Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

WARISAN ANAK MASIH DALAM KANDUNGAN & HARTA


WARISAN ANAK ZINA DAN ANAK LI’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok MataKuliah Fiqih Nikah dan Waris

DosenPengampu:Dr.Lutfiyah,S.Ag,M.S.I

DisusunOleh:

Arifni Intan Tsaniyatul A’tadila (2103016090)

Bayu Agung Setiawan (2103016091)

Fadhilah Nurrochmah (2103016092)

PAI3-C

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.


Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak
merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai
modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social
orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih
hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah
lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan
orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah, anak
adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan
oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara
dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi
anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal
dan terarah.

Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai


elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga, dan
bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam
kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi
anak
B. RumusanMasalah

1. Bagaimana syarat-syarat bayi dalam kandungan itu menjadi mawaris?

2. Kapan waktunya masa kandungan untuk kewarisan orang hamil?

3. Bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan?

4. Apa yang dimaksud dengan anak zina dan anak li’an?

5. Bagaimanakah hak waris terhadap anak zina dan anak li’an?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui syarat-syarat bayi dalam kandungan menjadi mawaris.

2. Untuk mengetahui masa kandungan untuk kewarisan orang hamil.


3. Untuk mengetehaui hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan.

4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan anak zina dan anak li’an.

5. Untuk mengetahui hak waris terhadap anak zina dan anak li’an.
BAB II
DALIL HUKUM

A. Dalil Hadits

1. Sunan al-Turmuzy, Kitab Faraidh, bab Tentang Pembatalan Hak Waris Anak Zina.

، ‫ أيما رجلعاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا‬:‫عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول هلال صلى هلال عليه وسلم قال‬
‫ال يرث وال يورث‬.

Artinya: Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw
bersabda: “Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak,
maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR.
Al- Turmudzi).

Al-Turmuzi menjelaskan bahwa anak zina tidak mendapatkan hak waris dari ayah
biologisnya dan begitu juga ayahnya tidak mendapatkan hak waris dari anak hasil
perbuatan zina tersebut karena nasab diantara keduanya terputus disebabkan tidak ada
ikatan pernikahan antara ibu dan ayahnya.1

2. Sunan Abu Dawud, Kitab al-‘Itsq, Bab fi ‘Itsq Walad al-Zina.

‫َقَال رسول لَِّال ص لَُّال علَ ْي ِه‬p ‫ أَ بي ه ع ْن ْ ي ال‬p‫ص‬ ‫س ب ِن أ‬ ْ ‫ج‬ ‫ ْخ َب‬pَ‫ْب َرا موسى أ‬ ‫نَا‬pَ‫ّث‬p‫حد‬
ِ ِ
‫َّلى‬ ‫ ِبي َرةَ ه‬pَ‫أ‬ ‫ا ع ْن‬ ‫ِب ي‬ ‫َه‬ ‫ِري ن‬ ‫َرَنا‬ ‫ِهي ُم بن‬
‫َر‬ ‫ِل ح‬ ‫ْيل‬ ‫ٌر‬
‫ع‬
‫ ز ْن َي ٍة‬p ‫ْن أَ ع ول‬ ‫ ب‬pَ‫س لَِّال َ وجل أ‬ ‫ْوط‬ ‫ َم‬pُ‫ْن أ‬ ‫ ِة ل ْ ي‬pَ‫ َلث‬pَّ‫ش ُّر الث‬ ‫زنَا‬p’ِ ‫ال‬ ‫وسَّل َم‬
‫لَي ْن أَ م ِتق د‬ ‫َح‬ ّ ‫ل‬p ‫ِبي‬ ‫يس‬ ‫ َع ِب‬p’‫ِت‬ ‫ُبو َرةَ ه‬pَ‫و َقا أ‬ ُ‫وَلد‬
‫ز‬ ‫َر‬
‫ََل‬
‫ع‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah mengabarkan
kepada kami Jarir dari Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya dari Abu Hurairah ia
berkata, “Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Anak hasil zina adalah
orang buruk ketiga.” Abu Hurairah berkata, “Sungguh aku bersedekah dengan sebuah
cemeti di jalan Alloh ‘azza wajalla adalah lebih aku sukai daripada membebaskan
anak zina.” (HR. Abu Dawud).

