Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS FIKIH MAWARIS DI ERA MODERN

Oleh : Muhammad Farid Azmi S.H

Abstrak

Perlu ada penanganan terkait harta warisan dari seorang yang telah meninggal agar dapat
dimanfaatkan untuk keperluan orang yang masih hidup, islam mengatur hal tersebut dalam
sebuah ilmu bernama ilmu faraidh. Maka dari itu menjadi penting mengetahui apa itu ilmu
faraidh, apa manfaat dan tujuannya, bagaimana sejarah perkembangan ilmu faraidh serta
bagaimana analisis penulis sendiri terkait ilmu faraidh. Berdasarkan penelitian dengan
metode deskriptif ini mendapatkan temuan bahwa ilmu faraidh adalah ilmu mengenai
pembagian harta waris bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, dari segi sejarah ilmu faraidh
mempunyai banyak perubahan, perombakan dan adopsi dari adat waris jahiliyah. Ilmu
faraidh harus selalu dijaga mengingat semakin pupusnya eksistensi ilmu faraidh itu sendiri di
era modern saat ini.
Kata Kunci : Fikih Mawaris, Ilmu Faraidh, Era Modern

Pendahuluan

Dalam Islam pembagian harta waris menjadi penting untuk memberikan hak-hak ahli
waris sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, oleh karena itu mempelajari ilmu
Faraid atau ilmu Fikih Mawaris menjadi sangat urgen demi terlaksananya pembagian harta
waris sesuai syar’i. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai pengertian, sejarah dan manfaat
mempelajari Fikih Mawaris, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi penjelasan
secara singkat pentingnya ilmu Faraid itu sendiri.

Definisi Fikih Mawaris

Fikih Mawaris terdiri dari dua kata, fikih dan mawaris, Secara etimologi fikih berarti
mengerti,memahami, pintar.1 Artinya adalah pemahaman yang mendalam dan membutuhkan
pada adanya pengarahan potensi akal. Kata fiqih secara bahasa punya dua makna. Makna
pertama adalah al-fahmu al-mujarrad , yang artinya kurang lebih adalah mengerti secara
langsung atau sekedar mengerti saja. Selanjutnya adalah al-fahmu ad-daqiiq , yang artinya
adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.2

Sedangkam mawaris adalah jamak dari mirats dibentuk dari masdar


miiraatsan . Secara etimologi kata mirats mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010), hlm 321
2
Wawan Junaedi, Fikih, (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008), hlm 2

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 1


baqa’ , yang kekal; al-intiqal (yang berpindah) dan al-maurus yang maknanya at-
tirkah (harta peninggalan orang yang meninggal dunia). Ketiga kata ini (al-baqa', al-
intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta
peninggalan pewaris.3

Mawaris juga disebut Faraidl, bentuk jamak dari kata faiidlah. Kata ini berasal dari
kata faradla yang artinya ketentuan atau menentukan. Ketentuan ini menyangkut tentang
siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang
tidak mendapatkannya dan beberapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.4

Dari paparan etimologinya secara umum fikih mawaris adalah ilmu yang mempelajari
hukum dan aturan tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Menurut Prof. Habsy ash-Shiddieqy mendefinisikan Fikih Mawaris sebagai ilmu yang
mempelajari tentang aturan hukum pembagian harta peninggalan orang yang meninggal
dunia, mengenai siapa saja yang mempunyai hak atas peninggalan tersebut, siapa saja ahli
warisnya, siapa yang tidak mewarisi dan berapa kadar bagian yang diterima oleh setiap ahli
waris dan bagaimana cara-cara pembagiannya.5

Ketentuan-ketentuan ini berdasarkan pada wayu Allah SWT sebagaimana yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Prof. Dr. Amir
Syarifuddin bahwa ilmu faraidh adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu
Allah SWT dan sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari
yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua yang beragama Islam.6

Dalam kontek umumnya, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Menurut Wirjono
Prodjodikoro warisan merupakan persoalan bagaiamana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang
masih hidup.7

Manfaat dan Tujuan Fikih Mawaris

3
Muhammad 'Ali as-Sabuny, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah,
(Beirut : Dar al-Fikr, 1989), hlm. 33-34
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2015), hlm 3
5
TM. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Yogyakarta : Mudah, t.th), hlm 8
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm 150
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1983), hlm 13

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 2


Manfaat mempelajari fikih mawaris ialah membagi harta waris dengan prinsip
keadilan sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat Allah SWT. Agama Islam menghendaki
dan meletakkan prinsip keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan serta pembinaan
masyarakat. Tentunya hal tersebut tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak ditunjang
dengan pemahaman yang mendalam terhadap aturan-aturan yang telah Allah SWT buat,
pembagian waris ini juga merupakan salah satu aturan-aturan-Nya, sehingga sangat
ditekankan bagi setiap muslim untuk mempelajari ilmu mawaris ini.

Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada
yang dirugikan dan termakan bagianya oleh ahli waris yang lainnya. 8 Tidak jarang terjadi
problem keluarga karena persoalan membagi harta waris, karena diantara keluarga tersebut
tidak mengerti tentang pembagian harta waris dalam agama, sehingga kadangkala sampai
terangkat ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, jika diantara anggota keluarga ada yang
memahami tentang hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke
pengadilan.

Banyak sekali tujuan dan manfaat mempelajari fikih mawaris, diantaranya adalah
sebagai berikut :

1. Membagi harta waris sesuai keadilan dalam sistem perundangan Islam


2. Mengetahui bagian-bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.
3. Menjalin hubungan silaturrahmi antara sesama ahli waris akibat perebutan harta
tanpa mengetahui hak masing-masing.
4. Menggembirakan hati orang yang masih hidup, dalam artian harta waris dapat
digunakan oleh ahli waris dengan jalan yang diridhoi Allah SWT.
5. Mengurangkan bebanan penjaga terhadap mereka yang masih di bawah
tanggungan.
6. Menghindari perselisihan dan persengketaan dalam hal pembagian harta waris.9

Sejarah Perkembangan Mawaris

Secara garis besar fase-fase sejarah perkembangan hukum kewarisan terbagi menjadi
tiga fase, yakni sebagai berikut :

8
Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia ,(Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm 10.
9
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), hlm 12.

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 3


1. Masa Jahiliyah.
Hukum waris sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut
oleh masyarakat yang ada. Menurut masyarakat Jahiliyah ahli waris yang berhak
mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal adalah mereka yang
berjenis kelamin laki-laki, berfisik kuat dan memiliki kemampuan untuk memanggul
senjata dan mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Anak-anak baik laki-laki
maupun perempuan tidak diberi hak mewarisi harta peninggalan keluarganya, apalagi
perempuan. Dalam tradisi mereka, perempuan mendapat perlakuan diskriminitif, bagi
mereka perempuan tidak ubahnya bagaikan barang, bisa diwariskan dan diperjual
belikan dan dapat dipindahmilikkan.10
Bahkan ada kutipan yang miris dalam tafsir Ibn Katsir diriwayatkan dari Ibn
‘Abbas, bahwa apabila ada laki-laki meniggal dunia dan meninggalkan seorang janda,
maka ahli warisnya melemparkan pakaian di depan janda tersebut, guna mencegah
orang lain mengawininya. Jika janda tersebut cantik, maka segeralah dikawininya.
Jika janda tersebut jelek, ditahannyalah hingga waktunya meninggal dan kemudian
diwarisi harta peninggalannya.11
Adapun dasar-dasar pewarisan yang dipakai pada zaman jahiliyah ada tiga,
sebagai mana berikut :
a) Karena Hubungan Kerabat (Al-Qaraabah)
Kerabat yang dapat mewarisi adalah mereka yang kuat fisiknya dengan
pertimbangan kehormatan suku yang diunggulkan. Oleh karena itu, kerabat
yang termasuk al-qaraabah dalam kewarisan jahiliyah ini yaitu:
 Anak laki-laki
 Saudara laki-laki
 Paman
 Anak laki-laki paman
b) Karena Janji Setia (Al-Hilf wa al-Mu’aaqadah)
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerjasama antara
dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada
orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal dunia.

10
Ahmad Rofiq, ..., hlm 8
11
Abu al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz 1, (Kairo : Daar Ihyaa’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, t.t.), hlm 465.

