Anda di halaman 1dari 100

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang

selalu ada dan melekat dalam setiap bentuk masyarakat. Karena itu kejahatan

merupakan fenomena sosial yang bersifat universal dalam kehidupan manusia.

Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat

menjadi masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi

transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operasi kejahatan

masa kini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat

melintasi batasbatas negara. Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang

berdimensi transnasional.

Salah satu wujud dari kejahatan transnasional yang krusial karena

menyangkut masa depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi

muda negeri ini adalah kejahatan dibidang penyalahgunaan narkotika. Modus

operasi sindikat peredaran narkotika dengan mudah, dapat menembus batas-

batas negara di dunia melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi

yang canggih dan masuk ke Indonesia sebagai negara transit atau bahkan

sebagai negara tujuan perdagangan narkotika secara ilegal. Menyadari

sedemikian besarnya dampak yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan

narkotika, Pemerintah telah mengeluarkan produk hukum yang diharapkan

mampu untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika melalui

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang telah diubah


2

menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tindak Pidana Narkotika sendiri diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai

dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan

ketentuan khusus. Penyalahgunaan narkotika membawa dampak bagi

masyarakat dan lingkungan sosial sehingga dalam Pasal 114 ayat (1) UU No.35

Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000

(sepuluh milyar rupiah).”

Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari

hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis

dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap

(inkraht). Fungsi pemidanaan 4 pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan,

tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan,

rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Masalah

pemidanaan masih merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui,

sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana masih menyoroti pidana

pada umumnya, tetapi pidana penjara atau sistem pemidanaan di lembaga

pemasyarakatan pada khususnya masih kurang mendapat perhatian.


3

Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana hanya

terletak dibidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana

dan pertanggungan jawab pidana, dan penerapan hukum pidana yang pada

dasarnya tidak membahas bidang penerapan sistem pemidanaan di lembaga

pemasyarakatan, atau Ilmu hukum pidana yang dikembangkan saat ini, masih

lebih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari

pada pemberlakuan/penerapan sanksi pidana di lembaga pemasyarakatan.

Pembahasan tentang penerapan sanksi pidana di lembaga

pemasyarakatan yang bersifat memperkokoh norma 5 hukum pidana belum

banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh hukum pidana dirasakan

masih belum serasi. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur

balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara”

secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak

sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana

menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak

pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi

diri, keluarga dan lingkungannya.

Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana agar

menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat

yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan

keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan

damai. Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui

pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi.


4

Salah satu hak bagi warga binaan Lapas Narkotika Bollangi dilindungi

oleh Hak Asasi Manusia dan UndangUndang di Indonesia, yaitu dengan

adanya pemberian remisi. Remisi pada hakekatnya merupakan hak bagi seluruh

narapidana dan berlaku bagi setiap narapidana, sepanjang narapidana terebut

menjalani pidana sementara, bukan pidana seumur hidup dan pidana mati.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun

1983, di tiap kabupaten atau kotamadya dibentuk Rutan. Namun kondisi yang

terjadi di Indonesia adalah tidak semua kabupaten dan kotamadya di Indonesia

memiliki Rutan dan Lapas, sehingga Rutan difungsikan pula untuk

menampung narapidana seperti halnya Lapas. Hal ini juga mengingat kondisi

banyak Lapas yang ada di Indonesia, berdasarkan informasi dari berbagai

sumber, telah melebihi kapasitas, karenanya terdakwa yang telah menjalani

hukuman di Rutan, yang seharusnya pindah dari Rutan untuk menjalani

hukuman ke Lapas, banyak yang tetap berada di dalam Rutan hingga masa

hukuman mereka selesai.

Warga binaan selaku terpidana yang menjalani pidana penjara memiliki

hak-hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan undang undang Indonesia,

salah satunya adalah dengan adanya pemberian remisi. Remisi pada

hakekatnya adalah hak semua narapidana dan berlaku bagi siapapun sepanjang

narapidana tersebut menjalani pidana sementara bukan pidana seumur hidup

dan pidana mati.

Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai remisi terdapat

dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
5

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden

Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, serta secara khusus terdapat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah

32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa:

1. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan

Remisi.

b. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan

kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi

syarat:

1) Berkelakuan baik; dan

2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam)

bulan.

3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:

a) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin

dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,

terhitung sebelum waktu pemberian remisi;

dan

b) Telah mengikuti program pembinaan yang

diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat

baik.”
6

2. Ketentuan Pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan

prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan

terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia

yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi

lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk

membantu membongkar perkara tindak pidana yang

dilakukannya;

1) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti

sesuai dengan putusan pengadilan untuk

narapidana yang dipidana karena melakukan

tindak pidana korupsi; dan,

2) Telah mengikuti program deradikalisasi yang

diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme, serta

menyatakan ikrar;

a) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan

Republik Indonesia secara tertulis bagi

bagi narapidana warga negara Indonesia

b) tidak akan mengulangi perbuatan tindak

pidana terorisme secara tertulis bagi


7

narapidana warga negara asing, yang

dipidana melakukan tindak pidana

terorisme.

b. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak

pidana narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku

terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

c. Kesedian untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan

ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun hukum positif yang mengatur tentang remisi yaitu terdapat

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden

Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, serta secara khusus terdapat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah

32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan. Dari isi peraturan pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan,

menimbulkan berbagai macam persoalan, diantaranya bertentangan dengan

asas kesamaan hak di hadapan hukum (equality before the law) yang

membedakan dalam hal pemberian remisi bagi terpidana kejahatan biasa


8

dengan terpidana kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terorisme,

narkotika, dan korupsi di Indonesia.

Berdasarkan dari uraian di atas, pemberian remisi bagi narapidana

narkotika khususnya di Lapas Bollangi perlu diperhatikan, baik dari

pelaksanaan pemberiannya ,Sehubungan dengan hal-hal yang telah

dikemukakan diatas, maka masalah tersebut akan dibahas dengan judul

Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi Narapidana Narkotika dan

Psikotropika di Lapas Narkotika Bollangi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalahnya

sebagai berikut :

1. Bagaimana Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi Narapidana Narkotika

dan Psikotropika Di Lapas Narkotika Bollangi ?

2. Apa Faktor Penghambat Lapas Narkotika Bollangi dalam melaksanakan

Remisi bagi Narapidana Narkotika dan Psikotropika?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk Menganalisis Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

Narkotika dan Psikotropika Di Lapas Narkotika Bollangi.

2. Untuk menganalisis Faktor Penghambat Lapas Narkotika Bollangi

dalam melaksanakan Remisi bagi Narapidana Narkotika dan

Psikotropika.
9

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam rangka

pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah perbendaharaan

kepustakaan terutama bidang hukum.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan

mengenai pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana

penyalahgunaan narkotika.
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Remisi

1. Pengertian Remisi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang telah

diamandemen menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, remisi

adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan

anak pidana yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1

angka 6).

Disisi lain terdapat pengertian remisi yaitu potongan atau


pengurangan masa hukuman seseorang narapidana karena berkelakuan
baik selama menjalani masa hukuman di Lembaga Permasyarakatan
untuk jangka waktu tertentu yang diberikan dengan Keputusan Presiden
sehubungan ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. D arwint Parint,
(2009)

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat memberikan pemahaman pada

kita bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam

menunjang sistem pemasyarakatan yang sejalan dengan fungsi Lembaga

Pemasyarakatan itu sendiri. Fungsi pemsyarakatan itu sendiri berupa menjalankan

bagian integral dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pemberian

remisi merupakan upaya untuk mengurangi dampak negatif sub kultur

pelaksanaan pidana penjara, disparitas pidana dan akibat pidana berupa hilang

kemerdekaan. Dengan demikian remisi menjadi tolak ukur bahwa narapidana dan

anak pidana dapat berkelakuan baik selama menjalani pidana. Remisi dapat
11

dijadikan sarana pengendali kepada narapidana dan anak pidana terhadap

kemungkinan diulanginya kembali tindak kejahatan dan mempunyai peranan

dalam melindungi masyarakat dari kejahatan.

Pemberian remisi tidak dianggap sebagai bentuk kemudahan bagi warga

binaan pemasyarakatan untuk cepat bebas, tetapi agar dijadikan sarana untuk

meningkatkan kualitas diri sekaligus memotivasi diri, sehingga dapat mendorong

warga binaan pemasyarakatan kembali memilih jalan kebenaran. Kesadaran untuk

menerima dengan baik pembinaan yang dilakukan oleh Lapas maupun Rutan akan

berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan di masa mendatang. Perlu kita

sadari bahwa manusia mempunyai dua potensi dalam kehidupannya, yaitu potensi

untuk berbuat baik dan potensi untuk melakukan perbuatan buruk (jahat),

sehingga siapapun dapat berbuat salah atau khilaf.

Namun dengan tekad dan kesungguhan hati untuk memperbaiki diri, niscaya

masyarakat akan memberikan apresiasi dan kepercayaan kepada warga binaan

pemasyarakatan untuk berada kembali ditengah-tengah masyarakat. Pemberian

remisi dimaksudkan juga untuk mengurangi dampak negatif dari sub-kultur

tempat pelaksanaan pidana, disparitas pidana dan akibat pidana perampasan

kemerdekaan .

Secara psikologis pemberian remisi mempunyai pengaruh dalam menekan

tingkat frustasi sehingga dapat mereduksi atau meminimalisasi gangguan

keamanan dan ketertiban di Lapas, Rutan dan cabang Rutan berupa

pelarian,perkelahian dan kerusuhan lainnya. Pemberian remisi hendaknya dapat

dijadikan semangat dan tekad bagi warga binaan untuk mengisi hari-hari
12

menjelang bebas dengan memperbanyak karya dan cipta yang bermanfaat bagi

sesama. Sehingga upaya warga binaan pemasyarakatan untuk mendapatkan remisi

tersebut dapat dimaknai sebagai persiapan diri dan kesungguhan untuk tidak

melanggar hukum lagi yang akan sangat mendukung dan menunjang keberhasilan

warga binaan pemasyarakatan dalam berintegrasi dengan masyarakat tempat di

mana warga binaan pemasyarakatan kembali.

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

pengertian remisi diartikan sebagai pengurangan hukuman terhadap narapidana

dan anak pidana yang berkelakuan baik dengan tujuan untuk memotivasi

narapidana yang bersangkutan dan narapidana yang lain untuk berbuat baik dan

segera menjalani kehidupan di masyarakat. Remisi bisa dijadikan sebagai sarana

untuk memotivasi narapidana melaksanakan program-program yang ada di Lapas

supaya dijalankan dengan baik, melaksanakan peraturan tata tertib dengan

harapan yang bersangkutan mendapatkan pengurangan hukuman sehingga bisa

segera kembali menjalani kehidupan dimasyarakat secara normal.

Bagi narapidana kebanyakan, hak remisi merupakan hak yang diharapkan

dan ditunggu-tunggu sehingga dengan berkurangnya hukuman segera dapat

menghirup udara bebas. Namun demikian hak itu juga dapat menimbulkan

kecemburuan dikalangan mereka. Hal ini dapat terjadi karena dalam

pelaksanaannya tidak terlepas dari faktor subyektifitas pihak penilai di samping

faktor-faktor lain yang berperan (ekonomi). Sebagai contoh, untuk mendapatkan

remisi tambahan salah satu syaratnya adalah “melakukan perbuatan yang

membantu kegiatan pembinaan di Lapas”. Untuk syarat ini yang berpeluang lebih
13

besar dapat melakukannya adalah narapidana yang mempunyai dana yang besar,

sedangkan narapidana yang tidak mampu secara ekonomi tidak dapat

melaksanakan program tersebut.

Dalam rangka pelaksanaan pemberian remisi khususnya remisi

tambahan,agar tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan narapidana dan

kecurigaan masyarakat, perlu adanya optimalisasi lembaga pengawasan mulai dari

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan setempat yang juga melibatkan

Hakim Wasmat dengan menitik beratkan pengawasannya pada hak-hak

narapidana sudah sesuai dengan ketentuan yang ada. Pengurangan masa pidana

merupakan salah satu sarana hukum dalam rangka mewujudkan tujuan sistem

pemasyarakatan. Hak warga binaan pemasyarakatan mengenai remisi ini diatur

pada Huruf i Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan. Dalam peraturan tersebut, ditegaskan bahwa: “Narapidana

berhak : mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);”

Lebih lanjut ketentuan mengenai pemberian remisi ini diatur melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaa Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang selanjutnya telah diubah

menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaa Hak Warga Binaan Pemasyaratan. Dalam Pasal 1 Angka 1,2, dan 3

Peraturan Pemerintah tersebut, dijelaskan bahwa:

1. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


14

a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan

Remisi.

b. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan

kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi

syarat:

1) Berkelakuan baik; dan

2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam)

bulan.

3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:

a) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin

dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,

terhitung sebelum waktu pemberian remisi;

dan

b) Telah mengikuti program pembinaan yang

diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat

baik.”

c. Ketentuan Pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut :

1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana

karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika

dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi,

kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak


15

asasi manusia yang berat, serta kejahatan

transnasional terorganisasi lainnya, selain harus

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal

34 juga harus memenuhi persyaratan:

a) Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum

untuk membantu membongkar perkara tindak

pidana yang dilakukannya;

b) Telah membayar lunas denda dan uang

pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

untuk narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana korupsi; dan

c) Telah mengikuti program deradikalisasi yang

diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme, serta

menyatakan ikrar;

i. kesetiaan kepada Negara Kesatuan

Republik Indonesia secara tertulis bagi

Bagi narapidana Warga Negara

Indonesia

ii. Tidak akan mengulangi perbuatan

tindak pidana terorisme secara tertulis

bagi narapidana Warga Negara Asing,


16

yang dipidana melakukan tindak

pidana terorisme.

