MAKALAH MUAMALAH Kel 2
MAKALAH MUAMALAH Kel 2
Akad Jual Beli (Salam, Ishtishna, Murabahah, Ba’i Al-Waqf, dan Ba’i Bidhamanil
Ajil)
Oleh Kelompok IV :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Muamalah tentang
Akad jual beli(Salam, Ishtishna, Murabahah, Ba’i Al-Waqf, dan Ba’i Bidhamanil Ajil)
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya makalah ini tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari penyusunan
hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah
hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
D. Murabahah........................................................................................................................22
E. Bai’ Al-Wafa’...................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................46
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah akad berasal dari bahasa Arab yakni al-‘Aqd. Secara bahasa kata al-‘Aqd, bentuk
masdarnya adalah ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqûd yang berarti perjanjian (yang
tercatat) atau kontrak.1 Di dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, al-‘aqd memiliki arti
perikatan, perjanjian, dan per mufakatan (al-ittifaq).2 Dalam kaidah fikih, akad didefinisikan
sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan sehingga
terjadi perpindahan pemilikan dari satu pihak kepada pihak yang lain. 3 Adapun pengertian
akad menurut istilah, ada beberapa pendapat di antaranya adalah Wahbah al-Zuhaylî dalam
kitabnya al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad
adalah hubungan/keterkaitan antara ijâb dan qabûl atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’
dan memiliki implikasi hukum tertentu.4 Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa
akad adalah perikatan antara ijâb dengan qabûl yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.5 Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad
adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan
masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka
yang berakad. Landasan akad mengacu kepada firman Allah Swt. dalam Alquran,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” (Q.S. Al-Mâidah [5]:1).
2. Definisi Jual Beli
Jual beli ialah menukar sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan berdasarkan pendapat
istilah ialah menukar harta dengan harta berdasarkan pendapat cara-cara yang telah di
tetapkan-syara’. Hukum jual beli ialah halal atau boleh. dalam Kitab Kifayatul Ahyar
disebutkan Definisi Jual beli berdasarkan pendapat bahasa ialah: “memberikan sesuatu
karena ada pemberian (imbalan tertentu)”.6
Berdasarkan pendapat Syeh Zakaria al-Anshari jual beli ialah: “Tukar menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sayyid sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah menerangkan
jual beli secara etimologi bahwa jual beli berdasarkan pendapat Definisi lughawiyah ialah
saling menukar (pertukaran)”.7
Sedangkan berdasarkan pendapat Hamzah Ya’qub dalam bukunya‚ Kode Etik Dagang
Berdasarkan pendapat Islam menjelaskan: “jual beli berdasarkan pendapat bahasa yakni
‚menukar sesuatu dengan sesuatu”.8
Dari defnisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli merupakan suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang yang memiliki nilai secara sukarela diantara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau peraturan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
3. Dasar -Dasar Jual Beli
Jual beli sebagai sarana saling membantu anatara sesama Insan mempunyai landasan
yang kuat dalam Al quran dan Hadits. Terdapat dalam beberapa ayat Al quran yang
membahas tentang jual beli, antara lain:
Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 275,
“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali
seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi
karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai
kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa
yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka
kekal di dalamnya.”
Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 282,
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat (-nya) dan
orang yang berutang itu mendiktekan (-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang
yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri,
hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi
laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-
laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi
(yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu
bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang
demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat
mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian),
sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 29,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di
antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
4. Syarat-Syarat Jual Beli
Adapun syarat jual beli harus sesuai rukun jual beli sebagaimana berdasarkan pendapat
jumhur ulama, sebagai berikut:
1) Syarat orang yang sedang berakad antara lain berakal maksudnya orang gila atau
orang yang belum mumayiz tidak sah dan yang mengerjakan akad tersebut harus
orang yang bisa membedakan antara baik dan buruk, bermanfaat atau berbahaya
untuk dirinya maupun orang lain.
2) Syarat yang berhubungan dengan ijab dan qabul, semua ulama sepakat unsur utama
dalam jual beli yakni kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat
dilihat dari ijab dan qabul. Para ulama’ fiqih berpendapat syarat-syarat dalam ijab
qabul di antaranya: orang yang mengucapkan telah balig dan berakal, qabul yang
dilaksanakan harus sesuai ijab, ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis.
3) Syarat barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih), antara lain: barang ada atau
tidak ada di tempat tapi penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan
barang tersebut, dapat berfungsi atau difungsikan.
4) Barang sudah ada pemiliknya, boleh diserahkan pada saat akad berlangsung atau
waktu yang ditentukan ketika transaksi berlangsung.
5) Syarat nilai tukar (harga barang), tergolong unsur yang mendasar dalam jual beli ialah
nilai tukar, dan kebanyakan manusia memakai uang. Terkait dengan nilai tukar Para
ulama fiqih membedakan al-staman dengan al-si’r. Staman ialah harga pasar yang
berlaku di tengahtengah masyarakat, al-sir ialah modal barang yang seharusnya
diterima semua pedagang sebelum dijual ke konsumen. Syarat-syarat staman sebagai
berikut: harga yang disepakati harus jelas jumlahnya, boleh diberikan pada waktu
akad, jika jual beli almuqoyadah (saling mempertukarkan barang) maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’”.9
5. Rukun –Rukun Jual Beli
Rukun secara umum ialah suatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan. Dalam
jual beli berdasarkan pendapat ulama Hanafiah yang terdapat dalam bukunya Abdul
Rahman Ghozali rukun jual beli ialah ijab dan qabul yang menunjukan sikap saling tukar,
atau saling memberi. Rukun dalam jual beli berdasarkan pendapat ulama Hanfiah ada dua
yakni ijab dan qobul. Sedangkan berdasarkan pendapat jamhur ulama’ rukun jual beli
harus mencakup empat macam, antara lain:
a. Akidain (penjual dan pembeli).
b. Ada barang yang dibeli.
c. Sighat (lafadz ijab dan qabul).
d. Ada nilai tukar pengganti barang”.10
6. Prinsip-Prinsip Jual Beli
Dalam prinsip-prinsip Jual beli, memiliki kaidah diantaranya ialah:
a. Prinsip keadilan
Berdasarkan pendapat Islam adil merupakan aturan paling utama dalam semua aspek
perekonomian”.11Salah satu ciri keadilan ialah tidak memaksa manusia membeli
barang dengan harga tertentu, jangan ada monopoli, jangan ada permainan harga,
serta jangan ada cengkeraman orang yang bermodal kuat terhadap orang kecil yang
lemah.
b. Suka sama suka
Prinsip ini merupakan kelanjutan dari asas pemerataan, asas ini mengakui bahwa
setiap format muamalah antar pribadi atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan
masing-masing, kerelaan disini dapat berarti kerelaan mengerjakan suatu format
muamalat, maupun kerelaan dalam menerima atau memberikan harta yang dijadikan
objek dalam format muamalat lainnya”.12
c. Bersikap benar, amanah, dan jujur
1) Benar: Benar ialah merupakan ciri utama orang mukmin, bahkan ciri pada Nabi.