B. Dalil Al-Qur’an

1. Qs. An-Nisa ayat 11


1
kitab Tahaffah al-Ahwaszy, Syarh al-Turmuzy.
‫حدة˝ َف َل‬ َ ِ ْ ‫ما ت‬ ‫ْوق اْثَنت لَ ُه َّن‬ ˝ ‫ك‬ ‫ث َي ْي‬pَ‫ ْن‬pُ‫َال ِد ل لَذّ َك مث ح ’ظ ا ْال‬ ‫ُي ْو ُك لَُّال‬
‫َها كاَنْت َوا‬ ‫َرك ۚ ن‬ ‫ا‬pَ‫لُث‬pُ‫ث‬ ‫ْي ِن‬ ‫َّن ء‬ ‫ِن ۚ َف ِا ْن‬ ‫ُك ْم ِر ل‬ ‫ُم‬
‫ِوا‬ ‫ِن س‬ ‫ي َا ْو‬ ‫ص‬
‫ۤا‬ ‫ْي‬
‫ ف ث ۚ َف ِا ْن‬pُ‫ َب ٰوه‬pَ‫ ٗ ْٓه ا‬pَ‫و َو ِرث‬ ‫ْن ول‬ ‫ ۚ َف ِا‬pٌ‫وَلد‬ ‫ك كا‬ ‫م‬ ‫ِ ْ ن ُه س‬ ُ ‫ال ِن’ صف ۗ و َِال َب‬
‫ّل‬pُ‫م ِه الث‬p’ِ pُ‫َِل‬ ‫لَّ ٗه د‬ ‫ْن ْم‬ ‫ْن َن لَ ٗه‬ ‫ح َما ال د‬ ‫َو ْي ِه كل‬
‫ُك‬ ‫ّما َت َر‬ ‫’م‬ ‫ٍد‬ ‫ل‬
‫س‬ ‫وا‬
‫ ُّي ب ُك ْم‬pَ‫دْ ُر ْو َن ا‬pَp ‫ ْي ٍن ۗ وَا ْبَن ۤا ال ت‬pَ‫ ْو د‬pَ‫ٍة صي ِب َهآْ ا‬ ‫س م ْۢ ْن‬ ‫م س‬p’ِ pُ‫ َف َِل‬pٌ‫َوة‬ ٗ ‫ك ا َن‬
ۗ ‫ ْق َر َن ْف ˝عا‬pَ‫ُه ْم ا‬ ‫ٰاَب ۤا ُؤ ُك ْم ُؤ ُك ۚ ْم‬ ‫ْو‬ ‫َب ْع ِد و‬ ‫ِه ال خ د‬
‫ص‬ ‫ْٓه‬
‫َّي‬
‫ح ِك ْي ˝ما‬ ‫لَِّال ۗ اِ َ ك ا ْي‬ ’ ‫فَ ِر ْي ض‬
‫َن ˝ما‬ ‫َّن‬ ‫ة م‬
‫ع ِل‬ ‫ل‬ ‫˝ َن‬
‫َا‬

Artinya : Allah mensyariatkan ( mewajibkan ) kepadamu tentang ( pembagian


warisan untuk ) anak-anakmu, ( yaitu ) bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia ( anak perempuan ) seorang saja, maka ia
memperoleh setengah ( harta yang ditinggalkan ). Dan untuk kedua ibu bapak,
bagian masing- masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia ( yang
meninggal ) mempunyai anak. Jika dia ( yang meninggal ) tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya ( saja ), maka ibunya
mendapatkan sepertiga. Jika dia ( yang meninggal ) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. ( pembagian-pembagian tersebut
diatas ) setelah ( dipenuhi ) wasiat yang dibuatnya atau ( dan setelah dibayar )
utangnya. ( Tentang ) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan allah. Sungguh allah maha mengetahui, maha bijaksana.