2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak

pidana narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku

terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

3) Kesedian untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis

dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di antara Pasal 34A dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal

34B dan Pasal 34C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34B

a. Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan

oleh menteri.

b. Remisi untuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

ayat (1) diberikan oleh menteri setelah mendapat pertimbangan

tertulis dari menteri dan/atau pimpinan terkait.

c. Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

disampaikan oleh menteri/atau pimpinan lembaga terkait dalam

jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak

diterimanya permintaan pertimbangan dari Menteri.


17

d. Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal

34C (1) Menteri dapat memberikan remisi kepada anak dan

narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) (2) Pidana

narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

narapidana yang:

1) Dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun;

2) Berusia di atas 70 (tuju puluh) tahun; atau c. Menderita

sakit berkepanjangan.

3) Menteri dalam memberikan Remisi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) setelah mempertimbangkan

kepentingan umum, keamanan, dan rasa keadilan

masyarakat.”

Kemudian berdasarkan beberapa peraturan tersebut di atas, pemerintah

mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999

tentang Remisi. Dalam ketentuan ini, pemerintah telah mengatur secara limitatif

mengenai tata cara pemberian remisi kepada warga binaan pemasyarakatan.

Selain itu pemerintah juga menetapkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak

Asasi Manusia Repubuk Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang

Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti

Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat. Ketentuan mengenai remisi pada

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini dapat kita temui pada

Pasal 6,7,8, dan Pasal 26.


18

2. Jenis-Jenis Remisi

Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan

perundangan undangan yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 1

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999, remisi adalah

pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana

yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana terkecuali yang dipidana

mati atau seumur hidup.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai,

ada kesalahpahaman dalam memaknai arti remisi pada sistem hukum di Indonesia.

Menurut Fickar, remisi kerap diartikan sebagai pengurangan hukuman atau

perubahan hukuman. “Padahal sebetulnya remisi itu pengurangan terhadap masa

menjalani hukuman. Untuk hukumannya tidak berubah, karena itu merupakan

yuridiksi dari pengadilan. Ini yang sering keliru,” kata Fickar dalam acara diskusi

di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis (7/2/2019) siang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Keres RI No. 174 Tahun 1999

tentang Remisi, dikenal sebagai berikut :

a. Remisi Umum Adalah remisi yang diberikan pada Hari Peringatan

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17

Agustus.

b. Remisi Khusus Adalah yang diberikan pada hari besar keagamaan

yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.

Dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar

keagamaan dalam satu tahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang lebih
19

dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan

Menteri Hukum dan PerundangUndangan RI No. M.09.HN.02.01 Tahun 1999

tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi,

Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa :

a. Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana dan anak pidana yang

beragama Islam.

b. Setiap Hari Raya Natal bagi narapidana dan anak pidana yang

beragama Kristen.

c. Setiap Hari Raya Nyepi bagi narapidana dan anak pidana yang

beragama Hindu.

d. Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana dan anak pidana yang

beragama Budha.

Remisi dapat ditambah dengan remisi tambahan apabila narapidana dan

anak pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana:

a. Berbuat jasa kepada negara.

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau

kemanusiaan.

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembianaan di

Lembaga Pemasyarakatan. Besarnya remisi umum adalah:

1) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah

menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas)

bulan.
20

2) 2 (dua) bulan bagi narapidana yang telah menjalani pidana

selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.

Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut :

a. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1);

b. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;

c. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan;

d. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5

(lima) bulan; dan

e. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan

setiap tahun.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang

Remisi Selanjutnya besarnya remisi khusus adalah:

a. 15 (lima belas) hari bagi narapidana dan anak pidana yang telah

menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan

b. 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani

pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. Pemberian remisi

khusus dilaksanakan sebagai berikut:

1) Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1);

2) Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi

1 (satu) bulan;
21

3) Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan

remisi (satu) bulan 15 (lima belas) hari; dan

4) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua)

bulan setiap tahun.

Besarnya remisi tambahan adalah:

a. ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang

bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa

kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi

negara atau kemanusiaan; dan

b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang

bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang telah

melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka.

Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk

menetapkan besarnya remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai

dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan

besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari

besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang

bersangkutan.

Masa penahanan sebagaimana dimaksud terputus, perhitungan penetapan

lamanya masa menjalani pidana dihitung dari sejak penahan yang terakhir. Untuk

penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, 1 (satu) bulan dihitung


22

sama dengan 30 (tiga puluh) hari. Penghitungan besarnya remisi khusus

sebagaimana dimaksud dalam ayat didasarkan pada agama narapidana dan anak

pidana yang pertama kali tercatat dalam buku register Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana dan anak pidana pada suatu tahun tidak memperoleh remisi,

besarnya remisi pada tahun berikutnya didasarkan pada remisi terakhir yang

diperolehnya. Penghitungan remisi bagi narapidana dan anak pidana yang

menjalani pidana lebih dari satu putusan Pengadilan secara berturut-turut

dilakukan dengan cara menggabungkan semua putusan pidananya. Pidana

kurungan sebagai pengganti pidana denda tidak diperhitungkan di dalam

penggabungan putusan pidana.

Narapidana yang dikenakan pidana seumur hidup dan telah menjalani

pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakukan baik, dapat

diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana

yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun. Perubahan pidana

penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara ditetapkan dengan

Keputusan Presiden. Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup

menjadi pidana sementara diajukan oleh narapidana yang bersangkutan kepada

Presiden melalui Menteri Hukum dan Perundang-Undangan. Usul remisi

diajukan kepada Menteri Hukum dan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan,

Kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara

melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundang-Undangan.

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan tentang remisi

diberitahukan kepada narapidana dan anak pidana pada hari peringatan


23

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka

yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak

pidana yang bersangkutan. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan

yang dianut oleh narapidana atau anak pidana, Menteri Hukum dan Perundang-

Undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.

3. Dasar Hukum Pemberian

Remisi Berikut dasar hukum yang digunakan dalam pemberian remisi di

Indonesia.

a. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 jo Keputusan Menteri

Hukum dan Perundang-Undangan RI No. M.09.HN.02.01 Tahun

1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun

1999, Keputusan Menteri Hukum dan PerundangUndangan RI No.

M.02.01 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian

Remisi Khusus.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012

tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32

Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan.
24

4. Tujuan Pemberian Remisi

Pemberian remisi kepada narapidana merupakan perintah dari Undang-

undang sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk

merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Namun dalam

pengawasannya yang melibatkan lembaga atau instansi di luar daripada Lembaga

Pemasyarakatan tidak disertai dengan adanya suatu peraturan yang tegas dalam

pelaksanaannya

Tujuan dalam memberikan remisi menurut Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, yaitu merupakan sebagai motivator untuk

berkelakuan baik. Melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri

maupun lingkungan sekitar, sehingga edukasi yang ditanamkan di dalam penjara

yang salah satunya adalah berkelakuan baik. Berkelakuan baik yang merupakan

syarat mutlak pemberian remisi dapat terealisai hingga narapidana atau anak

pidana kembali ke dalam masyarakat.

5. Narapidana

Narapidana atau Napi adalah terpidana yang berada dalam masa menjalani

pidana "hilang kemerdekaan" di Lembaga Pemasyarakatan. Meskipun terpidana

kehilangan kemerdekaannya, dilain sisi dari keadaan Napi ada hak-hak narapidana

yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana penjara.

Pengertian narapidana menurut kamus Bahasa Indonesia adalah orang hukuman

(orang yang sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana).

Menurut UU Nomor 12 Tahun 1995 (dalam Lubis, dkk, 2014) tentang


25

Pemasyarakatan, Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Harsono (dalam Lubis, dkk,

2014), mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang dijatuhkan vonis

bersalah oleh hakim dan harus menjalani hukuman. Selanjutnya Wilson (dalam

Lubis, dkk, 2014) mengatakan bahwa narapidana adalah manusia bermasalah

yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar

norma hukum yang ada sehingga dipisahkan oleh hakim untuk menjalani

hukuman.

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang – Undang no. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6

UU No. 12 Tahun 1995 terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan

keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut

Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 hak hak narapidana adalah sebagai

berikut:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

b. Mendapatkan perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

lainnya yang tidak dilarang


26

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum dan orang

tertentu lainnya.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana.

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m. Mendapatkan hak hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu


pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak
pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa peristiwa yang
kongkret dalam lapangan hukum pidana. Tindak Pidana juga sering
mempergunakan istilah delik. Amir ilyas,( 2012)

Delik dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafbaarfeit yang diartikan

sebagai peristiwa yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing

disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman (pidana). Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu

adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Sedangkan D.Simons merumuskan Strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar

hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
27

dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat

dihukum.Adami Chazawi (2010) .

Andi Hamzah dalam bukunya Asas Asas Hukum Pidana memberikan

definisi mengenai delik yakni Delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang

terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang undang (Pidana). Andi

Hamzah, (1994-Hal 205)

Sedangkan Menurut Amir Ilyas tindak pidana adalah setiap perbuatan

yang mengandung unsur unsur sebagai berikut: (Amir Ilyas SH., MH, Hal.28)

a. Perbuatan tersebut dilarang oleh undang undang ( Mencocoki

rumusan delik)

b. Memiliki sifat melawan hukum dan

c. Tidak ada alasan pembenar Tindak Pidana juga diartikan sebagai

suatu dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah

melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban

seseorang pada perbuatan yang telah dilakukannya tapi sebelum

itu, mengenai dilarang atau diancamnya suatu perbuatan yang

digolongkan dalam perbuatan pidananya sendiri harus berdasarkan

asas legalitas (principle of legality) yaitu asas yang menentukan

bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang

undangan yang sering juga disebut dengan Nullum delictum

nullapoena sine praevia lege.


28

Tindak pidana merupakan bagian dasar daripada suatu kesalahan yang

dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk

adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang

menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

Kesalahan (schuld) berbentuk dolus dan culpa dapat menyebabkan terjadinya

suatu tindak pidana dikarenakan seseorang tersebut telah melakukan suatu

perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas perbuatannya tersebut

maka si pelaku harus mempertanggungjawabkan segala bentuk tindak pidana

yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana terbukti benar telah

terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan si pelaku maka yang bersangkutan

dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Pasal dalam undang undang yang

mengaturnya.

2. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana atau disebut juga dengan delik adalah suatu perbuatan yang

dilarang untuk dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Jika perbuatan tersebut

dilakukan, maka dapat dikatakan telah melanggar aturan Undang-Undang dan

dapat dikenai sanksi atau hukuman pidana. 

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut. Moeljatno, (2008 Hal 59)

Dalam pembahasan mengenai hukum pidana akan ditemukan beragam

tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang dibedakan atas

dasar tertentu diantaranya:


29

a. Menurut sistem Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran

Adapun alasan dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran

adalah bahwa jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan

kejahatan yang dapat dilihat dari ancaman dalam pelanggaran tidak ada

yang diancam pidana penjara tetapi pidana kurungan ataupun denda

sedangkan pada kejahatan didominasi pada ancaman pidana penjara

bahkan hukuman mati. Secara kuantitatif pembuat undang undang

membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut6 :

1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan perbuatan yang

merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seseorang yang

berkewarganegaraan Indonesia yang melakukan delik diluar

negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di

Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.

2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak

dipidana.

3) Pada kasus pemidanaan anak dibawah umur tergantung pada

pelanggaran atau kejahatan apa yang telah dilakukannya

b. Menurut cara merumuskannya dibedakan atas tindak pidana formil

dan tindak pidana materil:

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

untuk memberikan arti pada inti larangan yang dirumuskan yaitu

melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil


30

tidak memerlukan atau tidak meninjau akibat dari perbuatannya

melainkan semata mata pada perbuatannya. Sebaliknya dalam rumusan

tindak pidana materil inti larangannya adalah menimbulkan akibat

yang dilarang sehingga orang yang melakukan perbuatan yang

akibatnya dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

Begitupun untuk selesainya tindak pidana materil tidak bergantung

pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya

tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan dibedakan antara tindak pidana

dolus dan tindak pidana culpa.

Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya dilakukan dengan kesengajaanatau mengandung unsur

kesengajaan. Sedangkan tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang

dalam rumusannya mengandung unsur ketidak sengajaan.

d. Berdasarkan macam perbuatannya dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif /positif atau biasa juga disebut dengan tindak pidana

komisi dan tindak pidana pasif/negatif atau biasa juga disebut

dengan tindak pidana omisi

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya

berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang

melibatkan adanya gerakan anggota tubuh si pelaku atau orang yang

berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif terbagi atas dua yaitu tindak

pidanapasif murni dan yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni
31

ialah tindak pidana yang dirumusan secara formil atau tindak pidana

yang pada dasarnya unsur unsur perbuatan yang dilakukan adalah

perbuatan pasif. Sedangkan tindak pidana pasif tidak murni berupa

tindak pidana positif tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat

aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang,

tetapi dilakukan dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga

akibat itu benar benar timbul.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya maka dapat

dibedakan antara tindak pidana seketika dan tindak pidana yang

terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/ berlangsung terus

menerus.

Tindak pidana yang terjadi seketika atau dalam waktu singkat

biasa juga disebut dengan aflopende delicten. Sedangkan tindak pidana

yang berlagsung lama yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak

pidana itu masih berlangsung terus menerus atau biasa disebut dengan

voordurende delicten. Tindak pidana ini juga disebut dengan tindak

pidana yang menciptakan suatu keadaan terlarang.

f. Berdasarkan sumbernya dibedakan atas tindak pidana umum dan

tindak pindana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai

kodifikasi hukum pidana materil yang termuat dalam buku II dan buku

III. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang
32

terdapat diluar KUHP Pada umumnya dikenal dengan istilah delik

delik didalam KUHP dan diluar KUHP.15

g. Dilihat dari sudut subjeknya, dibedakan antara tindak pidana yang

dapat dilakukan oleh semua orang (communia) dan tindak pidana

yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan kualifikasi tertentu

(propria).

Pada umumnya tindak pidana dibentuk dan dirumuskan untuk

berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang hanya

dapat dilakukan oleh orang orang khusus dengan kualitas dan

kualifikasi tertentu.

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka

dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan terhadap perbuatannya, tidak disyaratkan

adanya pengaduan dari pihak yang berhak atau yang merasa dirugikan,

sementara tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang

mensyaratkan adanya pengaduan terlebih dahulu untuk dapat

dilakukannya penuntutan.

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok , tindak pidana yang

diperberat dan tindak pidana yang diperingan.

Dilihat dari berat ringannya ada tindak pidana tertentu yang

dibentuk menjadi :16


33

1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau

dapat juga disebut dengan bentuk standar.

2) Dalam bentuk yang diperberat

3) Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap

artinya semua unsurnya diantumkan dalam rumusan, sementara itu

pada bentuk yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang

kembali unsur unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut

kualifikasi bentuk pokoknya atau Pasal bentuk pokoknya, kemudian

disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau

meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor

pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak

pidana yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat

atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya.

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak

pidana tidak terbatas macamnya, melainkan sangat tergantung pada

kepeningan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan

perundang undangan.

Sistematika pengelompokan tindak pidana dalam KUHP

berdasarkan pada kepentingan hukum yang dilindunginya sehingga

terbagi kedalam beberapa bab.17


34

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi larangan

dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana

berangkai

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga selesainya tindak pidana dan dapat

dipidananya pelaku cukup dengan satu kali perbuatan. Sementara yang

dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga selesainya tindak pidana dan

dapat dipidananya pelaku disyaratkan dengan dilakukannya tindak

pidana secara berulang ulang.

C. Tinjauan Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Moeljatno berpendapat bahwa: “suatu perbuatan disebut tindak pidana


apabila perbuatan yang dilakukan melanggar larangan yang ditentukan oleh
aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana”. Moeljatno, (1987 hal 54)

Pengertian tindak pidana dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang

hukum pidana sering mempergunakan istilah delik

Permasalahan narkotika adalah masalah nasional dan internasional, karena

penyalahgunaannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat,

bangsa dan Negara. Masadepan suatu Negara sudah pasti terletak pada para

generasi mudanya.Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang

bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan


35

ilmu pengetahuan. Namun disisilain apabila digunakan tanpa pengawasan(resep

dokter) akan sengat berakibat buruk bagi jiwa penggunanya.

Narkoba merupakan istilah yang sering kali digunakan oleh penegak hukum
dan masyarakat.Narkoba dikatakan sebagai bahan berbahaya bukan hanya
karena terbuat dari bahan kimia tetapi juga karena sifatnya yang dapat
membahayakan penggunanya bila digunakan secara bertentangan atau
melawan hukum.Narkotika, psikotropika dan zat adiktif adalah istilah kedokteran
untuk sekelompok zat yang jika masuk kedalam tubuh manusia dapat
menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan mempengaruhi sistem kerja otak
(psikoaktif). Lydia Harlina Martono, (2005)

Termasuk didalamnya jenis obat, bahan atau zat yang penggunaannya diatur

dengan Undang-undang dan peraturan hokum lain maupun yang tidak diatur tetapi

sering disalahgunakan seperti Alkohol, Nicotin, Cafein dan Inhalansia/Solven.

Jadi istilah yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk kelompok zat yang

dapat mempengaruhi system kerja otak ini adalah NAPZA (Narkotika,

Psikotropika dan Zat Adiktif) karena istilah ini lebih mengacu pada istilah yang

digunakan dalam Undang- Undang Narkotika dan Psikotropika.

Narkoba atau lebih tepatnya (Napza) adalah obat, bahan dan zat yang bukan

termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh

manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan

mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan ketergantungan.

Akibatnya, sistem kerja otak dan fungsi organ vital tubuh lain seperti jantung,

pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat pada saat

mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi (menjadi tidak

teratur).

Selain itu, pengertian narkotika secara farmakologis medis menurut

Ensiklopedia Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang
36

berasal dari daerah viseral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong atau

kondisi sadar tetapi harus digertak) serta adiksi.Efek yang ditimbulkan narkotika

adalah selain dapat menimbulkan ketidaksadaran juga dapat menimbulkan daya

khayal atau halusinasi serta menimbulkan daya rangsang atau stimulant.

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang

adapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam tubuh. Perkataan

narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti terbius sehingga

tidak merasakan apa-apa, namun sebagian orang berpendapat bahwa narkotika

berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuhatumbuhan yang

mempunyai bungan yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.

Sasangka (,2003).

Para ahli mencoba mendefinisikan pengertian dari narkotika sebagai


berikut, Menurut Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan narkotika
adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau
pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf
sentral. Dalam definisi ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu
(morphine, codein, methadone). (Moh. Taufk Makaro, Hlm. 18)

M. Ridha Ma’roef menyebutkan:

a. Bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika alam dan narkotika

sintetis, dimana yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah

berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan

cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika

secara sempit sedangkan narkotika sitetis adalah pengertian

narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasukdidalamnya


37

tergolong dalam tiga jenis obat yaitu hallucinogen, depressant dan

stimulant;

b. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral

yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan

dan berbahaya apabila disalahgunakan;

c. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-

obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous

drugs. Obat-obat yang sering disalahgunakan secara klinik dapat

dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:

1) Obat narkotik seperti candu, morphine, heroin dan sebagainya.

2) Obat hallusinogen seperti ganja, LSD, mescaline dan sebagainya.

3) Obat depresan seperti obat tidur (hynotika), obat pereda (sedativa)

dan obat penenang (tranquillizer).

4) Obat stimulant seperti amfetamine, phenmetrazine.

Dari kesemua pendapat para ahli bisa diambil kesimpulan dari pengertian

narkotika yang mana disebutkan pada Undang–undang Nomor 35 tahun 2009

Tentang Nrkotika Pasal 1 angka 1, yaitu: “Narkotika merupakan zat atau obat

yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi

sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa ngeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undangundang ini”.


38

Narkotika banyak sekali macamnya, ada yang berbentuk cair, padat,

serbuk, daun-daun, dan lain sebagainya.Macam-macam bentuk narkotika inipun

terbagi dalam berbagai golongan. Pembedaan golongan tersebut didasarkan pada

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dankeperluan medis, serta terapi

terhadap potensi ketergantungan yang ditimbulkan kepada pemakai, sebagaimana

disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.35 Tahun

2009 tentang Narkotika yaitu: Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

digolongkan ke dalam:

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III.

Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.Contoh dari

narkotika adalah zat yang bernama “Opioid” atau Opiat. Opiat ini berasal dari

frasa “opium” yang merupakan extract dari bunga opium. Opioid adalah devirasi

dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat, tetapi tidak

didapatkan dari opium. Turunan dari opiad ini diantaranya sebagai berikut: ( A.R.

Sujono, 2011)

a. Morphin. Adalah zat hasil pengolahan dari opium dan merupakan

alkaloida utama dari opium (C17H19NO3).Ketika digunakan

rasanya pahit.Berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam


39

bentuk cairan berwarna. Pemakainnya dengan cara dihisap dan

disuntikkan.

b. Heroin Memiliki 2 (dua) kali lipat kekuatan dari morphin dan

paling sering disalahgunakan.Dapat menyebabkan pengguna sering

mengantuk dan mood yang tidak terarah atau tidak menentu.

c. Codein Termasuk turunan dari opium yang efeknya lebih lemah

daripada heroin dan tingkat ketergantungannya rendah. Bentuknya

pil atau cairan jernih dan dipakai dengan cara ditelan atau

disuntikkan.

d. Methadone

e. Damerol

f. Candu Merupakan getah dari papaver somniferum dan dipakai

dengan cara dihisap, dan masih banyak lainnya.

2. Pola / tahapan pemakaian narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang

Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika yang dilakukan

tidak untuk maksud pengobatan tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya dan

karena pengaruhnya tersebut sehingga narkotika banyak disalahgunakan. Sifat

pengaruh pada narkotika adalah sementara sebab setelah itu akan timbul perasaan
40

tidak enak. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak tersebut maka seseorang

harus mengkonsumsi narkotika lagi, hingga terjadilah kecanduan atau

ketergantungan yang akan berakibat pada kesehatan berupa gangguan kejiwaan,

jasmani dan fungsi sosial. Ketergantungan terhadap narkotika tidak seketika

dirasakan oleh si pemakai namun melalui proses penyalahgunaan.

Menurut dr. Dharmawan, didalam pemakaian narkotika terdapat beberapa

tahapan. Mula-mula mereka hanya coba-coba (experimental use) dengan alasan

untuk menghilangkan rasa susah, mencari rasa nyaman, enak atausekedar

memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian tidak meneruskan sebagai pecandu namun

sebagian yang merasa nyaman dengan pemakaian narkotika akan meneruskannya

menjadi social use. Ada yang bersifat (situasional use), menggunakan narkotika

saat stress, kecewa, sedih, sampai saat ini mereka masih bisa mengendalikan

hasrat untuk menggunakan narkotika.

Tahap abouse, tahap yang menentukan apakah ia akan menjadi pengguna

tetap narkotika. Saat itu mereka tidak mempunyai pegangan, dalam keadaan

lepas kontrol dan saat narkotika mengambil alih kontrol muncul dependence use

(ketergantungan).

Tahap kecanduan berkelanjutan sampai tubuh menjadi terbiasa.Timbul

keingina menambah dosis, sampai ketergantungan secara fisik. Pecandu harus

dan akan melakukan apapaun yang perlu dilakukannya untuk mendapatkan

narkotika.

Ada beberapa tahapan dan pola pemakaian narkoba hingga terjadinya

ketergantungan atau kecanduan, yaitu:


41

a. Pola coba-coba; Pada tahapan ini, pengaruh kelompok sebaya

memang sangat besar seperti teman dekat atau orang lain yang

menawarkan untuk menggunakan narkoba. Ketidak mampuan

untuk menolak dan perasaan ingin tahu yang besar akan

mendorong seseorang untuk mengkonsumsi narkoba.

b. Pola pemakaian sosial; Pola pemakaian sosial yaitu pemakaian

narkoba untuk kepentingan pergaulan dan keinginan untuk diakui

oleh kelompoknya.

c. Pola pemakaian situasional; Pola pemakaian situasional yaitu

penggunaan pada situasi tertentu seperti pada saat kesepian dan

stres, sehingga pemakaian narkoba ditujukan untuk mengatasi

masalah. Pada tahap ini biasanya pengguna akan berusaha untuk

mengkonsumsi secara aktif.

d. Pola habituasi (kebiasaan); Pada tahap ini pemakaian akan sering

dilakukan dan umumnya pada tahapan inilah terjadinya proses

ketergantungan.

e. Pola ketergantungan (kompulsif). Dengan gejala yang khas yaitu

berupa timbulnya toleransi gejala putus zat dan pengguna akan

selalu berusaha untuk memperoleh narkoba dengan berbagai cara

seperti berbohong, menipu dan mencuri. Pengguna tidak lagi

mampu mengendalikan dirinya sebab narkoba telah menjadi pusat

kehidupannya. Ketergantungan pada narkoba merupakan

sekumpulan gejala (sindroma) penyakit. Seseorang memiliki


42

ketergantungan jika paling sedikit ada 3 atau lebih gejala sebagai

berikut: Puji Lestari

(2002, Hlm. 31)

1) Keinginan kuat (kompulsif) untuk memakai narkoba

berulang kali;

2) Kesulitan mengendalikan penggunaan narkoba, baik dalam

usaha menghentikannya maupun untuk mengurangi tingkat

pemakaiannya;

3) Adanya toleransi yaitu jumlah narkoba yang diperlukan

akan semakin besar untuk memperoleh pengaruh yang

sama terhadap tubuh;

4) Mengabaikan alternatif kesenangan lain dan meningkatnya

waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh narkoba;

5) Terus memakai meski menyadari akibatnya akan sangat

merugikan dan menyakitkan;

6) Menyangkal adanya masalah.

Semua jenis narkotika akan merubah perasaan dan cara pikir orang yang

mengkonsumsinya seperti perubahan suasana hati menjadi tenang, rileks,

gembira dan rasa bebas. Perubahan pada pikiran seperti stres menjadi hilang dan

meningkatnya daya khayal. Perubahan perilaku seperti meningkatnya keakraban

dengan orang lain tetapi lepas kendali. Perasaan-perasaan seperti inilah yang

pada mulanya dicari oleh pengguna narkotika. Narkotika menghasilkan perasaan

”high” dengan mengubah susunan biokimiawi molekul sel otak pada sistem
43

limbus (bagian otak yang bertanggungjawab atas kehidupan perasaan, dimana

dalam limbus ini terdapat hipotalamus yaitu pusat kenikmatan pada otak) yang

disebut neuro-transmitter.

Setidaknya ada 5 faktor utama yang menyebabkan seseorang menjadi

rawan terhadap narkotika, yaitu:

a. Keyakinan adiktif Keyakinan adiktif yaitu keyakina tentang diri

sendiri dan tentang dunia sekitarnya. Semua keyakinan itu akan

menentukan perasaan, perilaku dan kepribadian sehari-hari.

