MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (FD)
2020
Universitas Budi Luhur Jakarta. Jl. Ciledug Raya No.99, RT.10/RW.3, Petukangan
Utara, Kec. Pesanggrahan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
12260
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran
membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.
Selama hidupnya sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya,
manusi bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota
keluarga, warga Negara, dan pemeluk agama yang harus di tunduk, taat dan patuh kepada
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengarus dan akibat hukum pada
pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang
dikenal dengan nama Hukum Mawaris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan
Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu ”suatu proses
pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.” Dari
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa
saja yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebu, berapa bagian mereka
masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiaannya, serta di atur pula berbagai hal yang
PEMBAHASAN
yang ditinggalkan oleh (si mati) dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).
Menurut Muhammad al-syarbiny Faraidh adalah ilmu fiqh yang berkaitan dengan
tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi
setiap pemilik hak waris (ahli waris). Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Faraid adalah
ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak
mendapatkanya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.[1]
Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami bahwa faraid atau fiqh mawaris adalah ilmu
yang membicarakan hal ihwal memindahkan harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya,
orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli
Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan
sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya :
harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya.
Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang
secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-
kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta
waris karena kesukarelaannya sendiri.
1. Al-Qur‘an
Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib
berdasarkan al-Qur‘an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur‘an yang mengisyaratkan
tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S.
an-Nisa'/4:7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
As-Sunnah
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : “Pelajarilah al-Qur‘an dan ajarkanlah
ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka
sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja
nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan
masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan
1. Hubungan Pernikahan
Pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka merealisir kebahagiaan hidup keluarga, tentram dan
kasih sayang dengan cara yang di ridhoi Allah.
Hubungan pernikahan dijadikan sebagai penyebab adanya pewarisan, biasanya dipetik dari
bunyi Q.S Al-Nisa’ ayat 12 yang intinya menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara
orang yang terlibat dalam initi pernikahan yaitu suami-istri.
Kriteria suami-istri tetap saling mewarisi disamping keduanya telah melakukan akad nikah
secara sah menurut syari’at. Juga antara suami-istri yang berakad nikah itu belum terjadi
perceraian ketika salah seorang dari keduanya meninggal dunia.
a. Kriteria Adanya Akad Nikah Secara Sah Menurut Syari’at
Kriterium ini merupakan salah satu syarat bagi suami-istri untuk saling mewarisi,
sedangkan arti kalimat “sah menurut syari’at agama” menunjukkan pada syarat-syarat
sahnya pernikahan dalam agama islam. Syarat-syarat itu ada tiga macam yaitu :
1) Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki calon suami, mengenai perempuan-
perempuan yang halal dinikahi sudah tersurat dalam Q.S Al-Nisa’ ayat 22-24, yang
intinya berjumlah 15 orang perempuan. Dalam hubungan ini Ahmad Azhar Basyir
mengklasifikasikan dua kelompok perempuan yang dilarang dinikahi, yaitu dilarang atau
haram dinikahi untuk semuanya dan haram dinikahi sementara.
Perempuan haram dinikahi selamnya karena tiga faktor yaitu, karena nasab, karena
hubungan susuan dan karena hubungan semenda. Perempuan yang haram dinikahi
karena hubungan nasab antara lain: ibu dan garis keturunan ke atas, anak perempuan
dan garis keturunan ke bawah, saudara perempuan sekandung, bibi dan seterusnya ke
atas dan keponakan perempuan.
Sedangkan perempuan yang dilarang dinikahi karena hubungan susuan yaitu: ibu
susuan, nenek susuan, bibi susuan, keponakan perempuan susuan dan saudara
perempuan sesusuan (baik seayah-seibu, seayah atau seibu saja). Kelompok perempuan
yang haram dinikahi karena semenda ialah: mertua, anak tiri yang ibunya telah dinikah,
menantu dan ibu tiri.