2. Qs. An-Nisa’ ayat 12


‫ل‬p‫ ْي ٍۗن َو َل ُهنَّا‬pَ‫ ْود‬pَ‫ َفلَ ُك ٍة۞ ُّي ص ْي َن ِب َهآْا‬pٌ‫ َف ِا ْن َكاَن َل ُهَّن وَلد‬pٌ‫ َر ج ُك ْم ِا ْن َّل ْمَي ُك ْنلَّ ُه َّن وَل ۚد‬pَ‫وَل ُك ْم صُف مات‬
َ َ َ
‫ َرك‬pَ‫ت‬p‫ُّرُبُع ِم َّما‬ ‫ْو ص‬ ْۢ ْ pَ ‫ِن‬
‫ َر ْك َن ِم ْن َب ْع ِد َو‬pَ‫ت‬p‫ُمال ُّرُب ُع ِم َّما‬ ‫ا‬ ‫و‬ َ ‫َك‬
‫ز‬ ‫ا‬
‫َّي‬
‫ ِوا ْم‬p‫ لَة˝ َا‬p‫ َك ٰل‬pُ‫ُّي ْو َرث‬ ‫ ص َّي ْودَ ْي ۗ ٍن َو ِا ْن َكا‬pُ‫ َفَل ُه َّنالث‬pٌ‫ َن َل ُك ْم َوَلد‬p‫ َف ِا ْن َكا‬pٌ‫ ْم ِا ْن َّل ْم َي ُك ْنلَّ ُك ْم َو َل ۚد‬pُ‫ت‬
ٌ‫ جل‬pُ‫ ْوا‬pَ‫ ٌخا‬pَ‫ َّولَ ٗ ْٓها‬pٌ‫ة‬pَ‫َرا‬ ‫ ْو َن َر ص ْو َن ِب‬pُ‫م ْۢ ْن َب ْع ِد و ٍةت‬p’ِ ‫ ْم‬pُ‫ َر ْكت‬pَ‫ُمُن ِم َّمات‬
َ
‫َها‬
‫َْا‬
‫و ض ۤا ٍۚ’ر ّي ة˝ ِ’ م نَ ا له لَُّال‬ ‫ٍۙ نٍ َغ ْي َر ُم صى ِب‬ ‫ٍة ُّي ْو ص َّي‬ ‫ُّل ِث ِم‬pُ‫ش َر َك ۤا ُء ِفىالث‬
َ
‫ه َو ص‬pِۗ ‫َهآْا‬ ‫ْن َب ْع ِد َو‬
‫ ْي‬pَ‫ْود‬
‫ ۚ ُسَف ِا ْن َكا ُن ْْٓواا‬pُ‫ َر ِم ْن سد‬pَ‫ْكث‬ ‫َكَف ُه ْم ٰذ ِل‬ ‫َف ِل‬pٌ‫م ْن خت‬p’ِ ‫ُه َماال ُك ِل’ َوا ِح ٍد‬
‫ع ِل ْي ٌمح ِل ْي ٌم‬

Artinya: Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
(istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan
setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,
setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya
dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
3. Qs. An-Nisa ayat 7

‫ َّم ْف‬p‫ص ْي ˝با‬ ‫ َر َكا ْل َوا ِل ٰدن س‬pَ‫م َّمات‬p’ِ ‫ص ْي ٌب‬


‫ َر َكا ْل َوا ِل ٰد ِن َوا َْال ْق َرب‬pَ‫ت‬p‫م َّما‬p’ِ ‫ص ْي ٌب‬ ‫لل ِ’ر جا‬
p‫ُر ْوضا‬
‫ ۗ َر َن‬pُ‫ ْو َكث‬pَ‫ْو َن ِم َّماَق َّل ِم ْن ُها‬ ‫وا َْال ْق َرُب ْو ََۖن و ِ لن’ ۤا‬ ‫ِل ن‬
َ َ
‫ِ ءن‬
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.
BAB III
PEMBAHASA
N

