perempuan. Artinya anak
itu belum punya daya tarik seksual terhadap kaum perempuan.

3. Anak dengan term al-Ibn (‫)االبن‬


Al-Quran juga menggunakan term kata ibn bentuk jamaknya adalah abnaa dan banin untuk
menyebut anak.kata ibn ini dengan segala bentuk derivasinya terulang sampai 161 kali. Kata
ibn masih masih satu akar dengan kata bana yang membangun atau berbuat baik. Jika
dikatakan banaa al-bayt, berarti ia membangun sebuah rumah. Demikian juga jika dikatakan
bana al-rajul berarti ahsana ilaihi (berbuat baik kepadanya). 4maka arti semantiknya
mengisyaratkan bahwa anak tersebut dengan term ibn itu dapat diibaratkan sebuah bangunan,
ia harus diberi pondasi yang kokoh agar ia tidak mudah roboh oleh gempuran badai angina
atau gempa bumi untuk itu orangtua harus memberi pondasi keimanan dan tauhid yang kuat
sejak kecil agar ia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang memiliiki prinsip dan
kepribadian yang tangguh.

Dalam al-Quran terdapat kisah Luqman al-Hakim, seorang bapak yang bijak sangat
menekankan pentingnya keimanan dan tauhid terhadap anaknya, sebagimana firman Allah
SWT dalam Q.S Luqman:13.

‫ي اَل تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ ۖ إِ َّن ال ِّشرْ كَ لَظُ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬


َّ َ‫ال لُ ْق َمانُ اِل ْبنِ ِه َوهُ َو يَ ِعظُهُ يَا بُن‬

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Kisah tersebut tentu patut kita teladani sebagi model untuk pendidikan anak-anak
kita.Karena salah satu tujuan dari kisah al-Quran adalah memang untuk diambil pelajaran.

Kata ibn dalam al-Quran dapat merujuk kepada pengertian ana kadung. Misalnya ketika
al-Quran menyebut Nabi Isa sebagai anak laki-laki Maryam (Q.SH al-Maidah:78), ketika
Nabi Nuh memanggil anaknya untuk ikut naik perahunya (Q.S Hud:42) dan ketika Luqman
al-Hakim menasehati anaknya, agar tidak berbuat syirik kepada Allah (Q.S Luqman :13)

Namun, kata ibn juga dapat merununjuk pada pengertian anak laki-laki yang tidak ada
hubungan nasab, yakni anak angkat. Contohnya pernyataan orang-orang jahiliyah yang
menisbatkan anak angkatnya dengan term abna seolah-olah seperti anaknya sendiri, sehingga
anak tersebut berhak untuk mendapatkan jatah warisan dari orangtua angkatnya.

4. Anak dengan Term al-Bint


4
Lois Ma’luf. al-Munjid,,, h. 48.
Kata al-Bint dalam al-Quran terulang sebanyak 19 kali. Berkaitan dengan masalah anak
perempuan al-Quran memberikan informasi tentang bagaiman orang-orang Arab jahiliyyah
memandang dan memperlakukan anak-anak perempuan .misalnya mereka menganggap anak
perempuan sebagai aib keluarga dan mereka suka mengubur anak perempuan dalam keadaan
hidup-hidupn(Q.S al-Nahl:58-59). Dalam rangka menjaga kehormatan dan kesucian
perempuan al-Quran memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyuruh kaum
perempuan yang sudah dewasa mengenakan jilbab. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S al
Ahzab:

َ ِ‫ك َوبَنَاتِكَ َونِ َسا ِء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ يُ ْدنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجاَل بِيبِ ِه َّن ۚ ٰ َذل‬
ُ ‫ْن ۗ َو َكانَ هَّللا‬¢َ ‫ك أَ ْدن َٰى أَ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَاَل ي ُْؤ َذي‬ َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي قُلْ أِل َ ْز َوا ِج‬
‫َغفُورًا َر ِحي ًما‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat sebenarnya sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah atau bekerja
diluar rumah. Al-Quran tetap membolehkan perempuan keluar rumah atau bekerja diluar
rumah namun ia harus berpakaian sopan sedemikian rupa sehingga akan dipandang dan
diperlakukan secara baik dan tidak diganggu.

