Anda di halaman 1dari 20

( FIKIH MAWARIS )

Disusun Kelompok (4) :


Panji Mohamad Paisal (1631501002)
Wahyu Dwi pamungkas ( 1831500499)
Putut Panji Asmoro (1831502297)
Bardin Alamsyah (1931500597)
Valdy Irhamsyah (17771504766)
Hanzah Eiffel Syahputra (1771503792)

MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (FD)
2020

Universitas Budi Luhur Jakarta. Jl. Ciledug Raya No.99, RT.10/RW.3, Petukangan
Utara, Kec. Pesanggrahan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
12260
BAB  I

PENDAHULUAN

A.    Latar  Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu

membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang

dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran

membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya

hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.

Selama hidupnya sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya,

manusi bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota

keluarga, warga Negara, dan pemeluk agama yang harus di tunduk, taat dan patuh kepada

ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas kehidupannya.

Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengarus dan akibat hukum pada

diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.adanya kematian seseorang

mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara

pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang

dikenal dengan nama Hukum Mawaris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan

nama Fiqh Mawaris atau Faraid.

Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu ”suatu proses

pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.” Dari

seluruh hukum-hukum perkawinan dan hukum pewarisanlah yang menentukan dan

mencerminkan sifat kekeluargaan yang berlaku di dalam masyarakat.

Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa

saja yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebu, berapa bagian mereka

masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiaannya, serta di atur pula berbagai hal yang

berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.


B. Rumusan  Masalah

1. Apa itu fifkih mawaris ?

2. Apa hukum mempelajari fiqh mawaris ?

3. Apa saja Syarat-syarat Waris mewarisi ?

4. Apa saja sebab-sebab yang menjadi penghalang untuk saling mewarisi ?

5. Posisi hukum kewarisan di indonesia ?

C. Tujuan Pembuatan makalah

1.    Untuk mengetahui syarat-syarat waris mewarisi

2.    Untuk mengetahui sebab-sebab yang menjadi penghalang untuk saling mewarisi


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQIH MAWARIS (Faraidh)

Lafaz Al-mawaris merupakan amak dari lafal mirats maksudnya adalah harta peninggalan

yang ditinggalkan oleh (si mati) dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).

Menurut Muhammad al-syarbiny Faraidh adalah ilmu fiqh yang berkaitan dengan

pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan

tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi

setiap pemilik hak waris (ahli waris). Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Faraid adalah

ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak

mendapatkanya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.[1]

Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami bahwa faraid atau fiqh mawaris adalah ilmu

yang membicarakan hal ihwal memindahkan harta peninggalan dari seseorang yang

meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya,

orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli

waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.


B. HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA

Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya


faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang
pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang
mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.
Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim,
tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti
hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak
dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa
yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk
mengajarkannya kepada orang lain.
Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin
(khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah
pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan
dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits
Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya
berbunyi sebagai berikut:
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah
kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu
akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka
mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada
mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).
Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam
kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat
disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin
yang belum pandai) adalah wajib.
Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur
Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang
melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan
menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti
meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti
menyelenggarakan penguerusan jenazah.
Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai
separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut.
Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu
faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga,
karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta
warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang
shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia
dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan
sunnahRasul-Nya.
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama
apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga
seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan
keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain
menganggap adil.Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang
konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT
semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan
keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari
siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari
Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-
ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Bagilah
harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Allah berfirman : “ Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui
batas ketentuannya, Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan
iapun mendapatkan siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan
bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan
baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip antara
lain : 
1. Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda)
diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan
sebagainya.
2. kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih
banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh
dekatnya hubungan keluarga.
3. Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat
perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak
biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris
wanita.
4. Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang
berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris,
umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a. Harta benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.
b. Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan
percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c. Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan
tuntunan Allah SWT.

Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan
sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya :
harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya.
Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang
secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-
kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta
waris karena kesukarelaannya sendiri.