A. WarisanAnakDalamKandungan.
1. Pengertian

Kata al hamlu digunakan untuk sesuatu yang ada di dalam perut


setiapperempuan yang mengandung. Maksudnya adalah kandungan yang berupa
janin. Orang Arab berkata, “perempuan bisa disebut hubla jika dia sudah mengandung
dan membawa beban. Apabila seorang perempuan membawa beban dipunggung atau
di atas kepalanya, perempuan itu disebut “hamilah”.
2. Syarat-syarat Bayi dalam Kandungan itu Menjadi Waris
Anak yang masih dalam kandungan ibunya termasuk ahli yang berhak menerima
warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Untuk merealisasikan hak kewarisannya,
diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Ketika orang yang mewariskan itu meninggal, ia sudah berwujud di dalam rahim
ibunya.
Waris mewarisi ditunjukkan untuk menggantikan ke-dudukan orang
yang sudah meninggal dalam kepemilikan harta bendanya. Sekiranya ia belum
berwujud, sudah tentu tidak tergambar adanya penggantian yang dimaksud.
Tingkatan yang seminimal-minimalnya sebagai seorang pengganti ialah ia harus
berwujud, walaupun masih berada dalam kandungan sperma ibunya. Ini karena
sperma yang berada di dalam rahim itu, selagi tidak hancur, mempunyai zat
hidup sehingga ia dihukum dengan hidup.
b. Dilahirkan dalam keadaan hidup
Ini disyariatkan untuk meyakinkan bahwa kandungan itu benar-benar
hidup ketika orang yang mewariskan meninggal. Ketika masih dalam
kandungan, walaupun sudah dianggap hidup, itu bukanlah hidup yang
sebenarnya. Kelahirannya dalam keadaan hidup tenggang waktu yang telah
ditentukan oleh syariat Islam merupakan bukti yang nyata atas perwujudan
ketika orang yang mewariskan meninggal.2
Menyangkut kemungkinan pendapatan/bagian anak yang masih dalam
kandungan ibunya ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a) Tidak menerima warisan sama sekali, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan.
Misalnya dalam kasus kematian seseorang yang struktur kewarisannya terdiri dari:
isteri, ayah dan ibu (hamil, dari suami yang lain, bukan dari ayah pewaris).

2
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cetakan Pertama November
b) Hanya mewarisi dengan salah satu dari dua kemungkinan, yaitu sebagai laki-laki
ataupun perempuan, dan tidak mewarisi dengan kemungkinan yang lainnya.
Misalnya dalam struktur kasus: istri, paman, dan istri dari saudara kandung
(hamil). Dalam kondisi ini, istri diberi ¼, sedangkan sisanya ¾ ditangguhkan
pembagiannya sampai bayi dalam kandungan itu lahir. Jika lahir laki-laki, maka
bayi itu yang mengambil sisanya, karena statusnya sebagai keponakan laki-laki
kandung, akan menghijab kewarisan paman. Tetapi, jika bayi itu perempuan,
maka pamanlah yang berhak mengambil sebagai ashobah, sebab keponakan
perempuan dari saudara laki- laki kandung bukanlah ahli waris.
c) Dapat mewarisi dengan segala kemungkinan, baik ia sebagai laki-laki atau sebagai
perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari: istri (hamil), dengan kedua orang tua
pewaris (ayah dan ibunya)
d) Dapat mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya, baik ia sebagai laki-
laki atau sebagai perempuan. Misalnya, kematian seseorang yang meninggalkan
para waris: seorang saudara perempuan kandung, dan seorang ibu (hamil, dari
suami yang bukan ayah pewaris). Jika bayi itu lahir laki-laki atau perempuan,
sama saja statusnya sebagai ahli waris saudara seibu (dzawil furudh).
e) Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersama dengan ahli waris
yang terhalang olehnya. Misalnya, terhadap ahli waris: menantu (hamil), dan
saudara seibu Dalam kondisi seperti ini, harta warisan harus ditangguhkan sampai
bayi itu dilahirkan.3
3. Masa Kandungan untuk Kewarisan Orang Hamil

Untuk menetapkan perwujudan bayi di dalam rahim ibunya, perlu diperhatikan


hal berikut:4
a. Tenggang waktu yang sependek-pendeknya antara akad pernikahan dengan
kelahiran anak.
1.) Menurut para imam madzhab telah sepakat bahwa tenggang waktu yang paling
pendek untuk kandungan adalah enam bulan. Pendapat mereka ini bertolak pada
jalan pemikiran Ibnu Abbas ra. Yang mengisbatkan firman Allah dalam surat al
A’raf ayat 15:
2.) Menurut ulama Hanabilah menetapkan bahwa sependek-pendeknya orang
mengandung itu adalah sembilan bulan.
b. Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antara putusnya perkawinan dengan
kelahiran anak.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa tenggang waktu yang sepanjang-