Kemudian kelompok perempuan yang dilarang nikah untuk sementara waktu ialah:
mengumpulkan dua orang bersaudara menjadi istri, perempuan dalam ikatan
perkawinan dengan laki-laki lain Q. S Al-Nisa’ ayat 24, perempuan sedang dalam masa
iddah (baik iddah kematian maupun iddah talak), perempuan yang telah ditalak tiga kali
kecuali setelah perempuan itu kawin lagi dengan laki-laki lain, perkawinan orang yang
sedang ihram dan kawin dengan perempuan pezina dan sebaliknya kecuali setelah
menyatkan taubat.
Mengenai larangan nikah dengan perempuan pezina dan sebaliknya ini berdasarkan
pada Q.S Al-Nur ayat 3, yang pada intinya menegaskan bahwa laki-laki pezina hanya
pantas nikah dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik. Sehingga laki-laki
atau perempuan yang baik pantas menikah dengan perempuan atau laki-laki yang baik
pula.
2) Syarat sahnya pernikahan itu juga dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki.
3) Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut oleh
akiran syafi’i dan Ibnu Hanbal.
2. Hubungan Kekerabatan
a. Pengertian dan Syarat
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahki waris yang disebabkan
oleh faktor kelahiran. Proses kelahiran seseorang tentu membutuhkan adanya hubungan
kelamin antara orang yang berlainan jenis, laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai
orang yang melahirkan melalui proses pembuahan oleh laki-laki. Karena itu, seorang anak
pada initnya memiliki hubungan kekerabatan dengan bapak dan ibu yang melahirkannya.
Tetapi hubungan kekerabatan ini meluas karena bapak dan ibu yang melahirkannya
(anak) dilahirkan oleh bapak-ibunya (kakek nenek anak) dan bapak ibu itu mempunyai
saudara, demikian juga dengan anak itu sendiri dilahirkan dengan mempunyai saudara-
saudaran yang lain serta keturunan saudara-saudaranya, maka orang yang meninggal itu
mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka atai dinamakan dengan kerabat
hawasyi. Hawasyi ialah keluarga yang dihubungkan dengan orang yang meninggal
mempunyai hubungan garis menyamping seperti saudara, paman, bibi beserta
keturunannya.
Dengan demikian syarat adanya kekerabatan itu pada hakikatnya adalah adanya
hubungan kelamin antara bapak-ibu. Oleh karena itu hubungan kelamin ini tidak bisa
dibuktikan dengan mata oleh orang lain, maka dibutuhkan syarat yang bisa disaksikan
oleh orang lain, sehingga kekerabatan anak jelas dan menjadi kuat untuk dihubungkan
dengan bapak-ibuk yang melakukan hubungan kelamin (mazinnah). Satu-satunya media
untuk melaksanankannnya mazinnah itu ialah melalui akad. Karena itu akad nikah itu
menjadi syarat disamping hubungan kelamin sebagai pembuktian adanya hubungan
kekerabatan.
b. Anak yang Lahir Tidak Memenuhi Syarat Kekerabatan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya syarat adanya kekerabatan adalah adanya
hubungan kelamin dan diperkuat dengan media alad nikah, tetapi dalam kasus-kasus
yang tidak biasa, dapat terjadi kemungkinan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan di luar akad nikah, dalam hal ini bisa terjadi dalam dua bentuk yaitu anak zina
dan anak yang lahir karena hubungan subhat. Begitu pula dalam kasus di mana anak
bukan sebagai anak kandung.
1) Anak Zina
Apabila ada seorang yang dilahirkan dengan hubungan kelamin antara laki-laki
dengan perempuan diluar media akad nikah yang dilakukan secara sengaja, maka
anak itu dinamakan anak zina. Dalam kasus seperti ini, anak zina hanya memiliki
hubungan kekerabatan dengan ibunya, bukan dengan bapaknya yang membuahinya.
Karena itu tidak mendapat warisan dari pihak bapaknya atau laki-laki yang
membuahi.
3) Anak Angkat
Islam secara tegas menolak menjadikan anak angkat berposisi anak kandung oelh
orang yang mengangkatnya, sekaligus memerintahkan agar anak angkat itu tetap
dihubungkan dengan orang tua yang melahirkannya. (Q.S Al-Ahzaab 4-5).