1. Al-Qur‘an

Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib

berdasarkan al-Qur‘an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur‘an yang mengisyaratkan

tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S.

an-Nisa'/4:7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa

dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”

As-Sunnah

Hadis dari Ibnu Mas’ud berikut:

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : “Pelajarilah al-Qur‘an dan ajarkanlah

ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka

sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja

nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan

masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan

pemecahan masalahnya kepada mereka”. (HR. Ahmad).


C. SYARAT-SYARAT WARIS MEWARISI

1. Hubungan Pernikahan
Pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka merealisir kebahagiaan hidup keluarga, tentram dan
kasih sayang dengan cara yang di ridhoi Allah.
Hubungan pernikahan dijadikan sebagai penyebab adanya pewarisan, biasanya dipetik dari
bunyi Q.S Al-Nisa’ ayat 12 yang intinya menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara
orang yang terlibat dalam initi pernikahan yaitu suami-istri. 
Kriteria suami-istri tetap saling mewarisi disamping keduanya telah melakukan akad nikah
secara sah menurut syari’at. Juga antara suami-istri yang berakad nikah itu belum terjadi
perceraian ketika salah seorang dari keduanya meninggal dunia.
a. Kriteria Adanya Akad Nikah Secara Sah Menurut Syari’at
Kriterium ini merupakan salah satu syarat bagi suami-istri untuk saling mewarisi,
sedangkan arti kalimat “sah menurut syari’at agama” menunjukkan pada syarat-syarat
sahnya pernikahan dalam agama islam. Syarat-syarat itu ada tiga macam yaitu :
1) Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki calon suami, mengenai perempuan-
perempuan yang halal dinikahi sudah tersurat dalam Q.S Al-Nisa’ ayat 22-24, yang
intinya berjumlah 15 orang perempuan. Dalam hubungan ini Ahmad Azhar Basyir
mengklasifikasikan dua kelompok perempuan yang dilarang dinikahi, yaitu dilarang atau
haram dinikahi untuk semuanya dan haram dinikahi sementara.
Perempuan haram dinikahi selamnya karena tiga faktor yaitu, karena nasab, karena
hubungan susuan dan karena hubungan semenda. Perempuan yang haram dinikahi
karena hubungan nasab antara lain: ibu dan garis keturunan ke atas, anak perempuan
dan garis keturunan ke bawah, saudara perempuan sekandung, bibi dan seterusnya ke
atas dan keponakan perempuan. 
Sedangkan perempuan yang dilarang dinikahi karena hubungan susuan yaitu: ibu
susuan, nenek susuan, bibi susuan, keponakan perempuan susuan dan saudara
perempuan sesusuan (baik seayah-seibu, seayah atau seibu saja). Kelompok perempuan
yang haram dinikahi karena semenda ialah: mertua, anak tiri yang ibunya telah dinikah,
menantu dan ibu tiri.
Kemudian kelompok perempuan yang dilarang nikah untuk sementara waktu ialah:
mengumpulkan dua orang bersaudara menjadi istri, perempuan dalam ikatan
perkawinan dengan laki-laki lain Q. S Al-Nisa’ ayat 24, perempuan sedang dalam masa
iddah (baik iddah kematian maupun iddah talak), perempuan yang telah ditalak tiga kali
kecuali setelah perempuan itu kawin lagi dengan laki-laki lain, perkawinan orang yang
sedang ihram dan kawin dengan perempuan pezina dan sebaliknya kecuali setelah
menyatkan taubat.
Mengenai larangan nikah dengan perempuan pezina dan sebaliknya ini berdasarkan
pada Q.S Al-Nur ayat 3, yang pada intinya menegaskan bahwa laki-laki pezina hanya
pantas nikah dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik. Sehingga laki-laki
atau perempuan yang baik pantas menikah dengan perempuan atau laki-laki yang baik
pula.
2) Syarat sahnya pernikahan itu juga dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki.
3) Ada wali mempelai perempuan  yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut oleh
akiran syafi’i dan Ibnu Hanbal.

b. Kriteria Belum Ada Perceraian


Maksudnya antara suami-istri itu belum bercerai ketika salah seorang dari mereka
meninggal dunia. Termasuk  dalam kategori “belum bercerai” ialah cerai dalam bentuk
talak raj’i, sedangkan isrti masih mengalami masa iddah. Karena itu hak waris mewarisi
antara suami denagn istri yang telah ditalaq raj’i tersebut masih ada.  

