Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH EKONOMI SYARIAH

AQAD BERBASIS JUAL BELI, SEWA MENYEWA, DAN JASA

DISUSUN OLEH:
NANDA (90400121019)

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. H. Muslimin Kara, M.Ag.

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Aqad Berbasis Jual Beli, Sewa Menyewa, dan Jasa” guna memenuhi
tugas individu untuk mata kuliah Ekonomi Syariah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah
ini dapat terselesaikan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Samata, 21 Mei
2022
Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I.................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................ 1
Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
BAB II.................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
Akad Berbasis Jual Beli .................................................................................... 3
Akad Berbasis Sewa Menyewa (Operational Lease and Financial
Lease/Ijarah).........................................................................................................14
Akad-Akad Berbasis Jasa (Fee-Based Services)................................................. 22
BAB III ................................................................................................................. 35
PENUTUP............................................................................................................. 35
Kesimpulan..................................................................................................... 35
Saran.............................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 36

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selaras dengan perkembangan zaman, maka kebutuhan dan
kesibukan masyarakat juga terus bertambah. Pertambahan kebutuhan
masyarakat terkendala pada kesibukan dan ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan secara tunai maka masyarakat membutuhkan
alternatif untuk membantunya dalam pemenuhan kebutuhan.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hadir sebagai pilihan alternatif
pemenuh kebutuhan masyarakat secara syariah dan jauh dari kegiatan
ribawi sebagaimana yang ada di Lembaga Keuangan Konvensional (LKK).
LKS muncul dengan konsep dan sistem yang dapat menampung tuntutan
dan kebutuhan masyarakat, dengan sistem bagi hasil dan resiko, yang
mengedepankan prinsip keadilan dan kebersamaan dalam berusaha, baik
dalam memperoleh keuntungan maupun dalam menghadapi resiko.
Prinsip-prinsip dasar dalam LKS diantaranya adalah prinsip titipan
atau simpanan (al-wadi’ah), prinsip bagi hasil yang meliputi mudharabah
dan musyarakah, prinsip jual beli yang meliputi murabahah, salam, dan
istishna’, prinsip sewa (ijarah) dan prinsip jada yang meliputi wakalah,
kafalah, hawalah, rahn, qardh, sharf. Sebagian dari prinsip-prinsip ini
muncul di LKS sebagai produk dari LKS dengan nama yang sama atau
mengalami perubahan.
Diantara berbagai produk yang ada di LKS, produk murabahah
masih mendominasi dibandingkan dengan produk-produk lainnya. Hal
tersebut disebabkan produk murabahah LKS relatif bisa menerapkan
prinsip kehati-hatian yang ketat dan standar sehingga risiko kerugian sangat
kecil, dibandingkan dengan prinsip bagi hasil yang tingkat risiko dan
kerugiannya sangat tinggi. Karena kelebihan tersebut LKS cenderung menjadikan murabahah
sebagai produk unggulan yang ditawarkan kepada
nasabah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi akad berbasis jual beli dalam keuangan dan
perbankan syariah?
2. Bagaimana implementasi akad berbasis sewa menyewa dalam keuangan
dan perbankan syariah?
3. Bagaimana implementasi akad berbasis jasa dalam keuangan dan
perbankan syariah?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Akad Berbasis Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti
menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Lafal albai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yakni kata asy-syira (beli). Dengan demikian, kata al-bai’
berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli (Haroen, 2000:111).
Menurut Istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan
jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan (Idris, 1986:5).
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi
‫واما رشعا فاحسن ما قيل ىف تعريفة انه متليك مالية مبعاوضة ابذن رشعيمثىن مايل‬
‫بيد ومتليك منفعة مباحة عىل التا ا‬
“Menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah
memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar
izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan
syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui
pembayaran yang berupa uang” (al-Ghazzi. T.th:30).
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar
‫مقاابةل مال قابلني للترص ف ابجياب و قبول عىل الوجه امال ءذون فيه‬
“Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf)
dengan ijab qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara”
(Taqiyuddin, t.th:329).
d. Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al-Wahab
‫مقبا ةل مال مبال عىل وجه خمصوص‬
“Tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan)” (Zakariya, t.th:157)
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah
‫عقد يقوم عىل اساس مبادةل امالل ابمالل ليفدتبادل امللكيات عىل ادلوادالم‬
“Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara
yang diperbolehkan” (Sabiq, t.th:126).
f. Ada Sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli
(bisnis), diantaranya; ulama Hanafiyah “Jual beli adalah cara khusus
(yang dibolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam Nawawi
dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas
dasar saling merelakan (Suhendi, 2007: 69-70).
2. Dasar Hukum Jual Beli
Dasar hukum jual beli adalah:
a. Al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang Kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya” (Q.S AlBaqarah:275).
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa
Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hambaNya
dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba.
Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta
sesama dengan jalan batil, misalnya dengan cara mencuri, korupsi,
menipu, merampok, memeras, dan dengan jalan lain yang tidak
dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli
dengan didasari atas dasar suka sama suka dan saling
menguntungkan.
b. Al-Hadis
Nabi SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bazzar yang berbunyi:
‫اى (الكسب‬: ‫ل وسمل سئل‬S‫ل صىل ه‬S‫ل عنه ان رسل ه‬S‫عن رفاعه بن رافع ريض ه‬
‫اطيب ؟ قل الرجل بيده ولك بيع مربور )رواه الزبر وحصحه احال م‬
Dari Rif’ah Ibn Rafi sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya
“Usaha apa yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab “Usaha
seseorang dengan tangannua sendiri dan setiap jual beli yang
mambrur (jujur)”. (H.R Al-Bazzar dan disahihkan oleh al-Hakim)
(al-Shan’ani, t.th:4).
