Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem yang “masukan” (input)

berupa pelaku-pelaku yang melakukan perbuatan melanggar hukum pidana

untuk “diproses” dan selanjutnya menjadi “keluaran” (out put) kembali pada

masyarakat seperti sediakala. Yang mana cakupan sistem ini meliputi : (a)

mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kejahatan

yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan

yang bersalah dipidana; (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Sendangkan Komponen-

komponen yang bekerjasama dalam sistem ini terutama instansi-instansi yang

kita kenal dengan nama : kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

pemasyarakatan.1

Hukum Positif Indonesia mengenal berbagai macam sanksi pidanadan

salah satunya yakni pidana penjara. Sanksi pidana merupakan penjatuhan

hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam

melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi seperti

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sementara waktu dan

sebagainya. Tujuan dari sanksi pidana menurut Van Bemmelen adalah untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi

1
J.E.Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Rajawali Press, Jakarta, 2007, hal 90.

1
untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.

Pidana penjara dalam pasal 10 KUHP juga dikenal dalam rancangan KUHP

terbaru yang dengan sebutan lain yaitu pidana pemasyarakatan. Pidana penjara

atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari hukuman yang dapat

dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis dengan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkraht).

Sebagaimana diketahui bahwa masalah korupsi pada saat ini menjadi

suatu permasalahan yang sangat serius dan sedang ramai diperbincangkan

masyarakat karena korupsi itu sendiri sudah ada zaman dulu dan sampai

sekarang saya kira korupsi masih merajarela dan bakal susah diatasi. Contohnya

bisa kita lihat pada kasus korupsi luar biasa besar seperti Century dan

Hambalang. Para pelakunya pun tidak main main, bisa dibilang merekalah

pejabat tertinggi di negara kita, dimana bisa dikatakan bahwa kemaslahatan dan

kemakmuran negara kita tergantung pada mereka. Dari realita ini nampaknya

sulit untuk memberantas korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya

memberantas korupsi, juga terlibat dalam perkara korupsi. inilah yang menjadi

salah satu pertimbangan dan menjadi dasar pemikiran lahirnya pasal 43 undang-

undang no 31 tahun 1999 yang menyatakan perlunya di bentuk Komisi

Pemberantasan Korupsi yang kemudian melahirkan undang-undang no 30 tahun

2000 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kemudian di sebut undang-

undang KPK.2

2
Chaerudin, Dinar, S. A., & Fadilah, S,Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal 1.

2
Problema yang mungkin sangat ironis saat ini adalah ketika seorang

Pejabat Negara yang seharusnya mengemban tugas pemerintahan justru

melakukan tindak pidana korupsi dan di tetapkan sebagai tersangka, serta para

pejabat ini mementingkan kepentingan individu dan atau kelompok mereka

masing-masing dari pada kepentingan khalayak ramai atau masyrakat Indonesia

yang sebagian besar masih di bawah garis kemiskinan yang lebih membutuhkan

peran serta dari pendapat Negara untuk kesejahteraan umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara

pelaksanaan pemberian remisi menimbulkan berbagai macam persoalan

diantaranya adalah pandangan Yusril Ihza Mahendra bahwa Peraturan

Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengingkari asas kesamaan hak dihadapan

hukum (equality before the law ) yang membedakan pemberian remisi bagi

terpidana kejahatan biasa dengan pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary

crime) terorisme, narkotika, psikotropika dan korupsi di Indonesia. Persoalan

lainnya mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012

lainnya muncul dari Mantan Ketua Kontistusi (MK) M. Mahfud MD yang

menegaskan, Pembatasan remisi, Pembebasan bersyarat, dan hak terpidana lain

harus dilakukan dengan hukum undang-undang bukan dengan Peraturan

Pemerintah (PP) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99

tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan pemberian remisi.

3
Hal ini tentu saja mengundang banyak pertanyaan yang beragam dan

controversial tentang tanggung jawab moral yang di emban para pejabat Negara

terhadap rakyatnya, apakah hanya sekedar jabatan yang dijabat ataukah jabatan

yang mulia yang di berikan oleh Negara selanjutnya dilaksanakan, bahkan,

setelah terpidana kasus korupsi mendapatkan hukuman pidana yang berupa

pidana penjara dan pidana denda dari pengadilan, merekapun juga ikut

mendapatkan remisi (Pemotongan Masa Tahanan) baik berupa remisi khusus,

remisi umum, remisi tambahan seperti yang di berikan oleh Negara terhadap

narapidana lainya, tentunya hal ini akan membuat mereka mungkin tidak akan

jera dalam melakukan kejahatannya karena pidana yang di jatuhkan oleh hakim

sangatlah ringan, belum lagi di tambah remisi yang diberikan. Pemberian remisi

dalam perundangan-undangan di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99

Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak

warga binaan pemasyarakatan.