2. Hubungan Kekerabatan
a. Pengertian dan Syarat
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahki waris yang disebabkan
oleh faktor kelahiran. Proses kelahiran seseorang tentu membutuhkan adanya hubungan
kelamin antara orang yang berlainan jenis, laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai
orang yang melahirkan melalui proses pembuahan oleh laki-laki. Karena itu, seorang anak
pada initnya memiliki hubungan kekerabatan dengan bapak dan ibu yang melahirkannya.
Tetapi hubungan kekerabatan ini meluas karena bapak dan ibu yang melahirkannya
(anak) dilahirkan oleh bapak-ibunya (kakek nenek anak) dan bapak ibu itu mempunyai
saudara, demikian juga dengan anak itu sendiri dilahirkan dengan mempunyai saudara-
saudaran yang lain serta keturunan saudara-saudaranya, maka orang yang meninggal itu
mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka atai dinamakan dengan kerabat
hawasyi.  Hawasyi ialah keluarga yang dihubungkan dengan orang yang meninggal
mempunyai hubungan garis menyamping seperti saudara, paman, bibi beserta
keturunannya. 
Dengan demikian syarat adanya kekerabatan itu pada hakikatnya adalah adanya
hubungan kelamin antara bapak-ibu. Oleh karena itu hubungan kelamin ini tidak bisa
dibuktikan dengan mata oleh orang lain, maka dibutuhkan syarat yang bisa disaksikan
oleh orang lain, sehingga kekerabatan anak jelas dan menjadi kuat untuk dihubungkan
dengan bapak-ibuk yang melakukan hubungan kelamin (mazinnah). Satu-satunya media
untuk melaksanankannnya mazinnah itu ialah melalui akad. Karena itu akad nikah itu
menjadi syarat disamping hubungan kelamin sebagai pembuktian adanya hubungan
kekerabatan.
b. Anak yang Lahir Tidak Memenuhi Syarat Kekerabatan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya syarat adanya kekerabatan adalah adanya
hubungan kelamin dan diperkuat dengan media alad nikah, tetapi dalam kasus-kasus
yang tidak biasa, dapat terjadi kemungkinan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan di luar akad nikah, dalam hal ini bisa terjadi dalam dua bentuk yaitu anak zina
dan anak yang lahir karena hubungan subhat. Begitu pula dalam kasus di mana anak
bukan sebagai anak kandung.
1) Anak Zina
Apabila ada seorang yang dilahirkan dengan hubungan kelamin antara laki-laki
dengan perempuan diluar media akad nikah yang dilakukan secara sengaja, maka
anak itu dinamakan anak zina. Dalam kasus seperti ini, anak zina hanya memiliki
hubungan kekerabatan dengan ibunya, bukan dengan bapaknya yang membuahinya.
Karena itu tidak mendapat warisan dari pihak bapaknya atau laki-laki yang
membuahi.

