Anda di halaman 1dari 41

KELOMPOK 1

BAB II 
PERADILAN

A. Arti Fungsi dan Hikmah Peradilan 


1. Pengertian Peradilan 

Peradilan berasal dari kata adil yang artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, maka
peradilan berarti tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Peradilan
dalam bahasa arab digunakan kata “Qudha” jamaknya ‘Aqdhiya” berarti : “Memutuskan
perkara / perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarjan hukum Allah. 

2. Fungsi Peradilan 

Lembaga Peradilan bertugas menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum,


landasan fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum. Ibnu Khaldun menyatakan,
bahwa tempat menegakkan hukum adalah menetapkan penyelesaian suatu perkara pertama
sehingga bersatu lagi pihak-pihak bermusuhan terpenuhi sebagian hak yang umum dari kaum
muslimin dengan pertimbangan membantu pihak yang lemah yang kena Jinayat, anak-anak
yatim orang yang bangkrut dan mereka yang hidup kesusahan. 

3. Hikmah Peradilan 

a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh semua pihak.

b. Terciptanya perdamaian, karena masyarakat memperoleh kepastian hukum dan diantara


masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain.

c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat


d. Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa 

B. Hakim 
1. Pengertian Hakim 

Hakim adalah Isim fa’il dari kata hakama yang artinya orang yang menetapkan hukum atau
memutuskan hukum atau suatu perkara. Menurut istilah hakim adlaah orang yang diangkat
penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan-persengketaan.

2. Syrat-Syrat Menjadi Hakim

 
a. Muslim 
b. Baligh 
c. Berakal 
d. Adil 
e. Mengetahui hukum / Undang-undang 
e. Sehat Jasmani dan Rohani 
f. Dapat membaca dan menulis 

3. Tata Cara Peradilan Menjatuhkan Hukuman 

Peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa didasarkan kepada berbagai hal dan
pertimbangan yaitu : 
a. Didasarkan kepada hasil pemeriksaan perkara didalam siding peradilan 
b. Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan perkara sesuai
dengan prosedur dan adab / kesopanan pada hakim

4. Adab Kesopanan / Etika Hakim


a. Hendaklah ia berkantor ditengah-tengah negeri, ditempat yang diketahui orang dan dapat
dijangkau oleh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat mudah mendapatkan pelayanan
keadilan. 
b. Hendaklah ia menganggap sama terhadap orang-orang yang berperkara 
c. Jangan memutuskan hukum dalam keadaan 
- Sedang marah 
- Sedang sangat lapar dan haus 
- Sedang sangat susah atau sangat gembira 
- Sedang sakit 
- Sedang menahan buang air yang sangat 
- Mengantuk 
Rasulullah SAW bersabda : 

Artinya : “Janganlah menghukum antara dua orang sewaktu dia marah” (HR. Jamaah) 

d. Tidak boleh menerima pemberian dari orang-orang yang sedang berperkara, yang ada
kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani. 
Rasulullah SAW bersabda : 

Artinya : “Allah mengutuk orang yang menyogok dan orang yang disogok dalam masalah
hukum”. 

e. Hakim tidak boleh menunjukkan cara berdakwa dan cara membela 


f. Surat – surat hakim kepada hakim yang lain diluar wilayahnya. 

5. Kedudukan Hakim Wanita

Kebanyakan Jumhur Ulama tidak membolehkan wanita menjadi hakim. Pendapat ini
dikemukakan oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali dan lain-lain, sedangkan menurut Abu
Hanifah dan para pengikutnya membolehkan wanita menjadi Qadhi dalam segala urusan,
kecuali had dan qishash. Ibnu Jarir At-Thabi memperbolehkan wanita menjadi qadhi dalam
segala urusan sebagaimana laki-laki.
 
Dalam sejarah Peradilan Islam, tidak dikenal hakim-hakim wanita, karena semuanya adalah
laki-laki. Seandainya memang karena sesuatu hal wanita menjadi hakim sebaiknya hanya
terbatas menjadi hakim anggota saja. 
Saksi atau Asy-Syahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat yaitu orang yang
dimintakan hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan keterangan yang membenarkan
/ menguatkan bahwa peristiwa itu terjadi. Saksi-saksi itu bias membenarkan suatu peristiwa
atau menyatakan bahwa suatu peristiwa tidak terjadi. Sehingga saksi yang dihadirkan bias
dapat memberatkan kepada terdakwa atau meringankan. 

C. Syarat-syarat Saksi Yang Adil

- Adil adalah syarat mutlak bagi seorang saksi Allah SWT berfirman 

Artinya : “Dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil diantara kamu”. 

Yang dimaksud adil disini adalah orang yang sudah baligh, berakal, tidak pernah melakukan
dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil. 
Orang yang adil tersebut hendaknya mempunyai syarat-syarat dibawah ini : 
- Muslim 
- Merdeka 
- Dapat berbicara 
- Bukan musuh orang yang terdakwa 
- Phabit 

3. Kesaksian Tetangga dan Orang Buta 

Kesaksian tetangga dibolehan dan dianggap sah selama memenuhi syarat-syarat seorang
saksi. Yang tidak boleh adalah suami memberikan saksi atas isteri atau sebaliknya, atas orang
tua dan sebaliknya serta pembantu atas tuannya.

Demikian halnya orang buta, menurut Imam Malik dan Imam Ahmad boleh menjadi saksi
asal dia dapat mendengar suara. Namun kesaksian orang buta ini dalam hal-hal yang terbatas.
Misalnya dalam saat pernikahan, thalaq, jual beli, sewa menyewa, wakaf, pengakuan dan
sebagainya. Tapi kesaksian yang berkaitan dengan peristiwa/kejadian maka orang buta tidak
sah menjadi saksi misalnya kesaksian orang yang perzina, kesaksian orang yang mencuri dan
sebagainya. 

4. Sangsi terhadap Saksi Palsu

Saksi Palsu itu dianggap sebagai dosa besar, karena dampak negatifnya yang sangat luas.
Dapat merugikan pihak-pihak tertentu, yang salah bisa bebas dari hukuman dan yang benar
bisa dihukum, akan tersebar fitnah didalam masyarakat jatuhnya wibawa hukum didalam
masyarakat dan lain-lain. Sehingga persaksian Palsu ini dosanya disamakan dengan dosa
syirik dan durhaka pada orang tua. 

D. Penggugat dan Bukti 


1. Pengertian Penggugat 

Penggugat adalah orang yang menuntut keadilan melalui pengadilan karena adanya haknya
yang diambil orang lain atau karena adanya permasalahan dengan pihak lain, yang dianggap
merugikan dirinya. 

2. Syarat – syarat Gugatan 

- Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke Pengadilan dan ditandatangi oleh
penggugat

- Gugatan harus diuraikan dengan jelas (tatshil), baik permasalahannya maupun alas an-
alasan gugatan

- Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara

- Memenuhi persyaratan jhusus yang dibuat oleh pengadilan 

- Pihak tergugat tertentu orangnya 

- Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan berakal 


- Penggugat dan tergugat tidak dalam berperang agama 

3. Macam-macam Bukti 

Suatu dakwaan dapat diterima dan dibenarkan apabila disertai dengan bukti dan lengkap. 
- Saksi
- Barang Bukti 
- Pengakuan Terdakwa 
Pengakuan ini adalah hujjah yang terbatas. Artinya hanya berlaku bagi orang yang memberi
pengakuan saja dan tidak dapat mengenai diri orang lain. 
- Sumpah 
- Pengetahuan atau keyakinan Hakim 
Pengakuan Hakim yang ada relevansinya dengan pemeriksaan perkara merupakan satu bukti
dalam penyelesaian perkara tersebut. 