3
Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1993), Cetakan. Ke 2.
4
Hj. Wahidah, Buku Ajar Fiqih Waris, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014) Cetakan 1 Desember.
panjangnya adalah dua tahun, dengan alasan sabda Rasulullah saw. Wanita tidak
menambah masa usia kandungannya lebih dari dua tahun dengan sepergeseran
bayang tiang berdiri. Jumhur ulama berpendapat apabila diantara ahli waris itu ada
yang menghendaki diadakan pembagian harta warisan dengan tidak menunggu
ahli waris yang ada dalam kandungan dilahirkan, maka untuk jumlah bagian yang
harus ditahan untuk diberikan di kemudian hari bila anak tersebut lahir dengan
selamat, sebagai berikut:
a) Bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang yang tidak akan menerima
warisan, maka tidak diberikan sedikitpun, karena anak dalam kandungan
diperkirakan lahir laki-laki yang akan menerima seluruh harta secara ashobah.
b) Bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yang furudhul
muqaddarahnya tidak pasang surut, maka ahli waris tersebut menerima
warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing, dan anak dalam kandungan
menerima sisanya yang ditahan untuknya
c) Bila ia mewarisi bersama-sama ahli waris yang furudhul muqaddarahnya
dapat pasang surut, maka ahli waris tersebut diberikan bagian sesuai dengan
furudh nya yang terkecil, dan anak dalam kandungan diberikan bagian yang
terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan tersebut.
4. Contoh dan Penyelesaiannya

Adapun contoh-contoh dan penyelesaian beberapa kasus berikut:


*Contoh1 :
Seseorangmeninggal dunia meninggalkanahliwaris : Ayah dan Istri dalam
keadaan hamil (kandungan disini adalah anak laki-laki atau anak perempuan). Harta
warisnya sebesar Rp48.000.000,-, maka :
a. Jika anak dalam kandungan tersebut diperkirakan laki-laki :
Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
24 Rp48.000.000,-
Ayah 1/6 4 4/24x48.000.000 8.000.000
Istri 1/8 3 3/24x48.000.000 6.000.000
AnakLaki-Laki Sisa (24-7) 17 17/24X48.000.000 34.000.000
Jumlah 48.000.000

b. Jika anak dalam kandungan itu diperkirakan perempuan :


Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
24 Rp48.000.000,-
Ayah 1/6+sisa 4+5=9 9/24x48.000.000 18.000.000
Istri 1/8 3 3/24x48.000.000 6.000.000
AnakPerempuan 1/2 12 12/24x48.000.000 24.000.000
Jumlah 48.000.000
Dalam Perkiraan diatas, ternyata jika kandungan diperkirakan lakilaki ia akan
menerima lebih banyak daripada jika diperkirakan perempuan. Oleh karena itu, jumlah yang
seharusnya ditahan untuknya adalah sebanyak perkiraan laki-laki yaitu sebesar
(RP34.000.000).

*Contoh2 :
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris : Suami dan Ibu yang sedang
hamil (kandungannya disini adalah saudara/saudari si mayit (pewaris). Harta warisannya
sebesar Rp12.000.000,-. Maka :
a. Jika anak dalam kandungan tersebut diperkirakan laki-laki :
Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
6 Rp12.000.000,-
Suami 1/2 3 3/6x12.000.000 6.000.000
Ibu 1/3 2 2/6x12.000.000 4.000.000
SaudaraKandung Sisa (6-5) 1 1/6x12.000.000 2.000.000
(LK)
Jumlah 12.000.000

b. Jika anak dalam kandungan itu diperkirakan perempuan :


Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
6 Rp12.000.000,-
Suami 1/2 3 3/8x12.000.000 4.500.000
Ibu 1/3 2 2/8x12.000.000 3.000.000
SaudaraKandug 1/2 3 3/8x12.000.000 4.500.000
(Pr)
Jumlah 12.000.000
Jumlah = 8 dijadikan asal masalah dalam ‘aul
Diantara dua perkiraan tersebut, ternyata jika kandungan diperkirakan perempuan, ia
akan menerima lebih banyak daripada jika diperkirakan laki-laki, maka jumlah yang
seharusnya ditahan untuknya adalah sebanyak perkiraan perempuan (Rp4.500.000,-).