2) Anak Karena Hubungan Subhat


Hubungan kelamin karena subhat ialah hubungan kelamin karena akibat kelalaian
dan tidak sengaja dari pelaku. Dalam kasus hubungan kelamin subhat ini bisa terjadi
dalam dua bentuk yaitu subhat perbuatan dan subhat akad.
Subhat perbuatan terjadi bilamana orang yang melakukan hubungan kelamin sama-
sama mengira pasangan yang digaulinya adalah istri atau suami yang sah. Sedangkan
subhad akal terjadi apabila orang yang melakukan hubungan kelamin melalui akad
nikah yang sah, tetapi ternyata pasangannya itu termasuk orang yang tidak sah
dinikahinya.
Dalam kasus ini, si pelaku karena melakukan perbuata tanpa sadar, maka tidak
dikenai hukum. Sedangkan pengaruh terhadap penerimaan waris an, anak yang lahir
dari hubungan subhat (khusus subhat perbuatan) mendapat warisan dari laki-laki
yang membuahi perempuan yang melahirkannya. Sebab kekerabatannya hanya
dihubungkan dengan laki-laki tersebut, bukan dengan suami yang menikahinya
secara sah.

3) Anak Angkat
Islam secara tegas menolak menjadikan anak angkat berposisi anak kandung oelh
orang yang mengangkatnya, sekaligus memerintahkan agar anak angkat itu tetap
dihubungkan dengan orang tua yang melahirkannya. (Q.S Al-Ahzaab 4-5).
Karena itu anak angkat tidak mewarisi harta yang ditinggalkan oleh orang tua
angkatnya. Peraturan ini sebagai perombakan terhadap tradisi Arab Jahiliyah yang
menjadikan anak angkat sebagai ahli waris. Hal ini terjadi karena jika dilihat dari
aspek syarat kekerabatan, antara anak angkat dengan orang atua angkat tidah
memenuhi persyaratan. Baik dari segi hubungan kelamin maupun akad nikah,
dengan kata lain anak angkat tersebut tidak dilahirkan dari orang tua angkatnya yang
telah melakukan hubungan kelamin dengan akad nikah. Karenanya sudah selayaknya
yang telah melahirkannya.

4) Anak Tiri
Anak tiri ialah salah satu anak dari suami istri hasil pernikahan dengan istri atau
suami terdahulu. Dalam kaitannya dengan hak waris-mewarisi, anak tiri hanya
mendapat hak warisan dari bapak atau ibu kandungnya yang telah membuahi atau
melahirkan. Hal ini sudah selayaknya, dengan berdasarkan pada syarat kekerabatan,
di mana anak tiri dengan bapak tirinya tidak memenuhi persyaratan itu. Sebab anak
tiri tersebut lahir dari hasil hubungan kelamin dan akad nikah antara ibu (yang telah
menjadi istri bapak  tirinya) dengan bapak yang membuahi ibunya itu. 

3. Hubungan Sebab Al-Wala’


Hubungan sebab wala’ adalah hubungan waris-mewarisi keran kekerabatan menurut hukum
yang timbul karena membebaskan budak, sekalipun di antara mereka tidak ada hubungan
darah.
Sekarang ini hubungan wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja. Hubungan wala’
terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan sukarela
memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik budak tersebut mengubah status
orang yang semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak untuk mengurusi,
memiliki dan mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu, cakap
melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah dihadirkan kepada
budaknya sebagai perangsang agar orang-orang (pada waktu itu) memerdekakan budak.
Dengan demikian, orang yang mempunyai hak wala’ mempunyai hak mewarisi harta
peninggalan budaknya apabila budak tersebut meninggak dunia.

4. Hubungan Sesama Islam


Hubungan Islam yang dimaksud di sisni terjadi apabila seseorang yang mininggal dunia tidak
memiliki ahli waris, maka hata warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum
atau yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian,
harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris iru diwarisi oleh umat Islam.
D. PENGHALANG SALING MEWARISI
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang
untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka
mereka tidak dapat menerima hak waris. 
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi
adalah sebagai berikut.
1. Perbudakan
Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa seorang budak tidak cakap mengurus hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sesuai dengan Q.
S. al-Nahl : 75.

Artinya :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu
Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui (Q. S. al-Nahl : 75)

Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap
mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada
yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat
mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya
adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta. 