Tanpa kebenaran, agama tidak bakal tegak dan tidak bakal stabil. Bencana
terbesar di dalam pasar saat ini ialah meluasnya tindakan dusta dan bathil,
misalnya berdusta dalam mempromosikan barang dan menetapkan harga, oleh
sebab itu salah satu karakter pedagang yang urgen dan diridhai oleh Allah ialah
kebenaran. Karena kebenaran menyebabkan berkah bagi penjual maupun pembeli,
andai keduanya bersikap benar dan mau menjelaskan kelemehan barang yang
diperdagangkan maka dua-duanya mendapatkan berkah dari jual belinya. Namun
andai keduanya saling menutupi aib barang dagangan itu dan berbohong, maka
andai mereka mendapat laba, hilanglah berkah jual beli itu”.13
2) Amanah
Maksud amanat ialah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak
mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak meminimalisir hak orang lain, baik
berupa harga atau upah Dalam berniaga dikenal dengan istilah” memasarkan
dengan “amanat” seperti menjual murabaha “ maksudnya, penjual menjelaskan
ciri-ciri, kualitas,dan harga barang dagangan kepada pembeli tanpa melehi-
lebihkannya. Di dalam hadist Qutdsi, Allah berfirman: “Aku ialah yang ketiga
dari dua orang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak menghianati
temannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, aku keluar dari mereka”.14
3) Jujur (setia): disamping benar dan amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur,
dilandasi suapaya orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan
sebagaimana ia menginginkannya dengan menjelaskan cacat barang dagangnya
yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli. Salah satu sifat curang ialah
melipatkan gandakan hargaterhadap orang yang tidak mengetahui harga pasaran.
Pedagang mengelabui pembeli dengan memutuskan harga diatas harga pasaran.
d. Tidak mubazir (boros)
Islam mengharuskan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi keperluan diri pribadinya dan keluarganya serta menafkahkannya dijalan
Allah dengan kata lain, Islam ialah agama yang memerangi kekikiran dan kebatilan.
Islam tidak mengizinkan tindakan mubazir sebab Islam mengajarkan agar konsumen
bersikap sederhana
e. Kasih sayang
Kasih sayang dijadikan lambang dari risalah Muhammad SAW, dan Nabi
sendiri menyikapi dirinya dengan kasih sayang beliau bersabda “Saya ialah seorang
yang pengasih dan mendapat petunjuk”. Islam mewajibkan mengasih sayangi manusia
dan seorang pedagang jangan hendaknya perhatian umatnya dan tujuan usahanya
untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya Islam ingin mengatakan dibawah
naungan norma pasar, kemanusiaan yang besar menghormati yang kecil, yang kuat
membantu yang lemah, yang bodoh belajar dari yang pintar, dan manusia menentang
kezaliman”.15
7. Macam-Macam Jual Beli
Untuk macam-macam jual beli, kami akan meninjaunya menjadi lebih khusus
dari segi pembahasan materi Objek jual beli, antara lain:
1. Akad Salam
2. Akad Istisna’
3. Akad Murabahah
4. Akad Bai’ Al-Waqf
5. Akad Bai’ Bidhamanil ‘Ajil
Berkenaan dengan syarat salam, para ulama telah menetapkan beberapa kriteria.
Pertama, pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi salam telah menetapkan sifat-sifat
benda yang ditransaksikan. Kedua, benda-benda yang ditransaksikan memiliki harga
jual yang berbeda. Ketiga, diketahui ukuran benda yang diakadkan dalam salam,
apakah melalui berdasarkan timbangan atau bilangan. Keempat, waktu penyerahan
barang yang ditangguhkan harus disepakati dan ditentukan. Kelima, barang harus bisa
dihadirkan pada tempat yang telah disepakati. Keenam, benda yang telah diakad harus
dihadirkan pada majelis akad.26 Sedangkan rukun salam adalah yang berakad yaitu
penjual dan pembeli, ada uang dan barang, dan ada shighat yakni ijab-kabul.27
1. Dasar Hukum
Dasar hukum yang dijadikan pijakan untuk secara spesifik tidak diketemukan,
hanya para ulama dalam menetapkan ketentuan tentang bay' al-salam adalah
berdasarkan kepada keumuman ayat yang terdapat pada QS 2: 282 :"Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya28.
Sementara itu, dasar hukum dibolehkannya bay’ istishna' tidak ada ditemui
baik di dalam Alqur'an maupun Hadis, dan tidak pula ada keterangan para imam
mazhab yang menghubungkan dalil-dalil istisna kepada kedua sumber tersebut. Untuk
itu, para imam mazhab memberikan komentar dan argumentasi yang berbeda dalam
melegitimasi jenis jual beli ini, sehingga di antara mereka ada yang menyatakan
kebolehannya dan ada pula sebagian di antara mereka yang melarangnya sama sekali
dengan mengajukan argumen yang dianggapnya tepat berdasarkan pemahaman
semangat ajaran Islam dalam bidang muamalah.