4. Cara Memeriksa Terdakwa dan Terdakwa Yang Tidak Hadir di Persidangan

Dalam pemeriksaan perkara, siding harus dilakukan secara terbuka. Menurut Imam Hanafi
jika terdakwa tidak mau hadir karena membangkang atau tidak hadir lalu memberikan ikrar
kepada hakim akan menerima apa yang diputuskan pengadilan, maka hakim boleh
memutuskan perkara dengan cara Verstek (tidak hadir dan absentia). 

Adapun cara memeriksa terdakwa, mula-mula hakim berusaha lebih dahulu untuk
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara serta mengajukan pertanyaan kepada pendakwa.
Ada beberapa kemungkinan dalam jalannya persidangan, yang pada akhirnya hakim
memutuskan perkara.

- Apabila terdakwa mengikrarkan (mengakui) tuduhan, maka hakim memutuskan perkara


sesuag dengan pengakuan tersebut dan pemeriksaan terdakwa dianggap tuntas.

- Apabila terdakwa mengingkari tuduhan pendakwa, maka hakim meminta kepada pedakwa
untuk mendatangkan bukti-bukti perkara. 
- Apabila bukti-bukti tidak cukup, sedangkan pendakwa tidak mampu membuktikan
kebenaran gugatannya, lalu ia minta supaya pihak terdakwa disumpah, maka hakim harus
meluluskan permintaannya.

E. Tergugat dan Sumpah 


1. Pengertian Tergugat

Tergugat adalah orang yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan hak-hak
orang yang lain atau dituntut untuk mempertanggung jawabkan kesalahan atas dakwaan
pihak lain di Pengadilan.
 
2. Tujuan sumpah dan Sumpah Tergugat 

Sumpah yaitu suatu pernyataan yang hidmat, diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan
dengan nama Allah dengan menggunakan huruf Qasam (Sumpah). 
Tujuan sumpah adalah memberikan keterangan guna meyakinkan bahwa sesuatu itu demikian
atau tidak. Sumpah diucapkan oleh tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang
ditujukan kepadanya. 

Nabi Saw bersabda : 

Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan (suatu perkara) dengan saksi dan
sumpah” (HR. Muslim).

Sumpah yang diucapkan tergugat bahwa semua gugatan penggugat itu tidak benar disebut
Yaminul Munkir (Sumpah Penolakan).

3. Syarat-syarat Orang Bersumpah

Orang yang bersumpah dianggap sah sumpahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut : 

- Mukallaf
- Atas kehendak Sendiri 

- Menyengaja mengucapkan sumpah

- Harus dengan nama Allah.

4. Pelanggaran Sumpah

Yang termasuk pelanggaran sumpah adalah seseorang telah berikrar dengan menyebut nama
Allah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu lalu tidak menepatinya. 
Dengan orang yang melanggar sumpah adalah memilih salah satu dari hal-hal sebagai berikut

- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan pokok (3/4 Liter
Beras) / orang

- Memerdekakan hamba sahaya

- Mengerjakan puasa selama 3 hari

F. Peradilan Agama di Indonesia 


1. Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia

Undang-undag No. 14 Tahun 1970, yaitu Undang-undang tentang ketentuan pokok


kekuasaan kehakiman, pada pasal 10 ayat 1 ditetapkan bahwa Pengadilan Negeri terdiri
dari : 
- Peradilan Umum 

- Peradilan Agama

- Peradilan Milite

- Peradilan Tata Usaha Negeri


2. Fungsi Peradilan Agama

Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat pengadilan bagi orang Indonesia yang beragama
Islam. Adapun perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama di Indonesia adalah :

- Perselisihan antara suami isteri yang beragama lain

- Perkara – perkara tentang Nikah, Thalaq, Ruju’ dan Perceraian antara orang-orang yang
beragama Islam yang memerlukan penyelesaian

- Memberikan putusan perceraian

- Menyatakan bahwa syarat jatuhnya Thalaq yang digantungkan (Ta’liq Thalaq) sudah ada

- Mahar (termasuk mut’ah)

- Perkara tentang kehidupan (Nakha) isteri yang wajib diadakan oleh suami. 
BAB III 
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil makalah ini kami menyimpulkan bahwa tempat suatu keputusan yang baik adalah
Peradilan merupakan tempat memutuskan perkara / perselisihan antara dua orang atau lebih
berdasarkan hukum Allah, atau juga disebut lembaga yang menempatkan perkara-perkara
hukum sesuai dengan tempatnya

KELOMPOK 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Hakim berasal dari kata ‫اكم‬JJ‫ ح‬- ‫حكم – يحكم‬ : sama artinya dengan qadhi yang
berasal dari  kata ‫اض‬JJ‫ ق‬- ‫ي‬JJ‫ي – يقض‬JJ‫قض‬ artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa
adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya.  Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang
diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan,
perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri
tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW
telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di
tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada
sahabatnya.  Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.
Sedangkan menurut undang-undang Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim
pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh
kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya meneurut undang-undang yang
berlaku.   Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan.  Bahkan ia “identik”
dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasa kekuasaan kehakiman seringkali
diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan
diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan
hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam
merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.

B. Hukum Menjadi Hakim


Menjadi hakim hukumnya fardu kifayah jika tidak ada orang yang sanggup
untuk menjadi hakim. Dan disunatkan apabila jika memang dirinya lebih pantas
dibandingkan dengan  orang lain yang juga layak bekapasitas untuk menjadi hakim,
Sebaliknya jika orang lain lebih layak menjadi hakim maka kita makruh  hukumnya 
menjadi hakim. Hukumnya mubah apabila didapatkan orang lain sama kelayakannnya
untuk menjadi hakim, dan haram hukumnya manakala ,memang tidak mempunyai
kapasitas kemampuan untuk menjadi hakim.
Meminta untuk menjadi hakim hukumnya ada lima: wajib, mubah, mustashab,
makruh dan haram.
1. Wajib adalah jika orang itu ahli ijtihad atau dari kalangan ahli ilmu dan bersikap
adil dan di daerah itu tidak terdapat hakim atau ada hakim tetapi tidak legal
pengangkatannya atau di tempat itu tidak ada oarang yang layak menjadi hakim,
atau karena keadaannya yang apabila tidak diikuti keputusannya, dia akan
menyerakan keputusannya kepada orang yang tidak legal pengangkatannya.
2. Mubah apabila seseorang fakir dan mempunyai tanggungan nafkah tehadap
keluarganya, maka ia diperbolehkan berusaha mendapatkan penghasilan untuk
menutupi kefakirannya itu.
3. Mustashab apabila di suatu tempat terdapat orang yang berilmu tidak diketahui
masyarakat, kemudian penguasa ingin memperkenalkan tentang keberadaannya
dengan jalan mengangkatnya menjadi hakim atau orang tersebut  berusaha untuk
menjadi hakim, maka dimustahabkan baginya untuk memangku jabatan hakim.  
4. Makruh usaha untuk menjadi hakim dalam rangka untuk memperoleh kemegahan
dan ketinggian, bagi orang-orang seperti ini dimakruhkan.
5. Haram jika seseorang berusaha  meminta menjadi hakim sedangkan dia tidak
punya kapasitas dalam masalah peradilan, atau dia berusaha menjadi hakim dan
dia dari kalangan ahli ilmu akan tetapi dia fasik.