5. Anak dengan Term Dzurriyyah

Al-Quran juga menggunakan kata dzuriyyah untuk menyebut anak cucu atau keturunan.
Kata tersebut terulang dalam al-Quran sebanyak 32 kali.

Seperti firman Allah dalam Q.S al-Nisa:9

‫ض َعافًا خَ افُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا هَّللا َ َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬


ِ ً‫ش الَّ ِذينَ لَوْ تَ َر ُكوا ِم ْن َخ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.”

Penyebutan dzuriyyah dalam al-Quran sebagain besar ayatnya berkaitan dengan masalah
harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak cucu keturunan yang baik. Sebagian lagi
berkaitan dengan peringatan Allah agar jangan samapai meninggalkan anak-anak yang
bermasalah , dan sebagian lain berkaitan dengan masalah balasan yang akan diterima oleh
orangtua yang memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam keimanannya.

C. Kedudukan Anak dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur’an, cukup banyak ayat-ayat yang secara eksplisit menjelaskan tentang
kedudukan seorang anak, di antaranya adalah:

1. Anak Sebagai Perhiasan

Kedudukan anak sebagai perhiasan (zinah) dinyatakan al-Qur’an dalam Q.S. al-Kahfi
ayat 46, yang berbunyi,

‫ اًل‬¢‫ َم‬¢َ‫ أ‬¢‫ر‬¢ٌ ¢‫ ْي‬¢‫خ‬¢َ ¢‫ َو‬¢‫ ا‬¢ً‫ب‬¢‫ ا‬¢‫و‬¢َ ¢َ‫ ث‬¢‫ك‬


َ ¢ِّ¢‫ ب‬¢‫ َر‬¢‫ َد‬¢‫ ْن‬¢‫ ِع‬¢‫ ٌر‬¢‫ ْي‬¢‫ َخ‬¢‫ت‬ ¢ُ ¢‫ ا‬¢َ‫ ي‬¢ِ‫ق‬¢‫ ا‬¢َ‫ ب‬¢‫ ْل‬¢‫ ا‬¢‫ َو‬¢ۖ ¢‫ ا‬¢َ‫ ي‬¢‫ ْن‬¢‫ ُّد‬¢‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ ِة‬¢‫ ا‬¢َ‫ ي‬¢‫ح‬¢َ ¢‫ ْل‬¢‫ ا‬¢ُ‫ ة‬¢َ‫ن‬¢‫ ي‬¢‫ ِز‬¢‫ن‬¢َ ¢‫ و‬¢ُ‫ ن‬¢َ‫ ب‬¢‫ ْل‬¢‫ ا‬¢‫و‬¢َ ¢‫ ُل‬¢‫ ا‬¢‫ َم‬¢‫ ْل‬¢‫ا‬
¢ُ ¢‫ ا‬¢‫ح‬¢َ ¢ِ‫ل‬¢‫ ا‬¢َّ¢‫ص‬¢‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ت‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.”

Di dalam ayat tersebut, harta dan anak-anak dinyatakan sebagai perhiasan. Imam al-
Qurthubi menyatakan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa hartadan anak-anak
mengandung keindahan dan manfaat.5 Harta mempunyai keindahan estetika dan bisa
dimanfaatkan oelh manusia, adapun anak-anak merupakan kekuatan batin bagi keluarga, juga
mempunyai manfaat yang bisa diambil.

Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy mengemukakan bahwa dalam ayat tersebut,


penyebutan kata “harta” lebih didahului atas kata “anak”, karena dalam fungsinya sebagai
hiasan hidup, harta lebih menonjol dibanding dengan seorang anak.6

Imam Al-Alusi, dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa al-mal didahulukan karena harta
lebih terlihat sebagai perhiasan di mata manusia, dan harta tanpa anak-anak pun bisa disebut
sebagai perhiasan. Namun, berbeda dengan anak, karena ketika seseorang mempunyai anak,
tetapi tidak memiliki harta, maka di dalam hidupnya ia akan berada dalam kesempitan.7

5
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Jil. ke-
10, h. 1049.