Contoh dari keyakinan adiktif adalah bila seseorang merasa harus

tampil sempurna dan berkeinginan untuk menguasai atau

mengendalikan orang lain, pada hal dalam kenyataannya hal itu

tidak mungkin tercapai.

b. Kepribadian adiktif ; Beberapa ciri dari kepribadian ini adalah

terobsesi pada diri sendiri sehingga seseorang cenderung senang

berkhayal dan melepaskan kenyataan.

c. Ketidakmampuan mengatasi masalah

d. Tidak terpenuhinya kebutuhan emosional, sosial dan spiritual

sehingga muncul keyakinan yang keliru.

e. Kurangnya dukungan sosial yang memadai dari keluarga, sekolah

dan masyarakat. Sehingga ketidakmampuan menghadapi masalah

yang timbul membuat seseorang mencari penyelesaian dengan

narkoba untuk mengubah suasana hatinya.


44

Penyebab penyalahgunaan narkotika sangat kompleks akibat interaksi


antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan ataupun faktor
lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan
narkotika adalah sebagai berikut : Chandra Nur Fajar(,2021)

a. Faktor individu / faktor internal Kebanyakan penyalahgunaan

narkotika dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang

sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial

yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan

narkotika.Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko

lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika. Ciri-ciri tersebut

antara lain :

1) Cenderung membrontak dan menolak otoritas;

2) Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas)

seperti depresi,cemas;

3) Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang

berlaku;

4) Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah

diri dan memiliki citra diri negatif (low self-esteem);

5) Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif

Faktor individu atau internal pelaku adalah faktor yang berasal dari dalam
diri individu yang meliputi kejiwaan seseorang. Ada berbagai penyebab yang
mendorong seseorang kedalam tindak pidana narkotika, antara lain penyebab
internal tersebut adalah: Taufik Makaro, (2010 - Hlm. 53)

1) Perasaan Egois Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap

orang. Sifat ini seringkali mendominir seseorang tanpa

sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan

dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika.


45

Pada suatu ketika rasa egoisnyadapat mendorong untuk

memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang

mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

2) Kehendak Ingin Bebas Sifat ini merupakan suatu sifat

dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata

pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang

membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin

bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap

kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun

perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam

himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain

sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat

mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana

narkotika.

3) Kegoncangan Jiwa. Hal ini pada umumnya terjadi karena

salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak

mampu dihadapi atau diatasinya. Dalam keadaan jiwa

yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi

dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan

mudah terlibat tindak pidana narkotika.

4) Rasa Keingintahuan. Perasaan ini pada umumnya lebih

dominan pada manusia yang usianya masih muda,

perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif,


46

tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif.Rasa

ingin tahu tentang narkotika ini juga dapat mendorong

seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam

tindak pidana narkotika.

b. Faktor eksternal Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak

sekali, di antaranya adalah:

1) Faktor ekonomi. Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang

baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada

keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat

mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah.

Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi

kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit

adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk

dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Dalam

hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang

tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat

mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui,

menikmati tentang narkotika.Sedangkan bagi yang

keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal

tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada

mereka yang ekonominya cukup.


47

2) Faktor lingkungan/pergaulan Faktor lingkungan meliputi

faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar

rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.Faktor

keluarga, terutama faktor orang tua yang ikut menjadi

penyebab seorang anak atau remaja menjadi

penyalahguna narkotika antara lain adalah:

a) Lingkungan keluarga ; kominikasi orang tua-anak

kurang baik/efektif; Hubungan dalam keluarga

kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga; Orang

tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi; Orang

tua terlalu sibuk atau tidak acuh;Orang tua otoriter

atau serba melarang;Orang tua yang serba

membolehkan (permisif); dan Kurangnya orang

yang dapat dijadikan model atau teladan

b) Lingkungan sekolah yaitu ; Sekolah yang kurang

disiplin; Sekolah yang kurang memberi

kesempatan pada siswa untuk mengembangkan

diri secara kreatif dan positif; dan Adanya murid

pengguna narkotika.

c) Lingkungan teman sebaya yaitu ; Berteman

dengan penyalahguna; Tekanan atau ancaman

teman kelompok atau pengedar.


48

d) Lingkungan masyarakat / social yaitu ; Lemahnya

penegakan hukum; Situasi politik, sosial dan

ekonomi yang kurang mendukung.

Keempat lingkungan tersebut dapat memberikan

pengaruh yang negative terhadap seseorang, artinya

akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan

tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik

dan dapat pula melakukan hal-hal yang sebaliknya.

3) Faktor kemudahan Kemudahan di sini dimaksudkan

dengan semakin banyaknya peredaran jenis-jenis

narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah

pelung terjadinya tindak pidana narkotika. Dengan kata

lain semakin mudah seseorang mendapatkan narkotika

maka akan semakin besar juga peluang seseorang

melakukan tindak pidana narkotika

4) Faktor kurangnya pengawasan Pengawasan di sini

dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan

narkotika, penggunaan, dan peredarannya.Jadi tidak

hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah,

tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah

memegang peranan penting membatasi mata rantai

peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal

kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi


49

gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin

meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit

untuk dikendalikan. Di sisi lain, keluarga merupakan inti

dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan

pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk

tidak terlibat perbuatan yang tergolong pada tindak

pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan

seperti dimaksudkan diatas, maka tindak pidana narkotika

bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

5) Faktor ketidaksenangan dengan keadaan sosial Bagi

seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka

narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri

dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya

sementara.Tapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki

wawasan, uang, tidak saja dapat menggunakan narkotika

sebagai alat melepaskan diri dari himpitan keadaan sosial,

tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian

tujuan-tujuan tertentu.

sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut:

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-

tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko;

b. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum

atau instansi berwenang;


50

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh

pengalamanpengalaman emosional;

e. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

f. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena

kurang kesibukan;

g. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang

disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan

pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai

kepribadian yang tidak harmonis;

h. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk

solidaritas dengan kawan-kawan;

i. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just

for kicks).

Di kalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan

narkotika dengan sebab-sebab antara lain sebagai berikut:

a. Menghilangkan rasa sakit dari penyakit kronis;

b. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa

sakit);

c. Pelarian dari frustasi; Meningkatkan kesanggupan untuk

berprestasi (biasanya sebagai zat “perangsang”).


51

Faktor-faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri dalam penyalahgunaan

narkotika, faktor internal dan ekternal tersebut saling mempengaruhi secara

bersamaan.

D. Landasan teori

1. Teori Efektivitas Hukum

Dalam penelitian ini, Penulis akan melakukan pengkajian permasalahan

dengan menggunakan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto. Kata “efektif” berasal dari bahasa inggris yaitu effecctiveI yang artinya

sesuatu yang dilaksanakan berhasil dengan baik. Kata “efektif” dapat juga di

artikan sebagai sesuatu yang ada efek timbulnya (pengaruhnya, kesannya

akibatnya) sejak dimulai berlaku suatu undang-undang atau peraturan, menurut

kamus besar bahasa Indonesia. Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan

dimana dia diperankan untuk memantau. Jika dilihat dari segi hukum, yang

dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu polisi. Kata

efektivitas sendiri lahir dari kata efektif, yang artinya terjadi suatu efek atau akibat

yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.

Menurut Soerjono Soekanto salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah

maupun sebagai sikap atau perilaku adalah menimbang perilaku manusia, masalah

pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan

pada hukum, tapi mencakup efek dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku

baik yang berifat positif maupun negative. Efektivitas penengak hukum sangat

berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan

aparat penegak hukum untuk menegakan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat
52

diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk kekuatan (compliance), dengan

kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah

efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhin efektivitas hukum menurut Soerjono

Soekanto antara lain sebagai berikut :

a. Faktor hukum Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Dalam praktik penerapannya tidak jarang terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum

sifatnya konkreet seseorang berwujud nyata, sedangkan keadilan

bersifat abstrak sehingga ketika hakim memutuskan suatu perkara

secara penerapan undang-undang saja, maka ada kalanya nilai keadilan

itu tidak tercapai. Maka, ketika melihat suatu permasalahan mengenai

hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum

tidak semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, melainkan

juga ikut mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berkembang

dalam masyarakat. Sementara dari sisi lain, keadilan pun masih

menjadi perdebatan disebabkan keadilan mengandung unsur subyektif

dari masing-masing orang.

b. Faktor Penegak Hukum Penegakan hukum berkaitan dengan pihak-

pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (law

enforcement). Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur

penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

kemanfaatan hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum

melingkupi pengertian mengenai insitusi penegak hukum dan aparat


53

penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit

dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan

petugas sipil lembaga permasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur

diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing

yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta

upaya pembinaan kembali terpidana. Ada tiga elemen penting

mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak

hukum, antara lain:

1) Insitusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaanya;

2) Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk

mengenai kesejahteraan aparatnya;

3) Dan perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang

dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum

acaranya. Upaya penegak hukum secara sistematik haruslah

memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga

proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat

diwujudkan secara nyata.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum Fasilitas pendukung secara

sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Ruangan lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi


54

sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang mendai, keuangan yang cukup, dan sebagainya.

Selain ketersediaan fasilitas, pemeliharaan pun sangat penting demi

menjadi keberlangsungan. Sering terjadi bahwa suatu peraturan

sudah difungsikan, sementara fasilitasnya belum tersedia lengkap.

Kondisi semacam ini hanya akan menyebabkan kontra-produktif

yang harusnya memperlancar proses justru mengakibatkan

terjadinya kemacetan.

d. Faktor Masyarakat Penegak hukum bertujuan untuk mencapai

kedamaian dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-

pendapat tertentu mengenai hukum. Artinya, efektivitas hukum

juga bergantung pada kemuan dan kesadaran hukum masyarakat.

Kesadaran yang rendah dari masyarakat akan mempersulit penegak

hukum, adapun langkah yang bisa dilakukan adalah sosialisasi

dengan melibatkan lapisan-lapisan social, pemegang kekuasaan

dan penegak hukum itu sendiri. Perumusan hukum juga harus

memerhatikan hubungan antara perubahan-perubahan sosial

dengan hukum yang pada akhirnya hukum bisa efektif sebagai

sarana pengatur perilaku masyarakat.

e. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu

padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan. Karena di

dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai


55

yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau nonmaterial. Hal

ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari

sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, subtansi

dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur,

subtansi, dan kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau

bentuk dari sistem tersebut umpamanya, menyangkup tatanan

lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga

tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dan seterusnya.

2. Teori Pemidanaan

Pemidanaan didalam hukum Indonesia merupkan suatu cara atau proses

untuk menjatuhkan sangsi atau hukuman untuk seseorang yang telah melakukan

tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan adalah kata lain dari sebuah

penghukuman. Menurut Prof Sudarto, bahwa penghukuman berasal dari kata

dasar “ hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “

memutuskan tentang hukumanya”.Dalam artian disini menetapkan hukum tidak

hanya untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata.

Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan,

dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi

agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan

kejahatan serupa.

Pada umumnya teori pemidanaan tidak dirumuskan dalam perundang-

undangan, oleh karena itu para sarjana menyebutnya dengan teori yang
56

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Manfaat terbesar dengan

djatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan dilakukannya oleh

pembuat (preveni khusus) maupun pencegahan yang sangat mungkin (potential

offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).

Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini,namun

yang banyak itu dapt dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu sebagai

berikut: Adami Chazawi,( hal. 157-161)

a. Teori absolut

Dasar pijakan dari teori Absolut adalah pembalasan yang

merupakan dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana

kepada penjahat. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana

mempunyai da arah yaitu:

1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari

pembalasan)

2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam

dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

Bila seseorang melakukan kejahatan. Ada kepentingan hukum

yang terlanggar. Akibat yang timbul berupa suatu penderitaan baik

fisik maupun psikis yang berupa perasaan tidak senang, sakit hati,

amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin dan berdampak

pula bagi keluarga dan masyarakat disekitar korban. Oleh sebab itulah

maka dapat dikatakan teori pembalasan ini sebenarnya mengejar


57

kepuasan hati, baik korban, keluarga maupun masyarakat pada

umumnya.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai

reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori

relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di

dalam masyarakat.

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana

adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) masyarakat. Untuk mencapai

tujuan ketertiban masyarakat maka pidana mempunyai tiga macam sifat yaitu:

1) Bersifat menakut-nakuti (afshrikking)

2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)

3) Bersifat membinasakan (onshadelijk maken) Sementara

itu,

sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam,yaitu:

1) Pencegahan umum (general preventie), dan

2) Pencegahan khusus (special preventive).

Diantara teori-teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat

menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang.Menurut teori

pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar

orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan.Sedangkan teori

pencegahan khusus ini lebih maju jika dibandingkan dengan teori pencegahan
58

umum. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang

telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukuan kejahatan, dan mencegah

agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam

bentuk perbuatan nyata.

c. Teori Gabungan

Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang

mengidentifikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang

membantu kita memahami sebuah fenomena.

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan

bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan

absolut (pembalasan) sebagai suatu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana

pemidanaan mengandung karakter pembalsan sejauh pemidanaan dilihat sebagai

suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter

tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu

reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar

dari penjatuhan pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hamel, dan Van

Hamel. Dan Van List dengan pandangan sebagai berikut :

1) Hal penting dalam pidana adalah meberantas kejahatan

sebagai suatu gejala mayarakat;


59

2) lmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus

bertujuan memperhatikan hail studi antropologis dan

sosiologis;

3) Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat

digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan.

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan

besar, yaitu sebagai berikut:

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa

yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya

tata tertib masyarakat;

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata

tertib masyarakat tetapi penderitaan atas dijatuhinya

pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang

dilakukan terpidana.