C. Syarat Menjadi Hakim


Secara globalnya syarat menjadi Qodhi/hakim itu sebagai berikut :
1. Laki-laki;
2. Berakal;
3. Islam;
4. Adil;
5. Berpengetahuan tentang pokok-pokok hukum agamadan cabang-cabangnya, dan
6. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapannya.

D. Tugas Hakim
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata
islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara
Peradilan Agama (Ps. 1 dan 2 UU No 14 tahun 1970).
1. Tugas Yustisial
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata
islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara
Peradilan agama. tugas pokok hakim di Pengadilab Agama dapat dirinci sebagai
berikut :
a) Membantu mencari keadilan dalam perkara perdata, Pngadilan membantu
para pencari keadilan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan (Ps.5 (2) UU. No, 14/1970).
b) mengatasi segala hambatan dan rintangan
Hakim Wajib mengatasi Segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, crpat dan biaya ringan ( Ps. 5 (2) UU. No.
14/1970 ) baik yamg berupa teknis maupun yuridis.
c) mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
Perdamaian adalah lebih baik dari pada putusan yang dipaksakan. dalam
perkara perceraian, lebih-lebih jika sudah ada anak, maka hakim harus lebih
sungguh-sungguh dalam upaya perdamaian
d) memimpin Persidangan
berupa Menetapkan hari sidang, memerintahkan memanggil para pihak,
mengatur mekanisme sidang, mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang,
melakukan pembuktian, mengakhiri sengketa.
e) memeriksa dan mengadili Perkara
f) meminutir berkas perkara
Minutering atau minutasi ialah suuatu tindakan yang menjadikan semua
dokumen perkara menjadi dokumen resmi dan sah. minutasi dilakukan oleh
pejabat pengadilan sesuai dengan bidangnya masing-masing, namun secara
keseluruhan menjadi tanggung jawab hakim yang bersangkutan.
g) mengawasi pelaksanaan putusan
Hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan agar putusan dapat
dilaksanakan dengan baik dan lancar serta upaya perikemanusiaan dan
perikeadilan tetap terpelihara.
h) memberikan pengayoman kepada pencari keadilan
i) menggali nilai-nilai hukum yang hidup daalam masyarakat
Hakim sebagai Penegak Hukum dan Keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (ps.27 (1)
UU. No. 14/1970)
j) mengawasi penasehat hukum
Hakim Wajib Mengawasi penasehat hukum yang berpraktek di Pengadilan
Agama.
2. Tugas Non Yuditisial
a) Tugas Pengawasan sebagai Hakim Pengawas Bidang
b) turuk melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal
c) sebagai rokhaniawan sumpah jabatan
d) memberikan penyuluhan hukum
e) melayani riset untuk kepeentingan ilmiah
f) tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
3. Tugas Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
a) konstatiring, yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan
dalam duduknya perkara pada Putusan Hakim.
b) kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat
putusan.
c) konstituiring, yaitu yang dituangkan dama amar putusan (dictum).
E. Kedudukan Hakim
Hakim berkedudukan sebagai pelaksana hukum-hukum Alloh Swt mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang
berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang
ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di
tengah masyarakat, atau setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman dalam
suatu komunitas dapat direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi pun cukup
berat, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan mereka
yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan
hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang
seharusnya.
Hakim mempunyai posisi yang sangat penting dan krusial, karena dialah orang
yang memutuskan perkara di tengah masyarakat. Karena itu, posisi hakim ini
mengharuskan pemangkunya harus kredibel, orang yang dihormati dan adil dalam
memberikan keputusan. Seorang hakim tidak akan bisa memperolah kedudukan yang
mulia seperti ini, kecuali melalui pembuktian yang dia tunjukkan dengan prilakunya
yang bisa diterima masyarakat, jauh dari syubhat dan kuat dalam memegang prinsip.
 Kedudukan hakim perempuan
a. Pendapat Imam Syafi’i
Menurut jumhur ulama dikalangan mazhab syafi’i, maliki dan hambali,
laki-laki merupakan syarat untuk dapat di angkat sebagai kadi. Anak kecil dan
wanita tidak sah menjadi hakim. Tidak sah wanita diangkat sebagai kadi,
apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka putusan yang
dijatuhkan itu tidak sah.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34
yang mengatakan bahwa “kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas
sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Imam Syafi’i menjadikan ayat diatas sebagai dalil tidak bolehnya
perempuan menduduki jabatan hakim, akan tetapi dia tidak mengemukakan
cara istidlal dengan terperinci bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari
ayat tersebut. Namun untuk melihat pendapat ini, kita dapat melacak tulisan
imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Um. Disini dia mengatakan bahwa
perempuan mempunyai kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Oleh
karena itu pria dijadikan sebagai pemimpin (Qawwam), hakim, berjihad,
memperoleh harta dua bahagian dibanding perempuan, dan sebagainya.
Oleh karna Imam Syafi’i tidak memgemukakan cara istidlal maka
disini akan dikemukakan cara istidlal yang ditempuh oleh ulama yang
sependapat dengannya, antara lain Imam Al-Qurtubi. Dia menjadikan Q.S.
An-Nisa’ ayat 34 sebagai dalil bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim.
Hal ini dipahami dengan kata “qawwam” atau pemimpin. Kata ini mempunyai
tiga arti yaitu :1. hukkam (hakim), 2. Umara (penguasa), 3. Man yazku (orang
yang berperang).
Dalil kedua yang dijadikan alasan oleh Imam Syafi’i tentang tidak
bolehnya perempuan menduduki jabatan hakim adalah hadits Rasul SAW
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nas’i dan Turmudji dari Abi
Barkah yang berbunyi:
“Tidak diberi keuntungan suatu umat jika mereka menyerahkan
urusan mereka untuk dipimpin oleh perempuan”.
Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah hadis dari Abi Barkah
dimana Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa suatu bangsa tidak akan jaya
apabila pemerintahan dipegang oleh kaum wanita. Rasulullah SAW
menyampaikan hal ini ketika mendengar Raja Persia telah mati dan rakyat
Persia melantikkan anak perempuannya menjadi Ratu.
2. Pendapat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa wanita boleh diangkat sebagai
kadi untuk memutuskan perkara yang menerima persaksian wanita, dan
tidak boleh memangku jabatan kadi dalam masalah yang menerima
persaksiannya. Jika ada penguasa yang mengangkat wanita sebagai hakim,
maka pengangkatannya itu sah tetapi orang yang mengangkatnya
memangku dosa. Demikian juga dengan putusan yang dijatuhkan oleh kadi
wanita itu tetap dianggap sah, kecuali kasus-kasus hudud dan qisas.
Hujah golongan yang menyetujui pendapat mazhab Abu Hanifah ini
didasarkan kepada qiyas, bahwa wanita boleh menjadi saksi dalam berbagai
masalah, maka wanita juga bisa menjabat sebagai kadi dalam berbagai
perkara, terutama perkara-perkara yang diharuskan wanita bisa menjadi
saksi.
Imam Hanafi menghubungkan pendapatnya itu dengan hukum
kesaksian. Menurut beliau setiap orang yang dapat diterima kesaksiannya
dalam kasus tertentu, maka orang tersebut bisa menjadi hakim dalam kasus
tertentu pula. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang tidak bisa menjadi
saksi dalam kasus tertentu, maka untuk menjadi hakim pun tidak
dibolehkan. Disini terlihat jelas suatu hubungan hukum yang erat antara
kebolehan menjadi hakim dengan kebolehan menjadi saksi.
Adanya upaya Imam Hanafi untuk mempersamakan ketentuan hukum
yang berlaku bagi hakim dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi saksi
dipandang mempunyai aspek persamaan yang dominan. Kedua hal ini
sama-sama berperan dalam mewujudkan nilai suatu keputusan hukum,
namun masih sulit sekali untuk menentukan mana yang lebih dominan
diantara keduanya. Sebagai contoh, penentuan syarat yang ketat bagi saksi
dimaksudkan agar keterangan yang diberikan benar-benar sesuai dengan
fakta, akan tetapi hal itu akan menjadi sia-sia bila hakim yang memutuskan
perkara tersebut adalah zhalim.
Hal ini sama sia-sianya jika hakim yang adil memutuskan hukum
berdasarkan keterangan yang diberikan oleh saksi yang menyembunyikan
kebenaran (saksi palsu). Dengan demikian kedua hal tersebut sama-sama
penting guna mewujudkan suatu keputusan hukum yang adil.
Untuk lebih jelasnya hubungan diatas, maka perlu dijelaskan ketentuan
hukum kesaksian menurut Imam Hanafi. Hal ini dapat dilihat dari dua
aspek yaitu:
a. Kesaksian dua orang perempuan bersama seorang pria; Ketentuan
ini didasarkan pada firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 282
yang artinya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang –orang
lelaki (di antara kamu), jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya...”
b. Kesaksian perempuan secara mandiri
Imam Hanafi dengan tegas mengatakan kesaksian perempuan
secara mandiri tidak dapat diterima. Hal ini didasarkan pada
ketentuan Q.S. al-Baqarah ayat 282. Didalam ayat tersebut
ditegaskan bahwa saksi haruslah terdiri dari dua orang laki-laki,
atau kalau tidak terpenuhi maka boleh kesaksian seorang pria
ditambah dengan dua orang perempuan. Selanjutnya dalam ayat
tersebut dikemukakan pula agar para saksi dapat mengingatkan
satu sama lainnya jika salah satunya lupa. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa Imam Hanafi pada prinsipnya tidak membolehkan
perempuan untuk menjadi saksi secara mandiri. Namun ia juga
memberikan pengecualian terhadap kasus-kasus yang dipandang
“khususiah” bagi kaum perempuan. Untuk kasus ini ia menerima
kesaksian perempuan secara mandiri, karena kalau tidak akan
menyulitkan dalam pembuktian. Hal ini disebabkan karena pria
tidak dapat menyaksikan kasus tersebut.
3. Pendapat Ibn Jarir at-Tabari
Ibn Jarir at-Tabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi
hakim secara umum sama seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria.
Logika yang ditempuh Ibn Jarir at-Tabari dengan memberi ketentuan bahwa
setiap orang yang boleh memberi fatwa (menjadi mufti), maka orang tersebut
boleh pula memutuskan perkara (diangkat menjadi hakim). Disini jelas ada
kaitan yang erat antara seorang hakim dengan seorang mufti.
Sebelum menganalisis lebih jauh pendapat Ibn Jarir at-Tabari tentang
hakim perempuan, perlu dijelaskan mengenai fatwa itu sendiri. Hal ini dapat
ditemukan dari ucapannya tentang kebolehan perempuan berfatwa. Ibn Jarir
at-Tabari dengan tegas mengatakan; perempuan boleh berfatwa secara umum
terhadap seluruh masalah fiqh dan cabang-cabangnya tanpa ada pengecualian.
Kebolehannya sama dengan yang dimiliki oleh kaum pria. Inilah yang dapat
dilacak dari pendapatnya yang tegas mengenai fatwa. Berdasarkan landasan
inilah ia menganalogikan kebolehan perempuan menjadi hakim sama dengan
kebolehan yang diperoleh kaum pria. Ketentuan ini diperoleh karena kedua-
duanya (pria dan perempuan) boleh memberikan fatwa secara umum, tanpa
ada perbedaan satu sama lain.
BAB III
SIMPULAN

Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa profesi hakim dalam
perspektif Syari’at Islam itu harus memiliki moralitas yang tinggi dan memiliki
tanggung jawab intelektual dalam mengemban tugas mulianya yang sarat dengan
resiko dan tantangan, sehingga adakalanya harus melakukan suatu keputusan. Jika
seorang hakim memiliki intelektualitas dan moralitas yang tinggi maka ia akan
menyadari bahwa tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara semata, tetapi
memiliki tanggung jawab moral sebagai tugas keagamaan yang di dalamnya terdapat
masalah pahala dan dosa. Jika hal ini dapat direalisasikan maka tindakan “pelecehan
hukum” akan dapat diminimalisir dan upaya “penegakan supremasi hukum” akan
dapat direalisir. Seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum (Al-Qur’an dan
Al-Hadits), agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.

KELOMPOK 3
BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA DAN PROFESI HAKIM

A. ETIKA DAN PENGERTIAN


Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti :
Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup
dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang
berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf
pertama yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif.
aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat
tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik
dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang
bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan
hidupnya. menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya
berarti manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih
apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup
manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.

Perilaku menjadi obyek pembahasan etika, karena dalam perilaku


manusia menampakkan berbagai model pilihan atau keputusan yang masuk
dalam standar penilaian atau evaluasi, apakah perilaku itu mengandung
kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Beberapa ahli telah merumuskan pengertian kata etika atau lazim juga
disebut etik, yang berasal dari kata Yunani ETHOS tersebut sebagai berikut ini :
1. Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia
dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
2. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh
yang dapat ditentukan oleh akal.
3. Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam
hidupnya.

Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.
Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika
sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan
oleh Magnis Suseno dengan istilah etika deskriptif. Lebih lanjut Magnis Suseno
menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari
moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan,
tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan
prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan
manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia
terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang kewajiban
manusia sebagai anggota umat manusia. Telah jelas, etika yang berlandaskan
pada nilai-nilai moral kehidupan manusia, sangat berbeda dengan hukum yang
bertolak dari salah benar, adil atau tidak adil. Hukum merupakan instrumen
eksternal sementara moral adalah instrumen internal yang menyangkut sikap
pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu etika disebut juga “disciplinary
rules”.

Dikatakan  Etika Deskriptif, ialah etika yang berusaha meneropong secara


kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan
fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang
mau diambil.

Sedang Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai


sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup
ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus
memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara uumum dapat dibagi menjadi :


1. Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis,bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-
teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi
manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya
suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan,
yang membahas mengenai pengertian umum dan teoriteori.
2. Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana
saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan
kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan
prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud :
Cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidakan, dan teori
serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

Sedang Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu :


1. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap
dirinya sendiri.
2. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku
manusia sebagai anggota umat manusia.

Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengann konsep yang dimiliki
oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang
telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan


mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam
pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini kemudian diwujudkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat
yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala
macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai
menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian, aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau
berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral
menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan
tidak pantas. Sehubungan teori tentang etika, Darji Darmodiharjo dan Sidharta
dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Filsafat Hukum menulis: “Etika
berurusan dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan
suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai
teori (aliran) etika yang secara global bias dibagi menjadi dua, yaitu aliran
deontologist (etika kewajiban) dan aliran telelogis (etika tujuan atau manfaat).

Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi


pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela".
Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia,
yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi
didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain.
Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian
dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika,
kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk
melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.

B. PROPESI HAKIM

Profesi Hakim adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 :
8). profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini
diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara.