Kalangan ulama Hanafiyah melegitimasi jual beli ini berdasarkan istihsan29 yaitu
perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang
lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. Menurut
mazhab Hanafi, transaksi istishna' adalah sesuatu yang baik menurut ijtihad, karena
transaksi ini telah berlangsung dan menjadi kebutuhan di tengah-tengah masyarakat.30
Sedangkan Jumhur ulama memandang bahwa jual beli istishna' masuk dalam
kelompok jual beli salam. Mereka menganalogikan istishna' dengan salam.14
Ketika istisna' berkaitan dengan memproduksi barang tertentu seperti alat-alat
pertanian, mesin pabrik dan kendaraan, maka apakah akad jual beli ini didasarkan
kepada bendabenda yang diproduksi atau kepada kerja si pekerja. Kalangan
Hanafiyah menyatakan bahwa akad istisna' dihubungkan kepada barang-barang yang
diproduksi.31
9. Transaksi Modern
Di masa modern ini telah berkembang dengan pesat modelmodel transaksi jual
beli seperti melalui internet yang dibayar melalui kartu kredit atau ATM. Jual beli ini
telah menjadi trend di dunia bisnis. Jika diamati, ada beberapa perkembangan yang
muncul dari transaksi jual beli pada masa moderen ini. Pertama, negosiasi dilakukan
melalui sistem komunikasi internet atau telepon. Penjual dan pembeli melakukan deal
melalui internet. Jenis, jumlah dan harga barang ditawarkan melalui internet,
kemudian pembeli melakukan negosiasi melalui media yang sama pula. Boleh
dikatakan mereka hampir tak pernah berjumpa. Kedua, pembeli secara umum
membayar harga dari barang yang dipesan lebih awal, kemudian si penjual mengirim
barang-barang yang dipesan menurut waktu yang disepakati.
Pertanyaannya adalah bagaimana keabsahan transaksi jual beli ini menurut
hukum Islam. Jika diamati jenis jual beli yang telah disebutkan di atas, maka jual beli
ini termasuk mu'amalah yang tidak tunai karena pembeli membayar lebih dahulu baru
kemudian penjual mengirimkan barangnya Keabsahan transaksi ini dapat diakui sebab
dia bisa dianalogikan kepada jual beli salam yang ketentuan hukumnya telah
diuraikan pada pembahasan terdahulu.
Sedangkan akad yang dikirim melalui pesan email adalah hal yang bisa
ditolerir karena ijab kabul dianggap sah dengan tulisan dengan syarat bahwa kedua
belah pihak berjauhan tempat, atau orang yang melakukan akad itu bisu/tidak dapat
berbicara.37
Untuk dalam system perekonomian Islam terutama sekali dalam rangka
pelaksanaan perbankan dengan menggunakan sistem syariah dapat menggunakannya
sebagai produk yang diandalkan ketika melaksanakan transaksi syariah. Para ulama
telah mengemukakan pendapatnya berdasarkan pemahaman konteks syariah Islam
sehingga dapat digunakan umat Islam ketika melakukan transaksi termasuk di
dalamnya ketika bertransaksi si perbankan yang berbasis syari’ah.
Di kalangan umat Islam Indonesia, pendapat ulama syafi’iyah merupakan
pendapat yang sering kali menjadi pegangan dalam melaksanakan aturan Islam
termasuk dalam masalah jual beli. Sebagaimana yang diuraikan terdahulu diketahui
bahwa ulama Hanafiyah mendasarkan argumennya yang membolehkan transaksi ini
melalui mentodologi istihsan. Sedangkan Ulama Syafi'iyah mendasarkan kebolehan
jual beli istisna' menurut 'uruf dan juga diqiyaskan kepada bay' salam. 'Uruf adalah
suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. mencakup sikap
saling pengertian di antara manusia atas tingkatan di antara mereka, baik
keumumannya ataupun kekhususannya.
D. Murabahah
Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh
yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai modal (jadi artinya, saling mendapatkan
keuntungan). Menurut terminology ilmu fikih arti murabahah adalah menjual dengan modal
asli bersama tambahan keuntungan yang jelas. Jadi murabahah adalah salah satu bentuk
afliaktif dari jual beli pada umumnya. sehingga murabahah adalah bisnis yang halal dengan
segala syarat yang menjadikanya jual beli halal,dan menjadi haram karena adanya unsur-
unsur yang menjadikan jual beli haram.38 Dalam fiqh murabahah merupakan akad jual beli
atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual
belikan, termasuk harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan
atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah tertentu.39 Udovitch menyatakan bahwa
murabahah adalah suatu bentuk jual beli dengan komisi, dimana sipembeli biasanya tidak
dapat memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika
sipembeli tidak mau susah-susah mendapatkanya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang
perantara.40 Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati. Dalam murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli
dan menetukan tingkat keuntungan sebagai keuntungannya. Murabahah dapat dilakukan
untuk pembelian dengan sistem pemesanan dan disebut sebagai murabahah kepada pemesan
pembelian. Dalam kitab AlUmm, Imam Syafi‟i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah
al-amir bi al-syira. Dalam hal ini, calon pembeli atau pemesan dapat memesan kepada
seseorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan barang tertentu yang diinginkanya. Kedua
belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga.
Setelah itu, kedua pihak menyepakati keuntungan atau tambahan yang harus dibayar
pemesan. Jual beli antara kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di
tangan pemesan.41 Selanjutnya dijelaskan bahwa yang membedakan murabahah dengan jenis
jual-beli yang lain adalah dalam Murabahah si penjual harus secara tegas menjelaskan kepada
si pembeli berapa besar harga kulakannya dan berapa besar keuntungan yang
ditambahkannya. karenannya murabahah adalah “cost plus concept”.42 Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akad murabahah adalah akad jual beli atas suatu
barang dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual
menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut dan besarnya
keuntungan yang diperoleh. Modal Pembiayaan Murabahah adalah salah satu modal yang
sangat populer penggunaanya tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara lain.
Menurut Utsmani (2002: 104): “Originally, murabahah is a particular type of sale and not a
mode of financing”. Selanjutnya dia menambahkan bahwa pembiayaan yang ideal
berdasarkan syariah Islam adalah mudharabah dan musyarakah. Para ulama kontemporer
memperkenankan penggunaan murabahah sebagai instrument pembiayaan ada dua syarat.
a. Murabahah asalnya bukan instrument pembiayaan maka penggunaan murabahah
hanyalah sebagai sarana untuk menjauhi bunga” (It is only device to escape from
interest), dan bukanlah instrument ideal untuk pencapaian tujuan ekonomi dalam Islam.
