Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADITS-HADITS SHOHIH TENTANG HAK ASUH/PENGASUHAN


Diajukan sebagai tugas mata kuliah Hadits Ahkam

Dosen Pengampu: Hairillah, M.H

Oleh :

Kelompok 7
Jati Esa Wahdini : 2121508049

Feby Ine Fakciyun : 2121508050

Galuh Swi Ardi W : 2121508051

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI`AH (FASYA)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS

SAMARINDA 2022

1
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayahNya serta kesehatan kepada kita semua sehingga saya penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. beliau telah berhasil
membawa kita dari kehidupan yang anarkis menuju kehidupan yang harmonis. Semoga
kita selalu mendapatkan syafa’at dan pertolongan beliau, baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Amin.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah hadits ahkam di mana
makalah ini membahas tentang “ hadits-hadits sohih tentang hak asuh atau pengasuhan "
kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran dari banyak pihak sangat saya harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membaca dan memahami makalah ini, kami harapkan makalah ini dapat bermanfaat dan
mampu menambah wawasan bagi kita semua.

Samarinda, 16 April 2022


Penyusun
Kelompok 7

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................4
B.Rumusan Masalah ...........................................................................................5
C. Tujuan Masalah.........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadana ....................................................................................6
B. Dalil atau hadits tentang hadanah ....................................................7
C. Pendapat ulama mengenai hadanah .........................................................11
D.Syarat mendapatkan hak asuh anak....................................................13
E. Masa berakhir hadanah.......................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................17
B. Saran...........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................18

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Secara garis besar hadhanah mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang
belum atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri, menjaga dari hal-hal yang
membahayakan, memberinya pendidikan fisik ataupun psikis, dan mengembangkan
kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawabnya sendiri.
Pemeliharaan seorang anak sangat penting untuk dilaksanakan, baik oleh
ibunya ataupun dari bapaknya, akan tetapi sering terjadi pendidikan anak di nomor

3
duakan dari sebuah pekerjaan yang dianggap lebih penting yang merupakan tuntunan
untuk dirinya dan keluarganya, sehingga tidak jarang terjadi pengasuhan, endidikan
seorang anak terlantar disebabkan karena kedaan yang tidak memungkinkan atau bahkan
dengan sengaja dikesampingkan
Untuk itu perlu adanya kewajiban dalam pengasuhan anak tersebut, kita
sebagai insan yang berpengetahuan sangat penting kiranya kita membahas tentang
hadhanah atau pemeliharaan anak sejak ia ahir sehingga seseorang
tidak perlu membutuhkan jasa orang lain dalam urusan keperluannya sendiri.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu hadhanah?
2. Apa saja hadits yang terkait tentang hadhanah ini?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang hadhanah ini?
4. Apa saja syarat untuk mendapatkan hak asu anak?
5. Kapan hadhanah itu berakhir?

C. Tujuan masalah
1. Mengetahui yang di maksud dengan hadanah atau hak asuh anak

2. Mengetahui dalil mengenai hadanah

3. Memahami penjelasan atau pendapat para ulama terkait hadanah

4. Mengerti syarat - syarat untuk mendapatkan hak asuh anak

5. Mengetahui masa hadanah berakhir

4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian hadanah
Dalam bahasa Indonesia, “kata pengasuhan” diambil dari kata “asuh”,
artinya menjaga, merawat dan mendidik anak kecil. Sedangkan pengasuhan sendiri
memiliki arti sebagai suatu proses dan cara, atau perbuatan mengasuh. Sedangkan anak
diartikan sebagai keturunan yang kedua, atau manusia yang masih kecil.1
Secara bahasa al-hadhanah ( (‫الحضانة‬adalah mendidik dan mengurus anak-
anak. Diambil dari kata ‫ ا‬yang bermakna di sisi, karena Pendidikan dan pengurus
merapatkan anak-anak di sisinya. Kata ((‫ الحضن‬dan ((‫ الحاضنة‬adalah laki-laki atau
perempuan yang diserahi (hak asuh) untuk menjaga dan mengurusi anak. Secara syariat,
hadhanah (mengasuh anak) adalah menjaga anak-anak yang belum bisa membedakan
(tamyiz) dan belum mandiri, dan mendidiknyadengan pendidikan yang memperbaiki
jasmani dan rohaninya, serta menjaganya dari apa yang berbahaya baginya.2
Para ulama fiqh mendefinisikan, hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.3
Apabila perceraian terjadi antara suami istri yang telah berketurunan, yang
berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istri, ibu anak-anak. Karena wanita lebih

1
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Phoenix, 2012), h.19.
2
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Al Fiqh al-Muyassar , Terjemah Izzudin Karim Fiqh Muyassar
(Jakarta : Darul Haq), h.534-535.
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta : Kencana, 2003),h.175-176.