6
Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur 3( Surat11-
23) (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 2416.
7
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’ al-Matsani (Beirut: Ihya al-Turats
al-‘Arabi, t.t.), juz ke-15, h. 286.
Syekh ‘Utsaimin kemudian mencoba memberi penjelasan tentang kata “al-banun” yang
bermakna “anak laki-laki” yang disebutkan setelah kata “al-mal (harta)”. Menurutnya,
penyebutan dengan kata “al-banun (anak laki-laki)” dikarenakan pada umumnya umat-umat
terdahulu berbangga-bangga dengan anak laki-laki, terlebih pada zaman jahiliyah, dimana
seorang anak perempuan dianggap hina.8 Kemudian ia menambahkan bahwa mengapa
seorang anak disebut sebagai perhiasan, karena seseorang yang memiliki anak-anak dia akan
berhias dengannya. Yang beliau ilustrasikan dengan seseorang yang menjadi tuan rumah
yang akan kedatangan tamu dan tuan rumah tersebut memiliki 10 anak laki-laki yang muda,
kemudian mereka menyambut kedatangan tamu itu, maka sang tuan rumah akan menemukan
puncak kebahagiaan, dan hal tersebutlah yang –menurut syekh ‘utsaimin- merupakan maksud
dari perhiasan.9

Ayat tersebut mengungkapkan bahwa harta dan anak itu sebagai “zinah” bukan dengan
kata “qimah”. Hal tersebut mengandung unsur balaghah yang dalam. Dengan penggunaan
kata “zinah”, maka maknanya adalah bahwa harta dan anak itu hanya sebagai perhiasan
bukan sebagai “qimah” yang bermakna bernilai tinggi di mata Allah swt. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kemuliaan manusia tidaklah diukur dengan harta atau anak-anak,
tetapi diukur dengan iman dan amal shaleh.

“Oleh karena itu, di akhir ayat Allahnya dengan firmannya “wal baaqiyatus soolihaatu...”.
Karena jika dalam pandangan manusia bahwa harta dan anak-anak sebagai perhiasan yang di
pamerkan manusia, maka iman dan amal sholeh adalah sebagai baaqiyatus soolihaat yang
hasilnya tidak akan pernah hilang bagi manusia itu sendiri dan menjadi lebih baik bagi
manusia sedangkan harta dan anak-anak sering kali menjadi cobaan bagi manusia.”10
2. Anak Sebagai Fitnah (Ujian atau Cobaan)

Selain mempunyai kedudukan sebagai perhiasan, seorang anak juga menjadi fitnah, yang
dalam pengertiannya dapat berupa ujian atau cobaan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam
Q.S. Al-Anfal ayat 28,

¢ِ ¢‫ َع‬¢‫ ٌر‬¢‫ج‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢ُ‫ ه‬¢‫ َد‬¢‫ ْن‬¢‫ع‬¢ِ ¢َ ‫ هَّللا‬¢‫ َّن‬¢َ‫ أ‬¢‫و‬¢َ ¢ٌ‫ ة‬¢َ‫ ن‬¢‫ ْت‬¢ِ‫ ف‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢‫ اَل ُد‬¢‫و‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢‫ َو‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢ُ‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ َو‬¢‫ ْم‬¢َ‫ أ‬¢‫ ا‬¢‫ َم‬¢َّ‫ ن‬¢َ‫ أ‬¢‫ا‬¢‫ و‬¢‫ ُم‬¢َ‫ ل‬¢‫ ْع‬¢‫ ا‬¢‫َو‬
¢ٌ‫م‬¢‫ ي‬¢‫ظ‬

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

8
Sebagaimana firman Allah swt. pada Q.S. al-Nahl: 58-59.
9
Muhammad bin Shalih a-‘Utsaimin, Tafsir Al-Kahfi, terj. Abu Abdurrahman bin Thayyib (Jakarta:
Pustaka as-Sunnah, 2005), h. 153-154.
10
“Tafsir Qur'an : Qs. Al-Kahfi Ayat 46”, http://www.piss-ktb.com/2015/04/4102-tafsir-quran-qs-al-
kahfi-ayat-46.html, diakses pada 2 Desember 2019.
Harta dan anak-anak yang Allah berikan kepada manusia pada hakikatnya adalah sebuah
ujian yang Allah swt. berikan kepada manusia untuk menguji mereka dalam melaksanakan
hak Allah swt, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.11

Hal itu juga disebutkan oleh Allah swt. dalam Q.S. Al-Taghabun ayat 15,

¢ٌ‫م‬¢‫ ي‬¢‫ ِظ‬¢‫ َع‬¢‫ ٌر‬¢‫ج‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢ُ‫ ه‬¢‫ َد‬¢‫ ْن‬¢‫ ِع‬¢ُ ‫ هَّللا‬¢‫ َو‬¢ۚ ¢ٌ‫ ة‬¢َ‫ ن‬¢‫ ْت‬¢ِ‫ ف‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢‫ اَل ُد‬¢‫و‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢‫ َو‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢ُ‫ل‬¢‫ ا‬¢‫و‬¢َ ¢‫ ْم‬¢َ‫ أ‬¢‫ ا‬¢‫ َم‬¢َّ‫ ن‬¢ِ‫إ‬

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.”

Al-Qurthubi mengatakan bahwa harta dan anak-anak merupakan cobaan atau ujian yang
akan membawa seorang manusia pada usaha yang diharamkan oleh Allah swt. dan juga tidak
menunaikan hak Allah swt.12

Yunan Yusuf, dalam tafsirnya, mengatakan bahwa terkadang ujian yang datang melalui
anak-anak lebih memengaruhi dibanding ujian yang muncul dari harta. Karena permintaan
atau tuntutan anak-anak kepada orang tua lebih tidak dapat dihindari oleh orang tua. Hal
tersebut tidak hanya terjadi pada manusia biasa, tetapi Rasullullah saw. pun pernah
mengalaminya.13

Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan kita agar tidak lalai kepada Allah swt.
tersebab harta atau anak-anak, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-Munafiqun ayat 9,

َ ¢¢¢ِ‫ ئ‬¢َ‫ل‬¢ٰ¢‫و‬¢ُ‫ أ‬¢َ‫ ف‬¢‫ك‬


¢ُ‫ م‬¢ُ‫ ه‬¢‫ك‬ َ ¢¢¢ِ‫ ل‬¢‫ َذ‬¢ٰ ¢‫ل‬¢ْ ¢¢¢‫ َع‬¢‫ ْف‬¢َ‫ ي‬¢‫ن‬¢ْ ¢‫ َم‬¢‫و‬¢َ ¢ۚ ¢ِ ‫ هَّللا‬¢‫ ِر‬¢¢¢‫ ْك‬¢‫ ِذ‬¢‫ن‬¢ْ ¢‫ َع‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢‫ اَل ُد‬¢‫و‬¢ْ ¢َ‫ اَل أ‬¢‫ َو‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢ُ‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ َو‬¢¢¢‫ ْم‬¢َ‫ أ‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢‫ ِه‬¢‫ ْل‬¢ُ‫ اَل ت‬¢‫ا‬¢‫ و‬¢¢¢ُ‫ ن‬¢‫ َم‬¢‫ آ‬¢‫ن‬¢َ ¢‫ ي‬¢‫ ِذ‬¢َّ‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ ا‬¢¢¢َ‫ ه‬¢ُّ¢‫ ي‬¢َ‫ أ‬¢‫ ا‬¢¢¢َ‫ي‬
¢‫ َن‬¢‫ و‬¢‫ ُر‬¢‫س‬¢ِ ¢‫ ا‬¢‫ َخ‬¢‫ ْل‬¢‫ا‬

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang
yang merugi.”

Dalam ayat tersebut, Allah swt. memperingatkan orang-orang yang beriman agar
terhindar dari akhlak orang-orang munafik yang sibuk dengan harta -yang berlimpah dan
anak-anak yang banyak-14 sehingga mereka menjadi kikir terhadap harta mereka.15

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an (Kairo: Maktabah
11

Ibn Taimiyyah, t.t.) Juz ke-13, h. 486.


12
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 602.
13
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush: Bangunan Kokoh Rapi (Tangerang: Lentera Hati, 2014), hlm.
510.
14
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 453.
15
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 561.
3. Anak Sebagai Musuh

Dalam al-Qur’an anak juga dinyatakan dapat menjadi seorang musuh bagi orang tuanya,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Taghabun ayat 14,