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah
atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual
beli bisa menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar
yaitu penimbunan barang sehingga persediaan dan harga melonjak
naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh
memaksa para pedagang menjual barang sesuai dengan harga
dipasaran dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah
didalam menentukan harga dipasaran serta pedagang juga dapat
dikenakan sanksi karena Tindakan tersebut dapat merusak atau
mengacaukan ekonomi rakyat. Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara
penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu
dengan uang ataupun yang lainnya.
c. Ijma’
Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah
sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di
dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut:
‫وا مجع املسلمون عىل جوا ز البيع وا حمكة تقتضية حال جة ا النسا ن تتلو مبا يد صا‬
‫حبه غا ليا و صا حبه قد ال يبذ ه‬
“Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual
beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung
pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu
saja memberikan kepada orang lain” (al-Asqalani, t.th:287).
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa
hukum jual beli adalah jaiz (boleh). Namun tidak menutup
kemungkinan perubahan status jual beli itu sendiri. Semuanya
tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.
3. Jenis Akad Jual Beli dalam Pasar Modal Syariah
a. Al-Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribh, yang berarti perolehan,
keuntungan, atau tambahan. Pelaksanaan jual beli dengan akad
murabahah, penjual harus mengungkapkan biayanya pada saat akad
terjadi serta penetapan margin keuntungan yang disetujui. Bai’ alMurabahah adalah menjual
barang dengan harga yang ditetapkan
dipasaran dengan tambahan keuntungan yang diketahui. Jual beli murabahah yang
dipraktikkan pada zaman seelum
Islam yang terdapat dalam al-Muwatta’ kitab pertama Imam Malik
yang mencatat berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Menurut
Imam Malik, murabahah dilakukan dan diselesaikan dengan
pertukaran barang dengan harga, termasuk margin keuntungan yang
telah disetujui bersama pada saat itu dan pada tempat itu. Jadi jual
beli tidak dilakukan secara kredit. Namun Imam Syafi’i dalam kitab
al-Umm memperluas konsep pelaksanaan murabahah secara kredit.
Al-Marghinani, fukaha Hanafi, mendefinisikan murabahah
sebagai penjualan barang apapun pada harga pembelian yang
ditambah dengan jumlah yang tetap sebagai keuntungan. Ibn
Qudamah, fukaha Hambali mendefinisikan Bai’ Murabahah sebagai
penjualan pada biaya modal ditambah dengan keuntungan yang
diketahui, pengetahuan biaya modal adalah persyaratan atasnya.
Berdasarkan beberapa definisi, maka akad murabahah
merupakan akad jual beli yang pada harga asal dengan tambahan
jika ada, dan jumlah keuntungannya. Oleh sebab itu, murabahah
adalah kontrak buyu’ al-amanah. Dinamakan jual-beli Amanah,
karena ia bergantung kepada kepercayaan penjual kepada harga
barang yang dijual di pasar yang diberitahu oleh pembeli.
Jika pembayaran dilakukan secara tangguh yang harganya
dibayar secara angsuran dalam tempo waktu yang disepakati, jual
beli ini disebut bai’ bithaman al-ajil (BBA) atau bai’ mu’ajjal. Ajil
memiliki makna jangka waktu yang ditetapkan untuk melunasi
hutang. Angsuran didalam bahasa Arab dikenal dengan istilah altaqshith yaitu pembagian
hutang kepada beberapa bagian tertentu,
yang dilunasi pada masa-masa tertentu. Oleh sebab itu bai’
bithaman al ajil disebut juga sebagai bai’ al-taqshith.
Dalam kontrak jual beli bai’ bithaman ajil, jika harga naik,
pembeli mendapatkan keuntungan karena membeli barang tersebut
berbasiskan pembayaran ditunda dengan harga yang lebih murah, jika harga turun, penjual
mendapatkan keuntungan karena berhasil
menjual barang yang dibelinya dengan berbasiskan pembayaran
tangguh dengan harga yang lebih tinggi. Jadi dalam kontrak bai’
bithaman ajil, sesuai dengan konsep al-ghunm bil al-ghurm, yakni
keuntungan beriringan dengan risiko. Dengan syarat jual-beli harus
diselesaikan pada satu harga sehingga kewajiban diketahui oleh
semua pihak.
➢ Aplikasi Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam fiqh muamalah terdapat banyak macam akad jual
beli. Jenis-jenis jual beli salah satunya yaitu Murabahah.
Berkaitan dengan akad jual beli tersebut maka untuk
memastikan keseriusan nasabah untuk membeli barang yang ada
didepannya maka Lembaga keuangan meminta atau
mensyaratkan kepada nasabah atau pembeli untuk membayar
uang muka. Setelah uang muka dibayarkan, maka nasabah
membayar sisanya berangsur dengan jangka waktu dan jumlah
yang telah disepakati dan ditetapkan Bersama. Dalam hal ini
jumlah angsuran dan jangka waktu disesuaikan dengan
kemampuan nasabah atau pembeli. Apabila nasabah telat dalam
membayar angsuran, maka lembaga keuangan tidak
diperkenankan mengambil denda dari nasabah.
Jual beli murabahah dalam praktiknya dilembaga keuangan
syariah biasanya disertai dengan akad wakalah. Wakalah adalah
pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas
kewenangan dan waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat
imbalan yang ditentukan dan disepakati bersama.
Murabahah dalam praktik lembaga keuangan syariah,
prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok harga beli serta
biaya yang terkait dan kesepakatan atas laba yang diperoleh oleh lembaga. Ciri dasar akad
murabahah dalam lembaga keuangan
syariah adalah sebagai berikut:
1. Pembeli harus mengetahui tentang biaya terkait dengan
harga asli barang. Batas laba harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari harga total ditambah dengan biaya-biayanya.
2. Apa yang dijual adalah barang yang dibayar dengan uang.
3. Barang yang diperjual belikan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan barang
tersebut kepada pembeli.
4. Pembayaran ditangguhkan, artinya dalam hal ini pembeli
hanya membayar uang muka yang besar dan nominalnya
sudah ditentukan dan telah disepakati bersama antara
nasabah dengan lembaga keuangan.
Pembayaran murabahah salah satu bentuk jual beli yang
popular adalah jual beli tangguh, yaitu jual beli barang diterima
pada saat akad dan pembayaran menyusul sesuai kesepakatan.
Dalam jual beli tangguh, apabila kesepakatan telah terjadi,
penjual menyerahkan barang kepada pembeli untuk kemudian
pembeli membayar barang tersebut dalam jangka waktu yang
telah disepakati.
b. Al-Bai’ Al-Salam
Akad salam disyaratkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an,
sunnah, ijma ulama. Akad salam atau salaf adalah penjualan sesuatu
di masa yang akan datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang,
atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan.
Para ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mendefinisikan akad salam
sebagai akad atas sesuatu yang disebutkan dalam sifatnya dalam
perjanjian dengan penyerahan tempo dengan imbalan harga yang
diserahkan dalam majelis akad. Pengertian salaf atau istalafa sama dengan iqtarada yang
artinya
“berutang”. Menurut istilah, mazhab Hanafi mendefinisikan salam
sebagai jual beli tempo dengan tunai. Menurut Mazhab Maliki,
salam adalah akad jual beli dimana modal (harga) dibayar di muka,
sedangkan barang diserahkan di belakang. Jadi salam adalah salah
satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan secara
tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat,
jenis, dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu perjanjian dibuat.
➢ Salam dalam Praktik Perbankan Syariah
Dalam tataran praktek di dunia perbankan syariah, salam
merupakan suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaan
mendasar hanya terletak pada pembayaran serta penyerahan
objek yang diperjualbelikan. Dalam akad salam, pembeli wajib
menyerahkan uang/modal di awal atas objek yang dibelinya, lalu
barang diserahterimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam
dapat diaplikasikan sebagai bagian dari pembiayaan yang dapat
diberikan oleh bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan
modal guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat
memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada
yang berkepentingan. Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Aplikasi akad salam dalam bank, bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang
telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya
kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara
tunai maupun cicilan. Harga beli bank adalah harga pokok
ditambah keuntungan. Pembiayaan ini pada umumnya dilakukan
dalam pembiayaan barang yang belum ada, seperti pembelian
komoditas pertanian. Sekilas pembiayaan ini mirip dengan ijon,
namun dalam transaksi ini baik kualitas, kuantitas, harga, waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara jelas dan pasti. Bay’ al salam biasanya
dipergunakan pada pembiayaan bagi
petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung,
dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barangbarang tersebut sebagai simpanan
atau inventory, maka
dilakukan akad bay’ al salam kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan
Islam dikenal sebagai salam pararel.
Tahapan pelaksanaan salam dan salam pararel adalah sebagai
berikut:
1. Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang
jelas, oleh nasabah pembeli kepada bank syariah sebagai
penjual.
2. Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan
waktu tangguh pengiriman barang yang disepakati.
3. Mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang
yang dimaksud (sesuai batas waktu yang disepakati dengan
harga yang lebih rendah).
4. Pengikatan I antara bank sebagai penjual dan nasabah
sebagai pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi
tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah
ditentukan.
5. Pembayaran oleh nasabah pembeli dilakukan di awal akad
(bisa seluruhnya atau sebagian dan dibayarkan sisanya
sebelum barang diterima).
6. Pengikatan II antara bank sebagai pembeli dan nasabah
produsen sebagai penjual untuk membeli barang dengan
spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang
telah ditentukan.
7. Pembayaran dilakukan segera oleh bank sebagai pembeli
kepada nasabah produsen pada saat pengikatan dilakukan. 8. Pengiriman barang dilakukan
langsung oleh nasabah
produsen kepada nasabah pembeli pada waktu yang
ditentukan.
Dalam pelaksanaan transaksional Salam paralel adalah suatu
transaksi dimana Bank melakukan dua akad salam dalam waktu
yang sama. Dalam akad salam pertama, Bank (selaku muslim)
melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia
barang (muslam ilaihi) dengan pembayaran di muka dan pada
akad salam kedua, Bank (selaku muslam ilaihi) menjual lagi
kepada pihak lain (muslim) dengan jangka waktu penyerahan
yang disepakati bersama. Pelaksanaan kewajiban Bank selaku
muslam ilaih (penjual) dalam akad salam kedua tidak tegantung
pada akad salam yang pertama.