*Contoh3 :
a. Jika cucu dalam kandungan tersebut diperkirakan laki-laki :
Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
24 Rp216.000.000,-
Istri 1/8 3 3/24x216.000.000 27.000.000
Ayah 1/6 4 4/24x216.000.000 36.000.000
Ibu 1/6 4 4/24x216.000.000 36.000.000
AnakPerempuan 1/2 12 12/24x216.000.000 108.000.000
CucuPrPancar Sisa (24-23) 1 1/24x216.000.000 9.000.000
Lk
Jumlah 216.000.000

b. Jika cucu dalam kandungan tersebut diperkirakan perempuan :


Ahli Waris Bagian AM HartaWarisan Penerimaan
24 Rp216.000.000,-
Istri 1/8 3 3/27x216.000.000 24.000.000
Ayah 1/6 4 4/27x216.000.000 32.000.000
Ibu 1/6 4 4/27x216.000.000 32.000.000
AnakPerempuan 1/2 12 12/27x216.000.000 96.000.000
CucuPrPancar 1/6 4 4/27x216.000.000 32.000.000
Lk
Jumlah 216.000.000

Diantara perkiraan diatas,ternyata jika kandungan diperkirakan perempuan adalah


lebih banyak penerimaannya daripada jika kandungan tersebut diperkirakan laki-laki, maka
jumlah yang seharusnya ditahan untuknya ialah sebanyak perkiraan bagian perempuan
(Rp32.000.000,-).

B. Hukum Warisan Anak Zina & Anak Li’an


Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin
antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah meskipun ia lahir
dalam suatu perkawinan yang sah, dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain.5
Dalam Kitab Ahkamul Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan:

‫أوثمرةال َعلقةاالثمةبين‬, ‫ولدالزناهوالمولودمنغيرنكاحشرعى‬


‫الرجلوالمرأة‬
Artinya: Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan
dari hubungan nikah yang sah secara syar’i atau dengan kata lain, buah dari
hubungan haram antara laki-laki dan wanita.
Anak lian adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang sah, namun

5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 148.
sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim
syar‟i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami-isteri itu
diambil sumpahnya (li‟an).
Para ulama ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir
karena perbuatan zina & li’an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat
dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagi berikut: 6
Pendapat Pertama Pendapat Kedua Pendapat Ketiga
Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hambal Ahmad bin Hambal
Syafi’i berpendapat bahwa berpendapat bahwa anak berpendapat bahwa ashabah
anak tersebut dapat yang lahir karena perbuatan anak yang lahir karena
mewarisi dari ibu dan zina dapat diwarisi dengan perbuatan zina adalah
kerabat ibunya, dan ibu serta cara ashabah. Ashabahnya ibunya karena ibu bagi
kerabat ibunya pun dapat adalah mereka yang menjadi mereka sama seperti kedua
mewarisi darinya, sesuai ashabah ibunya atau mereka orang tua, yakni ayah dan
dengan kaidah waris yang mewarisi dari ibunya. ibu, ashabahnya adalah
mewarisi yang sudah Sebagian orang berkata, mereka yang menjadi
diketahui. Ini adalah “Jika Anda ingin ashabah ibu. Pendapat ini
pendapat Zaid bin Tsabit mengetahui ashabah anak juga disampaikan oleh
dalam satu riwayat dari Ali li’an, lihatlah ashabah beberapa tabi’in, di
R.A ibunya kalau ibunya wafat. antaranya Hasan dan Ibnu
Itulah yang menjadi ashabah Sirin.
anak li’an.

a. Pendapat Pertama
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan
sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya
pengembalian (al-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari
orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab
berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.7
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits
yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’du sebagai dalil.
“ Sunnah menetapkan bahwa anak li’an dpaat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun
dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah.”8
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka
bahwa waris mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash
yang