Karena itu anak angkat tidak mewarisi harta yang ditinggalkan oleh orang tua
angkatnya. Peraturan ini sebagai perombakan terhadap tradisi Arab Jahiliyah yang
menjadikan anak angkat sebagai ahli waris. Hal ini terjadi karena jika dilihat dari
aspek syarat kekerabatan, antara anak angkat dengan orang atua angkat tidah
memenuhi persyaratan. Baik dari segi hubungan kelamin maupun akad nikah,
dengan kata lain anak angkat tersebut tidak dilahirkan dari orang tua angkatnya yang
telah melakukan hubungan kelamin dengan akad nikah. Karenanya sudah selayaknya
yang telah melahirkannya.
4) Anak Tiri
Anak tiri ialah salah satu anak dari suami istri hasil pernikahan dengan istri atau
suami terdahulu. Dalam kaitannya dengan hak waris-mewarisi, anak tiri hanya
mendapat hak warisan dari bapak atau ibu kandungnya yang telah membuahi atau
melahirkan. Hal ini sudah selayaknya, dengan berdasarkan pada syarat kekerabatan,
di mana anak tiri dengan bapak tirinya tidak memenuhi persyaratan itu. Sebab anak
tiri tersebut lahir dari hasil hubungan kelamin dan akad nikah antara ibu (yang telah
menjadi istri bapak tirinya) dengan bapak yang membuahi ibunya itu.
Artinya :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu
Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui (Q. S. al-Nahl : 75)
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap
mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada
yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat
mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya
adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.
2. Pembunuhan
Dalil-dalil yang menetapkan pembunuhan sebagai penghalang mewarisi ialah Hadits
Rasulullah Saw. Hadits Rasulullah Saw tersebut adalah sebagai berikut.
Artinya:
Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun
si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya,
maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan. (HR. Ahmad)
Syafi’iyah Hanabilah
Semua macam pembunuhan secara mutlak menjadi penghalang mewarisi
a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena khilaf
d. Pembunuahn dianggap khilaf
e. Pembunuhan tak langsung
f. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf
3. Berlainan Agama
Berlainan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang
mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut.
Artinya:
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi
harta orang muslim.
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah meninggalnya
pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli
waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalan untuk mewarisi, sebab timbulnya hak
mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
mulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih
dalam keadaan non-Islam (kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.
Demikian juga orang murtad mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi hara
peninggalan keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak
kejahatan terbesar yang telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena itu, para fuqaha
telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari kerabatnya.
4. Berlainan Negara
Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi
penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum,
meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya.
Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang nonmuslim. Dalam
hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi penghalang mewarisi dengan alasan hadits
yang melarang warisan antara dua orang yang berlainan agama. Mafhum mukhalafah-nya
bahwa ahli waris dan pewaris yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun
berbeda agamanya.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa hal itu menjadi
penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara orang-orang nonmuslim berarti
putusnya kekuasaan dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan.
5. Al-Hajb (Penghalang dari Mendapat Harta Warisan)
Al-Hajb menurut bahasa artinya penghalang. Menurut istilah artinya penghalang yang
menghalangi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta warisan.
Al-Hajb ini dibedakan menjadi 2 macam, sebagai beikut.
1. Hijab tetap (hijab hirman)
Hijab hirman adalah terdindingnya seseorang untuk menjadi ahli waris, dikarenakan oleh
adanya ahli waris lainnya yang mempunyai kedudukan lebih diutamakan dekat dengan
pewaris, seperti saudara akan terhijab dengan adanya anak atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki, ayah pewaris.