Karenanya, Murabahah dipergunakan sebagai langkah untuk mengarah pada proses
Islamisasi ekonomi, dan penggunaanya dibatasi hanya pada kasus-kasus dimana
mudharabah dan musyarakah tidak dapat dilaksanakan.
b. Penggunaan murabahah bukanlah sekedar mengganti kata “bunga” dengan “margin‟ atau
“mark-up”, namun menjadikanya sangat terang tentang perbedaan antara “pinjaman atau
utang berdasarkan bunga” dengan transaksi murabahah”.43
2. Landasan Hukum Syariah
Al Quran bagaimanapun juga, tidak pernah secara langsung membicarakan tentang
murabahah, meski disana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba rugi, dan perdagangan.
Demikian pela tampaknya tidak ada hadist yang memiliki rujukan langsung kepada
murabahah.44 Landasan hukum seperti yang diungkapkan di beberapa literature buku antara
lain:
….. padahal Allah telah menghalakan jual beli dan mengharamkan riba. …45
b. Hadist Riwayat Ahmad nomor 15276
“Dari Juain bin Umair dari pamannya Nabi SAW ditanya tentang penghasilan yang
paling utama. Beliau bersabda: “Sebaik-baik penghasilan adalah jual beli yang sah,
tidak terdapat unsur penipuan dan usaha seseorang dengan tanganya”.
c. Hadist Riwayat Ibnu Majah
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, pertama jual beli secara tangguh
(murabahah), kedua muqadaradah, (mudharabah), dan ketiga mencampur gandum
dengn untuk keprluan rumah tangga, bukan untuk dijual.
10. Rukun dan Syarat Murabahah
Adapun rukun dan syarat murabahah adalah sebagai berikut:
a. Rukun Murabahah
1) Bai‟u (penjual).
2) Musytari (pembeli).
3) Mabi‟ (barang yang diperjual belikan).
4) Tsaman (harga barang).
5) Ijab qabul (pernyataan serah terima).
b. Syarat Murabahah
1) Syarat yang berakad (bai‟u dan musytari) cakap hukum dan
tidak dalam keadaan terpaksa.
2) Barang yang diperjualbelikan (mabi‟) tidak termasuk barang
yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.
3) Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan
(harga pokok dan komponen keuntungan dan cara pembayarannya
disebutkan dengan jelas).
4) Pernyataan serah terima (ijab qobul) harus jelas dengan
menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad.
Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak terpenuhi,
pembeli memiliki pilihan, yaitu:
1. Sebagai pemenuh modal usaha kerja, investasi, maupun pembiayaan yang bersifat
konsumtif seperti angsuran rumah, kendaraan, dll.
2. Untuk pembiayaan kebutuhan produktif seperti mesin produksi, alat-alat perkantoran,
dll.
3. Cara dan proses pembayaran serta jangka waktu pembayaran sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak.
13. Fatwa DSN tentang Murabahah
Dalam Fatwa No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Dalam Fatwa DSN
ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalm transaksi murabahah tidak ada
kaitanya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga
atasbarang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban
untuk menyelsaikan hutangnya kepada Bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak
wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat
pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank
harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan
kesepakatan.
Murabahah berdasarkan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk
membeli barang yang dipesananya. Dalam murabahah, pesanan mengikat, pembeli tidak
dapat membatalkan pesanannya. Apabila aset murabahah yang telah dibeli bank (sebagai
penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan
kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual
(bank) akan mengurangi nilai akad. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
cicilan. Selain itu dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk
cara pembayaran yang berbeda. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual,
sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka
potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad,
pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad
maka:
1. Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara
lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank,
2. Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang muka pembelian pada saat
akad apabila kedua belah pihak bersepakat.48
E. Bai’ Al-Wafa’
1. Pengertian Bay’ al-Wafa’
Kata bay’ al-wafa’ tersusun dari dua kata, yaitu bay dan wafa, pengertiannya secara
etimologi adalah; al-bay’ berarti jual beli,51 dan wafa’ berarti memenuhi janji.52 Jadi bay al-
wafa’berarti jual beli yang disertai janji.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa bay’ al-wafā’ berasal dari dua
suku kata, yaitu ‘al-bay’ yang berarti jual beli, dan ‘al-wafā’ yang artinya pelunasan hutang,
jual beli dengan tenggang waktu.53
Dalam kamus munjid dijelaskan bahwa kata ‘al-wafā’ berasal dari kata:
Yang berarti menyempurnakan atau menjaga janji. Sayid Sabiq mengatakan bahwa
bay’ al-wafā’ adalah orang yang memerlukan uang menjual suatu barang (tidak bergerak)
dengan janji apabila pembayaran telah dipenuhi (dibayar kembali), maka barang itu
dikembalikan lagi.54
55
Artinya“ :Jual beli al-wafā ’adalah jual beli dengan syarat, bahwa ketika penjual
mengembalikan harga (uang)nya ,maka pembeli juga mengembalikan barang yang telah
dibeli kepadanya.”
56
Artinya“ : Jual beli wafā ’adalah jual beli dengan syarat, jika penjual mengembalikan
uangnya kepada pembeli, maka pembeli juga harus mengembalikan barang yang telah
dibelinya kepada penjual”.
Ali al-Khafif dalam kitabnya Ahkam al-Muamalat mendefinisikan. Bay’ al-wafa’ adalah
jual beli dengan komitmen untuk dikembalikan, maka disyaratkanlah apabila sipenjual
mengembalikan harga kepada sipembeli, maka sipembelipun mengembalikan barang kepada
sipenjual .57 Mustafa Ahmad azZarqa’mendefinisikan, bay’ al-wafa’ adalah jual beli yang
dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat
dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.58
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan bay’ al-wafā’ adalah jual beli dengan disertai
syarat (janji), bahwa barang yang dijual tersebut harus diserahkan pembeli sehingga dapat
dimiliki oleh penjual apabila penjual telah mengembalikan harga (uang) kepada pembeli pada
saat yang ditentukan telah jatuh tempo. Artinya, jual beli ini mempunyai syarat tenggang
waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu satu tahun telah habis,
maka penjual dapat membeli kembali barang yang telah dijualnya tersebut kepada pembeli.