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 4


Tujuannya untuk kerjasama, saling menasihati, dan yang terpenting adalah
saling memperoleh rasa aman.
Adapun contoh isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu
mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku
dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda
sebagai pengganti nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda sebagai
pengganti nyawamu”.12
c) Karena Pengangkatan Anak atau Adopsi (Al-Tabanni)
Pengangkatan anak atau adopsi sudah menjadi perbuatan lazim yang
mengakar dalam masyarakat jahiliyah. Status hikum dari anak angkat sama
dengan anak kandung dan nasabnya pun disandarkan pada bapak angkatnya.
Bahkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya pun terputus,
sehingga dia tidak bisa mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya. Jadi
yang bisa diwarisi anak angkat tersebut hanyalah bapak angkatnya saja ketika
sudah meninggal dunia ataupun sebaliknya.13
2. Masa Awal Islam
Pada awal Islam perkembangan hukum mawaris belum begitu terlihat, hampir
sama dengan masa Jahiliyah, tinggal meneruskan apa yang telah ada, berikut adalah
dasar-dasar baru yang ditambahkan :
a) Pertalian Kerabat (al-qaraabah)
b) Janji Setia (al-half wa al-mu’aaqadah)
c) Pengangkatan Anak atau Adopsi (al-tabanni)
d) Hijrah dari Makkah ke Madinah
Hijrah dari Mekah ke Madinah, pada awal Islam menjadi sebab waris-
mewarisi. Kekuatan kaum muslim pada waktu itu sangatlah lemah, karena
jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang
sangat kuat dan banyak pengikutnya tiada jalan lain yang ditempuh Rasulullah
beserta pengikutnya selain meminta bantuan keluar kota yang sepaham dan
simpatik terhadap perjuangan beliau beserta kaum muslimin dalam
memberantas kemusyrikan.

12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma’arif, 1981), hlm 14.
13
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,2014), hlm 16

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 5


Setelah menerima perintah dari Allah Swt, agar meninggalkan kota
Makkah, Rasulullah bersama dengan sejumlah sahabat meninggalkan kota
Makkah menuju kota Madinah. Di Madinah inilah Rasulullah beserta
rombongannya disambut gembira oleh orang-orang Madinah dengan
ditempatkan dirumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan, dilindungi
jiwanya dari pengejaran kaum musyrikin Quraisy dan dibantu dalam
menghadapi musuh-musuh yang menyerangnya.Karena adanya jalinan
kekerabatan dan rasa saling melindungi inilah pada masa awal Islam hijrah
dari Makkah ke Madinah menjadi sebab waris-mewarisi antara kaum
Muhajirin dan Ansar.
e) Ikatan Persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar
Untuk memperteguh dan mengabadikan persaudaraan kaum Muhajirin
dan kaum Ansar, Rasulullah menjadikan ikatan persaudaraan sebagai salah
satu sebab untuk saling mewarisi. Misalnya, apabila seorang Muhajirin
meninggal dunia di Madinah dan ia mempunyai wali (ahli waris) yang ikut
hijrah maka harta peninggalannya diwarisi oleh walinya (ahli warisnya) yang
ikut hijrah, sedang ahli waris yang enggan ikut hijrah ke Madinah tidak berhak
mempusakai harta peninggalannya. Apabila tidak mempunyai wali yang ikut
hijrah, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh saudaranya dari orang-
orang yang menjadi wali karena adanya ikatan persaudaraan.14
3. Masa Penyempurnaan Islam
Pada masa ini, ketentuan-ketentuan mawaris yang dahulu telah dirubah isi
ketentuannya, rinciannya dapat ditegaskan berikut :
a) Penghapusan ketentuan bahwa yang menerima harta waris hanya kerabat laki-
laki dan dewasa saja. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nisa’ [4] : 7 dan 127,
yaitu bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya anak-
anak, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang
ditentukan.
b) Penghapusan ikatan persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Ansar
sebagai dasar mewarisi, dijelaskan melalui QS. Al-Ahzaab [33] : 6. Sebagian
mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa janji setia masih dapat digunakan
sebagai dasar mewarisi namun ditempatkan dalam urutan terakhir.

14
Moh Muhibin ,..., hlm 36

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 6


c) Penghapusan pengangkatan anak yang diperlakukan sebagaimana anak
kandung sebagai dasar kewarisan, disebut dalam QS. Al-Ahzaab [33] : 4-5 dan
40.
d) Munculnya ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan secara definitif tentang
ketentuan bagian ahli waris.15

Perbedaan Pemahaman Faraidh para Ulamak

Dalam Al-Qur’an sudah jelas diterangkan mengenai bagian-bagian dalam membagi


harta waris, namun masih ada beberapa hal kewarisan yang belum diatur secara jelas.
Biasanya hal tersebut akan dicari dalam hadis-hadis Nabi, sedangkan sebagaimana yang
diketahui, hadis Nabi yang menerangkan faraidh sangat sedikit, sehingga tiada jalan lain
untuk masalah yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis selainn dengan melakukan
ijtihad. Dalam berijtihad pun para Ulamak banyak berbeda pendapat antara satu dengan yang
lainnya, objek perbedaan tersebut terdapat dalam dua kategori besar. Pertama, perbedaan
penggunaan dalil dengan arti berbeda dalam menempatkan hadis sebagai dalil dan kedua,
perbedaan dalam memahami dalil.