5
mampu dari laki-laki untuk mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia sekian
itu, dan juga lebih lemah lembut dan lebih sabar, lebih tekun dan lebih banyak waktunya.4

B. Hadist Tentang Hadhanah


1. Hadist 1

ُ ‫ ( يَا َر‬: ْ‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما; َأنَّ اِ ْم َرَأةً قَالَت‬


‫سو َل هَّللَا ِ! ِإنَّ اِ ْبنِي َه َذا‬ ِ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن َع ْم ِر ٍو َر‬
ْ‫ َوَأ َرا َد َأن‬,‫ َوِإنَّ َأبَاهُ طَلَّقَنِي‬,‫ َو ِح ْج ِري لَهُ ِح َوا ًء‬,‫سقَا ًء‬ ِ ُ‫ َوثَ ْديِي لَه‬,‫َكانَ بَ ْطنِي لَهُ ِوعَا ًء‬
ُ‫ َر َواه‬ ) ‫ َما لَ ْم تَ ْن ِك ِحي‬,‫ق بِ ِه‬ ُّ ‫ت َأ َح‬ِ ‫سو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم َأ ْن‬ ُ ‫يَ ْنتَ ِز َعهُ ِمنِّي فَقَا َل لَ َها َر‬
َ ‫ َو‬,َ‫ َوَأبُو دَا ُود‬,ُ‫َأ ْح َمد‬
‫ص َّح َحهُ اَ ْل َحا ِك ُم‬
Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya
minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku
ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.5

a.      Penjelasan Kalimat
Wi'a disebut juga dengan I'aa' yang berarti tempat, sebagaimana dalam Al-
Qamus, Siqaa' wazannya sama dengan Kisaa' artinya: kulit anak domba apabila
digunakan untuk menyimpan air dan susu seperti yang terdapat dalam
"Kamus", Hijri yaitu pengasuhan seseorang. Hiwa' tempat untuk mengumpulkan dan
menampung.

b. Tafsir Hadist

Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya,
jika bapak ingin merebutnya darinya, wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-
sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya
sendiri, bahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menetapkan dan memutuskan hukum

4
Zakariya Ahmad al-Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h.51.
5
Abu Dawud Sulaiman ibn asy‟az al-Azdii as-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Asy-Syifa‟, 1992), h.150.

6
sesuai dengan keinginannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa alasan dan tujuan-tujuan
utama dipertimbangkan dalam menetapkan hukum; karena lahir dari fitrah manusia.

Tidak ada perbedaan ulama dalam menetapkan hukum berkaitan dengan hadits ini, Abu
Bakar dan Umar memutuskan perkara berdasarkan hadits ini, Ibnu Abbas berkata,
"Udara, kasur, kebebasan yang diberikan seorang ibu lebih baik daripada bapak sampai
anaknya dewasa (baligh) dan memilih di antara keduanya." (HR. Abdurrazzaq) pada
sebuah kisah.
Hadits ini menunjukkan juga apabila seorang ibu tersebut menikah lagi, maka gugurlah
haknya untuk mengasuh anaknya, inilah pendapat jumhur ulama.
Ibnul Mundzir berkata, "Ulama berijma' berdasarkan hadits ini." Al-Hasan dan Ibnu
Hazm berpendapat tidak gugur haknya mengasuh walaupun ia menikah lagi; berdasarkan
pada kasus shahabat seperti Anas bin Malik tetap bersama ibunya walaupun ia menikah
lagi, demikian juga Ummu Salamah yang menikah lagi, anaknya tetap ia asuh. Demikian
juga anak perempuan Hamzah, yang diputuskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar
diasuh bibinya (dari bapak) sedangkan ia sudah menikah lagi. Lalu berkomentar: hadits
Ibnu Amar tersebut masih diperdebatkan, karena sebetulnya adalah lembaran, sebab ada
yang berpendapat: hadits Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya adalah lembaran
catatan.
Pendapat ini dibantah, bahwa para Imam Ahli ilmu menerima dan mengamalkan hadits
Amr bin Syu'aib, seperti: Al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Al-Madini, Ishaq bin Rahawaih dan
lainnya; maka jangan pedulikan pendapat mereka. Sedangkan kisah-kisah di atas yang
dijadikan sebagai dalil, belum bisa dijadikan dalil kecuali ada tuntutan dan pertentangan.
Orang yang ingin mengasuhnya, ketika tidak ada pertentangan dan tuntutan dari yang
lainnya; maka ibunya (walaupun) menikah lagi lebih berhak untuk mengasuh anaknya,
dan juga tidak disebutkan dalam kisah-kisah tersebut adanya pertentangan, maka hal itu
tidak bisa dijadikan dalil atas anggapan yang mereka kemukakan.

2. Hadist 2

‫سو َل هَّللَا ِ! ِإنَّ َز ْو ِجي‬ُ ‫ ( يَا َر‬: ْ‫َوعَنْ َأبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأنَّ اِ ْم َرَأةً قَالَت‬
,‫سقَانِي ِمنْ بِْئ ِر َأبِي ِعنَبَةَ فَ َجا َء َز ْو ُج َها‬ َ ‫يُ ِري ُد َأنْ يَ ْذ َه‬
َ ‫ َو‬,‫ َوقَ ْد نَفَ َعنِي‬,‫ب بِا ْبنِي‬
7
‫ فَ ُخ ْذ بِيَ ِد َأيُّ ُه َما‬, َ‫فَقَا َل اَلنَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم يَا ُغاَل ُم! َه َذا َأبُوكَ َو َه ِذ ِه ُأ ُّمك‬
َ ‫ فَا ْن‬,‫شْئتَ فََأ َخ َذ بِيَ ِد ُأ ِّم ِه‬ 
‫طلَقَتْ بِ ِه‬ ِ
َ ‫ َو‬,ُ‫ َواَأْل ْربَ َعة‬,ُ‫َر َواهُ َأ ْح َمد‬
ُّ ‫ص َّح َحهُ اَلتِّ ْر ِم ِذ‬
‫ي‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai
Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan
mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari
yang engkau kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi.
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidi
a.      Penjelasan Kalimat
Hadits ini dishahihkan juga oleh Ibnu Al-Qaththan.
b.      Tafsir Hadits
Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang anak-anak ketika bisa mandiri
diajukan dua pilihan antara ikut dengan ibunya atau bapaknya. Dalam masalah ini ulama
berbeda pendapat: sebagian kecil ulama berpendapat bahwa anak itu diajukan pilihan
antara memilih ibu atau bapaknya mengamalkan hadits ini, inilah pendapat Ishaq bin
Rahawaih, batasan umur untuk diajukan pilihan itu mulai dari usia tujuh tahun. Ai-
Hadawiyyah dan Al-Hanafiyyah berpendapat bahwa anak itu tidak diberikan untuk
memilih, mereka berkata, "Ibu lebih berhak mengasuh sampai anaknya bisa mandiri,
apabila sudah mandiri, bapak lebih berhak mengasuh anak laki-laki dan ibu mengasuh
anak perempuan." Malik sependapat untuk diberikan hak memilih, hanya saja berkata,
"Ibu lebih berhak mengasuh anak-anak, baik yang laki-laki maupun perempuan."
Ada yang berpendapat: sampai anaknya mencapai usia baligh. Dalam
masalah ini, ada yang menjelaskan secara rinci, tapi semua itu tidak berdasarkan pada
dalil. Sedangkan yang berpendapat tidak diberikan pilihan berdasarkan pada makna
umum hadits tersebut yaitu "Kamu lebih berhak selama belum menikah" mereka
menambahkan: seandainya diberikan pilihan kepada anak-anak, tentu ibu tidak berhak
untuk mengasuhnya.