17. Dasar Hukum Bay al-Wafa’
Adapun dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan terhadap kebolehan Bay’ al-
Wafa’ adalah dalil-dalil yang dijadikan sebagai landasan terhadap jual beli juga. Oleh
sebab itu dalilnya adalah berdasarkan ayat, hadits maupun ijmak ulama sebagaimana
yang sudah disebutkan pada pembahasan terdahulu.
Pada akad bay’ al-wafā’ sejak semula telah ditegaskan bahwa disyaratkan pembeli
tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain selain kepada penjual semula, karena
barang jaminan yang berada di tangan pemberi hutang merupakan jaminan hutang
selama tenggang waktu yang disepakati. Menanggapi bentuk jual beli semacam ini, di
dalam kitab Durār al-Hukkām disebutkan bahwa :
60
Artinya“ : Bahwa bay’ al-wafā ’itu menyerupai jual beli yang sah dari satu sisi,
menyerupai jual beli yang fasid satu sisi, dan menyerupai gadai di sisi yang lain.”
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa ada tiga perbedaan pendapat dalam
memandang keberadaan bay’ al-wafā’ ini, yaitu:
a. Bay’ al-wafā’ adalah salah satu bentuk jual beli yang sah, sebagaimana
disebutkan:
61
Artinya“ :Disebut menyerupai jual beli yang sah karena setelah jual beli ini
berlangsung, pembeli berhak untuk memanfaatkan barang yang dibeli,
sebagaimana hal ini berlaku untuk jual beli yang sah.”
Walaupun pada jual beli ini barang yang dijual tersebut harus dikembalikan
lagi kepada penjual, namun pengembaliannya juga melalui akad jual beli.
Pendapat ini dipegang oleh generasi mutaakhkhirīn dari mazhab Hanafi.62
Adapun mengenai syarat yang disebutkan di luar akad, mereka mengatakan
bahwa hal tersebut tidak menjadikan akad tersebut fāsid.
63
Apabila syarat disebutkan pada waktu akad, maka akad itu fasid, apabila
disebutkan sebelum atau sesudahnya, maka akad tersebut dianggap tidak
mengandung syarat, dan akad itu sah .Mereka mengatakan jual beli wafā ’ini
adalah sah karena pada dasarnya jual beli adalah hal yang diperbolehkan,
sedangkan penyebutan syarat tidak merusak akad, karena dilakukan di luar akad.
b. Bay’ al-wafā’ adalah jual beli yang fasīd, hal ini dikarenakan terkandung sebuah
syarat di luar akad bahwa salah satu pihak tidak boleh menjual barang yang
diperjualbelikan tersebut kepada orang lain tanpa izin dari pihak yang
lain.64Padahal setelah berlangsung akad jual beli berarti terjadi perpindahan hak
milik secara sempurna, oleh karena itu pembeli dengan bebas menggunakan atau
menjual barang tersebut kepada siapa saja, dan hal ini tidak berlaku pada jual beli
wafā’, karena itu mereka mengganggap jual beli ini fasīd. Pendapat ini dipegang
oleh Umar bin Khattab, sebagai mana disebutkan dalam Ensiklopedi Umar bin
Khattab:
65
Artinya: “Umar ra.menggolongkan jual beli semacam ini (jual beli wafā)
termasuk jual beli yang fasid, karena mengandung satu syarat di luar akad dan
tidak adanya keserasian transaksi, dan juga manfaatnya hanya diambil oleh satu
pihak saja.”
c. Bay’ al-wafā’ itu pada hakikatnya adalah gadai, maka hukum yang berlaku
atasnya adalah hukum gadai, diantaranya:
1) Pembeli tidak berhak menjual barang tersebut kepada pihak ketiga.
2) Pembeli tidak boleh menggadaikannya.
3) Hak syuf’ah diberikan kepada penjual, bukan kepada pembeli.
4) Tidak sempurna bay’ al-wafā’ tanpa penyerahan.
5) Penjual menanggung biaya pemeliharaan atas barang dalam bay alwafā.66
Imam Hanafi sendiri pernah berkata kepada Imam Hasan al-Māturīdiy
bahwasanya jual beli wafā’ ini adalah gadai :
67
Artinya“ :Berkata Imam Hanafi kepada Imam Hasan al Maturidiy: sesungguhnya telah
tersebar di kalangan manusia bahwa padanya adalah kerusakan yang besar, dan fatwakanlah
pada hakikatnya itu adalah gadai, dan saya sependapat terhadap hal yang demikian.
Imam Hanafi mengatakan bay’ al-wafā’ itu gadai, perbedaannya hanya dari segi
kebolehan memanfaatkan barang. Jadi, walaupun akad yang disebutkan adalah akad jual beli,
namun itu bukan jual beli, melainkan gadai, karena akad jual beli yang dimaksudkan agar
pembeli dapat memanfaatkan barang tersebut dimana jika akadnya gadai hal itu tidak boleh
dilakukan.
Secara historis bay’ al-wafa’ telah berlangsung lama dan sudah menjadi ‘urf (adat
kebiasaan) yang kemudian mendapatkan justifikasi para ulama fiqh. Seorang ulama
terkemuka dari mazhab Hanafi, Imam Najmuddin an-Nasafi (461- 573 H) melegalisasi
transaksi bay’ al-wafa’ ini dengan pernyataannya: “Para syaikh kami (Hanafi) membolehkan
bay’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.68 Pernyataan beliau ini didasarkan kepada kondisi
masyarakat Bukhara dan Balkh di pertengahan abad V Hijriyah, dimana para pemilik modal
tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak
mendapatkan imbalan, hal ini tentu menyulitkan masyarakat yang membutuhkan. Untuk
menjawab hal tersebut masyarakat menciptakan suatu akad agar keperluan masyarakat
terpenuhi dan keinginan orang kaya terayomi, dengan cara ini diharapkan, di satu pihak
keperluan masyarakat lemah terpenuhi dan sekaligus terhindar dari praktek ribawi. Jalan
pikiran yang digunakan dalam memberikan justifikasi terhadap bay’ al-wafa’ adalah
didasarkan kepada istihsan urfiy, yaitu menjustifikasi suatu permasalahan yang telah berlaku
umum dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat.