E. Kerangka pikir

Berdasarkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah yang telah

dijelaskan pada Bab sebelumnya, berikut akan dijelaskan kerangka penelitian

yang mendukung terjadinya market success. merupakan model konseptual akan

teori yang saling berhubungan satu sama lain

Dasarkan hukum pemberian remisi dalam penelitian berdasarkan KUHAP,

Undang-undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,Peraturan Pemerintah

No 28 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak Binaan
60

Pemasyarakatan,Peraturan Pemerintahan RI No. 32 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1999, dan dirubah lagi

menjadi Peraturan Pemerintah no 99 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999

tentang Remisi.dan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI

No.M.09.HN 02.10 tahun 1999 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden RI No.

174 Tahun 1999 tentang Remisi. Dan bagaimana pelaksanaan yang terjadi dalam

pemasyarakatan dan tujuan pemberian remisi dan faktor yang menyebabkan yang

menghambat pemberian bila dihubungakan dengan pembinaan yang terjadi di

pemasyarakatan

Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi Narapidana


Narkotika dan Psikotropika di Lapas Narkotika
Bollangi
1. KUHAP
2. Undang - undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
3. Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

Pelaksanaan
Faktor Penghambat
pemberian remisi
Pemberian Remisi

Terwujudnya Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi


Narapidana Narkotika dan Psikotropika di Lapas
Narkotika Bollangi
61

F. Definisi Operasional

1. Remisi adalah hak bagi seluruh narapidana dan berlaku bagi setiap

narapidana, sepanjang narapidana terebut menjalani pidana sementara,

bukan pidana seumur hidup dan pidana mati

2. Efektivitas Hukum adalah sesuatu yang dilaksanakan berhasil dengan

baik. Kata “efektif” dapat juga di artikan sebagai sesuatu yang ada efek

timbulnya (pengaruhnya, kesannya akibatnya) sejak dimulai berlaku

suatu undang-undang atau peraturan,

3. Pelaksanaan dalam penelitian ini adalah: Pelaksanaan merupakan usaha-

usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan

kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi

segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan,

dimana tempat pelaksanaannya mulai dan bagaimana cara yang harus

dilaksanakan.

4. Narkotika dalam penelitian ini adalah: Zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

5. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali

perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang

baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan
62

keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib

dan damai

6. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan

di lembaga pemasyarakatan

7. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan

terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia.


63

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian hukum Empiris. Penelitian hukum Empiris adalah penelitian hukum

yang melakukan observasi yang juga sebagai penelitian Lapangan karena

penelitian ini dilakukan atau ditujukan Mengumpulkan data lalu diolah menjadi

sebuah argumentasi untuk membahas Remisi terhadap Tindak Pidana Narkotika.

B. Lokasi Penilitian

Adapun lokasi yang menjadi penelitian adalah di Lapas Narkotika

Bollangi, Hal ini dilandasi bahwa dalam pelaksanaan Remisis Narapidana

Narkotika dapat ditemukan dikantor dan dikelautan secara praktek.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian

lapangan (field research), yang dimaksud penulis adalah cara

memperoleh dan mengumpulkan data yang mempunyai kaitan

dengan materi yang akan diselesaikan dalam tesis ini.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan (library research), yaltu diperoleh data dengan


64

membaca, mempelajari buku-buku, literatur kemudian

menganalisa dan membandingkan dengan masalah pokok yang

penulis bahas guna memperoleh pemecahannya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian lapangan ini penulis menggunakan teknik sebagai berikut:

1. Dokumentasi

2. Pengamatan (observasi), yaitu mengamati faktor apa yang

mempengaruhi hakim untuk meminta keterangan dan seorang ahli.

3. Wawancara kepada narasumber langsung.

E. Analisis Data

Untuk memperoleh data primer dan data sekunder seperti tersebut di atas

agar menjadi sebuah tesis yang terpadu dan sistimatis diperlukan suatu sistem

analisis data. Data yang diperoleh di lapangan, baik primer maupun sekunder

dihubungkan dengan teori kemudian dianalisis secara kualitatif dan

dideskripsikan yaitu dengan menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan

permasalah- permasalahan yang berhubungan dengan tesis ini.


65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pemberian Remisi Bagi Narapidana Narkotika dan Psikotropika

Di Lapas Narkotika Bollangi

1. Pemberian Remisi Bagi Narapidana Narkotika Pendekatan Aturan Hukum

di Indonesia

Pelaksanaan pemberian Remisi pada Narapidana sebenarnya telah diatur

dalam Undang Undang khususnya di Undang Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakat. pengurangan masa pidana atau remisi ada dua jenis. Pertama,

remisi umum, yaitu remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia Tanggal 17 Agustus. Kedua, remisi khusus,

yaitu remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh

narapidana dan anak pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu

agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka

yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang

bersangkutan

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan menyatakan bahwa

tolak ukur syarat dalam pelaksanaan pemenuhan hak pengurangan masa pidana

(remisi) bagi narapidana dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun

2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
66

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Kepres No. 174 Tahun

1999 tentang Remisi. Pelaksanaan remisi terdiri atas :

a. Remisi umum, syarat mendapatkan pengurangan masa pidana

(remisi) bagi narapidana yang telah menjalani pidana minimal 6

(enam) bulan dan berkelakuan baik selama menjalani masa

pidananya. Untuk tahun pertama 6 (enam) sampai 12 (dua 56 belas)

bulan diberikan remisi 1 (satu) bulan, pada tahun kedua diberikan

remisi (tiga) bulan, pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat)

bulan, tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5

(lima) bulan dan tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6

(enam) bulan setiap tahun.

b. Remisi khusus, pada tahun pertama narapidana diberikan remisi

sebagaimana diatur pada Kepres No. 174 Tahun 1999 dalam pasal 5

ayat (1) yang berbunyi: 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan

diberikan remisi 15 (lima belas) hari, pada tahun kedua dan ketiga

masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan, pada tahun keempat

dan kelima masing-masing diberikan remisisatu (satu) bulan 15

(lima belas) hari, pada tahun keenam dan seterusnya diberikan

remisi 2 (dua) bulan setiap tahunnya.

c. Remisi tambahan, ½ (seperdua) dari remisi umum yang diperoleh

pada tahun yang bersangkutan bagi narapidana yang berbuat jasa

kepada Negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi


67

Negara atau kemanusiaan, dan 1/3 (sepertiga) dari remisi umum

yang diperoleh padatahun yang bersangkutan bagi narapidana yang

membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

Dalam hal menentukan bahwa apakah narapidana yang ada dalam

Lembaga Pemsayarakatan / Rumah Tahanan Negara sudah berkelakuan baik atau

tidak, itu dapat dilihat dan dinilai dari setiap pelaksanaan program pembinaan dan

pembimbingan yang telah ditentukan oleh masing-masing Lembaga

Pemasyarakatan selama narapidana tersebut menjalani masa pidananya.

Selanjutnya bahwa indikator yang digunakan oleh petugas pemasyarakatan

untuk menentukan kelayakan berkelakuan baik bagi narapidana agar dapat

memperoleh remisi adalah apabila narapidana tersebut selama menjalani masa

pidana menunjukkan kesadaran dengan menyesali perbuatannya, menjadi warga

binaan yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial

dan keagamaan serta tidak pernah melakukan pelanggaran atau memperoleh

tindakan disiplin. Jika narapidana tersebut melakukan pelanggaran dan terdaftar

dalam daftar buku register (F) maka narapidana tersebut tidak mendapatkan

pengurangan masa pidana (remisi) sesuai ketentuan Lembaga Pemasyarakatan

atau Rumah Tahanan Negara yang berlaku.

Adapun syarat pemberian remisi bagi narapidana narkotika yang dipidana

dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun masa pidana sebagaimana yang

terkandung dalam Pasal 34 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012

yaitu :
68

a. Berkelakuan baik; dibuktikan dengan:

1) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun

waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum waktu

pemberian remisi; dan

2) Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan

oleh LAPAS dengan predikat baik.”

b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan;

Adapula syarat pemberian remisi bagi narapidana narkotika yang dipidana

dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun masa pidana yang putusannya

tehitung sejak tahun 2013, selain harus memenuhi persyaratan yang terkandung

dalam pasal 34 di atas, narapidana juga harus memenuhi persyaratan yang

terkandung dalam pasal 34A ayat 1,2 dan 3 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun

2012

1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor

narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan

Negara, kejahatanhak asasi manusia yang berat, serta kejahatan

transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 34 juga harus memenuhi

persyaratan:

a) Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk

membantu membongkar perkara tindak pidana yang


69

dilakukannya;

b) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai

dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana

karena melakukan tindak pidana korupsi; dan

c) Telah mengikuti program deradikalisasi yang

diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional

penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar

1. kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik

Indonesia secara tertulis bagi Bagi Narapidana

Warga Negara Indonesia

2. tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana

terorisme secara tertulis bagi narapidana Warga

Negara Asing, yang dipidana melakukan tindak

pidana terorisme.

2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

3) Kesedian untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi

penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.
70

Prosedur pengusulan remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM

oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara atau

Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM. Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang

remisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari peringatan

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka

yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak

Pidana yang bersangkutan. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan

yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang-

undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.

2. Pemberian Remisi Tindak Pidana Narkotika pada Lapas Narkotika

Bollangi

Jumlah narapidana di Lapas Narkotika Bollangi Tahun 2021 berjumlah 343

orang dan tahanan sebanyak 94 orang. Jadi total narapidana dan tahanan

berjumlah 437 orang, dengan rincian sebagai berikut:

Tahanan Narapidana Total Daya Tampung

35 865 900 368

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa Lapas Narkotika Bollangi yang

dihuni dengan 900 warga binaan mengalami kelebihan kapasitas atau disebut juga

over capacity sebanyak 532 orang, karena kapasitas atau daya tampung lapas
71

sebenarnya hanyalah 368 orang. Kemudian dalam tabel diatas juga dapat dilihat

bahwa warga binaan wanita hanya berjumlah 1 (satu) orang, artinya sebagian

besar Lapas dihuni oleh warga binaan berjenis kelamin laki-laki.

Berkaitan dengan warga binaan wanita yang hanya berjumlah 1 orang di

dalam Lapas, maka warga binaan wanita tersebut ditempatkan di blok khusus

wanita yaitu blok Mawar. Walaupun ditempatkan di blok khusus, menurut penulis

dengan besarnya ketimpangan jumlah yakni 1 : 289 orang, sangat banyak sekali

kemungkinan yang bisa terjadi, salah satunya kemungkinan terjadinya pelecehan

seksual yang dilakukan oleh warga binaan laki-laki kepada warga binaan

perempuan tersebut. Karena sama-sama kita ketahui kurungan penjara atau pidana

berarti menghilangkan kemerdekaan si narapaidana tersebut. Hilangnya

kemerdekaan ini salah satunya yang paling dirasakan adalah hilangnya hubungan

heteroseksual. Bukan hanya itu, berdasarkan pengamatan penulis selama

melakukan penelitian lapang, penulis mengamati bahwa narapidana wanita ini

lebih banyak berada di dalam sel, bahkan untuk 54 dipekerjakan di dapur saja

tidak diperbolehkan.

Hal itu untuk menghindari kemungkinan yang telah penulis ungkapan.

Sehingga proses pembinaan terhadap narapidana wanita tersebut tentunya tidak

efektif. Oleh sebab itu, untuk mencengah terjadi kemungkinan buruk, seharusnya

narapidana wanita yang hanya berjumlah 1 (satu) orang di Lapas Bollangi

dipindahkan ke Lapas Khusus wanita. Seperti yang diterangkan dalam tabel di

atas bahwa Lapas Bollangi tidak hanya diperuntukkan untuk narapidana saja, akan

tetapi juga terdapat tahanan didalamnya. Ada pun jumlah tahanan di Lapas
72

Narkotika Bollangi akan dijelaskan dalam tabel berikut.

Tahanan

Golongan Laki-laki Wanita Jumlah

AI 12 - 12

A II 11 1 12

A III 11 - 11

A IV - - -

AV - - -

Dari tabel di atas, dapat digambarkan bahwa jumlah tahanan yang berada

di Lembaga Pemasyarakatan Bollangi sebayak 35 orang. Jika dilihat dari jumlah

warga binaan pada tahun 2021 seluruhnya yaitu berjumlah sebanyak 900 orang,

berarti ¼ (seperempat) dari warga binaan adalah tahanan. Seperti yang dijelaskan

sebelumnya bahwa Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Bollangi tidak memiliki

blok khusus untuk wanita sehingga 1 orang tahanan pengadilan ini ditempatkan di

Blok A yaitu blok kriminal umum. Artinya tahanan anak ini dicampurkan dengan

warga binaan dewasa.

Alasan pencampuran warga binaan anak dengan warga binaan dewasa

adalah karena keterbatasan tempat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa Lapas Bollangi ini telah mengalami kelebihan kapastias yang seharusnya

yakni sebanyak 398 orang, oleh sebab itulah anak baik itu tahanan maupun

narapidana disatukan dengan dewasa.


73

Selanjutnya bapak mukdas juga menyampaikan bahwa Lapas ini tidak ada

blok khusus untuk anak, Oleh karena itu maka untuk kasus anak yang terbilang

ringan akan ditempatkan di Lapas Narkotika Bollangi, mengingat cukup jauhnya

jarak jika keluarga ingin mnegunjungi anak. Berkaitan dengan penempatan anak

baik itu tahanan ataupun narapidana di Lapas Bollangi yang disatukan dengan

warga binaan dewasa,

menurut penulis itu akan memberikan dampak negatif terhadap anak

tersebut. Jika dihubungkan dengan tujuan dari pembinaan yaitu agar memperbaiki

diri, menyadari kesalahan, dan tidak mengulangi perbuatan pidana, maka tujuan

dari pemidanaan tersebut tidak berjalan efektif. Ada pun dampak yang dapat

ditimbulkan bagi anak pidana jika disatukan dengan warga binaan dewasa adalah:

a. Anak tidak akan mendapatkan pembinaan secara khusus, yang

seharusnya didapatkan anak selama masa pembinaan. Seperti

halnya apabila anak ditempatlan di lembaga pemasyarakatan

khusus untuk anak.

b. Dengan bergaulnya anak dengan narapidana dewasa lainnya, maka

pengetahuan anak tentunya akan bertambah. Pegetahuan disini

adalah pengetahuan terkait kejahatan karena di Lapas Umum

tentunya diisi oleh orang-orang yang melakukan berbagai macam

tindak pidana. Sehingga dimungkinkan setelah menyelesaikan masa

pidananya, anak yang bersangkutan bisa melakukan tindak pidana


74

lain sesuai dengan yang ia dapatkan selama masa pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan Umum.

Narapidana maupun tahanan di Lapas Bollangi terdiri dari berbagai

macam kasus atau tindak pidana. Mulai dari tindak pidana umum seperti

pembunuhan, pencurian, penggelapan, dan lain-lain hingga tindak pidana khusus

seperti narkotika, korupsi, illegal logging, dan lain sebaginya.

Setelah mengetahui jumlah narapidana baik itu narapidana tindak pidana

umum maupun tindak pidana khusus, selanjunya kita beralih ke pemberian remisi.

Dimana semua narapidana berhak mendapatkan remisi apabila memenuhi syarat.

Secara umum berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis mendapatkan

data mengenai jumlah narapidana yang pernah mendapatkan remisi 3 tahun

terakhir di Lapas Bollangi yaitu ;

Jumlah Remisi Pertahun

Jenis Remisi 2019 2020 2021

Remisi Umum I 290 301 325

Remisi Umum II 154 165 190

Remisi Khusus I

201 250
 Islam 244

- -
 Kristen -

- -
 Hindu -

- -
 Budha -

Remisi Khusus II 11 23 55
75

Remisi Tambahan - 11 45

Total 656 744 865

Keterangan :

Remisi Umum I : Remisi yang diberikan pada hari kemerdekaan

Indonesia, namun narapidana yang bersangkutan masih harus menjalani

sisa hukumannya.

Remisi Umum II : Remisi yang diberikan pada hari kemerdekaan, namun

narapidana yang bersangkutan langsung dinyatakan bebas dari

hukumannya.

Remisi Khusus I : Remisi yang diberikan pada hari raya besar keagamaan,

namun narapidana yang bersangkutan masih harus menjalani sisa

hukumannya.

Remisi Khusus II : Remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan,

namun yang bersangkutan langsung dinyatakan bebas dari hukumannya.

Remisi Tambahan : Remisi yang diberikan kepada warga binaan Lapas

yang berbuat jasa pada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat

untuk negara, dan melakukan kegiatan yang membantu kegiatan

pembinaan.

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat diuraikan bahwa Lembaga

Pemasyarakatan Bollangi pada tahun 2019 memberikaan remisi umum I yakni


76

kepada 290 orang narapidana dan anak pidana dan 1 (satu) diantaranya langsung

dinyatakan bebas dan Remisi Umum II sebanyak 154 Orang. Kemudian Lapas

Bollangi juga memberikan remisi khusus yakni pada Hari Raya Idul Fitri tepatnya

kepada 201 orang narapidana dan anak pidana serta Remisi Khusus II sebanyak

11 Orang. Jika diperhatikan dari data tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah

narapidana yang mendapatkan remisi khusus sangat jauh lebih sedikit

dibandingkan dengan pemberian remisi umum. Kemudian berdasarkan tabel

tersebut bahwa di Lapas Narkotika Bollangi pada tahun 2019 hanya memberikan

4 jenis remisi kepada narapidana, yaitu remisi umum dan remisi khusus

sedangkan untuk remisi tambahan tidak ada satupun dari narapidana yang

mendapatkannya.

Pada tahun 2020 Lembaga Pemasyarakatan Bollangi memberikan remisi

umum I kepada 301 narapidana, dan tidak ada satu pun dari narapidana tersebut

yang langsung dinyatakan bebas dan Remisi Umum II kepada 165 orang total 466

orang. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2019 yang hanya

berjumlah 444 orang, maka dapat dikatakan jumlah tahun 2020 mengalami

kenaikan. Kemudian untuk remisi khusus I diberikan kepada 244 narapidana pada

Hari Raya Idul Fitri tepatnya serta remisi Khusu II sekitar 23 Orang. Sedangkan

untuk remisi tambahan, 11 narapidana yang diberikan remisi tambahan.

Pada tahun 2021 jumlah narapidana yang mendapatkan remisi umum I

mengalami kenaikan jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Yakni pada tahun

2021 Lapas Bollangi memberikan remisi umum I kepada total 325 orang, dengan

uraian 2 orang langsung dinyatakan bebas dan 323 orang masih harus menjalani
77

sisa masa pidananya. Remisi Umum II ini diberikan kepada 190 orang. Kemudian

untuk remisi khusus I pada tahun 2021 diberikan kepada 250 orang narapidana

yang bertepatan dengan Hari raya Idul Fitri lalu remisi khusus 2 sebanyak 55

Orang dan Remisi Tambahan 45 orang narapidana.

Ada pun jenis remisi tersebut adalah Remisi Umum yang diberikan ada

hari kemerdekaan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia (NKRI) yang jatuh pada

tanggal 17 Agustus dan remisi khusus yang diberikan pada hari raya besar

keagamaan berdasarkan dengan agama yang dianut oleh narapidana yang

bersangkutan. Sedangkan untuk remisi tambahan tidak pernah ada diberikan

dalam kurun waktu 3 tahun terakhir kepada narapidana.

Berkaitan dengan jenis remisi tersebut, Bu Yuslinar selaku Kepala Sub

Seksi Registrasi mengutarakan, “bahwa selama ini memang di Lapas Narkotika

Bollangi tidak pernah ada narapidana yang mendapatkan remisi tambahan, karena

seperti yang diketahui bahwa remisi tambahan adalah apabila narapidana yang

bersangkutan melakukan hal-hal tertentu seperti berjasa untuk negara, membantu

kegiatan lapas, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan itu, di Lapas Narkotika

Bollangi tidak pernah ada narapidana yang berbuat seperti syarat yang telah

disebutkan tadi. Oleh karena itulah Lapas Narkotika Bollangi hanyak memberikan

2 jenis remisi yaitu remisi umum dan remisi khusus.” Selanjutnya beliau juga

mengatakan bahwa terkait remisi khusus, 3 tahun terakhir ini hanya diberikan

pada hari Raya Idul Fitri saja karena memang mayoritas narapidana yang

menghuni Lapas Narkotika Bollangi beragama Islam “hanya satu orang yang

kristen, selebihnya Islam”, tuturnya.


78

Pemberian remisi adalah hak setiap narapidana yang diatur dalam pasal 14

huruf (i) Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995. Remisi didapatkan

bukan lewat permintaan akan tetapi melalui usulan. Remisi diusulkan oleh petugas

Lapas apabila narapidana yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan. Dalam pelaksanaan pemberian remisi di Lapas Narkotika Bollangi

dilaksanakan beradasarkan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang

berkaitan dengan syarat-syarat pemberian remisi. Syarat pemberian Remisi diatur

dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012. Dalam pasal 34

terdapat 2 syarat umum yang harus dipenuhi oleh seluruh narapidana yaitu

berkelakuan baik dan harus telah menjalani masa pidana minimal 6 bulan.

Sedangkan untuk tindak pidana khusus salah satunya narkotika diberikan syarat

tambahan yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana narkotika yang tertuang

dalam pasal 34A yaitu harus membuat surat pernyataan bersedia bekerjasama

dengan aparat hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukan. Surat

pernyataan itu harus ditanda tangani oleh narapidana narkotika yang

bersangkutan. Menurut Kepala Seksi Binadik dan Giatja yaitu Bapak Sahlan,

dalam hal syarat-syarat pemberian remisi dapat digolonkan menjadi 3 (tiga),

mengingat telah terjadi dua kali perubahan pada Peraturan Pemerintah yang

mengatur tentang syarat-syarat pemberian remisi. Adapun golongan syarat-syarat

tersebut adalah:

a. Narapidana Narkotika yang dijatuhi hukuman pidana penjara

sebelum tahun 2012.

Untuk narapidana narkotika tersebut akan dikenakan


79

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006, maka syarat

pemberian remisi untuk narapidana narkotika tersebut adalah

Berkelakuan baik; dan Telah menjalani 1/3 (sepertiga) masa

pidana.

b. Narapidana narkotika yang dijatuhi hukuman pidana penjara pada

tahun 2012 sampai seterusnya.

Untuk narapidana narkotika tersebut akan dikenakan

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Namun tidak semua

narapidana narotika yang dijatuhi putusan pada tahun 2012 ke atas

dapat dikenakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

Melainkan hanya narapidana yang dipidana penjara paling singkat

5 tahun saja. Ada pun syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai

berikut:

1) Berkelakuan baik;

2) Telah menjalani pidana lebih dari 6 bulan; dan

3) Membuat surat pernyataan bersedia bekerjasama

dengan aparat hukum untuk membongkar tindak

pidana yang dilakukan.

c. Narapidana narkotika yang dijatuhi hukuman pada tahun 2012 dan

seterusnya, dan dipidana kurang dari 5 tahun.

Untuk narapidana narkotika tersebut akan dikenakan

Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 2006, karena walaupun

narapidana narkotika tersebut dijatuhi hukuman pada tahun 2012


80

tapi, hukuman pidana yang dijatuhi tidak sampai 5 tahun.

Sedangkan narapidana narkotika yang mendapatkan Peraturan

Pemerintah No. 99 Tahun 2012, hanya berlaku bagi narapidana

narkotika yang dijatuhi hukuman paling singkat 5 tahun.

Dari penjelasan yang disampaikan oleh Bapak Sahlan, dapat disimpulkan

bahwa syarat-syarat pemberian remisi kepada narapidana Pasal 34A ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012. narkotika dapat dikategorikan

menjadi 2 (dua) yaitu syarat umum dan syarat khusus:

a. Syarat Umum

1) Berkelakuan baik, yaitu harus mentaati semua peraturan

yang ada di Lapas dan tidak pernah dikenakan tindakan

disiplin yang dibuktikan dengan buku register F selama

kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi

yaitu dalam rentang waktu 6 bulan terakhir yang terhitung

sebelum tanggal pemberian remisi. Buku Register F adalah

cacatan pelanggaran tata tertib setiap narapidana di dalam

Lapas. Kemudian narapidana yang bersangkutan harus

telah mengikuti program pembinaan dengan predikat baik.

2) Telah menjalani masa pidana paling singkat 6 (enam)

bulan. Artinya narapidana narkotika yang berhak untuk

diusulkan remisi adalah narapidana narkotika yang telah

menjalani masa pidananya 6 bulan, terhitung dari tanggal

surat penahanan pertama yang diberikan oleh kepolisian.


81

b. Syarat Khusus

1) Membuat surat pernyataan bersedia bekerjasama dengan

aparat hukum untuk membongkar tindak pidana yang

dilakukan atau disebut juga justice collaboratore

Berkaitan dengan syarat tambahan untuk narapidana narkotika

diatur dalam pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pernyataan bersedia

bekerjasama dibuat secara tertulis oleh petugas Lapas dan ditanda

tangani diatas materai oleh narapidana narkotika yang bersangkutan.

Kemudian surat pernyataan tersebut haruslah ditetapkan oleh

instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

seperti:

a. Komisi Pemberantasan Korupsi.

b. Kepolisian Negara Repuplik Indonesia.

c. Kejaksaan Repuplik Indonesia.

d. Badan Narkotika Nasional.

Berdasarkan hasil wawancara, berkaitan dengan surat pernyataan

bekerjasama sebagai syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana

narkotika, Lapas Bollangi tidak memiliki kriteria khusus dalam penerapannya.

Dasar dari pelaksanaan pemenuhan syarat tambahan pemberian remisi bagi

narapidana narkotika hanyalah berpatokan pada ketentuan perundang-undangan

yaitu Peraturan Pemerintah 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak, Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang syarat dan Tata
82

cara pemberian remisi No. 03 tahun 2018, dan Keputusan Presiden tentang Remisi

No. 174 tahun 1999.

Walaupun tidak ada kriteria khusus terkait surat pernyataan bekerjasama di

Lapas Bollangi, namun Ibu Yuslinar selaku Kepala Sub Seksi Registrasi

berpendapat bahwa yang dikatakan bekerjasama itu adalah narapidana tindak

pidana narkotika yang bersangkutan bersedia untuk memberikan informasi,

mengungkap orangorang serta induk dari organisasi narkoba yang ia lakukan, dan

bersedia untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan. Ada pun tata cara

pemenuhan surat pernyataan bekerjasama di Lapas Narkotika Bollangi sebagai

berikut:

a. Melakukan pendekatan terlebih dahulu, dimulai dari memberikan

sosialisasi setiap seminggu sekali bahwa pernyataan bekerjasama

ini merupakan salah satu syarat pemberian remisi bagi narapidana

khusus salah satunya tindak pidana narkotika.

b. Apabila narapidana narkotika yang bersangkutan telah memenuhi

syarat umum, maka Kepala Sub Seksi Registrasi akan meminta

tanda tangan diatas materai kepada narapidana narkotika yang

akan diusulkan pemberian remisi.

c. Kemudian usulan tersebut akan disampaikan ke Kejaksaan untuk

meminta surat keterangan sebagai justice collaborator.

d. Setelah keterangan justice collaboratore diterima oleh pihak

Lapas, barulah Remisi dapat diusulkan sesuai dengan prosedur

yang tertera Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI mengenai


83

Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi No. 03 Tahun 2018

tepatnya dalam pasal 22 s/d pasal 27.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa surat pernyataan

bekerjasama yang menjadi salah satu syarat bagi narapidana narkotika untuk dapat

diusulkan remisi haruslah dikeluarkan oleh Kejaksaan. Namun apabila pihak

kejaksaan tidak mengeluarkan keterangan jutice collaborator, bukan berarti

narapidana narkotika yang bersangkutan tidak mendapatkan usulan remisi. Bagi

narapidana yang tidak mendapatkan keterangan jutice collaborator dari kejaksaan,

maka untuk narapidana narkotika yang hukumannya 5 (lima) tahun keatas akan

mendapatkan usulan remisi apabila telah menjalani 1/3 dari 5 (tahun) yaitu sekitar

1 tahun 6 bulan dan diusulkan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Sebaliknya narapidana narkotika yang

mendapatkan keterangan jutice collaborator dari Kejaksaan, cukup dengan

minimal telah menjalani pidana selama 6 bulan. Sedangkan bagi narapidana

narkotika yang hukumannya dibawah 5 (lima) tahun untuk diusulkan remisi hanya

harus memenuhi syarat umum yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani pidana

dengan minimal 6 bulan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

pernyataan bersedia bekerjasama ini merupakan syarat tambahan untuk

narapidana tindak pidana khusus salah satunya adalah tindak pidana narkotika.