Saat ini pada tahun 2022 di Lapas Jambi menampung 122 tahanan dan

1.186 narapidana, diantara narapidana tersebut 71 diantaranya napi tindak pidana

korupsi. Penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang kebijakan

pemberian remisi terhadap Narapidana Korupsi di Jambi, oleh karena itu

penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “KEBIJAKAN

PEMBERIAN REMISI NARAPIDANA KORUPSI DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KELAS II A JAMBI”.

4
B. Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang masalah yang di kemukan di atas, maka rumusan


dan pembatasan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kebijakan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana

korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Jambi ?

b. Apakah pelaksanaan remisi bagi Narapidana korupsi di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Jambi sudah dilaksanakan sesuai ketentuan yang

berlaku ?

C. Tujuan Penelitian

Bedasarkan uraian tersebut di atas, maka tujuan yang ingin di capai dari
penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui kebijakan dalam pemberian remisi bagi narapidana tindak

pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Jambi.

2. Untuk menganalisa kesesuaian hukum pemberian remisi Di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Jambi dengan ketentuan yang berlaku.

D. Kerangka Konsepsional

1. Korupsi berasal dari perkataan latin “corruption” yang berarti kerusakan atau

kebobrokan. Disamping itu perkatan korupsi di pakai pula untuk menujuk

suatu keadaan atau perbuataan yang buruk. Korupsi juga banyak juga

disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.3

3
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1981, hal. 122.

5
2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana bedasarkan keputusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata terpidana merupakan

kata turunan dari kata pidana yang bermakna kejahatan. Memindana berarti

“menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana”. Kata terpidana

bermakna” dikenai hukman orang yang dikenai hukuman”..4

3. Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman

karena tindak pidana) terhukum. Sementara itu, berdasarkan kamus hukum

narapidana diartikan sebagai orang yang menjalani pidana dalam Lembaga

Pemasyarakatan.

5. Remisi adalah pengurangan hukuman terhadap terpidana dan anak pidana

yang berkelakuan baik dengan tujuan untuk memotivasi terpidana

bersangkutan dengan terpidana lain untuk berbuat baik dan segera menjalani

kehidupan bermasyarakat.

6. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Jambi dibangun pada Tahun 1930 pada

zaman kolonial Belanda dengan sebutan Staf Gevangenis yang terletak di

Jalan gatot Subroto No. 44 di Pusat Kota Jambi. Namun pada tanggal 8

Nopember 1984 Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Jambi dipindahkan ke

Jalan Pattimura Km. 8 Kota jambi sampai dengan sekarang.5

7. Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu organisasi/ badan usaha atau wadah

4
Pattinasaray, S, Tersangka ,Terdakwa, Terpidana, Terhukum, Jakarta, Gramedia Widiasarana,
2009, hal. 138-139.
5
http://lapasjambi.kemenkumham.go.id/profil/sejarah-satuan-kerja

6
untuk menampung kegiatan pembinaan bagi narapidana, baik pembinaan

secara fisik maupun pembinaan secara rohani agar dapat hidup normal

kembali ke masyarakat.6

8. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga

Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana.

E. Kerangka Teoritis

1. Teori Penyelesaian

Restoratif justice dalam pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi bukan

sama sekali menghilangkan sanksi pidana, melainkan lebih mengedepankan

pemberian sanksi yang menekankan pada upaya pemulihan akibat kejahatan.

Tindak pidana korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi

digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan

secara luar biasa. Oleh karena itu, pengaturan pidana uang pengganti dan

denda meurpakan salah satu upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan

negara.

6
http://lapasjambi.kemenkumham.go.id/profil/sejarah-pemasyarakatan

7
Dalam konsep pendekatan restoratif justice perlu dipertimbangkan agar

pengembalian kerugian negara menjadi pidana pokok. Karena apabila

penggantian kerugian negara tetap menjadi pidana tambahan, masih ada

peluang bagi hakim untuk memutuskan pidana subsider atau pidana kurungan

pengganti apabila terpidana tidak mampu mengembalikan kerugian. Dalam

lensa keadilan restoratif, apabila terpidana tidak mampu mengembalikan

kerugian tersebut meskipun semua harta kekayaannya telah dilelang, maka

ketimbang memenjarakan terpidana lebih baik negara memberdayaan pelaku

korupsi dalam bentuk kerja paksa sesuai dengan keahliannya. Karena pada

dasarnya para pelaku korupsi adalah orang yang memiliki keterampilan yang

baik. Hasil dari kerja paksa tersebut dirampas oleh negara untuk menutupi

kerugian negara yang tidak sanggup dibayar oleh terpidana.