6
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2009),
137.
7
Fathur Rohman, Ilmu Waris (Bandung, Al-Ma’arif,1971), 222.
8
Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Nayl al-Authar Juz VI, (Kairo: Dar Ibnu Jauzi, tt). 184.
menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara
seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li’an wafat,
meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris:
ibu,ayah,paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini,seluruh warisan
hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-
radd). Hal ini disebabkan paman dari pihka ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam
kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena
nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yanglahir karena perbuatan zina atau li’an wafat
meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8,
anak perempuan ½, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara
seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama
pokok atau cabang yang mewarisi.
b. Pendapat Kedua
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa
dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari
kalangan tabi’in, seperti ‘Atha, Mujahid, an-Nakha’i, dan asy-Sya’bi. Hadits yang
dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah
SAW ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini “Ashabahnya adalah ashabah
ibunya” .
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, “Ibu mendapatkan
bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut
dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-
lakiatau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka
berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi.”
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah
SAW, “ Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-
tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat.”
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling
dekat dengan anak li’an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah
bagian ashabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li’an berpindah dari ayahnya
kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat
ibu.9 Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena
perbuatan zina atau li’an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara
seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak
perempuan mendapatkan ½ sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan
sisa sebagai
ashabah.

9
Jabal Alamsyah, Sumber Pensyari’atan Mawarits (Brunei Darussalam, 2011), 21.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu,
maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai
ashabah.

c. Pendapat Ketiga
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya.
Para pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li’an dan anak yang lahir
karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu
hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah
ibunya.10
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah
ibunya sebagai ashabah anak li’an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan
syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi
ashabahnya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan
anak li’an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh
para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW:
“Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakan,
barang yang ditemukannya, dan warisan anak li’annya.” (HR Abu Daud,
Turmudzi,an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah,
ibu pun mewarisi dari anak li’an dengan cara ashabah juga, karena ibu sama
derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li’an. Sebagai bukti, Ibny Abbas pernah
berkata, “Ibu anak li’an adalah ayah dan ibunya.”
Dengan demikian, jika seorang anak li’an wafat meninggalkan istri, ibu, dan
saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan ¼ sebagai bagian tetap, dan ibu
mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan saudara perempuan
mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari
saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak
laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara
pembagiannya yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.11
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Ahmad bin
Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnu Qayyim berkata, “ Berdasarkan pendapat di
atas, Al-Qur’an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus.
Allah menjadikan Isa dari anak cucu Ibrahim lewat perantara Maryam,ibunya.
Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, ‘Kemudian,
bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku
adalah anak

10
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), 80.
11
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukun Waris di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), 58.
yang lahir karena perbuatan zina dan li’an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya
dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?’. Kita jawab,
‘Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang
telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang
dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti
mengambil bagian tetapnya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara
ashabah.”12

 Nasab Anak Zina


Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut tidak memiliki suami atau tidak
sedang dalam masa„iddah, ada beberapa pendapat mengenai nasab dari anak yang dikandung
oleh wanita tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak tersebut dapat dinasabkan
kepada laki-laki yang datang dan mengakuinya sebagai anak dan bukan hasil dari perbuatan
zina dengan ibu si anak. Sebalikya, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu
adalah anaknya dari perbuatan zina dengan ibu si anak, jumhur ulama berpendapat, anak itu
tidak bisa dinasabkan kepadanya.Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu
tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan
zina adalah azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim berperndapat
bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab
pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak,sebagaimana penetapan
nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak
mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab,
orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.13
Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yangmemiliki
suami atau dalam masa„iddah maka ulama sepakat bahwa nasab dari anak yang dikandung
oleh wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuanseseorang atas anak tersebut
tidak dapat diterima. Dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi
SAW yang artinya : "Anak milik orang yang memilikiranjang (suami) dan wanita pezina
mendapatkan sanksi.”

 Nasab Anak Li’an


Status sebagai anak yang dilahirkan li‟an merupakan suatu masalah bagi anak li‟an
tersebut karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada
umumnya seperti anak sah, karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak
yang menjadi

12
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, 406-410.
13
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi Publishing,JakartaCet.
III 2011, hlm. 402
kewajiban ayahnya karena ketidak absahan pada anak li’an tersebut. Konsekuensinya adalah
laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak
li’an. Sebaliknya anak itu pun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajiban yang
dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak li’an. Hak anak dari kewajiban
ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu biasanya bersifat material.14
Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr alRaiq Syarh Kanz Ad-
Daqaiq”:Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena
nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak
bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu,maka ia memiliki hak waris
dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula
dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu),
tidak dengan jalan lain.15