Adapun syarat-syarat salam paralel yang harus dipenuhi,
antara lain sebagai berikut:
1. Pada salam paralel, bank masuk ke dalam dua akad yang
berbeda. Pada salam pertama bank bertindak sebagai
pembeli dan pada salam kedua bank bertindak sebagai
penjual. Setiap kontrak salam ini harus independen satu
sama lain.
2. Salam paralel hanya boleh dilakukan dengan pihak ketiga.
Penjual pada salam pertama tidak boleh menjadi pembeli
pada salam paralel karena hal ini akan menjadi kontrak
pembelian kembali yang dilarang oleh syariah.
c. Al-bai’ Al-Istishna’
Secara bahasa Istishna’ berasal dari akar kata sana’a
ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi Istishna’ yang dapat diartikan
talab al-sun’ah meminta dibuatkan barang atau “meminta untuk
dibuatkan sesuatu”. Pengertian Istishna’ menurut istilah, didefinisikan sebagai
akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu
dalam bentuk tertentu. Pengertian Istishna’ merupakan akad yang
dilakukan dengan seseorang untuk membuat barang tertentu dalam
tanggungan dan akad tersebut merupakan akad membeli sesuatu
yang dibuat oleh seseorang.
Menurut ahli fikih, pengertian Istishna’ adalah permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang
materinya (bahan bakunya) dari pihak pembuat (tukang).
Menurut jumhur ulama, hukum transaksi Istishna’ hukumnya
boleh, begitu pula pendapat ahli fikih Hanafiyah, jual beli Istishna’
diperbolehkan karena telah lama menjadi kebiasaan (‘urf) yang
mengandung unsur kebaikan (istihsan). jadi hikmah dibolehkannya
jual beli istishna’ karena keberadaannya telah menjadi keperluan
manusia.
➢ Implementasi Akad Istishna’ dalam Perbankan Syariah
Penerapan prinsip akad istishna’ pada produk pembiayaan
istishna’ Bank Syariah Indonesia. Pada dasarnya mekanisme
pembayaran istishna’ dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
pembayaran dimuka, pembayaran dilakukan saat penyerahan
barang, dan pembayaran ditangguhkan.
Pembiayaan istishna’ oleh Bank Syariah hadir sebagai solusi
bagi nasabah yang memiliki keterbatasan dana sehingga tidak
mampu melakukan pembayaran secara tunai dimuka maupun
saat penyerahan barang. Bank Syariah mengakomodir nasabah
yang ingin melakukan pembayaran secara angsuran selama
beberapa tahun sesuai kesepakatan.
Prosedur pembiayaan istishna’ pada Bank Syariah dimulai
dari pengajuan permohonan yang dilakukan oleh nasabah
dengan dilampirkan berbagai macam dokumen persyaratan yang diperlukan. Pihak bank akan
meneliti dan juga melakukan
kunjungan lapangan ke proyek yang berkaitan untuk mengetahui
gambaran proyek tersebut. Apabila permohonan ditolak,
berdasarkan pertimbangan tertentu, maka pihak bank
memberitahukan kepada nasabah. Namun jika permohonan
diterima, pihak bank akan menindaklanjuti dan membuat
kesepakatan dengan nasabah mengenai detail transaksi istishna’
yang akan dilakukan.
Berdasarkan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
nomor 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna’ Paralel
dijelaskan bahwa jika LKS (Lembaga Keuangan Syariah)
melakukan transaksi istishna’, untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah.
Lembaga Keuangan Syariah dapat melakukan transaksi
istishna’ lagi dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan
syarat istishna’ pertama tidak bergantung pada istishna’ kedua
dan Bank Syariah selaku mustashni tidak diperkenankan untuk
memungut MDC (Margin During Construction) dari nasabah
(Shani) karena tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam hal ini, Bank Syariah diperbolehkan untuk
menyiapkan barang pesanan dari nasabah dengan memesan
barang yang sama kepada pihak lain sebagai produsen dengan
ketentuan barang yang dipesan sesuai dengan yang ditentukan
oleh nasabah.
B. Akad Berbasis Sewa Menyewa (Operational Lease and Financial
Lease/Ijarah)
1. Pengertian Akad Berbasis Sewa Menyewa (Ijarah)
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru” yang berarti
“al-iwadu” (ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala)
dinamakan ajru (upah).
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau
imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak,
atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala.
Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan
perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.
Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang
dikemukakan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah
akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.4 Menurut Hanafiyah
bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang
di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.5
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti. Selain itu ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli
jasa (upahmengupah), yakni mengambil mengambil manfaat tenaga
manusia, yang ada manfaat dari barang.
Menurut Syafi‟i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
atas barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
Menurut Ahmad Azhar dalam bukunya wakaf, alijarah
syirkah mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti balasan atau
timbangan yang diberikan sebagai upah atas pekerjaan. Secara istilah
ijarah berarti suatu perjanjian tentang pemakaian atau pemungutan hasil
suatu benda, binatang atau tenaga manusia. Misalnya menyewa rumah
untuk tinggal, menyewa kerbau untuk membajak sawah, menyewa
manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan sebagainya.