Pengemban p Profesi Hakim harus bekerja secara profesional dan


fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan
pengabdian yang tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri
dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pengemban Profesi Hakim bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila
terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela
mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik.
Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan kehormatan yang akan
mengoreksi pelanggaran kode etik.

Profesi Hakim merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut
agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima
kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum.
1. Kejujurran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum
mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan
penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu:

a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien,


kerelaan/keikhlasan melayani atau secara cuma-Cuma
b. Sikap wajar, ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan,
tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak
memeras.

2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan
keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional
hukum antara lain:
a. Tidak menyalahgunakan wewenang;
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan
perbuatan tercela;
c. Mendahulukan kepentingan klien;
d. Berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-
mata menunggu atasan;
e. Tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung
jawab, artinya:
a. Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang
termasuk lingkup profesinya ;
b. Bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran
dan perkara cuma-cuma (prodeo);
c. Kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kewajibannya.

4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah
mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan
memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara
moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak
terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri
dengan nilai kesusilaan dan agama.

5. Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang
menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian
tersebut antara lain:
a. Menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. Menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang
tidak sah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etika Profesi Hakim adalah
Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut
dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum
yang berlaku dalam suatu Negara sesuai kaidah-kaidah yang di tentukan. Sesuai
dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa
subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu: Polisi, Jaksa, Penasihat hukum
(advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.

Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam


lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika.
Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor
kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud
pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang
wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat
ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan
keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima,
dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan
terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh
pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan
kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh
suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum.
Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan
dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya
pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat
disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang
merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun
seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-
kaidah etika memang menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan
hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya
mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu
ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan
yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang
merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan
bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya
yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh
manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika
yang menentukannya; ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.

KELOMPOK 4
BAB II

PEMBAHASAN

Kedudukan Putusan Hakim (Yurisprudensi) Dalam Sistem Hukum

Tujuan diadakannya hukum adalah untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat demi
terwujudnya ketertiban, kebenaran dan keadilan. Tujuan hukum ini akan diwujudkan oleh Hakim
melalui putusan-putusannya.Sebagaimana diketahui, tugas pokok Hakim adalah memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara yang dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan demikian tugas Hakim adalah menyelesaikan sengketa, mewujudkan keadilan,
dan mempertanggung jawabkan hasil putusannya tersebut kepada diri sendiri, masyarakat dan
Tuhan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan tugas Hakim, maka Hakim berperan dalam mewujudkan
tujuan hukum tersebut.

Hukum yang terekam dalam kaidah hukum dan berbentuk peraturan-peraturan tertulis
(Undang-Undang) maupun hukum tidak tertulis sesungguhnya merupakan sesuatu yang sifatnya
abstrak dan berlaku umum, sedangkan hukum yang konkret dan khusus sifatnya manakala telah
diterapkan pada kasus tertentu. Hakim sebagai organ Pengadilan berperan dalam
mentransformasikan asas-asas yang abstrak menjadi kaidah yang konkret.

Dalam rangka penerapan hukum yang abstrak kedalam perbuatan konkret, Hakim harus
menguasai seluk beluk metode penerapan hukum seperti metode penafsiran, konstruksi,
penghalusan hukum dan sebagainya. Sehubungan dengan metode penerapan hukum, maka
penguasaan metode penerapan hukum sangat penting, karena Berkaitan dengan penemuan hukum
oleh Hakim, maka suatu putusan dapat dirumuskan sebagai proses berpikir dari seorang Hakim
melalui pengetahuannya yang cukup mampu berperan dalam menemukan hukum (rechtsvinding)
dan penciptaan hukum (rechtsschepping).

Penemuan hukum oleh Hakim senantiasa berkaitan dengan penerapan kaidah hukum dalam
suatu kasus, kaidah hukum mana belum diatur dalam Undang-Undang. Praktek peradilan di
Indonesia membenarkan Hakim lain mengikuti keputusan tersebut dan menjadikan dasar dan
sumber hukum untuk mengadili perkara serupa. Konsepsi demikian dalam ilmu hukum dikenal
dengan yurisprudensi. Namun demikian untuk dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi harus
dipenuhi unsur-unsur

Apabila keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

Putusan harus dibenarkan oleh peradilan tertinggi (Mahkamah Agung)

Kasus hukum yang diputus belum diatur dalam Undang-Undang

Para ahli hukum membedakan yurisprudensi menjadi dua macam, CST Kansil dan E. Utrecht
membedakan pengertian yurisprudensi yakni, yurisprudensi yang tetap dan yurisprudensi yang tidak
tetap. Mereka mengatakan, yurisprudensi tetap ialah, keputusan Hakim yang terjadi karena
rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar Pengadilan (standard arres) untuk mengambil
keputusan. Dalam ilmu hukum, yurisprudensi berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum
formil. Sumber-sumber hukum formil terdiri dari

Undang-Undang (Statuta)

Kebiasaan (custom)
Keputusan-keputusan Hakim

Traktat (Treaty)

Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)

Pembentukan Hukum Dalam Tradisi Sistem Hukum

Pembelanjaran ilmu hukum di Indonesia mengenal dua tradisi sistem hukum. Tradisi sistem
hukum Anglo saxon dan kontinental. Sistem hukum Anglo saxon dengan common law system,
sedangkan kontinental menganut civil law system.Sumber hukum yang utama kaidah hukum Anglo
saxon adalah hukum yang dibuat oleh Hakim (jadge made law). Peran Hakim sebagai pembaharuan
masyarakat sesuai dengan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan hukum “as a tool of social
engineering”. Melalui konsep hukum ini, maka Hakim sangat berperan dalam menciptakan hukum.

Kaidah hukum “common law” berakar pada putusan Hakim. Yurisprudensi sebagai hasil
“Judge made law” disertai sistem precedent. Putusan-putusan Hakim sifatnya mengikat
(binding).Berbeda dengan konsep di negara-negara kontinental, sumber utama kaidah hukum adalah
Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan, dan bukan putusan Hakim. Konsep Hakim
adalah mulut (corong) Undang-Undang menghendaki hukum hanyalah terwujud dalam Undang-
Undang atau hukum tertulis yang tersusun secara lengkap dalam Kitab Undang-Undang. Diluar kitab
hukum tidak ada hukum. Prinsip ini dikategorikan sebagai aliran legisme. Tujuan dari konsep
kodifikasi adalah dalam rangka menciptakan kepastian aturan hukum yang akan diterapkan.

Dewasa ini, tradisi sistem hukum di Indonesia tidak murni berada dalam kelompok tradisi
kontinental. Telah terjadi percampuran antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum Anglo
saxon, hal tersebut merupakan gejala umum (universal) sebagai bagian dari tatanan hukum.Pranata-
pranata hukum yang semula termasuk dalam tradisi Anglo saxon diambil over menjadi bagian sistem
hukum Indonesia. Tatanan hukum Indonesia baru telah didapati berbagai pranata hukum dari tradisi
Anglo saxon. Adopsi pranata hukum common law kedalam sistem hukum Indonesia antara lain
dalam ketentuan sebagai berikut

Pengujian diluar Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berwenang melalukan pengujian, ini


mengadopsi dari sistem common law sejak perubahan UUD 1945 (perubahan ke-3)

Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2002

Injunction, Lembaga Penetapan Pengadilan yang melarang seseorang atau badan hukum
melaksanakan tindakan tertentu. Dalam Undang-Undang dibidang HaKI, hal-hal tersebut telah
masuk sebagai pranata hukum positif

Strict Liability (tanggung jawab mutlak) yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup ;
Apabila pranata-pranata hukum yang semula berasal dari sistem hukum Anglo saxon telah
ditransformasi menjadi hukum positif, maka Hakim terikat (binding) untuk menerapkan ketentuan
tersebut dalam menangani kasus. Sedangkan apabila pranata-pranata hukum tersebut masih
tersebar dalam berbagai putusan Hakim Asing menyangkut perkara-perkara transnasional dan
belum masuk kedalam sistem hukum Indonesia, maka Hakim dapat melakukan komparasi
(perbandingan), sehingga output berupa putusan akan lebih menjamin terwujudnya keadilan dan
kemanfaatan.

Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Suatu Putusan Hakim

Hukum adalah pranata abstrak dan hanya dapat diterapkan secara wajar dengan
menggunakan metode penerapan tertentu. Dalam pada itu, Hakim sebagai organ Pengadilan
mempunyai kewenangan sangat besar melalui putusan (vonnis), Hakim dapat mengalihkan
kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, mengatakan tidak sah tindak
pemerintah terhadap masyarakat, menghilangkan kemerdekaan sampai dengan memerintahkan hak
hidup seseorang,Secara ideal, setiap putusan Hakim harus cermat dan tepat dalam menentukan
peristiwa atau perbuatan konkret yang disengketakan dengan ketentuan hukumnya. Harapan
banyak orang Hakim memutus berdasarkan hukum, Undang-Undang, kebenaran, keadilan, tidak
hanya keadilan bagi masyarakat, tetapi juga keadilan bagi para pihak.

Ada tiga unsur yang selalu menjadi pertimbangan Hakim sebagaimana konsep yang
diungkapkan oleh Gustav Radbruch, yakni, nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Ketiga unsur
tersebut senantiasa menjadi pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan yang dalam
penerapannya tidak jarang terjadi antinomi. Pada gilirannya Hakim harus memilih dari ketiga unsur
tersebut yang mana yang harus diunggulkan.

Dalam mempertimbangkan nilai-nilai mana yang harus dikedepankan, Hakim wajib


memahami secara benar kasus yang akan atau sedang diperiksa. Ia harus menjamin kaidah hukum
yang diterapkan adalah benar dan adil. Manakala tidak dijumpai ketentuan hukumnya, ia harus
menciptakan hukum. Pendeknya, Hakim memiliki kesempatan yang seluas-luasnya memberi
manfaat bagi pencari keadilan melalui putusan-putusannya.

Tugas menegakkan hukum dan keadilan menempatkan Hakim dalam kedudukan yang luhur.
Oleh karenanya, putusan yang dijatuhkan wajib dikawal dengan kata sumpah serta mempertaruhkan
kebesaran nama Tuhan, dengan kalimat baku, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Berkaitan dengan tugas Hakim sebagai “pencipta hukum”, maka selayaknya putusan Hakim
(yurisprudensi) menjadi sumber hukum. Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formil
terdiri dari putusan Hakim-Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan didalamnya
mengandung “penciptaan hukum”.

Sebagai diskripsi, banyak putusan-putusan Hakim yang mengandung “standard arrester”


antara lain, pengertian perbuatan melawan hukum “onrechtsmatige daad” sesuai arrest HR 1919
memperluas kategori perbuatan melawan hukum, tidak hanya perbuatan bertentangan dengan
Undang-Undang, juga lembaga Fidusia didasarkan arrest HR 1929 yang kemudian diikuti putusan
MARI No. 1500 K/Sip/1978 telah mengakui lembaga Fidusia sebagai lembaga jaminan dengan
penyerahan milik berdasarkan kepercayaan yang kemudian diadopsi kedalam Undang-Undang No.
42 tahun 1999 tentang Fidusia.

Pemanfaatan Yurisprudensi Dalam Mengurangi Disparitas Putusan

Sengketa atau konflik para pihak yang diajukan ke persidangan akan bermuara pada
putusan. Idealnya, suatu putusan mewujudkan nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
bagi para pihak. Putusan yang adil dari seorang Hakim merupakan “conditio sine quanoon”.

Putusan yang adil senantiasa menjadi dambaan para pihak. Oleh karenanya, Hakim harus
mendengarkan kedua (berbagai) pihak yang bersengketa. Sebelum sampai kepada putusannya,
Hakim harus mendengar kedua belah pihak sesuai azas “audio alterm partem”. Ia harus bertindak
menurut garis-garis melalui kancah konflik masyarakat, keadilan akan muncul. Hakim merupakan
andalan yang utama dalam menggerakkan dinamika hukum (keadilan), karena Hakim adalah orang
yang “ngasta pusaraning adil” (memegang keadilan).

Setelah melalui proses pemeriksaan, Hakim akan mempertimbangkan pokok sengketa, dan
menentukan kaidah hukumnya. Hakim akan membuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat
dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and
argumentatio of decision). Dengan alasan atau argumentasi yuridis yang jelas akan diketahui
motivasi dari putusan tersebut.

Memperhatikan cara Hakim dalam memeriksa perkara dan mewujudkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa putusan adalah karya manusia yang dibuat
secara sengaja (purposeful), dan dengan demikian, setiap putusan Hakim pada hakekatnya sebauh
rekayasa, sekalipun dalam kenyataannya masih terjadi kesalahan dalam penerapan hukum. Diagnosa
kesalahan dalam penerapan hukum, antara lain disebabkan oleh beberapa faktor :

a. kesengajaan sebagai cara menyembunyikan keberpihakan

b. kelalaian atau kurang cermat

c. pengetahuan yang terbatas, dan

d. kurang dalam pertimbangan hukum.

Sebagai suatu hasil karya Hakim, putusan mencerminkan segalanya bagi Hakim. Putusan
Hakim dipersamakan dengan mahkota. Ia merefleksikan tanggung jawabnya, kejujurannya,
kearifannya, kecerdasannya, kreatifitasnya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya
dan lain sebagainya. Karena itu akan dinilai sangat baik, manakala putusan tersebut sesuai dengan
kemanfaatan atau tuntutan sosial yang ada di masyarakat (social oriented).

Beberapa contoh putusan dari Hakim yang berbobot dan belakangan menjadi yurisprudensi adalah
sebagai berikut :

Putusan HR. Belanda tertanggal 31 Januari 1919 yang melakukan lompatan atau pendobrakan (rule-
breaking), sehingga dikenal dengan revolusi dibulan Januari. Semula yang disebut perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) hanyalah yang jelas-jelas melanggar pasal dari Undang-
Undang. Apabila tidak ada pasal yang dilanggar, maka tidak ada perbuatan melawan hukum. Dengan
putusan tertanggal 31 Januari 1919, Pengadilan telah memperluas kategori perbuatan melawan
hukum, yaitu perbuatan dengan kreteria :

- Melanggar hak subyektif orang lain, atau ;

- Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat, atau ;

- Bertentangan dengan kesusilaan, atau ;

- Bertentangan dengan kepatuhan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau
barang orang lain.

Bahwa kaidah hukum berupa 4 (empat) kategori dari perbuatan melawan hukum hingga saat ini
masih relevan dan menjadi acuan dalam menentukan adanya perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatige daad).