Tujuannya adalah memberikan pengetatan terhadap pelaku kajahatan luar biasa.

Namun, selain untuk memberikan pengetatan, tentunya peraturan yang

tertuang dalam pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tersebut

mempunyai tujuan lanjutan yaitu mempermudah aparat penegak hukum dalam hal
84

membongkar suatu kasus seperti narkotika. Karena tentunya tindak pidana

narkotika merupakan tindak pidana yang tidak bisa dijalankan sendirian

melainkan mereka memiliki suatu organisasi atau kelompok. Sehingga diharapkan

dengan adanya syarat tambahan yaitu pernyataan bersedia bekerjasama ini, pelaku

tindak pidana mau untuk bekerjasama dengan petugas untuk memberikan

informasi tentang organisasinya dengan imbalan tentunya diberikan usulan remisi.

Berkaitan dengan implementasi dari syarat tambahan tersebut, di Lembaga

Pemasyarakatan Bollangi dapat dikatakan tidak ada. Penulis mengatakan

demikian karena pada saat melakukan wawancara, penulis sempat menanyakan

hal tersebut kepada Bapak Sahlan S.H, selaku Kepala Seksi Pembinaan

Narapidana dan Anak Didik di Lapas Bollangi. Dimana beliau menuturkan bahwa

surat pernyataan bekerjasama hanyalah sebuah persyaratan saja, dalam artian

hanya dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh narapidana narkotika yang

akan diusulkan remisi. Namun implementasi dari surat pernyataan itu sama sekali

tidak ada. Alasannya karena seharusnya surat pernyataan bekerjasama itu dibuat

pada awal proses pemeriksaan seperti penyidikan dan pada saat yang berangkutan

masih dalam status tahanan bukan pada saat yang bersangkutan telah berstatus

narapidana yang artinya putusan pidana penjara telah dijatuhkan kepadanya”.

Kemudian Ibu Lina menambahkan bahwa kasus narkotika ini sudah pasti

ada organisasinya, untuk itu sangat diperlukan surat pernyataan bekerjasama ini,

tapi peletakkannya tidak efektif jika dijadikan syarat untuk remisi karena apabila

surat pernyataan bekerjasama dilakukan pada saat status yang bersangkutan masih

tahanan, diharapkan pernyataan bersedia bekerjasama tersebut dapat dijadikan


85

pertimbangan bagi hakim untuk mengurangi putusan. Namun apabila setelah

menjadi narapidana, maka perbuatan terebut tidak akan berpengaruh lagi karena

putusan telah dijatuhkan. Jika dilihat dari keterangan yang diberikan oleh Pak

Sahlan dan Bu Lina, penulis memahami bahwasanya menjadikan surat pernyataan

bekerjasama sebagai salah satu syarat tambahan untuk narapidana narkotika yang

dijatuhi hukuman diatas 5 (tahun) kurang efektif. Hal itu karena implementasi

atau hasil yang diharapkan dari surat pernyataan itu di Lapas Bollangi tidak ada

sama sekali. Jadi, pernyataan tersebut hanyalah sebuah syarat. Berdasarkan uraian

sebelumnya yang disampaikan oleh Bapak Sahlan S.H, terkait pelaksanaan surat

pernyataan bekerjasama, penulis berpendapat bahwa memang seharusnya

dilakukan pada saat awal pemeriksaan sehingga dimungkinkan untuk

membongkar kasus tersebut secara keseluruhan dan juga memberikan sebuah

reward seperti pertimbangan untuk mengurangi putusan hukuman yang diberikan

bagi narapidana narkotika yang telah bersedia untuk memberikan informasi dan

membongkar jaringan tindak pidana narkotika yang berhubugan dengan dirinya.

Sebaliknya, disisi lain sebenarnya narapidana narkotika tetap diberikan reward

apabila bersedia untuk bekerjasama dengan aparat hukum untuk membongkar

tindak pidana narkotika yang dilakukannya, bentuk rewardnya adalah penguragan

masa pidana (remisi).

Namun tentunya reward berupa remisi ini tidak memberikan keuntungan

bagi aparat hukum jika dilihat dari fakta dilapangan karena itu merupakan syarat

saja, tidak pernah ada tindak pidana narkotika yang terbongar sampai ke akarnya

di Lapas Narkotika Bollangi. Apabila dilakukan pada saat proses peradilan mulai
86

dari penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan, tentunya pelaku tindak pidana

dijadikan saksi di persidangan dan memberikan informasi langsung yang berguna

untuk membongkar kasus narkotika yang dilakukan. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa pernyataan bersedia bekerjasama kurang efektif untuk dijadikan syarat

pengetatan narapidana narkotika mendapatkan remisi, karena keuntungan yang

didapatkan hanyalah kepada si narapidana yang bersangkutan. Sedangkan untuk

negara, untuk petugas, aparat hukum tidak ada sama sekali. Bahkan tindak pidana

narkotika masih bebas melakukan aksinya diluar sana.

Oleh karena jumlah penerima remisi khususnya narapidana narkotika

mengalami fluktuasi atau ketidak tetapan, hal itu tentunya dipengaruhi oleh syarat

atau tolak ukur petugas dalam pemberian remisi kepada narapidana narkotika.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Sub Bagian Registrasi

Lapas Bollangi bahwa dasar pertimbangan pemberian remisi adalah :

“dasar pertimbangan dalam pemberian remisi bagi narapidana narkotika


tentunya berdasar pada peraturan perundang-undangan yaitu pasal
tentang hak-hak narapidana dan yang berkaitan dengan remisi seperti
narapidana narkotika telah menjalani hukuman selama 6 bulan,
berkelakuan baik artinya tidak berbuat keributan, perkelahian, kerusakan,
dan tidak pernah melanggar aturan yang dibuat oleh Lapas.”

Dari keterangan yang diberikan oleh Bu Yuslinar tersebut penulis

menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar pertimbangan petugas dalam

pemberian remisi kepada narapidana narkotika adalah:

a. Pasal 14 huruf (i) Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 Tahun

1995 yang menyebutkan “setiap narapidana dan anak pidana


87

selama berada di Lembaga Pemasyarakatan mendapatkan hak-hak

tertentu, salah satunya pengurangan masa pidana”.

b. Keputusan Presiden tentang Remisi No. 174 tahun 1999 yang

menyatakan “pengurangan masa pidana (remisi) merupakan hak

dari setiap narapidana, tidak terkecuali narapidana narkotika”.

c. Peraturan Pemeritah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah No. 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan, Tepatnya dalam Pasal 1 angka 1,

2, dan 3 peraturan tersebut.

Dalam hal pertimbangan pemberian remisi, Lapas Bollangi menerapkan

aturan diantaranya adalah setiap narapidana nakotika diharuskan untuk

berkelakuan baik selama menjalani masa pidana dan tidak terdaftar dalam buku

register (f). Selain itu, narapidana narkotika juga diharuskan untuk mendapatkan

binaan dari segi psikologis yang berguna untuk mengembangkan pola pikir dalam

terjun ke masyarakat.

Dengan diberikannya hak pengurangan masa pidana kepada narapidana

narkotika, dengan berdasarkan pada syarat berkelakuan baik, maka penulis

menganggap bahwa itu merupakan suatu faktor yang memotivasi narapidana

dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan

Tindak Pidana Narkotika. Dasar berkelakuan baik itu sangat efektif untuk

diterapkan khusus bagi narapidana tindak pidana narkotika, apalagi di Lapas

Bollangi, yang jumlah narapidana Tindak Pidana Narkotika paling banyak sebagai

Pengedar atau Bandar. Untuk menilai apakah seseorang narapidana tindak pidana
88

narkotika itu dapat mengubah diri atau masih sama dengan sebelum dipidana,

tidaklah cukup dengan perbutaan baik saja. Hal ini dikarenakan tindak pidana

narkotika ini juga berkaitan dengan masalah psikologis, bukan masalah perilaku

menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, sehingga peran pembinaan

psikologis juga perlu diterapkan. Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarkatan

Bollangi menerapkan pembinaan religius dalam hal keagamaan sehingga

narapidana khususnya narapidana narkotika mendapatkkan pembinaan secara fisik

maupun batin.

Pemberian remisi di Lapas Bollangi juga mempertimbangkan over

kapasitas yang dialami oleh Lapas. Sesuai dengan data yang telah penulis

terangkan sebelumnya bahwa Lapas Bollangi yang dihuni oleh 900 narapidana,

sedangkan kapasitas Lapas hanyalah 368 yang artinya Lapas mengalami kelebihan

kapasitas sebanyak 532 orang. Dengan kelebihan kapasiatas ini, tentunya akan

membawa banyak permasalahan seperti biaya makan, kenyamanan narapidana,

dan tidak efektifnya program pembinaan untuk narapidana. Masalah kelebihan

kapasitas ini bisa diselesaikan dengan cara pemberian remisi bagi narapidana.

Apalagi pada narapidana narkotika, yang jumlah narapidannya tergolong banyak.

Dengan permberian pengurangan masa pidana, maka narapidana yang

bersangkutan akan cepat bebas dan mengurangi jumlah warga binaan di dalam

Lapas.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dasar

pertimbangan petugas Lapas Narkotika Bollangi dalam pelaksanaan pemberian

remisi kepada narapidana narkotika telah sesuai dengan ketentuan perundang-


89

undangan yang berlaku. Bahkan ada beberapa pertimbangan yang tidak tertulis di

dalam perundangperundangan seperti kelebihan kapasitas, menurut penulis

pemberian remisi merupakan langkah yang cukup efektif dilakukan untuk

mengurangi kelebihan jumlah warga binaan di Lapas Bollangi. Kemudian

berkaitan dengan pengetatan syarat yang diberikan untuk narapidana narkotika,

menurut penulis pengaturan di Peraturan Pemerintah No. 99 / 2012 belum dapat

dikatakan ketat di Lapas Bollangi, karena dilihat dari data 2 (dua) tahun terakhir

yaitu pada tahun 2020 dan 2021 masih banyaknya jumlah narapidana yang

mendapatkan remisi. Terlebih persyaratan tambahan bekerjasama ini tidak ada

implementasi sama sekali di Lapas Bollangi.

B. Faktor Penghambat Lapas Narkotika Bollangi dalam melaksanakan

Remisi bagi Narapidana Narkotika dan Psikotropika

Berdasarkan hasil penelitian di Lapas Narkotika Bollangi diperoleh fakta,

bahwa selama periode tahun 2019,2020 dan tahun 2021, remisi yang diberikan

kepada narapidana adalah remisi umum dan remisi khusus, sedangkan remisi

tambahan hanya sedikit.Berdasarkan data yang sama dapat diketahui pula, bahwa

pemberian remisi kepada narapidana, baik remisi umum maupun remisi khusus

dilakukan tepat waktu. Pada periode tahun 2019,2020 dan tahun 2021, pemberian

remisi yang diusulkan oleh Kepala Lapas Narkotika Bollangi kepada Menteri

Hukum dan HAM melalui Kepala Kanwil Kemenkumham Propinsi Sulawesi

Selatan berlangsung mundur. Dari data tahun 2019, baik pemberian remisi umum,

remisi khusus Idul Fitri, remisi khusus Natal, maupun remisi khusus Waisak harus

dilakukan 2 kali pengajuan ke Menteri Hukum dan HAM, sehingga menciptakan


90

istilah remisi susulan, baik untuk remisi umum maupun remisi khusus seperti

remisi umum susulan, remisi khusus susulan Idul Fitri, remisi khusus susulan

Natal, dan remisi khusus susulan Waisak. Dari data tahun 2020, ditemukan pula

adanya keterlambatan dalam pemberian remisi, sehingga mengakibatkan adanya

remisi susulan. Keterlambatan dalam pemberian remisi tersebut, akibat ketidak

siapan staf pada Kanwil Kemenkumham Propinsi Sulawesi Selatan dalam

mengolah usulan yang diajukan oleh Kepala Lapas Narkotika Bollangi.Hal ini

berarti, bahwa faktor penghambat dalam pemberian remisi tersebut adalah terletak

pada sumber daya manusia.Faktor penghambat lainnya dalam pemberian remisi di

Lapas Narkotika Bollangi adalah narapidana mendapat hukuman disiplin,

sehingga hak atas remisi pada tahun yang bersangkutan menjadi hilang.