Untuk menyelamatkan aset negara harus dilandasi oleh pemikiran

restoratif justice yang berorientasi pada pemulihan akibat tindak pidana

korupsi ketimbang memenjarakan pelaku korupsi. Konsep restoratif justice

dalam pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi dapat diimplementasikan

dalam bentuk penguatan norma-norma pengembalian kerugian negara dari

sebagai pidana tambahan menjadi pidana pokok. Adapun untuk

mengantisipasi pelaku tidak mampu membayar kerugian tersebut, maka

konsep kerja paksa dapat terapkan ketimbang memenjarakan pelaku tindak

pidana korupsi.7

7
Koeswadji, H. H, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak
Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 37

8
2. Teori Penaggulangan Korupsi

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan

istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan

sebagai berikut:

1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);

3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment / mass media) (atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan.

Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan

kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan

menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum

pidana dengan sarana-sarana non-penal).

Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan

kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive

(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan

jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan).

Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai

tindakan preventif dalam arti luas.8

8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama, Semarang,
2011, hal. 45

9
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum.

Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas

dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan

yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah

menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi,

yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun

sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi; tambahan dari penulis). Dengan ini, upaya non-

penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang

digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya

politik kriminal’.

Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan

hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan

penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan

dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana

penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif )

sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan

tersebut adalah :

• dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam

bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang

terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi);

• dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya

yang tinggi;

• sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek

10
sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga

Pemasyarakatan;

• penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren

am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik

bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan

berada di luar jangkauan hukum pidana;

• hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial

lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan

kemasyarakatan yang sangat kompleks;

• sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural

atau fungsional;

• efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering

diperdebatkan oleh para ahli.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penulisan penelitian ini,

penulis memilih metode penelitian dengan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu

peneltian yang dapat diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan

perhitungan, serta menekankan pada aspek suatu pemahaman secara mendalam

terhadap suatu masalah. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh

pemahaman, mengembangkan teori, dan menggambarkan secara kompleks.9

9
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, hal.
43

11
Peneliti memilih pendekatan kualitatif ini untuk dijadikan sebagai

pendekatan penelitian didasarkan pada permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian, yakni mengenai Pelaksanan Pemberian Remisi Narapidana Korupsi Di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Jambi.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

lapangan (field research). Penelitian (research) adalah usaha yang dilakukan

dengan tujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan. Dalam menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan, hukum dipahami tidak hanya sebagai suatu peraturan perundang-

undangan yang tertulis, akan tetapi hukum dikonsepsikan sebagai apa yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian membentuk suatu pola sehingga

berlaku serta berkembang dalam masyarakat. Jenis penelitian lapangan yang

peneliti lakukan di Lemabaga Pemasyarakatan Kelas II A Jambi merupakan

penelitian non-dokrinal, yaitu hukum di konsepsikan sebagai pranata riil dikaitkan

dengan variabel-variabel sosial yang lain.10

3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah kebijakan pemberian remisi yang

berkaitan tentang narapidana korupsi.

10
Aminudin, & Asikin, Z, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 2006, hal. 133

12
4. Sumber data Penelitian

Responden dipilih dari orang-orang yang dianggap mampu memberikan

informasi mengenai latar belakang dan keadaan yang sebenarnya dari obyek yang

diteliti sehingga data yang dihasilkan dapat akurat. Dalam penelitian kualitatif

sumber data dipilih dengan carapurposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan

tujuan tertentu.11

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data yaitu teknik atau cara-cara yang digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data yang mendukung tercapainya tujuan

penelitian. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalahwawancara, observasi, dan dokumentasi.

6. Analisis Data

Setelah data terkumpul tahap selanjutnya adalah mengolah data dan

menganalisis data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif

kualitatif yaitu dengan cara menghimpun fakta dan mendeskripsikannya. Secara

lebih lanjut, mendeskripsikan data kualitatif dilakukan dengan cara menyusun dan

mengelompokkan data yang ada, sehingga memberikan gambaran nyata terhadap

sumber data. Analisis ini dilakukan pada seluruh data yang diperoleh dari hasil

wawancara, observasi, dan dokumentasi.

11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung,
2008, hal. 216

13
G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan penelitian ini dibagi menjadi 5 BAB

meliputi:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai Pengertian Korupsi , Pengeritian Terpidana,

Pengertian Narapidana, Hak-Hak Narapidana, Pengertian Remisi, Jenis-Jenis

Remisi, dan Syarat pemberian remisi.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang tata cara dalam melakukan penelitian, yakni untuk

memperoleh bahan dalam penyusunan penelitian ini yaitu meliputi jenis

penelitian, pendekatan penelitian, subjek penelitian, sumber data penelitian, teknik

pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan mengenai hasil penelitian berserta pembahasannya,

yang mana hasil penelitiannya merupakan Kebijakan Pemberian Remisi Bagi

Narapidana Tindak Pidana Korupsi Di LAPAS Kelas II A Jambi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini Berisi Kesimpulan dan saran.

14
15

Anda mungkin juga menyukai