Putusan HR Belanda tanggal 29 Januari 1929 (Bierbrouwerij Arrest) yang di Indonesia diikuti dengan
keputusan HGH tanggal 19 Agustus 1932 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1500 K/Sip/1978
tanggal 02 Februari 1980 antara Fa. Megaria, melawan Bank BNI. Putusan tersebut telah
mengukuhkan lembaga fidusia (fidusiare eigendoms overdracht) sebagai kebiasaan yang hidup
didalam masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 01 November 1961 No. 179K/Sip/1961 yang


menetapkan hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan di tanah Karo. Dalam pada itu menurut
hukum waris adat di Tanah Karo, hanya anak laki-laki sebagai ahli waris orang tuanya.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1363 K/Sip/1971, mengenai jual beli persil berikut bangunannya
menentukan bahwa, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tidak bermaksud untuk
mengenyampingkan pasal-pasal KUH Perdata atau ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual beli
tanah. Menurut putusan Mahkamah Agung RI tersebut, jual beli tanah yang tidak dilakukan
dihadapan PPAT, sah secara hukum asal telah memenuhi syarat-syarat materiilnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundangan-undangan atau hukum adat.

Nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat telah diresepsi menjadi kaidah
hukum konkret. Putusan yang berbobot “law standard” telah diterapkan secara berulang-ulang
terhadap kasus serupa. Ironis, apabila dalam kasus serupa Hakim tidak mengikuti kaidah-kaidah
hukum dalam yurisprudensi. Lebih-lebih apabila tidak memberikan justifikasi atau reasonning yang
mengarah dalam penerapan hukumnya, atau pertimbangan alasan mengapa tidak mempergunakan
kaidah hukum dalam yurisprudensi.

Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formil bermakna setiap kasus serupa terikat untuk
menerapkan kaidah hukum yang terdapat dalam yurisprudensi. Pemanfaatan yurisprudensi sebagai
dasar pengambilan keputusan sekaligus akan mencegah disparitas (disparity) putusan. Disparitas
(disparity) berarti penerapan kaidah hukum yang berbeda-beda dalam penyelesaian kasus yang
serupa. Putusan yang mengandung kesenjangan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain,
sedangkan perkara yang satu adalah serupa dengan perkara yang lain, barang tentu hal demikian
harus dihindari dalam kebijakan peradilan.

Dalam pada itu, penerapan yurisprudensi yang sudah berbobot “law standard” terhadap
perkara-perkara yang serupa sekaligus akan berdampak pada tegaknya kepastian hukum. Sehingga
setiap orang yang dihadapkan atas kasus yang serupa, sejak semula sudah mendapat jawaban
hukum yang pasti berdasarkan yurisprudensi. Para pencari keadilan dapat memprediksi keputusan
apa yang akan digunakannya dengan melakukan analisa terhadap peristiwa hukumnya dikaitkan
dengan kaidah hukum

dalam yurisprudensi secara praktis penerapan yurisprudensi meningkatkan wibawa


Pengadilan.Beberapa manfaat dari penerapan yurisprudensi dalam putusan Hakim. Pertama, adanya
keseragaman putusan, baik keseragaman landasan hukum yang sama (unifield legal frame work)
maupun keseragaman presepsi hukum yang sama (unifield legal opinion). Kedua, menjamin
kepastian hukum. Setiap orang yang diajukan pada kasus yang serupa, sejak semula mendapat
jawaban yang pasti atau certainty. Ketiga, mencegah putusan yang disparitas. Suatu putusan yang
mengandung standar hukum harus dijadikan pedoman hukum, putusan tersebut diikuti sebagai
dasar penyelesaian kasus. Pada gilirannya berdampak positif dalam penegakkan hukum, yaitu dapat
menghilangkan putusan yang bercorak disparitas. Putusan yang mengandung perbedaan antara
yang satu dan yang lain tidak ditemukan lagi

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut


Yurisprudensi berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil. Yurisprudensi yang tetap
adalah keputusan dalam kasus serupa yang berpedoman atau menyandarkan pada yurisprudensi
untuk mengambil keputusan.

Tradisi sistem hukum di Indonesia tidak murni berada dalam kelompok tradisi kontinental. Telah
terjadi pencampuran antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum anglo saxon.

Yurisprudensi merupakan sumber hukum bagi penyelesaian konflik. Putusan-putusan Hakim dalam
kasus serupa harus menerapkan kaidah hukum yang sama yang ditentukan dalam yurisprudensi
sebagai upaya mewujudkan perlindungan masyarakat / penerapan hukum dalam kasus-kasus
serupa.

Pemanfaatan yurisprudensi antara lain dapat mencegah putusan yang bercorak disparitas.
Penerapan kaidah hukum dalam yurisprudensi terhadap kasus-kasus yang serupa dapat mencegah
putusan yang saling bertentangan. Pada gilirannya akan meningkatkan wibawa Pengadilan.

Selain daripada itu, penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut. Pertama,
Mahkamah Agung Republik Indonesia mempublikasikan putusan-putusan yang berbobot sebagai
yurisprudensi untuk dapat dijadikan pedoman dalam penerapan hukum. Kedua, agar para Hakim
termotivasi untuk berkarya dengan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, yang pada
gilirannya putusan tersebut bernilai law standard dan dapat menjadi pedoman dalam penyelesaian
kasus serupa.

KELOMPOK 5

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dakwaan, penggugat, dam tergugat

1. Pengertian Dakwaan / tuntutan

Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’

(bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu

yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada

dirinya”. Kata lain dari Dakwaan atau tuntutan yaitu gugatan. gugatan adalah tindakan yang

bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah

tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).

 Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan hak
yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
 Menurut Darwan P, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak
lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan kemudian
diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

2. Pengertian Penggugat dan Tergugat.

Penggugat/mudda’I adalah Para pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata .

Atau penggugat adalah orang yang menghendaki/menuntut dengan pengaduannya ke

Pengadilan supaya dikembalikan haknya yang ada pada orang lain/tergugat untuk dirinya.
Tergugat atau muddaa’a’laih adalah pihak yang melanggar haknya orang. Atau

sebagai orang yang berhak menjawab gugatan atau tuntutan.

B. Syarat – Syarat Tuntutan atau Gugatan

a. Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke pengadilan dan ditanda

tangani oleh penggugat. Jika penggugat tidak bias menulis, boleh mengajukan

gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan, yang nantinya akan dicatat oleh

petugas pencatat.

b. Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan rinci (tafshil), baik permasalahannya

maupun alasan-alasan gugatan.

c. Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.

d. Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan

e. Pihak tergugat tertentu orangnya

f. Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, balig dan berakal

g. Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang agama

Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)

Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika penggugat/kuasanya sebelum


memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke ketua pengadilan. Namun karena sekarang
sudah banyak advokat/pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa
tulis dan baca.

 Dalam hukum acara perdata ada istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan
ditolak.

Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum yaitu apabila
peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak
diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat
masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi
syarat formil.

Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan
peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan melakukan
penolakan bermaksud menolah setelah mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini
penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih
kepada tidak memenuhi syarat materil (pembuktian)

C. Proses pengajuan Gugatan

Proses pengajuan gugatan kepada pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu

1. Gugatan Tertulis

Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan

daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142

Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan bahwa gugatan perdata

pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan

yang ditanda tangani oleh penggugat atau kuasanya. Memperhatikan ketentuan dalam kedua

pasal di atas, maka yang berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan, adalah

a. Penggugat Sendiri

Pengajuan gugatan kepada pengadilan boleh dilakukan oleh penggugat sendiri, hal ini
dikarenakan dalam H.I.R. maupun R.Bg tidak menganut sistem Verpelichte Procureur
Stelling, yang mengharuskan penggugat memberikan kuasa kepada orang yang berpredikat
pengacara atau advokat untuk mewakilinya. Dengan demikian, tidak ada keharusan atau
kewajiban hukum bagi penggugat untuk memberi kuasa kepada pengacara atau advokat,
namun, hal itu tidak mengurangi hak penggugat untuk menunjuk seseorang atau beberapa
orang kuasa yang akan mewakilinya dalam mengurus pembuatandan pengajuan gugatan.

b. Kuasa
Apabila penggugat mewakilkan kepada seseorang atau beberapa orang yang diberi
kuasa untuk membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan ke pengadilan, maka
seseorang atau beberapa orang yang diberi kuasa tersebut harus mendapatkan surat kuasa
khusus (special power of attorney) dari penggugat. Adanya surat kuasa khusus ini dilakukan
agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal
penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.