Jika dianalisis bentuk akad bay’ al-wafa’ ini, ada 3 (tiga) bentuk transaksi yang
diterapkan di dalamnya, yaitu;
1) Sewaktu transaksi berlangsung, akad ini merupakan jual beli, karena di dalam akad
dijelaskan bahwa transaksi itu adalah jual beli. Misalnya dengan ucapan penjual yang
mengatakan “saya jual tanah saya ini kepada kamu seharga Rp. 100.000.000 (seratus
juta)”, lalu dijawab oleh sipembeli “saya beli tanah kamu seharga Rp. 100.000.000
(seratus juta)”, dan barang pun berpindah tangan.
2) Apabila transaksi sudah berlangsung maka barang (objek akad) berpindah ke pihak
pembeli dan dimanfaatkan, namun dalam jangka waktu yang disepakati barang
tersebut berpindah kembali kepada pihak penjual, maka transaksi ini terlihat transaksi
ijarah (sewa menyewa), yaitu pemilikan manfaat suatu barang yang dibolehkan syara’
selama waktu tertentu dengan adanya suatu imbalan.
3) Apabila tenggang waktu yang disepakati berakhir, maka terjadilah jatuh tempo akad
bay’ al-wafa’, dimana masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mengembalikan barang dan uang (objek akad), penjual harus mengembalikan uang
kepada pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada awal akad, dan pembeli harus
mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjual secara utuh.
Pada prinsipnya bay’ al-wafa’ berbeda dengan ijarah (sewa menyewa), karena
ijarah (sewa menyewa) adalah transaksi terhadap kepemilikan manfaat suatu barang
selama waktu tertentu dengan adanya imbalan. Jadi pada akad ijarah (sewa menyewa)
ketika waktu yang disepakati telah jatuh tempo, sipemilik manfaat wajib
menyerahkan barang yang disewa tanpa menerima imbalan kembali, sedangkan pada
akad bay’ al-wafa’, apabila waktu kesepakatan berakhir maka masing-masing pihak
yang berakad menyerahkan barang dan uang sebagai objek akad pada jual beli ini.
Demikian juga bahwa bay’ al-wafa’ memang berbeda dengan ar-rahn (jaminan
utang/agunan/rungguhan), karena ar-rahn adalah barang yang dijadikan pemiliknya
sebagai jaminan utang dan tidak dapat dimanfaatkan oleh sipemberi utang.
Sebagaimana mafhum mukhalafah dari hadits yang ditegaskan Rasulullah saw. yang
berbunyi:
69
Jadi hadits di atas memberikan pemahaman bahwa pemegang barang gadai (jaminan
utang), tidak boleh memanfaatkan barang tersebut, karena itu bukan miliknya tetapi hanyalah
sebagai jaminan piutang yang dia berikan, kecuali barang yang digadaikan itu adalah hewan
ternak, maka sipemegang gadai berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya,
sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan sipemegang gadai. Dengan
demikian apabila sipemberi utang memanfaatkan barang gadai, maka apa yang
dimanfaatkannya itu termasuk dalam kategori riba yang diharamkan.
Bay ‘ al-wafa’ sebagai akad jual beli, tentulah sipembeli dengan bebas dapat
memanfaatkan barang yang dibelinya, cuma disyaratkan sipembeli tidak boleh menjual
barang tersebut kepada orang lain kecuali kepada penjual semula, karena barang yang dibeli
berada di tangan pemberi utang sebagai jaminan utang selama tenggang waktu yang
disepakati. Apabila pemilik barang telah mempunyai uang untuk melunasi harga jual semula
(sebesar utangnya) pada saat tenggang waktu yang ditentukan, barang itu harus diserahkan
kembali kepada penjual. Pelaksanaan cara bay’ al-wafa’ ini, terlihat bahwa kemungkinan
untuk terjadinya praktek riba dapat dihindari, dan hal ini merupakan suatu bentuk
kemaslahatan yang tercipta di tengah kehidupan manusia demi tertolaknya kemudharatan dan
kebutuhan mereka terpenuhi serta terciptanya hubungan baik di antara mereka.71
yang Artinya:”Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”75
3) Surat Al-Baqarah ayat 282
Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah membeli makanan kepada Yahudi dan
menjaminkan kepadanya baju besi (H.R Bukhari)77
d. Kaidah fiqh
Artinya: “ Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”.78
e. Ijma
Ijma berasal dari bahasa arab yang artinya ajma’a yang memeiliki dua
pengertian , yaitu menentukan dan menyetujui sesuatu. Ijma’ merupakan sumber
hukum islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan as-Sunnah/al-Hadits. Ijma’ tidak lain
adalah ijtihad atau interpretasi dari berbagai ahli hukum Islam yang diterima secara
universal. Dengan demikian, ijma’ adalah kesepakatan universal dari para ahli.79
Dalam praktik jual beli ini Ibnu Qodamah berpandangan bahwa jual beli
secara tertangguh di perbolehkan sebagaimana keumuman jual beli sebagaimana yang
di jelaskan dalam surah albaqarah (2): 275. 80 Oleh karena itu, jual beli bertangguh
merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang disyariatkan. Sementara penangguhan
pembayaran dilakukan dengan syarat apabila kedua belah pihak (penjual dan pembeli)
menyetujui kontrak tersebut.
yang Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.81
Perumpamaan jual beli bertangguh adalah ketika penjual berkata, saya jual
benda ini secara tunai dengan harga Rp 200.000,-, dan Rp 250.000,- secara tangguh.
Kontrak jual ini tidak boleh, karena tidak dijelaskan mana harga yang ditetapkan
dalam jual beli ini, karena harga tidak jelas akan merusak akad jual beli. Namun ijma
ulama berpandangan bahwa jual beli secara tertangguh dibolehkan berdasarkan
keumuman jual beli sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-baqarah (2):275.
Oleh karena itu, jual beli bertangguh merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang
diisyaratkan. Sementara penangguhan pembayaran dilakukan dengan syarat apabila
kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menyetujui penangguhan pembayaran
tersebut.