Perbedaan dalam penggunaan mengandung arti bahwa meski secara prinsip mereka
sepakat dalam menggunaan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas namun dalam penggunaan secara
rinci perkasus, ulamak berbeda pendapat. Ada ulamak yang berpendapat dalam satu kasus
beliau menyesaikannya berdasarkan nukilan dari suatu hadis, sedangkan ulamak yang lain
meragukan bahwa yang dinukil tersebut adalah hadis. Sedangkan perbedaan dalam
memahami dalil timbul dari dua segi, yakni dalam pemahaman lafaz itu sendiri dan dari segi
perluasan pemahaman setiap ulamak di lihat dari latar belakang dan kemampuan ulamak
tersebut memahami setiap teks yang ada.16

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern

Di era sekarang, sudah banyak kaum muslim yang mengabaikan ketentuan-ketentuan


fikih mawaris dalam pembagian harta waris, mereka seakan sudah mulai ragu akan konsep
keadilan yang ditawarkan Allah SWT terutama terkait masalah pembagian harta waris yang
sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an.

15
Ahmad Rofiq, ..., hlm 22-23.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta : Kencana, 2015), hlm 49-50

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 7


Sering terjadi kasus yang lumprah terjadi dalam masyarakat yang mana seakan
pembagian harta waris secara adil tidak dapat tercapai jika memakai ketentuan fikih mawaris,
padahal metode yang ditawarkan fikih mawaris adalah metode yang diambil dari firman
Allah SWT. Kemudian bagaimana cara kita mensiasati dan memahami permasalahan ini,
tergantung pada sudut pandang kita memahami pokok masalahnya.

Menurut penulis, membagi harta waris dengan ketentuan fikih mawaris adalah wajib,
dengan pandangan dasar bahwa setiap harta yang ada pada kuasa manusia prinsip dasarnya
hanyalah titipan dari Allah SWT, secara logika, semua barang titipan harus dikembalikan
kepada pemilik sejatinya. Hal ini sama dengan harta waris, sebenarnya harta waris yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, hakikatnya adalah milik Allah SWT yang
mana harus dikembalikan pada Allah SWT juga. Jika Allah SWT menginginkan harta itu
disimpan atau memilih membagikannya pada pihak lain, maka itu tergantung kekuasaan
pemilik sejatinya yaitu Allah SWT, jadi terserah Allah memberi ketentuan bagaimanapun
aturannya harus dijalani dan diterima apa adanya, karena semua itu hakikatnya adalah milik-
Nya.

Jika memang benar-benar terjadi sebuah ketidakadilan secara materis, setelah


memang benar-benar dibagi sesuai ketentuan Sang Pemilik Sejati, pihak-pihak terkait yang
diberi harta waris, dalam hal ini adalah ahli waris, dapat membuat akad atau kesepakatan baru
antar ahli waris dengan dasar tolong-menolong. Jadi pemenuhan keadilan bersifat materi bisa
melalui jalan lain diluar pembagian harta waris, jangan dicampur pada saat pembagian harta
waris, karena jika demikian, akan merusak ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT,
dan akan mengakibatkan tidak terlaksananya pembagian harta waris sesuai syar’i.

Simpulan

Fikih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang aturan hukum pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.

Manfaat mempelajari fikih mawaris ialah membagi harta waris dengan prinsip
keadilan sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat Allah SWT. Adapun tujuannya ialah agar
dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama Islam.

Fase sejarah perkembangan fikih mawaris dibagi menjadi tiga fase, yakni masa
Jahiliyah yakni masa sebelum Islam, kemudian masa awal Islam dan masa penyempurnaan
Islam.

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 8


Terkait pemenuhan keadilan dalam rangka tolong menolong, dilakukan melalui jalan
diluar pembagian harta waris, jangan dicampuradukkan pada saat pembagian harta waris,
karena jika demikian, akan merusak ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan
akan mengakibatkan tidak terlaksananya pembagian harta waris sesuai syara’.

DAFTAR PUSTAKA

Junaedi, Wawan, Fikih, Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008.

Katsir, Abu al-Fida’ Ibn, Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz 1, Kairo : Daar Ihyaa’ al-Kutub al-

‘Arabiyah, t.t.

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Muhibbin, Moh., Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum

Positif di Indonesia ,Jakarta:Sinar Grafika, 2009.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1983.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung : Al-Ma’arif, 1981.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2015.

as-Sabuny, Muhammad 'Ali, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-

Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1989.

ash-Shiddieqy, TM. Hasby, Fiqh Mawaris, Yogyakarta : Mudah, t.th.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta : Prenada Media, 2003.

_______________, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2015.

Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010.

Analisis Fikih Mawaris di Era Modern | 9

Anda mungkin juga menyukai