¢ْ ¢َ‫ ت‬¢‫ َو‬¢‫ا‬¢‫ و‬¢¢¢¢ُ‫ ف‬¢‫ ْع‬¢َ‫ ت‬¢‫ن‬¢ْ ¢ِ‫ إ‬¢‫ َو‬¢ۚ ¢‫ ْم‬¢ُ‫ه‬¢‫ و‬¢‫ ُر‬¢‫ َذ‬¢¢¢ْ¢‫ح‬¢‫ ا‬¢َ‫ ف‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢َ‫ ل‬¢‫ ا‬¢‫ ًّو‬¢‫ ُد‬¢¢¢َ¢‫ ع‬¢‫ ْم‬¢‫ ُك‬¢‫ اَل ِد‬¢‫و‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢‫ َو‬¢‫م‬¢ْ ¢‫ ُك‬¢‫ج‬¢ِ ¢‫ ا‬¢‫و‬¢َ ¢‫ز‬¢ْ ¢َ‫ أ‬¢‫ن‬¢ْ ¢‫ ِم‬¢‫ َّن‬¢ِ‫ إ‬¢‫ا‬¢‫ و‬¢¢¢¢ُ‫ ن‬¢‫ َم‬¢‫ آ‬¢‫ن‬¢َ ¢‫ ي‬¢‫ ِذ‬¢َّ‫ل‬¢‫ ا‬¢‫ ا‬¢¢¢¢َ‫ ه‬¢ُّ¢‫ ي‬¢َ‫ أ‬¢‫ ا‬¢¢¢¢َ‫ي‬
¢‫ا‬¢‫ و‬¢‫ح‬¢ُ ¢َ‫ ف‬¢¢¢‫ص‬¢
¢ٌ‫م‬¢‫ ي‬¢‫ ِح‬¢‫ر‬¢َ ¢‫ ٌر‬¢‫ و‬¢ُ‫ ف‬¢‫ َغ‬¢َ ‫ هَّللا‬¢‫ َّن‬¢ِ‫ إ‬¢َ‫ ف‬¢‫ا‬¢‫ و‬¢‫ ُر‬¢ِ‫ ف‬¢‫ ْغ‬¢َ‫ ت‬¢‫َو‬

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada


yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ada beberapa kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, di antaranya adalah
kasus Auf bin Malik Al-Asyja’i yang hendak pergi berperang, namun istri dan anaknya
menangis dan membuat Auf menjadi lemah, lalu kemudian menjadi tidak pergi berperang.16

Ayat ini berkaitan dengan umat pada generasi awal, yaitu pada masa Rasulullah saw.
yang menerima Islam sebagai agama. Mereka dengan sukarela membawa iman mereka hijrah
ke Madinah, namun hal tersebut dihalangi oleh istri atau anak-anak mereka karena istri dan
anak-anak mereka enggan untuk ikut berhijrah, karena mereka masih tetap pada keyakinan
para penyembah berhala.

Pada zaman modern seperti sekarang, kondisi seperti itu masih sangat banyak terjadi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tindakan korupsi yang terjadi di tengah bangsa kita
-sedikit banyaknya- diakibatkan oleh keserakahan seorang istri ataupun suami dalam sebuah
keluarga untuk mengumpulkan harta yang banyak untuk memenuhi kebutuhan yang -bukan
saja- bersifat primer, tetapi juga yang bersifat sekunder. Dan hal itulah sering terjadi istri atau
suami dan anak-anak menjadi musuh bagi kaum beriman. Oleh karena itu, waspadalah
terhadap istri atau suami dan anak-anak yang berpotensi melakukan pelanggaran agama.17

Sebab permusuhan –istri dan anak- bukanlah permusuhan yang sesungguhnya, tetapi
merupakan permusuhan yang disebabkan oleh perbuatannya. Jika pasangan dan anak
melakukan perbuatan musuh, maka dia adalah seorang musuh. Dan tidak ada yang lebih
buruk daripada menghalangi seorang hamba untuk melakukan ketaatan. 18 Secara hakikat,
mereka (pasangan dan anak) bukanlah seperti musuh sebagimana musuh dalam Islam. Oleh
16
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 597.
17
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 506-507.
18
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,,, Jil. ke-18, h. 598.
karenanya mereka tidak perlu dihadapi dengan senjata. Oleh karena itu, Allah swt.
memberikan tuntunan untuk menghadapi mereka, yaitu dengan:

1. Memaafkan kesalahan yang mereka lakukan,


2. Berpaling tanpa mengecam atau menegur kesalahan mereka, dan
3. Mengampuni mereka tanpa mengumbar kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat.19

19
Yunan Yusuf, Bun-yanun Marshush,,, hlm. 508.

Anda mungkin juga menyukai