 Contoh-contoh dan penyelesaiannya (Anak Zina)

*Contoh 1 :
Seorang perempuan meninggal dunia, ahli waris terdiri dari nenek, anak
perempuan (anak zina), cucu perempuan dari anak peremuan. Harta warisan Rp. 180 juta.
Perhitungannya sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah Harta Warisan Penerima
6
Nenek 1/6 1 1/6x Rp. Rp. 30.000.000
180.000.000
Anak Zina 1/2 3 3/6x Rp. Rp. 90.000.000
180.000.000
Cucu - - - -
Perempuan
4 Jumlah =Rp.
120.000.000
Sisanya Rp 180.000.000,- - Rp 120.000.000,- = Rp 60.000.000,- diserahkan ke bait al-
mal.

*Contoh 2 :
Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan ahli waris, bapak, ibu, dan 1 anak laki-
laki (anak zina). Harta peninggalan sebesar Rp. 15.000.000,-. Maka perhitungannya sebagai
berikut:

14
Http://www.badilag .net/data/artikel/wacana/20 hukum/20islam/status hukum dan hak anak.pdf.
15
Damrah Khair, Op. Cit, h. 140.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah Harta Warisan Penerima
3
Ayah 2 2/3x Rp. 15.000.000 Rp.10.000.000
(ashabah)
Ibu 1/3 1 1/3x Rp.15.000.000 Rp.5.000.000
Anak laki-laki - - -
(anak zina)
3 Jumlah Rp. 15.000.000

 Contoh dan Penyelesaiannya (Anak Li’an)


1. Jika seorang meninggal (anak lian) dengan meninggalkan harta warisan24 juta
dengan ahli waris ibu; saudara laki-laki seibu, saudara laki-laki sebapak(tidak
anak zina/li’an) maka :
Ahli Waris Fardh Siham Bagian Harta
Ibu 1/3 2/6 2/6 X Rp.
24.000.000 = Rp.
8.000.000
Saudara Seibu 1/6 1/6 1/6 X Rp.
24.000.000 = Rp.
6.000.000
Saudara Sebapak M
Harta sisa =
24juta – (8jt+6jt)
= 10 juta
BAB IV
KESIMPULAN

Kata al hamlu digunakan untuk sesuatu yang ada di dalam perut setiap perempuan
yang mengandung.
Adapun Syarat bayi dalam kandungan mendapat waris, Ketika orang yang
mewariskan itu meninggal, ia sudah berwujud di dalam rahim ibunya. Dilahirkan dalam
keadaan hidup
Masa kandungan untuk Kewarisan Orang Hamil, Tenggang waktu yang sependek-
pendeknya antara akad pernikahan dengan kelahiran anak, ada yang berpendapat 6 bulan
dan juga 9 bulan, Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antara putusnya perkawinan
dengan kelahiran anak yaitu 2 tahun
Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin
antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah meskipun ia lahir
dalam suatu perkawinan yang sah, dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain.
Para ulama ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir
karena perbuatan zina & li’an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat
dikelompokkan menjadi tiga pendapat. Adapun dasar hukum terdapat pada surat An Nisa’
ayat 11,12,7 dan juga terdapat pada hadis Sunan Al Turmudzi dan Sunan Abu Dawud.
DAFTAR PUSTAKA

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cetakan Pertama
November
Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis),
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993),.
Hj. Wahidah, Buku Ajar Fiqih Waris, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014)
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994),
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 148.
1
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2009), 137.
Fathur Rohman, Ilmu Waris (Bandung, Al-Ma’arif,1971), 222.
1
Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Nayl al-Authar Juz VI, (Kairo: Dar Ibnu Jauzi, tt).
184.
Jabal Alamsyah, Sumber Pensyari’atan Mawarits (Brunei Darussalam, 2011), 21.
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008),
80.
1
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukun Waris di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), 58.
1
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, 406-410.
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi
Publishing,JakartaCet. III 2011, hlm. 402
Http://www.badilag .net/data/artikel/wacana/20 hukum/20islam/status hukum dan hak
anak.pdf.
1
Damrah Khair, Op. Cit, h. 140.

kitab Tahaffah al-Ahwaszy, Syarh al-Turmuzy.

Anda mungkin juga menyukai