2. Pembunuhan
Dalil-dalil yang menetapkan pembunuhan sebagai penghalang mewarisi ialah Hadits
Rasulullah Saw. Hadits Rasulullah Saw tersebut adalah sebagai berikut.
Artinya:
Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun
si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya,
maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan. (HR. Ahmad) 

Macam-macam pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi (mawani’ul-irtsi) menurut


beberapa fuqaha  adalah sebagai berikut. 
Hanafiyah Malikiyah
a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena khilaf
d. Pembunuhan dianggap khilaf 1. Pembunuhan dengan sengaja
e. Pembunuhan mirip sengaja
f. Pembunuhan tak langsung

Syafi’iyah Hanabilah
Semua macam pembunuhan secara mutlak menjadi penghalang mewarisi
a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena khilaf
d. Pembunuahn dianggap khilaf
e. Pembunuhan tak langsung
f. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf

Macam-macam pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi (ghairu mawani’ul-


irtsi) menurut beberapa fuqaha  adalah sebagai berikut. 
Hanafiyah Malikiyah
a. Pembunuhan tak langsung
b. Pembunuhan karena hak
c. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf
d. Pembunuhan karena udzur
e. Pembunuhan karena khilaf
f. Pembunuhan dianggap khilaf
g. Pembunuhan karena hak
h. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf
i. Pembunuhan karena udzur
Hanabilah
a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena khilaf
d. Pembunuahn dianggap khilaf
e. Pembunuhan tak langsung
f. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf

3. Berlainan Agama
Berlainan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang
mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut. 

Artinya:
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi
harta orang muslim.
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah meninggalnya
pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli
waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalan untuk mewarisi, sebab timbulnya hak
mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
mulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih
dalam keadaan non-Islam (kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.
Demikian juga orang murtad mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi hara
peninggalan keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak
kejahatan terbesar yang telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena itu, para fuqaha
telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari kerabatnya.
4. Berlainan Negara
Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi
penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum,
meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya.
Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang nonmuslim. Dalam
hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi penghalang mewarisi dengan alasan hadits
yang melarang warisan antara dua orang yang berlainan agama. Mafhum mukhalafah-nya
bahwa ahli waris dan pewaris yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun
berbeda agamanya.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa hal itu menjadi
penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara orang-orang nonmuslim berarti
putusnya kekuasaan dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan.
5. Al-Hajb (Penghalang dari Mendapat Harta Warisan)
Al-Hajb menurut bahasa artinya penghalang. Menurut istilah artinya penghalang yang
menghalangi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta warisan. 
Al-Hajb ini dibedakan menjadi 2 macam, sebagai beikut.
1. Hijab tetap (hijab hirman)
Hijab hirman adalah terdindingnya seseorang untuk menjadi ahli waris, dikarenakan oleh
adanya ahli waris lainnya yang mempunyai kedudukan lebih diutamakan dekat dengan
pewaris, seperti saudara akan terhijab dengan adanya anak atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki, ayah pewaris.
Perincian hijab atas dasar pendapat jumhur ahlu sunnah, sebagai berikut.
a. Cucu baik laki-laki atau perempuan tertutup oleh anak laki-laki;
b. Kakek tertutup oleh ayah;
c. Nenek tertutup oleh ibu;
d. Saudara kandung tertutup oleh ana atau cucu laki-laku juga oleh anak;
e. Saudara seayah tertutup oleh saudara kandung laki-laki dan oleh orang yang
menutup saudara kandung;
f. Saudara seibu tertutup oleh anak, cucu, ayah, kakek dan tidak tidak tertutup
oleh saudara kandung atau saudara seayah;
g. Anak saudara kandung tertutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh orang
yang menutup saudara seayah;
h. Anak saudara seayah tertutup oleh anak saudara kandung dan oleh yang
menutup anak saudara kandung;
i. Paman kandung (saudara kandung dari ayah) tertutup oleh anak saudara
seayah dan oleh orang yang menutupnya;
j. Paman seayah (saudara seayah dari ayah) tertutup oleh paman kandung dan
oleh dan oleh orang yang menutupinya;
k. Anak paman kandung tertutup oleh paman seayah dan oleh orang yang
menutupinya;
2. Hijab sementara (hijab muqshan)
Hijab sementara adalah hijab yang mengurangi bagian yang akan diterima oleh seorang
ahli waris, dikarenakan ahli waris lain masih ada.
Dalam menelusuri ketentuan hukum kewarisan menurut al-Qur’an dapat digambarkan
ahli waris yang termasuk dalam hijab sementara ini, sebagai berikut.
a. Anak atau cucu laki-laki mauoun perempuan akan mempengaruhi bagian
ahli waris:
b. Anak perempuan satu orang akan mempengaruhi bagian ahli waris cucu
perempuan anak laki-laki menjadi 1/6 semula 1/2 bagian.
c. Saudara dua orang atau lebih (laki-laki atau perempuan, sekandung atau
seayah atau seibu saja) akan mempengaruhi bagian ahli waris ibu menjadi
1/6 semula 1/3 bagian.
d. Saudara perempuan sekandung akan mempengaruhi bagian ahli waris
saudara perempuan seayah menjadi 1/6 semula 1/2 bagian  jika seorang. 
E. POSISI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA

Tabel Mawaris menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh mawaris adalah ilmu yang

membicarakan hal ihwal memindahkan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal

dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang

yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris,

maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Untuk mendapatkan warisan

tersebut ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaiu :

1.        Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan

hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang)

2.        Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak

dalam kandungan

3.        Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.

Jika tiga syarat di atas tidak terpenuhi maka tidak dapat dilakukannya pewarisan

tersebut.

Selain itu ada juga sebab-sebab yang menjadi penghalang dalam mewarisi. sebab pertama

adalah Sebab membunuh yaitu si ahli waris sengaja membunuh si pewaris agar

mendapatkan warisan tersebut tapi pada kenyataannya perbuatan tersebut menghalangi

atau dapat membatalkan suatu pewarisan. Sebab kedua yaitu sebab perbudakan, Hamba

sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya, sebab jika ia mewarisi berarti

harta warisan itu akan diminta oleh majikannya. status budak itu sendiri adalah sebagai

harta milik bagi tuannya. Oleh karena itu, seorang budak yang fungsinya sebagai harta milik

tuannya tidak boleh mewarisi harta milik tuannya. Sebab yang ketiga yaitu, Sebab berbeda

agama, orang islam dan orang kafir tidak dapat saling mewarisi, karena dalam hal untuk

masalah waris mewarisi berhubungan dengan saling tolong menolong dan membantu

sesamanya. Hal ini tidak terdapat diantara orang muslim dengan orang kafir karena dilarang

Syara’.

 
DAFTAR PUSTAKA

H. Usman Suparman, , Fiqh Mawaris (Jakarta : Gaya MediaPratama, 1997), Hlm. 13

MOH. ANWAR, BcHK. Fara’id Hukum Waris Dalam Islam Dan Masalah-Masalahnya (Al-Ikhlas

Surabaya-Indonesia), Hlm. 33

Umam Dian Khairul, Fiqh Mawaris (CV Pustaka Setia Bandung), Hlm. 30
Ash-Shabuni, Muhammad Ali.1995. PembagianWarisMenurut Islam.Jakarta:GemaInsani
Press.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris (Hukum Pembagian Warisan
Merurut Syrariat Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
K.Lubis, Suhrawardi. Simanjuntak, Komis.2007. Hukum Waris Islam. Jakarta:Sinar Grafika.
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhibbin, Moh. Wahid, Abdul. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
Nasution, Amin Husain. 2012. HukumKewarisan:
SuatuAnalisisKomparatifPemikiranMujtahiddanKompilasiHukum Islam. Jakarta: Rajawali
Pers.
Riyanto, WaryaniFajar.2012. StudiHukumWaris Islam.Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai