Abstrak
Perlu ada penanganan terkait harta warisan dari seorang yang telah meninggal agar dapat
dimanfaatkan untuk keperluan orang yang masih hidup, islam mengatur hal tersebut dalam
sebuah ilmu bernama ilmu faraidh. Maka dari itu menjadi penting mengetahui apa itu ilmu
faraidh, apa manfaat dan tujuannya, bagaimana sejarah perkembangan ilmu faraidh serta
bagaimana analisis penulis sendiri terkait ilmu faraidh. Berdasarkan penelitian dengan
metode deskriptif ini mendapatkan temuan bahwa ilmu faraidh adalah ilmu mengenai
pembagian harta waris bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, dari segi sejarah ilmu faraidh
mempunyai banyak perubahan, perombakan dan adopsi dari adat waris jahiliyah. Ilmu
faraidh harus selalu dijaga mengingat semakin pupusnya eksistensi ilmu faraidh itu sendiri di
era modern saat ini.
Kata Kunci : Fikih Mawaris, Ilmu Faraidh, Era Modern
Pendahuluan
Dalam Islam pembagian harta waris menjadi penting untuk memberikan hak-hak ahli
waris sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, oleh karena itu mempelajari ilmu
Faraid atau ilmu Fikih Mawaris menjadi sangat urgen demi terlaksananya pembagian harta
waris sesuai syar’i. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai pengertian, sejarah dan manfaat
mempelajari Fikih Mawaris, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi penjelasan
secara singkat pentingnya ilmu Faraid itu sendiri.
Fikih Mawaris terdiri dari dua kata, fikih dan mawaris, Secara etimologi fikih berarti
mengerti,memahami, pintar.1 Artinya adalah pemahaman yang mendalam dan membutuhkan
pada adanya pengarahan potensi akal. Kata fiqih secara bahasa punya dua makna. Makna
pertama adalah al-fahmu al-mujarrad , yang artinya kurang lebih adalah mengerti secara
langsung atau sekedar mengerti saja. Selanjutnya adalah al-fahmu ad-daqiiq , yang artinya
adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.2
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010), hlm 321
2
Wawan Junaedi, Fikih, (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008), hlm 2
Mawaris juga disebut Faraidl, bentuk jamak dari kata faiidlah. Kata ini berasal dari
kata faradla yang artinya ketentuan atau menentukan. Ketentuan ini menyangkut tentang
siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang
tidak mendapatkannya dan beberapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.4
Dari paparan etimologinya secara umum fikih mawaris adalah ilmu yang mempelajari
hukum dan aturan tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Menurut Prof. Habsy ash-Shiddieqy mendefinisikan Fikih Mawaris sebagai ilmu yang
mempelajari tentang aturan hukum pembagian harta peninggalan orang yang meninggal
dunia, mengenai siapa saja yang mempunyai hak atas peninggalan tersebut, siapa saja ahli
warisnya, siapa yang tidak mewarisi dan berapa kadar bagian yang diterima oleh setiap ahli
waris dan bagaimana cara-cara pembagiannya.5
Ketentuan-ketentuan ini berdasarkan pada wayu Allah SWT sebagaimana yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Prof. Dr. Amir
Syarifuddin bahwa ilmu faraidh adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu
Allah SWT dan sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari
yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua yang beragama Islam.6
Dalam kontek umumnya, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Menurut Wirjono
Prodjodikoro warisan merupakan persoalan bagaiamana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang
masih hidup.7
3
Muhammad 'Ali as-Sabuny, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah,
(Beirut : Dar al-Fikr, 1989), hlm. 33-34
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2015), hlm 3
5
TM. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Yogyakarta : Mudah, t.th), hlm 8
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm 150
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1983), hlm 13
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada
yang dirugikan dan termakan bagianya oleh ahli waris yang lainnya. 8 Tidak jarang terjadi
problem keluarga karena persoalan membagi harta waris, karena diantara keluarga tersebut
tidak mengerti tentang pembagian harta waris dalam agama, sehingga kadangkala sampai
terangkat ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, jika diantara anggota keluarga ada yang
memahami tentang hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke
pengadilan.
Banyak sekali tujuan dan manfaat mempelajari fikih mawaris, diantaranya adalah
sebagai berikut :
Secara garis besar fase-fase sejarah perkembangan hukum kewarisan terbagi menjadi
tiga fase, yakni sebagai berikut :
8
Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia ,(Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm 10.
9
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), hlm 12.
10
Ahmad Rofiq, ..., hlm 8
11
Abu al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz 1, (Kairo : Daar Ihyaa’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, t.t.), hlm 465.
12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma’arif, 1981), hlm 14.
13
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,2014), hlm 16
14
Moh Muhibin ,..., hlm 36
Perbedaan dalam penggunaan mengandung arti bahwa meski secara prinsip mereka
sepakat dalam menggunaan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas namun dalam penggunaan secara
rinci perkasus, ulamak berbeda pendapat. Ada ulamak yang berpendapat dalam satu kasus
beliau menyesaikannya berdasarkan nukilan dari suatu hadis, sedangkan ulamak yang lain
meragukan bahwa yang dinukil tersebut adalah hadis. Sedangkan perbedaan dalam
memahami dalil timbul dari dua segi, yakni dalam pemahaman lafaz itu sendiri dan dari segi
perluasan pemahaman setiap ulamak di lihat dari latar belakang dan kemampuan ulamak
tersebut memahami setiap teks yang ada.16
15
Ahmad Rofiq, ..., hlm 22-23.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta : Kencana, 2015), hlm 49-50
Menurut penulis, membagi harta waris dengan ketentuan fikih mawaris adalah wajib,
dengan pandangan dasar bahwa setiap harta yang ada pada kuasa manusia prinsip dasarnya
hanyalah titipan dari Allah SWT, secara logika, semua barang titipan harus dikembalikan
kepada pemilik sejatinya. Hal ini sama dengan harta waris, sebenarnya harta waris yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, hakikatnya adalah milik Allah SWT yang
mana harus dikembalikan pada Allah SWT juga. Jika Allah SWT menginginkan harta itu
disimpan atau memilih membagikannya pada pihak lain, maka itu tergantung kekuasaan
pemilik sejatinya yaitu Allah SWT, jadi terserah Allah memberi ketentuan bagaimanapun
aturannya harus dijalani dan diterima apa adanya, karena semua itu hakikatnya adalah milik-
Nya.
Simpulan
Fikih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang aturan hukum pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.
Manfaat mempelajari fikih mawaris ialah membagi harta waris dengan prinsip
keadilan sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat Allah SWT. Adapun tujuannya ialah agar
dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Fase sejarah perkembangan fikih mawaris dibagi menjadi tiga fase, yakni masa
Jahiliyah yakni masa sebelum Islam, kemudian masa awal Islam dan masa penyempurnaan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Katsir, Abu al-Fida’ Ibn, Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz 1, Kairo : Daar Ihyaa’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, t.t.
Muhibbin, Moh., Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.