22. Prinsip-prinsip jual beli bidhamanil ajil
Pada dasarnya prinsip jual beli bidhamanil ajil tidak jauh dengan prinsip jual beli
secara umum, karena transaksi ini merupakan pengembangan dari kontrak jual beli.
Berikut beberapa prinsip jual beli bidhamanil ajil:
a) Kebebasan (al-Hurriyah) Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai
kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, baik tentang objek perjanjian
maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian
sengketa apabila terjadian di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-
syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah
di tetapkan oleh hukum Islam. Tujuan dari asas ini adalah untuk menjaga agar
tidak terjadi saling menzalimi antara sesama manusia melalui kontrak yang
dibuat nya.
b) Persamaan dan Kesetaraan ( al-Musawah)
Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan
kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau setara antara satu dengan yang
lain. Asas ini penting untuk dilaksanakan oleh para pihak yang melakukan
kontrak terhadap suatu perjanjian karena sangat erat hubungannya dengan
penentuan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak
untuk pemenuhan prestasi dalam kontrak yang dibuatnya. Asas ini
menunjukan bahwa diantara sesame manusia masingmasing memiliki
kelebihan dab kekurangan. Untuk itu, antara manusia yang satu dan yang lain
hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang
di milikinya.
c) Keadilan (al-Adalah)
Pelaksanaan asas ini dalam kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam
mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah
disepakati bersama dan memenuhi segala hak dan kewajiban, tidak saling
menzalimi dan dilakukannya secara berimbang tanpa merugikan pihak lain
yang terlibat dalam kontrak itu.
Syari’ah Islam sangat menekankan arti pentingnya keadilan dalam tindakan
bermuamalah sesama manusia, tidak boleh curang, melakukan perbuatan keji,
dan selalu bersikap seimbang dalam melakukan perbuatan muamalah dan
kontrak terhadap sesuatu hal yang dilakukannya.
Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Hud ayat 84
yang Artinya: “dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka,
Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekalikali tiada Tuhan
bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan
Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)."82
Firman Allah dalam surat al-Araf ayat 89:
yang Artinya:”Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara Kami dan kaum
Kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-
baiknya.83
Oleh karena itu, setiap kontrak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, maka prinsip keadilan sangat menentukan berlangsungnya
kontrak tersebut, sebab keadilan itu merupakan hal yang bersifat
multidimensional yang berintikan kebenaran.84
d) Kerelaan (al-Ridho)
Dalam QS. An-Nisaa‟ (4): 29 dinyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing
pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan. Jika hal ini tidak terpenuhi,
maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara batil. Berikut isi dari QS. An-
Nisaa’ (4): 29
yang Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.85
Ayat diatas menunjukan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan
hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan
bahwa suatu perbuatan muamalah, perdagangan misalnya, dilakukan dengan
pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan
perbuatan tersebut. Unsur sukarela ini menunjukan keikhlasan dan iktikad baik
dari para pihak.
e) Kejujuran dan Kebenaran ( ash-Shidiq) Kejujuran merupakan hal yang harus
dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam
pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan,
maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat
ketidak jujuran dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan diantara
pihak. Firman Allah dalam QS. Al Azhab (33): 70
KESIMPULAN
Kaidah fiqh Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya". Ijma berasal dari bahasa arab yang artinya ajma’a yang memeiliki dua
pengertian , yaitu menentukan dan menyetujui sesuatu. Ijma’ merupakan sumber hukum
islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan as-Sunnah/al-Hadits. Ijma’ tidak lain adalah ijtihad
atau interpretasi dari berbagai ahli hukum Islam yang diterima secara universal.
Dengan demikian, ijma’ adalah kesepakatan universal dari para ahli. Oleh karena itu, jual beli
bertangguh merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang disyariatkan. Sementara
penangguhan pembayaran dilakukan dengan syarat apabila kedua belah pihak menyetujui
kontrak tersebut. Ibnu Qodamah menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli secara tangguh
tidak diharamkan.
Kontrak jual ini tidak boleh, karena tidak dijelaskan mana harga yang ditetapkan dalam jual
beli ini, karena harga tidak jelas akan merusak akad jual beli. Oleh karena itu, jual beli
bertangguh merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang diisyaratkan. Pelaksanaan asas
ini dalam kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan
keadaan, memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi segala hak dan
kewajiban, tidak saling menzalimi dan dilakukannya secara berimbang tanpa merugikan
pihak lain yang terlibat dalam kontrak itu. Syari’ah Islam sangat menekankan arti pentingnya
keadilan dalam tindakan bermuamalah sesama manusia, tidak boleh curang, melakukan
perbuatan keji, dan selalu bersikap seimbang dalam melakukan perbuatan muamalah dan
kontrak terhadap sesuatu hal yang dilakukannya.
CATATAN
1
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 953.
2
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeva, 2001), jilid 1, h. 63.
3
T.M Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.21
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h48.
5
T.M Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 21
6
Moh Rifa’i, Terj Khulasoh Kifayatu Al-Ahyar, (Semarang: CV. Toha Putra, tt), hlm 183
7
Sayyid Sabiq, Terj H. Kamaluddin, A. Marzuki, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 12 (Bandung, Al-Ma’arif, t. Th), hlm 47
8
Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi), (Bandung: Diponegoro,
1992), Cet. II, hlm 18
9
Abdurahman, dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Grup), hlm 70-72
10
Abdurahman, dkk, Fiqih Muamalah,,...hlm 70
11
Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal wal haramfil Islam Terj. Mu’ammal Hamidy. Halal dan Haram dalam Islam
(Surabaya: PT BINA ILMU, 1980) hlm. 182
12
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Univ. Islam Bandung, 1995), hlm. 113
13
Qardhawi, Hallal wal haram fil Islam,....hlm 177
14
Qardhawi, Hallal wal haram fil Islam,....hlm 177
15
Qardhawi, Hallal wal haram fil Islam,....hlm 189
16
Abdur Rahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 280.
17
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan,t.t), h. 118.
18
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh alIslami wa Adillatuh (Damascus: Dar al-Fikr, 1997), h. 3603. Lihat juga Ibnu Qudamah,
Al-Mughni (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.t.), h. 275.
19
Wahbah, al-Fiqh, h. 3604.
20
Ibid, h. 36O3. Lihat Ibnu 'Abidin, Radd al-Mukhtar 'ala ad-Durr al-Mukhtar (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 212.
21
Adiwarman Karim Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 99
22
Wahbah, al-Fiqh, h. 3642.
23
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h: 113
24
Ibid,h :113
25
Ibid, h. 3653.
26
1Hasan Ayyub, Fiqh Mu'amalah alMaliyyah (Kairo: Dar al-Islam, 1423 H.), h.176-181.
27
Ibid., h. 3604.
28
Departemen Agama RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, t.t.) h. 37
29
Istihsan menurut al-Ghazali adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Lihat Abu Hamid al-
Ghazali, Al-Mustasyfa ft 'Ilm al-Usul (Beirut: Dar al Kutub, t.th.), Juz I, h. 137. Sedangkan menurut Syatibi, istihsan
pengambilian suatu kemaslahatan yang bersifat juz'iy dalam menanggapi dalil yang bersifat kully. Lihat Abu Ishaq
asySyatibi, Al-Muwafaqat fi Usulasy-Syari'ah (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1973J, h. 70
30
Wahbah, al-Fiqh, h. 3646.
31
Ibid, h. 3644.
32
Kata dain secara etimologi berarti hutang. Tapi para ulama menafsirkannya dengan makna "tidak tunai" sehingga
kajian terhadap ayat dapat diberlakukan dalam hal ini.
33
Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 118.
34
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 148.
35
Abd al-Wahhab Khallaf, Usul alFiqh (Kairo: Dar al-Ilm, 1978), h. 89.
36
Ibid, h. 90.
37
Sayid Sabiq, Op . Cit., h. 47-48.
38
Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa‟ atTajira Jabluhu (Fikih Ekonomi Keuangan Islam), Jakarta;
Darul Haq, 2011, h 194. 1
39
Muhammad, Model-Model,…h. 57.
40
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah (Kritik atas Interprestasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis), Jakarta:
Paramadina, 2004, h. 119.
41
Fatoni, Pengantar,…h. 209.
42
Sugeng Widodo, Modal Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam, Yogyakarta: Kaukaba, 2014, h. 409.
43
Widodo, Modal,... h 410-411.
44
Adullah Saeed, Islamic Bankingand Invest, Jakarta: Paramadina, 2014, h. 119.
45
Departemen Agama RI, Alqur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: PPPA Daarul Qur‟an, 2010, h. 47.
46
Fatoni, Pengantar,… h. 209.
47
Andrean Sutedi, Perbankan Syariah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, h. 125.
48
Khotibul Umam, Perbankan Syariah Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2012,
h. 58.
49
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana, 2008, h 114-115.
50
Rizal Yaya, et al, Akuntasi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Selemba, 2014, h. 162-163.
51
Abd Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 47.
52
Ibid, h. 265.
53
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t.), hal 176.
54
Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.III, (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), hal. 151.
55
Ali Haidār, Durār al-Hukkām Syarh Majallah al-Ahkām, Juz I, (Beirut: Dār al-Kutub alIlmiyyah, t.t.), hal 97.
56
Muhammad Rawwās Qal‟ahjī, Mausū‟ah al-Fiqh „Umar Ibn al-Khattāb, t.p., 1981, hal.144.
57
Ali al-Khafif, Ahkam al-Muamalat al-Syar‟iyah, h. 399.
58
Mustafa Ahmad az-Zarqa‟, Al-Uqud al-Musammah, (Damaskus: Dar al-Kitab, 1968), h. 23. Lihat H. Nasrun Haroen,
Fiqh Muamalah, h. 152.
59
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, hal. 178
60
Ali Haidār, Durār al-Hukkām...,hal.97.
61
Ibid.
62
Ibn ‘Ābidīn, Hāsyiyah Radd al-Muhtār, Juz V, Cet. II, (Mesir: Mustafā al-Bābiy alHalabiy, 1966), hal. 277.
63
Alāuddīn Abi Hasan, Mu‟īn al-Hukkām,hal. 147.
64
Ali Haidār, Durār al-Hukkām..., hal.365.
65
Muhammad Rawwās Qal‟ahji, Mausū‟ah al-Fiqh „Umar Ibn al-Khattāb, hal.144..
66
Ali Haidār Durār al-Hukkām...,hal.97.
67
‘Alāuddīn Abi Hasan, Mu‟īn al-Hukkām,hal. 147.
68
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyin, (Mesir: Dar al-Fikr alArabi,tt) h. 243. Lihat Nasrun Haroen,
Fiqh Muamalah, h. 155.
69
. Al-Kahlany, Subulussalam, h. 51.
70
Muhammad Amin Barury, Bay‟ al-Wafa‟, (Libanon: Daarun Nawadir, 2012), h. 151
71
Ibid. h. 153
72
Mardani, Op. Cit., h. 183.
73
Ibid., h. 102.
74
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 153.
75
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antra Halal dan Haram, Surabaya: Putra Pelajar,
76
Departemen Agama, Op. Cit., h. 86
77
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, Jakarta: Rabbani Press, 2009, h. 311.
78
Mardani, Op. Cit., h. 144.
79
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., h. 14.
80
Ibid., h. 184.
81
Departemen Agma RI, Op. Cit., h. 86.
82
Ibid., h. 438
83
Ibid., h. 308.
84
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012, h. 75
85
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 153.
86
Ibid., h. 845.
87
Mardani, Op. Cit., h. 97.
DAFTAR PUSTAKA
AKAD JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN PRAKTIKNYA DI PASAR MODAL
INDONESIA - Eka Nuraini Rachmawati & Ab Mumin bin Ab Ghani Fiqh Muammalah dari Klasik
hingga Kontemporer (Teori dan Praktek) - Akhmad Farroh Hasan, M.SI.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/26141/BAB II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
https://www.neliti.com/id/publications/268746/bay-al-salam-dan-bay-al-istisna-kajian-terhadap-
produk-perekonomian-islam
https://kamus.tokopedia.com/m/murabahah/#:~:text=%E2%80%9CMurabahah%20adalah
%20perjanjian%20jual%2Dbeli,antara%20bank%20syariah%20dan%20nasabah.%E2%80%9D
http://repository.radenintan.ac.id/4616/1/SKRIPSI.pdf
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/download/485/386