Surat gugatan sebaiknya ditulis rapi dan dibuat dalam beberapa rangkap, satu helai
yang asli untuk arsip pengadilan, tiga helai untuk majelis hakim, satu helai untuk penggugat
dan satu helai untuk tergugat.

Apabila surat gugatan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya
sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.

2. Gugatan Lisan

Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara

lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara

perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang

berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan

lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”.

Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan

penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa

pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa

seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan

yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang

diinginkannya.

Dalam H.I.R. maupun R.Bg tidak diatur secara jelas mengenai isi gugatan. Akan

tetapi, di dalam praktek suatu gugatan hendaklah memenuhi beberapa syarat, yaitu :

1. Syarat Formal
Syarat formal dari suatu gugatan dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Tanggal dan tempat pembuatan surat gugatan Pencantuman tanggal gugatan ini

boleh dilakukan pada halaman depan gugatan atau pada halaman terakhir di atas tandatangan

penggugat. Mengenai penyebutan tempat pembuatan gugatan ini dilakukan di tempat domisili

penggugat atau di tempat kuasanya. Pada dasarnya pakar hukum berbeda pendapat mengenai

keabsahan tanggal dan tempat pembuatan surat gugatan sebagai salah satu syarat formal.

Walaupun demikian, pakar hukum yang tidak setuju dengan syarat ini menegaskan bahwa

akan terasa janggal sekali jika surat gugatan tidak mencantumkan tanggal dan tempat

pembuatan surat gugatan, karena surat gugatan merupakan surat permintaan resmi

kepada pengadilan untuk memanggil dan memeriksa pihak penggugat dan tergugat

dalam sidang pengadilan.

b. Tanda tangan

Dalam Pasal 118 ayat (1) H.I.R. diterangkan bahwa gugatan harus ditujukan kepada

pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif, surat gugatan juga harus ditandatangani oleh

penggugat sendiri atau kuasanya. Penandatanganan yang dilakukan oleh kuasa terlebih

dahulu harus dibuat dan diberikan surat kuasa khusus.

c. Penegasan para pihak yang berperkara

Penegasan para pihak dalam berperkara merupakan syarat formal, kelalaian atasnya

dapat dianggap gugatan yang diajukan sebagai gugatan obscuur libel.25 Penegasan para

pihak ini bertujuan untuk membela hak dan mempertahankan kepentingan para pihak.

2. Syarat Substansial
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Rv (Reglement op de Rechtvordering), maka

syarat substansial dalam menyusun surat gugatan adalah:

a. Identitas para pihak

Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah penguraian tentang identitas dari

penggugat/para penggugat atau tergugat/turut tergugat yang terdiri dari, nama lengkap, umur,

tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat. Pencantuman identitas secara lengkap ini

dilakukan bukan semata-mata untuk mempermudah tugas juru sita dalam memanggil para

pihak, akan tetapi, pencantuman identitas ini dilakukan untuk menghindari terjadinya gugatan

salah alamat (error in persona).

b. Posita atau Fundamentum Petendi

Posita atau fundamentum petendi adalah dalil-dalil atau alasanalasan konkret

mengenai hubungan hukum disertai dasar dan alasan tuntutan (middelen van den eis).26

Secara garis besar, posita ini terdiri dari dua bagian, yaitu, bagian yang menguraikan tentang

kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang faktafakta

hukum.

Posita hendaknya disusun secara ringkas, jelas dan terperinci mengenai peristiwa-

peristiwa yang berkenaan dengan dalil dan persengketaan. Banyak gugatan yang panjang

lebar tapi berbelit-belit sehingga terkadang bisa mengakibatkan gugatan menjadi kabur

(obscuur libel ).

c. Petitum

Petitum adalah kesimpulan gugatan yang berisi rincian tentang apa yang diminta atau

diharapkan penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim. Petitum ini harus dirumuskan
secara singkat, jelas dan tidak bertentangan dengan posita. Hal ini dilakukan karena posita

yang tidak didukung oleh petitum berakibat tidak diterimanya tuntutan, sedangkan petitum

yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak oleh hakim.

Dalam praktek peradilan, petitum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Tuntutan primer atau tuntutan pokok

Tuntutan ini merupakan tuntutan pokok perkara yang diminta oleh penggugat

sebagaimana telah diuraikan dalam posita. Misalnya, dalam perkara perceraian, maka

gugatan primernya adalah perceraian.

2. Tuntutan tambahan

Tuntutan tambahan ini bukan merupakan tuntutan pokok, akan tetapi, masih ada

hubungannya dengan tuntutan pokok, penggabungan tuntutan pokok dengan tuntutan

tambahan ini dinamakan dengan kumulasi objektif.

D. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan dapat terjadi:

1. Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum
memberikan jawaban.
2. Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat sudah
memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak tergugat.

Jika gugatan dicabut sebelum tergugat memberikan jawaban maka penggugat masih boleh
mengajukan gugatannya kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat
tidak boleh lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap melepaskan haknya.

E. Perubahan Gugatan

Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat :


1. Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan (MA tanggal 6
Maret 1971 Nomor 209 K/Sip/1970.
2. Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.

Contoh ad. 1. Penggugat semula menuntut agar tergugat membayar hutangnya berupa
sejumlah uang atas dasar “perjanjian hutang piutang”, kemudian diubah atas dasar “perjanjian
penitipan uang penggugat pada tergugat”. Perubahan seperti ini tidak diperkenankan.

Contoh ad. 2. Dalam gugatan semula A menutut B agar membayar hutangnya sebesar Rp.
1.000.000. Kemudian A mengubah tuntutannya agar B membyara hutangnya sebesar
1.000.000 ditambah Bungan 10 % setiap bulan. Perubahan bentuk seperti ini tidak
dibenarkan.

Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hamper selesai. Semua dali pihak-
pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah memohon putusan kepada majelis hakim

Kesempatan atau waktu melakukan perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap :

1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin tergugat.
2. Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika tidak di setujui
perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan :

a) Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama tergugat.

b) Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya perkara.

c) Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Gugatan adalah tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting).
2. Penggugat/mudda’I adalah Para pihak yang dilanggar haknya dalam perkara

perdata . Atau penggugat adalah orang yang menghendaki/menuntut dengan

pengaduannya ke Pengadilan supaya dikembalikan haknya yang ada pada orang

lain/tergugat untuk dirinya.

Tergugat atau muddaa’a’laih adalah pihak yang melanggar haknya orang. Atau

sebagai orang yang berhak menjawab gugatan atau tuntutan.

3. Proses pengajuan gugatan kepada pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu

1. Gugatan Tertulis : surat permintaan yang ditanda tangani pengggugat sendiri


atau kuasa dan ajukan kepada Pengadilan Negeri.
2. Gugatan Lisan : bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat

dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat

gugatan atau menyuruh mencatatnya.

Anda mungkin juga menyukai