8
Pendapat itu dibantah; walaupun dalam masalah ini, waktunya bersifat umum atau
mutlak, namun hadits memberikan pilihan ini; mengecualikan atau mengkhususkannya.
Ini merupakan penggabungan yang baik antara kedua dalil tersebut. Jika si anak tidak
memilih salah satu kedua orangtuanya, ada yang berpendapat: Ibunya lebih berhak
mengasuhnya tanpa harus diundi sebelumnya; karena mengasuh itu merupakan haknya,
dan berpindah kepada yang lainnya berdasarkan kerelaannya, maka ketika ia tidak
memilih ke salah satunya, diserahkan pengasuhannya kepada Ibunya

C. Pendapat para ulama mengenai hadanah

Para ulama lima madzhab berpendapat, hadhanah memang merupakan perkara


pengasuhan, pendidikan, dan penjagaan kepada anak kecil oleh wanita pengasuh. Namun
para ulama dari lima madzhab tersebut berbeda pendapat mengenai lamanya masa asuhan
seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu, syarat-syarat pengasuh, hak atas upah,
hingga hal lainnya yang melingkupi perkara tersebut.
Misalnya, dalam buku Fiqih Lima Madzhab karya Muhammad Jawwad Mughniyah,
agama mengatur siapa-siapa saja yang berhak mengasuh anak apabila seorang ibu tidak
mampu mengasuh anaknya. Madzhab Hanafi misalnya berpedoman dari beberapa aspek
yang menyertai ketetapannya.
Dijabarkan apabila hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu,
ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu
maka hak hadhanah-nya dapat diberikan. Begitu juga pada saudara-saudara perempuan
seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, anak perempuan dari saudara
seibu, dan seterusnya hingga pada garis bibi dari pihak ibu dan ayah.

- madzhab Maliki

9
hak asuh dapat diberikan apabila itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibnya
ibu dan seterusnya ke atas. Lalu kepada saudara perempuan ibu sekandung, saudara
perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara
perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu ibunya
ayah, hingga ibu bapaknya ayah dan seterusnya.

- Madzhab imam syafi'i

mengatur hak atas asuhan secara berturut-turut meliputi ibu, ibunya ibu dan seterusnya
hingga ke atas. Namun dengan syarat, kesemua garis keturunan tersebut adalah mereka
yang pewaris-pewaris si anak.
Kemudian hak asuh juga dapat diberikan kepada ayah, ibunya ayah, ibu dan ibunya ayah,
hingga keturunan ke atasnya. Dengan syarat yang sama, bahwa mereka juga merupakan
pewaris-pewaris si anak pula. Selanjutnya barulah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan
disusul kerabat-kerabat dari ayah.

- Madzhab hambali

hak asuh berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu-
ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan
seibu. Kemudian hak asuh bisa juga diberikan pada saudara perempuan seayah, saudara
perempuan ayah sekandung, seibu, dan seterusnya.

- perspektif dalam madzhab imamiyah

Imamiyah yang menyebutkan bahwa hak asuh dapat diberikan kepada beberapa orang
yang berhak, antara lain ibu dan ayah. Jikalau ayah si anak meninggal atau menjadi gila
sesudah asuhan diserahkan kepadanya dan sang ibu masih hidup, maka hak asuh
diserahkan kepada ibu.
Dalam perspektif Madzhab Imamiyah, ibu adalah orang yang paling berhak mengasuh si
anak jika dibandingkan dengan seluruh kerabat termasuk kakek dari pihak ayah. Namun
begitu apabila kedua orangtua si anak meninggal, maka asuhan beralih ke tangan kakek
dari pihak ayah.

10
Islam bukanlah agama yang mengekang, namun agama yang memberikan tuntunan untuk
memudahkan dan menjaga nilai-nilai kehidupan bagi kelangsungan peradaban. Ketika
anak lahir, maka hak-haknya telah dijamin dan harus dipenuhi oleh orang-orang yang
berada di sekitarnya. Hak-hak anak inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab bagi
orang-orang yang telah ditentukan oleh para ulama berdasarkan madzhabnya.6

D. Syarat mendapatkan hak asuh anak dalam islam dan negara

1. Syarat dalam islam

syarat umum dan syarat khusus. Ini berlaku baik bagi hadhinah (pengasuh anak perempuan)
maupun hadhin (pengasuh anak laki-laki).

Syarat umum hadhin dan hadhinah adalah islam, baligh, berakal, amanah, penuh tanggung
jawab, mampu memenuhi segala kebutuhan anak dengan baik, tidak memiliki penyakit yang
berbahaya atau menular, dan memiliki kecakapan dalam mengatur harta. Sedangkan syarat
khusus hadhin dan hadhinah berbeda.

Bagi hadhin, sebaiknya dia mahram bagi anak yang diasuh. Maka tidak ada hadhanah anak
perempuan kepada saudara sepupu laki-laki (anak paman) karena boleh menikah diantara
keduanya. Imam Malik juga menetapkan syarat khusus yakni, hadhin hendaknya memiliki
anggota keluarga perempuan yang bisa membantu dalam menjalankan hak asuh anak. Istrinya,
atau dia menyewa jasa asisten rumah tangga. Terakhir, nadhin diharuskan tinggal menetap (tidak
musafir)

Sementara syarat khusus hadhinah ada dua. Pertama, hadhinah tidak memiliki suami yang tidak
ada hubungan mahram dengan anak. Karena dikhawatirkan hadhinah akan sibuk mengurusi hak-
hak suaminya dan meninggalkan hak yang harus ia penuhi terhadap anak dalam pengasuhannya

6
Muhammad Hafil "Aturan hak asuh anak dalam islam" https://www.republika.co.id › berita › aturan-mengasuh...
(di akses pada tanggal 16 April 2022 , pukul 08.32)

11
Kedua, jika hadhinah bukan ibu kandung, maka tetap hak menyusui ada pada ibu kandungnya
jika masih ada. Sehingga dalam hal ini hadhinah tidak menerima hak sebagai ibu susu dari anak
lantarann ibu telah menikah lagi dengan orang lain.7

2. Syarat dan prosedur dalam negara

penetapan hak asuh anak yang ada pada KHI itu tidak berlaku secara mutlak. Banyak kasus
perebutan hak anak yang belum mumayyiz berakhir dengan keputusan hakim yang
memberikannya kepada pihak ayah. Keputusan itu dilakukan oleh hakim dengan
mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti yang terungkap di pengadilan.

Prosedur dan Syarat Pengajuan Hak Asuh Anak Ketika Bercerai

Keputusan terkait hak asuh anak kepada salah satu orang tua, seperti yang telah disebutkan,
dilakukan lewat keputusan pengadilan. Untuk mantan pasangan yang beragama Islam, prosesnya
dilakukan di Pengadilan Agama. Sementara itu, untuk mantan pasangan yang beragama selain
Islam, pengurusannya dilakukan di Pengadilan Negeri.

Untuk proses pengurusan pengajuan hak asuh anak, baik di Pengadilan Agama ataupun
Pengadilan Negeri, Anda harus melengkapi syarat yang diperlukan, yakni:

1. Surat pengajuan permohonan hak asuh ke pengadilan

2. Fotokopi kutipan akta cerai

3. Fotokopi akta kelahiran anak

4. Biaya perkara

Setelah melengkapi syarat yang diperlukan, Anda juga perlu mengikuti prosedur pengajuan hak
asuh anak yang berlaku di pengadilan. Prosedur tersebut adalah:

1. Pembuatan surat gugatan tertulis ke pengadilan;


7
Muhammad Hafil " Syarat yang Diperlukan Bagi Pengasuh Anak Menurut Islam"Islamhttps://www.republika.co.id
( di akses pada 16 april 2022 , pukul 10.26)

12
2. Pengajuan gugatan hak asuh anak, ditujukan ke pengadilan yang ada di wilayah kediaman
tergugat. Kalau penggugat tak mengetahui domisili tergugat, pengajuan dapat dilakukan di
pengadilan di wilayah domisili penggugat;

3. Pemberian nomor registrasi oleh panitera setelah pembayaran biaya perkara dilakukan;

4. Penentuan majelis hakim oleh panitera;

5. Pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk menghadiri sidang

Selanjutnya, ada beberapa tahapan persidangan yang harus Anda lalui, yakni8

1. Usaha mediasi yang dilakukan oleh hakim kepada kedua pihak pada sidang pertama;

2. Pembacaan surat gugatan atau permohonan hak asuh anak oleh pemohon atau penggugat;

3. Jawaban atas surat permohonan atau gugatan yang dilakukan oleh termohon atau tergugat;

4. Tahapan replik dan duplik dari masing-masing pihak penggugat atau pemohon dan tergugat
atau termohon;

5. Pembuktian oleh pihak penggugat atau pemohon dan tergugat atau termohon;

6. Kesimpulan dari masing-masing pihak;

7. Musyawarah Majelis Hakim; dan

8. Pembacaan putusan oleh Majelis Hakim

E. Batas masa Hadhanah

Di dalam Alquran serta hadits secara tegas tidaklah terdapat tentang masa hadanah, hanya saja
terdapat isyarat yang menerangkan ayat tersebut, oleh karena itu para ulama berijtihad sendiri -
sendiri dalam menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat - isyarat itu