Pemberian remisi merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sebagai pedoman agar narapidana bersedia

menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan sistem

pemasyarakatan. Namun dalam pelaksanaanya, yang melibatkan beberapa

lembaga lain di luar lembaga pemasyarakatan tidak dibarengi dengan suatu

peraturan yang tegas dalam pelaksanaanya. Hal ini yang mengakibatkan adannya

hambatan-hambatan yang justru mempersulit pemberian remisi kepada

narapidana.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan Rinaldo AN Tarigan Kepala

Program Pembinaan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Bollangi

menjelaskan bahwa yang menjadi faktor utama sehingga hak remisi itu tidak bisa

diberikan kepada para narapidana adalah faktor dari pelaku narapidana itu sendiri.
91

Salah satu faktor sebagai penghambat pemberian remisi seperti narapidana tidak

berkelakuan baik atau terlibat melakukan tindakan indisipliner, maka setiap

narapidana yang melakukan pelanggaran / tindakan indisipliner akan dimasukkan

ke dalam buku Register F. Di dalam buku tersebut tercatat secara terperinci semua

pelanggaran yang dilakukan oleh setiap narapidana, dan telah menjadi syarat

bahwa mereka tidak bisa diberikan remisi.50 Faktor lain dikarenakan bagi

narapidana yang yang masih menjalani masa pidana yang menjadi syarat

ketentuan remisi. Narapidana yang menjalani masa hukuman di bawah 5 tahun

harus menjalani menjalani masa hukuman 1/3, dan bagi narapidana yang menjalan

masa hukuman di atas 5 tahun harus menjalani masa hukuman 6 bulan. Dan hal

tersebut haruslah dijalani oleh narapidana yang ingin mendapatkan remisi karena

peraturan tersebut tercantum sebagai syarat untuk mendapatkan remisi.

Adanya faktor penghambat tersebut, maka pihak Lembaga Pemasyarakatan

selaku pihak yang mengupayakan anak didiknya untuk mendapatkan remisi maka

dilakukan upaya untuk meminimalisir terjadinya faktor penghambat dalam

pemberian remisi. Menurut Rinaldo AN Tarigan Kepala Program Pembinaan

Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Bollangi bahwa untuk

meminimalisir terjadinya faktor penghambat dalam pemberian remisi, yang

pertama adalah dari faktor pelaku narapidana untuk meminimalisir terjadinya

faktor penghambat dari pelaku adalah harus lebih mengoptimalkan pelaksanaan

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan melalui pembinaan yang struktur dan

berkesinambungan agar narapidana menyadari kesalahan dan tidak mengulangi

lagi pelanggaran yang telah mereka lakukan.


92

Faktor lain yaitu faktor eksternal yaitu penghambat remisi yang terjadi di

luar narapidana itu sendiri, dan di luar kewenangan Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Bollangi. Faktor tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya persetujuan

dari instansi lain di luar Lembaga Pemasyarakatan. Bapak T Rinaldo AN Tarigan

Kepala Program Pembinaan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Bollangi, menambahkan yang menjadi faktor lain sehingga hak remisi itu tidak

bisa diberikan kepada para narapidana adalah faktor dari lembaga lain di luar

lembaga pemasyarakatan yang tidak dibarengi dengan suatu peraturan yang tegas

dalam pelaksanaanya. Faktor ini yang mengakibatkan adannya hambatan-

hambatan yang justru mempersulit pemberian remisi kepada narapidana yaitu

adanya keterlambatan dalam hal persyaratan pengajuan remisi seperti

keterlambatan datangnya vonis dari pengadilan negeri yang memutus perkara

narapidana tersebut.

Rinaldo AN Tarigan Kepala Program Pembinaan Warga Binaan Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika Bollangi, menambahkan upaya yang dapat mendukung

pelaksanaan pemberian remisi yaitu dengan cara mengadakan kerjasama dan

saling mengadakan koordinasi yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait yaitu

dengan Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian agar narapidana yang bersangkutan

dapat diusulkan hak untuk mendapat remisi. Segala bentuk kerja sama baik dari

dalam Lapas maupun dari pihak luar lapas, diharapkan setiap proses remisi dapat

berjalan dengan lancar, karena di dalam peraturan telah jelas bahwa setiap

narapidana atau anak pidana berhak untuk mendapatkan remisi. Sebagai institusi

Negara sebaiknya pihak yang berperan penting dalam proses remisi dapat
93

memberikan hak remisi tersebut kepada setiap narapidana dengan syarat tidak

mengurangi efek jera terhadap narapidana yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat kendala dalam pemberian remisi

terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana khusus, yakni banyaknya

jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Bollangi, tidak hanya

narapidana pelaku tindak pidana khusus saja yang mendapatkan remisi, semua

narapidana berhak mendapatkan remisi sehingga memerlukan waktu dalam

sidang, adanya narapidana yang mendapat hukuman disiplin sehingga tidak bisa

mendapat remisi. Berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa faktor-faktor

yang menjadi penghambat dalam pemberian remisi terhadap narapidana narkotika

dan psikotropika adalah:

1. Faktor administrasi: Adanya keterlambatan dalam hal persyaratan

pengajuan remisi seperti, keterlambatan datangnya petikan vonis

dari Pengadilan Negeri yang memutus perkara narapidana tersebut

hingga, dapat menghambat dalam pengusulan remisi bagi

narapidana yang bersangkutan.

2. Faktor kelembagaan: Belum adanya suatu lembaga atau institusi

yang khusus mengawasi pemberian remisi kepada narapidana. Hal

ini sangat diperlukan untuk meminimalisir terjadinya

keterlambatan pemberian hak narapidana khususya remisi

3. Faktor sarana dan prasarana: Ketiadaan sarana untuk penghitung

remisi, karena penghitungannya masih dilaksanakan secara manual

yang juga digunakan untuk menghitung eksipirasi (perhitungan


94

bebas lepas narapidana).

4. Faktor dari perilaku narapidana: Salah satu faktor sebagai

pengahambat pemberian remisi adalah berasal dari diri narapidana

sendiri seperti, narapidana terlibat atau melakukan tindakan

indisipliner.

Upaya untuk meminimalisir terjadinya faktor penghambat dalam

pemberian remisi adalah:

1. Faktor administrasi: Melakukan upaya-upaya yang dapat

mendukung pelaksanaan pemberian remisi tersebut dengan cara,

mengadakan hubungan kerjasama dan saling mengadakan

koordinasi yang baik dengan pihak-pihak terkait dengan

Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. Agar narapidana yang

bersangkutan dapat diusulkan hak untuk mendapat remisinya tepat

waktu.

2. Faktor kelembagaan: Untuk meminimalisir terjadinya faktor

kelembagaan dalam pemberian remisi ialah memberdayakan setiap

lembaga atau institusi yang terlibat dalam pengawasan pemberian

remisi kepada narapidana, melalui menjalin hubungan baik dengan

instansi terkait.

3. Faktor sarana dan prasarana: Untuk meminimalisir terjadinya

faktor sarana dan prasarana dalam pemberian remisi yakni,

meningkatkan pengadaan sarana untuk perhitungan remisi dengan

tidak lagi memakai secara manual tetapi dengan teknologi yang


95

canggih, dengan sarana komputerisasi khusus yang dapat

diprogram untuk perhitungan remisi.

4. Faktor dari perilaku narapidana: Untuk meminimalisir terjadinya

faktor penghambat dari perilaku narapidana ialah, pelaksanaan

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan lebih dioptimalkan

melalui pembinaan yang terstruktur dan berkesinambungan agar

narapidana menyadari kesalahan dan tidak akan mengulangi lagi

pelanggaran yang telah dilakukan.


96

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian dalam pembahasan diatas maka dapat

dirumuskan suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pemberian remisi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

melibatkan sebahagian komponen sistem peradilan pidana yaitu

Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan mulai dari Unit

Pelaksana Teknis Pemasyarakatan setempat yang mengusulkan perolehan

remisi kepada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak asasi

Manusia untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan.Selanjutnya diterima oleh narapidana yang bersangkutan.

Dalam melakukan tugas pelaksanaan belum optimal melibatkan hakim

pengawas dan pengamat yang menitikberatkan pelaksanaan pada hak-hak

Narapidana antara lain apakah Narapidana memperoleh hak haknya

pemasyarakatan-pemasyarakatan prosedural sesuai sistem pemasyarakatan

telah dipenuhi termasuk pemberian asimilasi, remisi, cuti, lepas bersyarat/

integrasi dan lain- lain.

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian remisi di

lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah faktor yuridis dimana belum

adanya payung hukum yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian


97

remisi dan faktor non-yuridisnya adalah dipengaruhi oleh faktor sumber

daya manusia dan faktor sarana prasarana yang ada.

3. Kendala-kendala dalam pemberian remisi bagi narapidana pelaku tindak

pidana narkotika dan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Bollangi yang tidak diberikan remisi atas vonis hukuman yang telah

dijalani adalah faktor administrasi yaitu adanya keterlambatan dalam hal

persyaratan pengajuan remisi, faktor kelembagaan yaitu belum adanya

suatu lembaga atau institusi yang khusus mengawasi pemberian remisi

kepada narapidana, faktor sarana dan prasarana, serta faktor dari perilaku

narapidana sendiri seperti, narapidana terlibat atau melakukan tindakan

indisipliner.

B. SARAN

Berdasarkan pada uraian dalam pembahasan diatas maka dapat

dirumuskan suatu saran sebagai berikut :

1. Adanya Pelatihan Khusus petugas Lembaga pemasyarakatan agar lebih

Humanis kiranya bisa memaksimalkan peran dan fungsi lembaga

pemasyaakatan tersebut.

2. Dari segi dasar pertimbangan pemberian remisi bagi narapidana

narkotika harus lebih diperhatikan lagi apakah narapidana yang

bersangkutan benar-benar telah sadar akan kesalahannya dan tidak

akan terjebak dengan kemelut narkoba lagi. Karena dilihat dari

beberapa kasus, masih bayak narapidana narkotika yang telah


98

dinyatakan bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, dalam beberapa

waktu mengulangi perbuatannya lagi.

3. Dibuatnya Undang Undang mengenai kewajiban untuk melakukan

asesmen bagi pecandu/korban penyalahgunaan narkotika, sehingga

daya paksa untuk menegakkan ketentuan asesmen tersebut kuat. Bukan

hanya berdasarkan pada PERBERS saja. Selanjutnya, dilakukan

perubahan mengenai batas maksimun barang bukti dalam SEMA No 4

Tahun 2010, mengimgat bahwa dengan mengalami ketergantungan,

Seorang pecandu dapat dapat mengkomsumsi narkotika lebih dari

batas maksimun yang diatur dalam SEMA tersebut, Kemudian, hasil

asesmmen yang menyatakan bahwa pecandu/korban penyalahgunaan

narkotika harus direhabilitasi sebaiknya harus diterima oleh penyidik

karna Asesmen tersebut berdasarkan penilaian dari tim medis yang

sudah dipercaya dan ditunjuk BNN untuk memeriksa keadaan

pecandu/korban yang bersangkutan. Jadi, sifat hasil asesmen tidak

hanya rekomendasi melainkan bersifat nutlak bagi penyidik.

4. Penulis berharap tesis ini bisa menjadi rujukan para pembaca demi

kemajuan potensi akademik mahasiswa.


99

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Amir Ilyas. 2012 Asas Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta dan Pukap
Indonesia, Yogyakarta

Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana 1. Rajawali Pers. Jakarta.

Darwint Parint, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2009.

Lydia Harlina Martono, Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis


Masyarakat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama,


Bandung, 2003.

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar
Maju, Bandung.

Moh. Taufik makaro,Suhasril,H. Moh Zakky A.S.,Tindak Pidana Narkotika, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 2003.

AR Sujono, Bony Daniel. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-undang


Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Roni Subagyo, Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Aspek Medik dan


Penatalaksanaa, Jakarta, 1999.

Puji Lestari, Penyalahgunaan NAPZA Tinjauan Dari Aspek Kefarmasian dan


Medik, Tanpa Penerbit, Jakarta, 2000

Wimanjaya K. Liotohe, Bahaya Narkotika Bagi Remaja, Edisi Pertama, CV. Petra
Jaya, Jakarta Pusat, 2001.

Moh. Taufik Makaro, Dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Stelsel Pidana Teori-Teori


Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 2002.
100

B. Jurnal

Pradnya Paramita. Doris Rahmat, 2018. Pembinaan Narapidana Dengan Sistem


Pemasyarakatan, Pranata Hukum Jurnal Ilmu Hukum
Roni Sulistyanto Luhukay, Indenpendensi Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen
Uud 1945 Dan Relevansinya Bagi Penegakan Hukum Berkeadilan, Jurnal
Jurisprudentie Uin Alauddin Makassar, Volume 6 No 1 Juni 2019.
Rahmat Hi. Abdullah , Urgensi Penggolongan Narapidana Dalam Lembaga
Pemasyarakatan, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret
2015.
Rizan Machmud, Peranan Penerapan Sistem Informasi Manajemen Terhadap Efektivitas
Kerja Pagawai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Lapastika) Bollangi
Kabupaten GOWA, Vol. 9 No. 3 September 2013 (Jurnal Capacity STIE AMKOP
Makassar) ISSN : 1907-3313.

C. Website

Nyaman Nurjana, penanggulangan kejahatan narkotika : eksekusi hak perspektif sosiologi


hukum, ejournal.umm, diakses 25 April 2021
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/3063

Wahyu Indra Brahmantya, Kelakuan Baik Sebagai Syarat Pemberian Remisi Terhadap
Narapidana Korupsi,e-journal.uajy, 2013, diakses 25 April 2021, http://e-
journal.uajy.ac.id/2091/1/0HK09926.pdf6

Chandra Nur Fajar, Faktor PenyebabPenyalahgunaanNarkotika


http://chandranurfajar.blogspot.com/2012/09/faktor-
penyebabpenyalahgunaannarkotika.html, 21 April 2021, Pukul 22.21

http/www. Ensiklopedi.com, diakses pada 21 April 2021 pukul 19.30

Anda mungkin juga menyukai