2. Dasar Hukum Ijarah
Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks
al-Qur‟an, hadist-hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai
berikut:
a. Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an ketentuan tentang upah tidak tercantum
secara terperinci. Akan tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam
bentuk pemaknaan tersirat, seperti ditemukan dalam QS alBaqarah:233.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah:(2) :233).
Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang
memperkerjakan orang lain hendaknya memberikan upahnya.
Dalam hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari orang yang dikerjakan. Jadi, yang
dibayar bukan harga air susunya
melainkan orang yang dipekerjakannya.
b. Hadist
Hadist-hadist Rasulullah Saw yang membahas tentang ijarah
atau upah mengupah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda :
“Dari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah
“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu
Majah)
Dalam hadist riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Sa‟d ibn Abi
Waqqash, ia berkata:
“Dahulu kami menyewa tanah dengan bayaran hasil dari bagian
tanah yang dekat dengan sungai dan tanah yang banyak mendapat
air. Maka Rasulullah melarang cara yang demikian dan
memerintahkan kami membayarnya dengan emas atau perak”. (HR.
Ahmad dan Abu Daud dan Nasa‟i)
c. Ijma’
Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada
seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini.28
Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan ijarah ini yang
tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk
melakukan kegiatan ijarah. Jadi, berdasarkan nash al-Qur‟an,
Sunnah (hadis) dan ijma‟ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa
hukum ijarah atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam
asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara‟.
➢ Implementasi Akad Ijarah
Akad-akad yang dipergunakan oleh lembaga keuangan
syariah, terutama perbankan syariah di Indonesia dalam
operasinya merupakan akad-akad yang tidak menimbulkan kontroversi yang disepakati oleh
sebagian besar ulama dan
sudah sesuai dengan ketentuan syariah untuk diterapkan dalam
produk dan instrumen keuangan syariah. Akad-akad tersebut
meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk,
jasa operasional, dan jasa investasi. Menurut surat edaran No.
10/14/DPBS yang dikeluarkan Bank Indonesia tertanggal 17
Maret 2008, dalam memberikan pembiayaan ijarah Bank
Syari’ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi
langkah berikut ini:
1. Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang
mempunyai hak penguasaan atas objek sewa baik berupa
barang atau jasa, yang menyewakan objek sewa dimaksud
kepada nasabah sesuai kesepakatan.
2. Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau
tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewanya.
3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai
karakteristik produk pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak
dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
4. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan
atas dasar ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi
aspek personal berupa analisa atas karakter dan/atau aspek
usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha, keuangan
dan/atau prospek usaha.
5. Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara
spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai
sewa dan jangka waktunya.
6. Bank sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, wajib
menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas objek sewa serta ketepatan waktu
penyediaan objek sewa sesuai
kesepakatan.
7. Bank wajib menyediakan dan untuk merealisasikan
penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah.
8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar
ijarah.
9. Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran
maupun sekaligus.
10. Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk
piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang.
11. Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan objek
sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan objek sewa
sesuai dengan kesepakatan dimana uraian pemeliharaan
yang bersifat material dan structural harus dituangkan dalam
akad, dan Bank tidak dapat meminta nasabah untuk
bertanggungjawab atas kerusakan objek sewa yang terjadi
bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian nasabah.
Berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank Syariah, tahapan
pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut:
1. Adanya permintaan untuk menyewakan barang tertentu
dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank
syariah.
2. Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa barang
dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati.
3. Bank Syariah mencari barang yang diinginkan untuk disewa
oleh nasabah.
4. Bank syariah menyewa barang tersebut dari pemilik barang.
5. Bank syariah membayar sewa di muka secara penuh.
6. Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank
syariah.
7. Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa.
8. Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran.
9. Barang diserahterimakan dari bank syariah kepada nasabah.
10. Pada akhir periode, barang diserahterimakan kembali dari
nasabah ke bank syariah, yang selanjutnya akan
diserahterimakan ke pemilik barang.
3. Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik
Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan akad sewamenyewa terdiri dari sewa
murni dan sewa yang diakhiri dengan
pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit
tamlik. Ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan
perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli. Semakin jelas dan
kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT
pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen
untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas
(walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih
bernuansa ijarah.
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk
membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual
beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang
dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi
jual beli dilakukan. Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17
Maret 2008 yaitu:
1. Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai pemberi
janji (wa`ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa
sesuai kesepakatan.
2. Bank hanya dapat memberikan janji (wa`ad) untuk mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek
sewa secara prinsip dimiliki oleh bank.
3. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam
bentuk tertulis.
4. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan
objek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai
oleh Bank dan nasabah penyewa.
5. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib
mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa
kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode
atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar akad IMBT.
Sedangkan berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank syari‟ah,
tahapan pelaksanaan IMBT adalah sebagai berikut:
1. Adanya permintaan untuk menyewa beli barang tertentu dengan
spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syariah.
2. Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa beli barang dengan
harga sewa dan waktu sewa yang disepakati.
3. Bank Syariah mencari barang yang diinginkan untuk disewa beli
oleh nasabah.
4. Bank syariah membeli barang tersebut dari pemilik barang.
5. Bank syariah membayar tunai barang tersebut.
6. Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syariah.
7. Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa beli.
8. Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran.
9. Barang diserahterimakan dari bank syariah kepada nasabah.
10. Pada akhir periode, dilakukan jual beli antara bank syariah dan
nasabah.
C. Akad-Akad Berbasis Jasa (Fee-Based Services)
1. Al-Wakalah
Wakalah ‫ لة لوآا ا‬merupakan salah satu akad yang menurut kaidah
Fiqh Muamalah dapat diterima, selain akad-akad lainnya seperti akad
murabahah, akad mudharabah, akad musyarakah dan akad-akad lainnya.
Secara etimologis Wakalah memiliki beberapa pengertian yang
diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (alkifayah) yang berarti
pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau
(al-tafwidh) berarti pendelegasian yang diartikan juga dengan
memberikan kuasa atau mewakilkan. Wakalah dapat pula di definisikan:
- Wakalah berarti pelimpahan kekuasaan oleh seseorang / pihak
sebagai pihak pertama kepada pihak lain sebagai pihak kedua dalam
hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya
melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan
oleh pihak pertama. Apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai
yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya kembali menjadi pihak
pertama atau pemberi kuasa.
- Wakalah dapat pula berarti penyerahan, pemberian mandat, atau
pendelegasian
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut Wakalah
memiliki. Berikut adalah pandangan dari para ulama:
- Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa Wakalah adalah
ungkapan yang mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain
agar orang lain tersebut melakukan
kegiatan yang telah dikuasakan atas nama pemberi kuasa.
- Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan
dirinya kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang
merupakan haknya, yang mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan
dengan pemberian kuasa setelah pemberi kuasa wafat, sebab jika
kegiatan dikatkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah
berbentuk wasiat.
- Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan
kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain
sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).
- Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
DASAR HUKUM WAKALAH
Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan
suatu tindakan tertentu kepada orang lain yang mana orang lain tersebut
bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang
kegiatan yang didelegasikan diperkenankan oleh agama.
- Al-Qur’an
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa
yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”
- Al-Hadits
Hadits yang dapat dipergunakan sebagai dasar akad Wakalah,
diantaranya:
a. “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan
seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah
binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
b. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Dalam hidup Rosulullah, beliau pernah mewakilkan urusanya
kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah
membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang
hewan, dan urusan-urusan lainnya.
- Ijma’
Para ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya
Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya
dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau
tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.
PENERAPAN WAKALAH DALAM INSTITUSI KEUANGAN
Akad Wakalah dapat dipenerapankan ke dalam berbagai bidang,
termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
a. Transfer/ Pengiriman Uang
Transfer uang adalah kegiatan yang menggunakan konsep
akad Wakalah, yang diawali dengan permohonan nasabah sebagai
Al-Muwakkil kepada kantor pos/ bank/ western union sebagai AlWakil untuk
melakukan permohonan kepada kantor pos/ bank/
western union untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening
orang lain.
b. Letter Of Credit Impor
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini
menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad
Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah
memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah
atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai
dengan sutuasi yang terjadi.
1. Akad Wakalah bil Ujrah
i. Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga
pembayaran barang yang diimpor.
ii. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah
untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
iii. Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh
i. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor.
ii. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah
untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
iii. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
iv. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir
untuk pelunasan pembayaran barang impor.
3. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah
i. Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank
untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
ii. Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana
bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal
kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.
4. Akad Wakalah bil Ujrah dan Hiwalah
i. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor.
ii. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk
pengurusan dokumendokumen transaksi impor.
iii. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
iv. Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi
hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar
kepada eksportir senilai barang yang diimpor.
c. Letter Of Credit Ekspor
Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini
menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini
memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan
membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan
eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai
dengan sutuasi yang terjadi.
1. Akad Wakalah bil Ujrah
i. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
ii. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan
kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.
iii. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.
2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh
i. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
ii. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank).
iii. Bank memberikan dana talangan (Qardh) kepada nasabah
eksportir sebesar harga barang ekspor.
iv. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
v. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai
kesepakatan dalam akad.
vi. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak
dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
3. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah
i. Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang
dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang
dipesan oleh importir.
ii. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
iii. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank).
iv. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada
saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh
tempo (usance).
v. Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat
digunakan untuk Pembayaran ujrah, pengembalian dana
mudharabah, dan pembayaran bagi hasil.
vi. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
2. Al-Hiwalah
Secara etimologi, Hiwalah adalah istilah dari kata tahawwul artinya
berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya, pengertian hiwalah adalah
pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur kepada
pihak penanggung pelunasan hutang.
Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai
peminjam pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam kedua.
Proses pengalihan tanggung jawab ini harus disahkan melalui akad
hiwalah atau kata-kata.
➢ DASAR HUKUM HIWALAH
Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-Qur’an dan
Hadist. Berdasarkan Q.S Al-Baqarah (2:282) mengatakan bahwa
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar.”
Sementara dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh
orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang
diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya
(dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu (terimalah” (HR.
Bukhari).
Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma
ulama yang hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia mengatur akad
hiwalah dengan mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.12/DSNMUI/IV/2000 tentang
Hawalah, Fatwa DSN-MUI No.34/DSNMUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C)
Impor Syariah, dan
Fatwa DSN-MUI No.58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil
Ujrah.
➢ Implementasi Hiwalah pada Bank Syariah
Pada praktiknya akad hawalah umum diterapkan pada
lembaga-lembaga keuangan yang diantaranya adalah pembiayaan pembiayaan
factoring dan pembiayaan Letter of
Credit untuk keperluan impor barang.
a. Penerapan hawalah pada pembiayaan Factoring
Pembiayaan factoring atau anjak piutang merupakan
transaksi pembiayaan oleh suatu lembaga keuangan yang
bertindak sebagai (Muhal Alaih) dengan cara mengambil
alih piutang dari penjual/ pemberi jasa (Muhal) atas hutang
pembeli / penerima jasa (Muhil).
1) Kontraktor (Muhil) berhutang kepada supplier material
(Muhal) atas pembelian bahan-bahan bangunan.
2) Muhal mengalihkan piutangnya (atas hutang muhil)
kepada lembaga pembiayaan syariah (Muhal Alaih) atas
pengetahuan kontraktor (muhil)
3) Atas pengalihan ini lembaga keuangan syariah
membayar sejumlah uang sebesar hutang muhil setelah
dikurangi Ujrah.
4) Pada sa’at jatuh tempo hutang kontraktor (muhil)
melakukan pembayaran kepada lembaga keuangan
syariah (Muhal)
b. Penerapan hawalah pada pembiayaan L/C dalam rangka
Impor
Pembiayaan dengan akad hawalah pada transaksi
L/C dalam rangka impor, diawali dengan penerbitan L/C
dengan akad wakalah atau kafalah dengan skema sebagai
berikut: Akad hawalah dilakukan antara importer (muhil)
dan bank syariah (muha ‘alaihl) untuk mengalihkan hutang
importer kepada eksportir (muhal) menjadi hutang importer
kepada bank syariah.
3. Al-Kafalah
Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan),
sedangkan menurut pengertian syara’ kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafiil menjadi tanggungan ashiil dalam
tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau barang atau
pekerjaan.
Pengertian Kafalah menurut beberapa para ulama adalah sebagai
berikut:
Mahzab Maliki “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan
pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung
pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”
Menurut Mahzab Hambali “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada
orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam
orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya)
kepada orang yang mempunyai hak”
➢ DASAR HUKUM KAFALAH
Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan
suatu tindakan tertentu kepada orang lain yang mana orang lain
tersebut bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan
sepanjang kegiatan yang didelegasikan diperkenankan oleh agama.
Dalil yang dipergunakan, antara lain adalah :
1) Al-Qur’an
“Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (QS. Yusuf : 72).
“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan)
dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Ma’idah : 2)
2) Al-Hadits
Hadis Nabi riwayat Bukhari: “Telah dihadapkan kepada
Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya,
‘Apakah ia mempunyai hutang?’
Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya.
Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun
bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab.
‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau
sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata,
‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah
pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah
bin Akwa’).
➢ Implementasi Kafalah dalam Perbankan Syariah
Menurut Abdul Ghofur Anshori secara fiqih terdapat tiga
macam kafalah yang dapat diimplementasikan dalam produk
perbankan syariah yaitu:
a. Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri peminjam (personal
guarantee).
b. Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau
pelunasan hutang. penerapannya dalam perbankan dapat
berbentuk jaminan uang muka (advance payment) atau jaminan
pembayaran (payment bond).
c. Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh
kurun tertentu. Dalam perbankan modern hal ini dapat
diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek
(performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
4. Al-Qardh
Qardh secara bahasa berasal dai kata al-qardh yang berarti
petolongan. Maksud dari kata pertolongan dalam konteks qardh adalah
pertolongan yang berasal dari harta orang yang memberikan uang. Sedangkan
menurut istilah diartikan meminjamkan harta kepada orang
lain tanpa mengharapkan imbalan.
Sayyid Sabiq mendefinisikan qardh sebagai harta harta yang
diberikan oleh pemberi hutang (muqridh) kepada penerima utang
(muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti
yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
Menurut Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2001, Al-Qardh adalah
pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang
memerlukan. DI Indonesia akad qardh juga diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/46/PBI/2015 tentang Qardh yang diartikan sebagai
pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secarasekaligus atau cicilan
dalam waktu tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akad Qardh
merupakan akad hutang piutang dengan dasar tolong-menolong tanpa
ada imbalan apapun atau untuk mencari keuntungan. Maka dari itu akad
ini termasuk ke dalam akad tabarru (tolong-menolong).
➢ Dasar Hukum
Dasar hukum Qardh salah satunya terdapat dalam Q.S. AlBaqarah ayat 245 yang
artinya “Barang siapa yang meminjami Allah
dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah),
Maka Allah akan meperlipat gandakan ganti kepadanya dengan
banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan. yat ini menjelaskan bahwa siapa yang
memberikan pinjaman untuk sesuatu yang baik maka Allah akan
membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda”
➢ Implementasi Al-Qardh dalam Perbankan Syariah
Dalam Praktiknya Qardh di Perbankan Syariah banyak di
implementasikan pada produk-produk seperti Produk kerjasama dalam Penyaluran
Zakat Produktif dengan BAZNAS, Dana
Talangan Haji, Pembiayaan Usaha, Letter of Credit (L/C) Impor dan
Ekspor Syariah dan lain-lain yang merujuk berdasarkan Fatwa DSNMUI yang telah
dikeluarkan.
Qardh dalam praktik Perbankan syariah memiliki banyak
manfaat tidak hanya bagi nasabah karena dirasa sangat membantu
dan tertolong juga bagi Bank itu sendiri, Qardh ini tidak akan
merugikan Bank Syariah dan justru itulah kelebihan dari Bank
syariah yang dalam operasionalnya berbeda dari Bank
Konvensional, tidak hanya mengejar keuntungan tetapi di dalamnya
terdapat unsur sosial tabarru†™atau tolong menolong.
5. Al-Rahn
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas
pinjaman yang diterimanya atau dapat juga kita sebut sebagai gadai.
Objek barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang
atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang
mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta
menahannya disebut murtahin.
➢ Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika Sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Rabbnya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa
yang menyembunyikanya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah : 283)
b. Al-Hadist
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam membeli
dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan
menggadaikan baju besinya” [HR Al Bukhari no. 2513 dan
Muslim no. 1603]
➢ Implementasi Rahn dalam Pegadaian Syariah
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai
berikut:
Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah
untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir
barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pembiayaan.
Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai.
Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa
Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin
pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya
Jasa Simpan oleh nasabah.
Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh
tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat
mengembalika uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali
masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman
dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian
melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan
mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil
penjualan barang gadai.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip-prinsip dasar dalam LKS diantaranya adalah prinsip titipan atau simpanan (al-
wadi’ah), prinsip bagi hasil yang meliputi mudharabah dan musyarakah, prinsip jual beli
yang meliputi murabahah, salam, dan istishna’, prinsip sewa (ijarah) dan prinsip jada yang
meliputi wakalah, kafalah, hawalah, rahn, qardh, sharf. Sebagian dari prinsip-prinsip ini
muncul di LKS sebagai produk dari LKS dengan nama yang sama atau mengalami
perubahan.
B. Saran
Demikian makalah ini saya buat, saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
membantu atas terselesainya makalah ini. Saya menyadari makalah yang saya buat ini jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu saya mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun,
agar dapat memperbaiki makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Shobirin. ''Jual Beli Dalam Pandangan Islam". Vol.3 No.2. Desember 2015.
Diakses 21 Mei 2022 dari
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1494/137
2
2. Rachmawati Eka Nuraini & Ab Mumin bin Ab Ghani. "Akad Jual Beli
Dalam Perspektif Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia". Vol.XII,
No.4. Desember 2015. Diakses 21 Mei 2022 dari
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/214
3. Kariyono. "Implementasi Jual Beli Murabahah dalam Lembaga Keuangan
Syariah". Vol.XV, No.2, Desember 2019. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://www.jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/download/1062
/pdf
4. Irawan, Hermansyah, & Abd. Kholik Khoerulloh. "Konsep Ba'i Salam dan
Implementasinya dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional".
Vol.VII, No.14. Juli 2020. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/iqtisadiya/article/download/10168/4
909
5. Farid Muhammad & Husnul Khotimah. "Analisis Implementasi Akad
Istishna' dalam Perbankan Syariah". Vol.1 No.2, Desember 2019. Diakses
21 Mei 2022 dari
https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/muhasabatuna/article/view/1
264
6. Bab II. "Landasan Teori (Ijarah)". Diakses 21 Mei 2022 dari
http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf
7. Santoso Harun & Anik. "Analisis Pembiayaan Ijarah pada Perbankan
Syariah". Vol.1 No.2, Juli 2015. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/download/33/32
8. Muchtar Hardiwinoto. "Implementasi Prinsip Wakalah Pada Bank Syariah".
25 November 2017. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://hardiwinoto.com/implementasi-prinsip-wakalah-pada-bank-syariah/
9. Redaksi OCBC NISP. "Hiwalah: Pengertian, Skema, Dasar Hukum, Jenis
& Contohnya". 15 Juli 2021. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalahadalah#:~:text=Hiwalah%20adalah
%20Secara%20etimologi%2C%20peng
ertian,kepada%20pihak%20penanggung%20pelunasan%20hutang
10. Muchtar Hardiwinoto. "Implementasi Prinsip Hiwalah Pada Bank Syariah".
25 November 2017. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://hardiwinoto.com/implementasi-prinsip-hawalah-pada-bank-syariah/
11. Muchtar Hardiwinoto. "Implementasi Prinsip Kafalah dalam Perbankan
Syariah". 25 November 2017. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://hardiwinoto.com/implementasi-prinsip-kafalah-dalam-perbankansyariah/
12. Nurlianah. "Konsep dan Implementasi Akad Qardh pada Perbankan
Syariah". 20 Juni 2021. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://retizen.republika.co.id/posts/11789/konsep-dan-implementasi-akadqardh-pada-
perbankansyariah#:~:text=Dari%20beberapa%20definisi%20di%20atas,tabarru%20(
tolong%2Dmenolong)
13. Kurnia Adi Sandy. "Mengenal Akad Ar-Rahn, Pengertian, Dasar Hukum,
Rukun dan Syarat". 17 Mei 2018. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://www.kompasiana.com/adikurniasandy8065/5afd1cebdd0fa85d2c51
be52/mengenal-akad-ar-rahn-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan-syarat
14. Kurnia Adi Sandy. "Implementasi Rahn dalam Penggadaian Syariah". 16
Mei 2018. Diakses 21 Mei 2022 dari
https://www.kompasiana.com/adikurniasandy8065/5afc3bcbdd0fa85d5414
79c4/implementasi-rahn-dalam-penggadaian-syariah.

Anda mungkin juga menyukai