Perincian hijab atas dasar pendapat jumhur ahlu sunnah, sebagai berikut.
a. Cucu baik laki-laki atau perempuan tertutup oleh anak laki-laki;
b. Kakek tertutup oleh ayah;
c. Nenek tertutup oleh ibu;
d. Saudara kandung tertutup oleh ana atau cucu laki-laku juga oleh anak;
e. Saudara seayah tertutup oleh saudara kandung laki-laki dan oleh orang yang
menutup saudara kandung;
f. Saudara seibu tertutup oleh anak, cucu, ayah, kakek dan tidak tidak tertutup
oleh saudara kandung atau saudara seayah;
g. Anak saudara kandung tertutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh orang
yang menutup saudara seayah;
h. Anak saudara seayah tertutup oleh anak saudara kandung dan oleh yang
menutup anak saudara kandung;
i. Paman kandung (saudara kandung dari ayah) tertutup oleh anak saudara
seayah dan oleh orang yang menutupnya;
j. Paman seayah (saudara seayah dari ayah) tertutup oleh paman kandung dan
oleh dan oleh orang yang menutupinya;
k. Anak paman kandung tertutup oleh paman seayah dan oleh orang yang
menutupinya;
2. Hijab sementara (hijab muqshan)
Hijab sementara adalah hijab yang mengurangi bagian yang akan diterima oleh seorang
ahli waris, dikarenakan ahli waris lain masih ada.
Dalam menelusuri ketentuan hukum kewarisan menurut al-Qur’an dapat digambarkan
ahli waris yang termasuk dalam hijab sementara ini, sebagai berikut.
a. Anak atau cucu laki-laki mauoun perempuan akan mempengaruhi bagian
ahli waris:
b. Anak perempuan satu orang akan mempengaruhi bagian ahli waris cucu
perempuan anak laki-laki menjadi 1/6 semula 1/2 bagian.
c. Saudara dua orang atau lebih (laki-laki atau perempuan, sekandung atau
seayah atau seibu saja) akan mempengaruhi bagian ahli waris ibu menjadi
1/6 semula 1/3 bagian.
d. Saudara perempuan sekandung akan mempengaruhi bagian ahli waris
saudara perempuan seayah menjadi 1/6 semula 1/2 bagian jika seorang.
E. POSISI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh mawaris adalah ilmu yang
membicarakan hal ihwal memindahkan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal
dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris,
maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Untuk mendapatkan warisan
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak
dalam kandungan
Jika tiga syarat di atas tidak terpenuhi maka tidak dapat dilakukannya pewarisan
tersebut.
Selain itu ada juga sebab-sebab yang menjadi penghalang dalam mewarisi. sebab pertama
adalah Sebab membunuh yaitu si ahli waris sengaja membunuh si pewaris agar
atau dapat membatalkan suatu pewarisan. Sebab kedua yaitu sebab perbudakan, Hamba
sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya, sebab jika ia mewarisi berarti
harta warisan itu akan diminta oleh majikannya. status budak itu sendiri adalah sebagai
harta milik bagi tuannya. Oleh karena itu, seorang budak yang fungsinya sebagai harta milik
tuannya tidak boleh mewarisi harta milik tuannya. Sebab yang ketiga yaitu, Sebab berbeda
agama, orang islam dan orang kafir tidak dapat saling mewarisi, karena dalam hal untuk
masalah waris mewarisi berhubungan dengan saling tolong menolong dan membantu
sesamanya. Hal ini tidak terdapat diantara orang muslim dengan orang kafir karena dilarang
Syara’.
DAFTAR PUSTAKA
MOH. ANWAR, BcHK. Fara’id Hukum Waris Dalam Islam Dan Masalah-Masalahnya (Al-Ikhlas
Surabaya-Indonesia), Hlm. 33
Umam Dian Khairul, Fiqh Mawaris (CV Pustaka Setia Bandung), Hlm. 30
Ash-Shabuni, Muhammad Ali.1995. PembagianWarisMenurut Islam.Jakarta:GemaInsani
Press.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris (Hukum Pembagian Warisan
Merurut Syrariat Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
K.Lubis, Suhrawardi. Simanjuntak, Komis.2007. Hukum Waris Islam. Jakarta:Sinar Grafika.
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhibbin, Moh. Wahid, Abdul. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
Nasution, Amin Husain. 2012. HukumKewarisan:
SuatuAnalisisKomparatifPemikiranMujtahiddanKompilasiHukum Islam. Jakarta: Rajawali
Pers.
Riyanto, WaryaniFajar.2012. StudiHukumWaris Islam.Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.