Adapun mengenai lamanya masa atau batas masa hadanah berikut ini ada beberapa pendapat
yang mengemukakan mengenai batas masa hadanah antara lain :

1. Pendapat madzhab

8
SONLAWYERS " syarat dan prosedur hak asuh anak" https://sonlawyers.com (di akses pada 16 april 2022 , pukul
12.24)

13
Madzhab hanafi, syafi'i dan hanbali mengatakan bahwa lamanya masa atau batas masa hadanah
adalah sampai anak berusia tujuh atau delapan tahun

2. Mazhab Maliki

mengatakan bahwa lamanya masa atau batas masa hadhanah adalah sampai anak baligh dan
hingga ia menikah

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 98 menyebutkan bahwa:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 th , sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan

2. Orang tuanya mewakili anak tesebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan
kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya Tidak mampu

Dalam pasal 105 disebutkan bahwa dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun Adalah hak ibunya

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya

1. Apabila terjadi perceraian antara suami istri atau kematian salah satu pihak dan didalam
perkawinan itu terdapat seorang anak atau lebih, Maka pemeliharaan atau pengasuhan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun menjadi tanggung jawab ibunya. Penempatan
ibu sebagai orang yang lebih berhak dalam melakukan hadhanah atau Pemeliharaan anak
dibanding pengasuh lainnya sebagaimana yang terdapat dalam KHI sesuai dengan Hadits yang
menyatakan bahwa ibu lebih berhak terhadap anak

2. Anak yang telah berusia 12 tahun atau sudah mumayyiz, maka anak dibebaskan untuk
memilih tinggal bersama ayah atau ibunya. Ketentuan batas usia mumayyiz anak dalam KHI
berbeda dengan batas usia mumayyiz anak menurut pendapat Mazhab dan Undang-Undang

14
3. Apabila terjadi perceraian dan anak yang diasuh masih berumur dibawah 12 tahun berada
dalam pengasuhan ibunya, bukan berarti ayah terbebas dari tanggung jawabnya terhadap biaya
pemeliharaan anak.

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawab hal ini di akibatkan karna perpisahan atau perceraian dari orang tua

Penjelasan dari Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud merupakan dalil bahwa seorang ibu
lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya, wanita dalam
hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan
keutamaannya mengasuh anaknya sendiri

Imamiyah yang menyebutkan bahwa hak asuh dapat diberikan kepada beberapa orang yang
berhak, antara lain ibu dan ayah. Jikalau ayah si anak meninggal atau menjadi gila sesudah
asuhan diserahkan kepadanya dan sang ibu masih hidup, maka hak asuh diserahkan kepada ibu.

Syarat umum hadhin dan hadhinah adalah islam, baligh, berakal, amanah, penuh tanggung
jawab, mampu memenuhi segala kebutuhan anak dengan baik, tidak memiliki penyakit yang
berbahaya atau menular, dan memiliki kecakapan dalam mengatur harta. Sedangkan syarat
khusus hadhin dan hadhinah berbeda.

B. Saran

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Demikian yang dapat
saya sampaikan, semoga saja makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

15
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Phoenix, 2012), h.19.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Al Fiqh al-Muyassar , Terjemah Izzudin Karim Fiqh
Muyassar (Jakarta : Darul Haq), h.534-535.

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta : Kencana, 2003),h.175-176.

Zakariya Ahmad al-Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977),
h.51.

Abu Dawud Sulaiman ibn asy‟az al-Azdii as-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Asy-Syifa‟, 1992),
h.150.

Muhammad Hafil "Aturan hak asuh anak dalam islam" https://www.republika.co.id › berita ›
aturan-mengasuh... (di akses pada tanggal 16 April 2022 , pukul 08.32)

Muhammad Hafil " Syarat yang Diperlukan Bagi Pengasuh Anak Menurut
Islam"Islamhttps://www.republika.co.id ( di akses pada 16 april 2022 , pukul 10.26)

16

Anda mungkin juga menyukai