Anda di halaman 1dari 5

Mata Kuliah : Politik Hukum Pidana

Dosen : Dr. Ani Triwati, S.H., M.H.


Materi : Pokok-Pokok Pemikiran Beberapa Aspek Baru dalam
Aturan Umum KUHP Baru
Sumber Bahan : Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, UU No.1 Tahun 2023

Tiga masalah pokok dalam hukum pidana :

1. Tindak pidana;
2. Kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; dan
3. Pidana dan Pemidanaan.

A. Pokok Pemikiran tentang Tindak pidana


1. Sumber/ dasar hukum ditetapkannya tindak pidana.
➢ Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu
perbuatan, UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP Baru) bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang
utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas
legalitas dalam pengertian formal.

➢ KUHP Baru memperluas perumusannya secara materiil dengan


menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi
berlakunya “hukum yang hidup” dalam masyarakat.

Pasal 1
(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau
tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak pidana dilarang digunakan analogi.

1
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi
manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam
masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

➢ Diakuinya eksistensi / berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup


dalam masyarakat (sebelum KUHP Baru):
a. Pasal 5 (3) sub b Undang-Undang No.1 Drt. 1951
b. Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1 tahun 1963.
c. Seminar Hukum Nasional IV/ 1979
d. Seminar Hukum Nasional IV/1995
e. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

➢ Perluasan asas legalitas dari perumusan formal(seperti yang terdapat


dalam KUHP ) ke perumusan materiil, didasarkan juga pada :
a. Kebijakan legislatif (perundang-undangan) nasional yang keluar setelah
kemerdekaan ;
b. Dalam kesepakatan dalam seminar-seminar nasional.

2. Pengertian dan sifat hakiki tindak pidana.


➢ Bertolak dari alur pemikiran mengenai dasar patut dipidananya perbuatan
(kriteria formal dan materiil), konsep berpendapat bahwa tindak pidana
pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara
formal dan secara materiil.

2
Pasal 12
(1) Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-
undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.
(2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam
sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan
harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat.
(3) Setiap Tindak pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar.

3. KUHP Baru tidak membedakan tindak pidana dalam kualifikasi berupa kejahatan
dan pelanggaran.
Untuk keduanya digunakan istilah “tindak pidana”. Dengan demikian, Undang-
Undang ini hanya terdiri atas 2 (dua) Buku, yaitu Buku Kesatu tentang Aturan
Umum dan Buku Kedua tentang Tindak pidana. (Penjelasan UU No. 1 Tahun
2023, Buku Kesatu angka 4).

B. Pokok Pemikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana


➢ Asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap merupakan salah satu asas utama
dalam hukum pidana. Namun, dalam hal tertentu sebagai pengecualian
dimungkinkan penerapan asas strict liability (pertanggungawaban mutlak) dan
asas vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti). Dalam hal
pertanggungjawaban mutlak, pelaku tindak pidana telah dapat dipidana
hanya karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana perbuatan pelaku.
Sedangkan dalam pertanggungjawaban pengganti, tanggung jawab pidana
seseorang diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan
pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya.
(Penjelasan UU No. 1 Tahun 2023, Buku Kesatu angka 6).

Pasal 36
(1) Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
(2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja, sedangkan tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan
dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.

3
Pasal 37
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat:
a. dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana
tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau
b. dimintai pertanggungiawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang
lain.

Pasal 38
Setiap Orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang
disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya
dan/atau dikenai tindakan.

Pasal 39
Setiap Orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang
disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai
gambaran psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat
tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

Pasal 40
Pertanggunglawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada
waktu melakukan tindak pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.

C. Pokok Pemikiran tentang Pidana dan Pemidanaan

➢ Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya merupakan alat untuk
mencapai tujuan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi
tujuan pemidanaan, KUHP Baru bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok
yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/ pembinaan individu pelaku
tindak pidana.

Tujuan Pemidanaan

Pasal 5l
Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pelindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyaralatkan terpidana dengan mengadalan pembinaan dan pembimbingan
agar menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

4
Pasal 52
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.

Pedoman Pemidanaan

Pasal 53
(1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan
keadilan.
(2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim
wajib mengutamakan keadilan.

Pasal 54
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. bentuk kesalahan pelaku tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pelaku tindak pidana;
d. Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelalu tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban; dan/ atau k. nilai hukum
dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu
dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai