Anda di halaman 1dari 17

I.

JUDUL
PEMAAFAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERKAIT
PASAL 114 UNDANG-UNDANG NARKOTIKA

II. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, hukum pidana telah mengalami pergeseran orientasi, dimana
penyelesaian perkara pidana tidak lagi dititikberatkan pada pemberian ganjaran
negatif atau sekedar sebagai sarana pembalasan dendam terhadap pelaku tindak
pidana. Kesadaran akan penggunaan sanksi pidana yang berlebihan justru akan
berujung pada kondisi yang kontra produktif dengan tujuan dari sistem peradilan
pidana, maka pemikiran yang berkembang menyatakan bahwa sanksi pidana bukan
merupakan satu-satunya alat yang dapat dipakai untuk penegakan hukum (khususnya
hukum pidana).1
Lebih daripada itu, perhatian terhadap manfaat sosial pun menjadi prioritas,
dimana penyelesaian perkara pidana umpamanya dapat dilakukan melalui
perdamaian. Dalam praktik peradilan pidana, perdamaian dapat menjadi
pertimbangan bagi hakim untuk memberikan pemaafan atau yang sekarang dikenal
dengan istilah rechterlijk pardon melalui putusan dengan tetap memperhatikan dan
mempertimbangkan kepentingan hukum korban serta tanggung jawab pelaku tindak
pidana dalam ikut serta memuliahkan kerugian.
Konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) sendiri merupakan konsep baru
yang dicoba untuk diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) Nasional. Konsep ini memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada hakim dalam hal menjatuhkan putusan. Sehingga hakim tidak hanya terikat
pada tiga jenis putusan sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHAP) yakni berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, dan
putusan pemidanaan. Jenisjenis putusan tersebut secara berurutan diatur di dalam
Pasal 191 ayat (1), Pasal 191 ayat (2), dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.2 Disamping
itu, rechterlijk pardon dimaksudkan sebagai pembaharuan model penyelesaian
perkara pidana yang lebih memadai atas tindak pidana yang dianggap patut untuk

1
Iwan Darmawan, “Perkembangan dan Pergeseran Pemidanaan”, Pakuan Law Review, vol. 1, no. 2,
2015, hlm. 6.
2
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tidak dijatuhi hukuman, atau diperkirakan tidak akan memberi manfaat pada tujuan
pemidanaan jika pidana dijatuhkan.
Keberadaan konsep ini pada dasarnya lebih mencerminkan nilai kolektivisme
dan keseimbangan, dimana rechterlijk pardon diterapkan atas dasar pertimbangan
aspek-aspek dalam ruang lingkup pelaku dan perbuatannya sekaligus kepentingan
hukum korban tindak pidana. Sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP/WvS
yang berasal dari zaman kolonial meski telah diperbaharui lebih berorientasi pada
nilai-nilai individualisme atau liberalisme. Sehingga dalam usaha pembaharuan
hukum pidana Indonesia khususnya dalam konteks perumusan norma hukum yang
baru, perlu dipertimbangkan eksistensi keluarga hukum yang lebih dekat dengan
krakteristik masyarakat dan sumber hukum di Indonesia yang berorientasi pada nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat, yaitu yang bersumber dari nilai-nilai hukum adat
dan hukum agama. Hal ini bukan hanya merupakan suatu kebutuhan, akan tetapi juga
suatu keharusan.3
Bahkan dalam kecenderungan internasional dalam melakukan upaya
“pemikiran kembali” dan “penggalian hukum” dalam rangka memantapkan strategi
penanggulangan kejahatan yang integral ialah imbauan untuk melakukan “pendekatan
yang berorientasi pada nilai” (value oriented aproach), baik nilai-nilai kemanusiaan
maupun nilai-nilai identitas budaya dan nilai-niliai moral keagamaan. Sehingga
terlihat imbauan untuk melakukan “pendekatan humanis”, “pendekatan kultural”, dan
“pendekatan religius” yang diintegrasikan ke dalam pendekatan rasional yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Konsep rechterlijk pardon mengarah pada kemanfaatan dan proporsionalitas
putusan hakim. Gagasan rechterlijk pardon yang termuat dalam rumusan Pasal 54
RKUHP 2019 dalam pedoman pemidanaan mengharuskan hakim mempertimbangkan
berat ringannya suatu perbuatan, keadaan diri pelaku, serta keadaan-keadaan sebelum
dan setelah terjadinya tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 54 ayat (2)
RKUHP yang menyatakan “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau
keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat
dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

3
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), cet. 3,
hlm. 36.
Beberapa negara seperti Yunani, Belanda dan Portugal telah mengadopsi
konsep ini dengan berbagai formulasi yang berbeda namun memiliki kesamaan makna
yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk
memberikan pemaafan kepada seorang terdakwa yang telah terbukti bersalah
melakukan suatu tindak pidana dengan beberapa ketentuan sebagai syarat adanya
pemberian maaf tersebut.4 Diantara syarat-syarat tersebut menyangkut kepentingan
korban seperti penggantian rugi oleh pelaku atau korban telah memaafkan pelaku.
Oleh karena permaafan hakim selain melihat keadaan pelaku dan perbuatannya juga
memperhatikan keadaan korban maka harus benar-benar dipastikan bahwa aspek-
aspek tersebut telah terpenuhi secara substansial sebelum hakim memberi putusan
pemaafan. Karenanya ilmu tentang korban (viktimologi) juga dibutuhkan dalam hal
ini untuk melihat sejauh mana rechterlijk pardon dapat diterapkan atau tidak dalam
hal menjamin terpenuhinya keadilan yang substantif.
Masalah penyalahgunaan narkoba di indonesia sekarangini sangat
memprihatinkan. Keadaan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain Indonesia
yang terletak pada posoisi di anatara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat
maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamikan sasaran opini peredaran
gelap narkotba. Masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada
keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakian bermacam-macam
jenis narkoba secara ilegal. Kekhawatiran ini semakin dipertajam oleh peredaran
narkotika sampai keseluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan generasi muda.,
bahkan bertambah sulit dengan semakin berkembangnya modus operandi dari pada
pelaku tindak pidana narkoba dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Narkoba dan obat-obatan terlarang merupakan kejahatan luar biasa yang dapat
merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan mayasrakat, dan lingkungan
sekolah, bahkan langsung atau tidaknya merupakan ancaman bagi kelangsungan
pembangunan serta masadepan bangsa dan negara. Dalam beberapa tahun terakhir
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan
sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan komersial.

4
Mufatikhatul Farikhah, “Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi
Perbandingan Sistem Hukum Indonesia Dengan Sistem Hukum Barat)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol.
48, no. 3, 2018, hlm. 556-588
Jaringan peredaran narkotika di negara Asia, Indonesia diperhitungkan sebagai
pasar paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasional yang beroperasi
dinegara sedang berkembang masalah penyalah gunaan narkotika bukan hanya
menjadi permhatian negara Indonesia saja melainkan juga bagi dunia internasional. 5
Meskipun hukuman mati telah dilaksanakan sesuai dengn ketentuan perundang-
undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan melalui
UU Narkotika. Namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang narkotika belum
dapat diredakan. Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar dan pengedar narkotika
yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, tetapi hal ini sepertinya tidak
menimbulkan efek jera bagi pelaku lain, bahkan ada kecenderungan untuk
memperluas daerah operasinya. Seperti yang telah tertuang dalam Pasal 114 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur sebagai berikut:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6
(enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Berdasarkan uaraian tersebut maka disini penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut dan perlunya melakukan pendalaman dalam hal konsep rechterlijk pardon
khususnya terkait tindak pidana narkotika Pasal 144 UU 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.

5
Adi, K, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang:
UMM Press, 2014), hlm. 9
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas yang telah penulis uraikan, maka
penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam
Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP)?
2. Bagaimana konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) kaitannya dengan tindak
pidana narkotika terkait Pasal 144 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:


1. Untuk mengetahui sejarah dan konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon)
dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP).
2. Untuk mengetahui konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) kaitannya
dengan tindak pidana narkotika terkait Pasal 144 UU 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti berharap agar hasil yang diperoleh
dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Manfaat yang bersifat teoritis adalah mengharapkan hasil penelitian ini dapat
menumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin
ilmu hukum.
2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitiannya diharapkan dapat
memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan
disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta
pengembangan teori-teori yang sudah ada.

E. Landasan Teori

Grande Theory
Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon)
Rechterlij pardon merupakan salah satu konsep baru yang dikenal dalam praktik
peradilan pidana yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk dengan syarat-
syarat tertentu memberikan pengampunan atau pemaafan kepada pelaku tindak pidana
meskipun telah terbukti bersalah. Pemaafan ini dituangkan dalam bentuk putusan yang
mana secara konseptual karakternya berbeda dengan beberapa jenis putusan
sebagaimana dikenal dalam KUHAP yakni berupa putusan pemidanaan, putusan
bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan pemidanaan (veroordeling) dijatuhkan oleh hakim, jika hakim
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Putusan bebas (vrijspraak vonnis) dijatuhkan jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini disebabkan
oleh tiga kemungkinan. Pertama, minimum bukti yang ditetapkan undang-undang
tidak terpenuhi. Kedua, minimum bukti telah terpenuhi akan tetapi tidak dapat
meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa. Ketiga, salah satu atau beberapa unsur
tindak pidana yang didakwakan tidak dapat dibuktikan.6
Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtvervolging) dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan
suatu tindak pidana, atau karena terdapat alasan penghapus pidana yang terdiri dari
alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) sebagaimana tersebut dalam Pasal 48,
Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) KUHP dan alasan pemaaf (fait
d’exuse) sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Atau dapat pula karena tidak adanya kemampuan bertanggung jawab sebagaimana
diatur dalam Pasal 44 KUHP.
Adapun rechterlijk pardon memiliki kualifikasi yang melebihi tiga jenis putusan
tersebut, yakni meskipun terdakwa terbukti bersalah, perkaranya merupakan perkara
pidana, serta tidak ditemukan adanya alasan penghapus pidana baik berupa alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, hakim dapat tidak menjatuhkan pidana terhadapnya
dengan alasan-alasan tertentu. Sehingga terdakwa tetap dinyatakan bersalah akan
tetapi ditiadakan baginya sanksi pidana.
Jika ditinjau dari segi istilah, pemaafan atau pengampunan sering dikaitkan
dengan istilah “forgiveness”, “pardon”, “mercy”, “clemency”, “indemnity”, dan

6
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
2005) cet. 4, hlm. 208.
“amnesty” yang tidak memiliki pemaknaan kaku (fleksibel), namun secara garis besar
terminologi tersebut dapat dimaknai dengan suatu pengampunan atas perbuatan yang
bertentangan dengan legalitas perundang-undangan, dengan dasar keadilan di
masyarakat.7
Pardon dalam Black’s Law Dicrionary diartikan sebagai “The act or an instance
of officially nullifying punishment or other legal consequence of a crime”. Bentuk
pengampunan dalam arti ini diberikan oleh kepala eksekutif suatu pemerintahan yang
kemudian diistilahkan dengan executive pardon. Berdasarkan hal tersebut, juga fakta
sejarah yang akan diuraikan berikutnya, istilah “pardon” pada awalnya dipahami dan
dipraktikan sebagai tindakan eksekutif (atau orang lain yang diberi wewenang secara
hukum) yang mengurangi atau menghilangkan hukuman yang telah ditentukan /
dijatuhkan oleh pengadilan, atau yang mengubah hukuman dengan cara yang biasanya
dianggap meringankan. Dengan demikian kewenangan itu berada di luar lembaga
yudisial serta diterapkan pasca terjadinya putusan berupa pemidanaan.
Rechterlijk pardon adalah suatu keadaan hukum dimana seorang terdakwa
terbukti bersalah, tetapi tidak dijatuhi pemidanaan oleh Majelis Hakim. Pengertian
non imposing of penalty/ rechterlijk pardon/ dispensa de pena dan judicial pardon
mempunyai tujuan yang sama, yakni menyatakan seseorang terbukti secara sah dan
meyakinkan, namun tidak menjatuhkan pemidanaan. Meskipun pemaknaan secara
filosofis dari rechterlijk pardon belum tentu didasarkan oleh konsepsi pemaafan
hakim (bisa didasarkan hanya dari permasalahan penjara pendek, tetapi ketiganya
mempunyai maksud yang sama untuk tidak menjatuhkan pidana sekalipun kesalahan
terdakwa terbukti).
Dengan demikian rechterlijk pardon dapat dipahami dan diartikan sebagai
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk memberikan
permaafan kepada seorang terdakwa yang telah terbukti bersalah melakukan suatu
tindak pidana dengan beberapa ketentuan sebagai syarat adanya pemberian maaf
tersebut.

7
Adery Ardhan Saputro, “Konsepsi Rechterlijk Pardon Atau Pemaafan Hakim Dalam Rancangan
KUHP”, Mimbar Hukum, vol. 28, no. 1, 2016, hlm. 64.
Middle Range Theory
Teori Keadilan
Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu pertama, teori ini
mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan
dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan
dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan moral”
adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan
tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada
evaluasi moral yang kita buat secara refleksif.
Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih
unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata-rata” (average
utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika
diabdiakan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme
rata-rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandikan
untuk memaksimilasi keuntungan rata-rata perkapita. Untuk kedua versi
utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan sebagai kepuasan atau
keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar
kebenaran teorinya membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi
utilitarianisme tersebut. Prinsipprinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul
dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial.8
Bidang pokok keadilan adalah susunan dasar masyarakat semua institusi sosial,
politik, hukum, dan ekonomi; karena susunan institusi sosial itu mempunyai pengaruh
yang mendasar terhadap prospek kehidupan individu. Memang terdapat berbagai
masalah pokok di mana katagori adil dan tidak adil dapat diterapkan. Tidak hanya
bidang hukum dan sosio – politik, tetapi juga perilaku, keputusan dan penilaian
individual. Dengan demikian terdapat berbagai problem keadilan. Tetapi Rawls
memusatkan diri pada bidang utama keadilan yang menurut dia adalah susunan dasar
masyarakat. Sususnan dasar masyarakat meliputi konstitusi, pemilikan pribadi atas
sarana-sarana produksi, pasar kompotitif, dan susunan keluarga monogami. Dari
penjelasan tersebut tanpak bahwa Rawls memusatkan diri pada bentuk-bentuk
hubungan sosial yang membutuhkan kerjasama. Fungsi susunan dasar masyarakat

8
Damanhuri Fatah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls”, dalam Jurnal Tapis, Vol 9, No 2, 2013, hlm.
34
adalah mendistribusikan beban dan keuntungan sosial yang meliputi kekayaan,
pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak dan
kebebasan. Beban kerjasama sosial meliputi segala macam bea dan kewajiban seperti
misalnya kewajiban atas pajak.
Dua prinsip keadilan Rawls di bawah ini merupakan solusi bagi problem utama
keadilan. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesarbesarnya (principle of
greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup: Kebebasan untuk berperan serta dalam
kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan). Kebebasan
berbicara (termasuk kebebasan pers). Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan
beragama). Kebebasan menjadi diri sendiri (person). Hak untuk mempertahankan
milik pribadi. Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip
perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan
(the prinsiple of fair equality of opprtunity). Inti prinsip pertama adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosioekonomis
dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan dalam prospek seorang untuk
mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Sedang istilah yang
paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka yang
paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan,
pendapatan dan otoritas.
Appled Theory
Teori Pemidanaan
Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan aturan
hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori sistem pemidanaan
yang berlaku dalam sistem hukumm, terdapat beberapa teori mengenai sistem
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu:
1. Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)
Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu
sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap
sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena
kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi sikorban. Jadi dalam teori ini dapat
disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan
menderitakan pelaku tindak pidana akibat perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa
puas bagi orang yang dirugikannya.
Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada
adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. 9
Bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana pelaku kejahatan,
sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga sebenarnya memiliki hak untukdi bina
agar menjadi manusia yang berguna sesuai harkat dan martabatnya.
2. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)
Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah
bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu sendiri. Jadi teoriini
menyadarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini
mencari manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi
yang menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dantujuan hukuman
sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai teori relatif ini Muladi
dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat Pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat,oleh karena
itu teori ini sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar pembenaran adanya
pidana menurut teori ini terletakpada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan “quia
peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne Peccetur (supaya
orang tidak melakukan kejahatan). Jadi teori relatif bertujuan untuk mencegah agar
ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Teori relatif dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana dibagi menjadi dua sifat prevensi umum dan khusus, Andi Hamzah
menegaskan, bahwa Teori ini dibedakan menjadi prevensi umum dan prevensi khusus.
Prevensi umum, menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan
tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada
pribadi pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.
3. Teori Kombinasi (Gabungan)
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada
kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu

9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.
10
diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum. Satochid
Kartanegara menyatakan teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang
dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut
ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu
sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula
sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum.10 Teori gabungan itu
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
a. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan tetapi membalas
itu tidak boleh melampaui batas apa yang perludan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib
masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari pada suatu penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terhukum.
Teori ini merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif
yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat
yang tidak dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan penekanan
atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori
gabungan, teori ini dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu teori gabungan yang menitik
beratkan unsur pembalasan, teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib
masyarakat, dan teori gabungan yang memposisikan seimbang antara pembalasan dan
pertahanan tertib masyarakat.
Teori pemidanaan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang dapat
dikelompokkan menjadi beberap teori yaitu:
a. Retributif
Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah
kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu
tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang telah
melakukan perbuatan jahat.11 Teori retributif meletigimasi pemidanaan sebagai
sarana pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan
dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh
karena itu pelaku kejahatan harus di balas dengan menjatuhkan pidana. Ciri khas

10
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 1998), hlm.56
11
Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Reflika Aditama, 2011), hlm 41.
teori retributif ini terutama dari pandangan immanuel kant adalah keyakinan
mutlak keniscayaan pidana, sekalipun sebenernya pidana tak berguna. Pandangan
diarahkan pada masa lalu dan buka ke masa depan dan kesalahannya hanya bisa
ditebus dengan menjalani penderitaan. Nigel walker mengemukakan bahwa
aliran retributif ini terbagi menjadi dua aliran yaitu retributif terbatas yang
berpandangan bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan
pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang
sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif yang distribusi yang
berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap
pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus di distribusikan kepada pelaku
yang bersalah.
b. Detterence (pencegahan)
Teori detterence ini tidak berbeda dengan teori retributif, detterence
merupakansuatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan
konsekuensialis.Berbeda dengan pandangan retributif yang memandang
penjatuhan sanksi pidanahanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori
detterence memandangadanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada
sekedar pembalasan. Secarateori detterence dibedakan dalam dua bentuk sebagai
berikut:
1) General Detterence
Penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu proses pemberian derita dan
karenanya harus di hindari. Penjatuhan suatu sanksi pidana dapat
dibenarkan manakala memberikan keuntungan. Keuntungan yang
dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui
mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku dan benar-benar
tidak dapat dicapai dengan cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa
sebagian besar jenis kejahatan merupakan hasil dari perhitungan rasional,
makasanksi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum,
dalam perumusan dan penjatuhannya hal ini harus memperhitungkan
tujuan akhir yang akan dicapai.
2) Special Detterence
Merupakan suatu sarana pencegahan pasca proses pemidanaan.
Penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus di buat agar
pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi dikemudian
hari. Meskipun dalam pandangan lain suatu penjatuhan hukuman juga
merupakan sarana pencegahan bagi mereka berpotensi sebagai calon
pelaku untuk berpikir sebelum melakukan suatu tindak pidana, dalam
pandangan ini sanksi pidana memberikan efek jera penjeraan dan
penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seseorang
yang dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang
sama. Sementara tujuan penangkalan merupakan sarana menakuti-nakuti
bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.
c. Relatif dan tujuan
Teori ini disebut teori utilitarian. Lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut.
Teori ini bukanlah sekedar hanya pembalasan saja tetapi secara garis besar teori
ini untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
d. In-capacitation
Teori ini pada dasarnya merupakan suatu teori pemidanaan yang membatasi
orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan
terhadap masyarakat pada umumnya. Tujuan dari teori ini kepada jenis pidana
yang sifatnya berbahaya pada masyarakat sedemikian besar seperti genosia,
terorisme, atau yang sifatnya meresahkan masyarakat seperti pemerkosaan.
e. Rehabilitasi
Teori ini lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau memperbaiki
sipelaku kejahatan. Teori ini untuk memberikan tindakan perawatan dan
perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.
Argumen aliran positif ini dilandaskan pada asalan bahwa pelaku kejahatan
adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan
perbaikan.
f. Restorasi
Konsep restorasi (restorative justice) di awali dari pelaksanaan program
penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan
konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender.
Program ini menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapat manfaat
sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-
anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung awab bagi masing-
masing pihak.
g. Social Defence (perlindungan masyarakat)
Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada
sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
mengintegritasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan
terhadap perbuatannya.

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan


terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Dengan
demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual
dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkan tujuan pemidanaan tersebut
adalah pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara
solidaritas masyarakat, pengimbalan/pengimbangan.

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfat maka penelitian ini dilakukan
dengan penelitian Doktrinal (Yuridis Normatif). Peneletian Doktrinal mengkaji
doktrin hukum, yang secara konkret objeknya termasuk tetapi tidak terbatas pada asas
hukum, norma hukum, peraturan hukum, konsep hukum dan pengertian hukum.
Peneliti berusaha melakukan pengkajian secara sistematis, kritis, analisis untuk
mengevaluasi peraturan hukum, prinsip atau doktrin dan keterkaitan diantara objek-
objek tersebut. Tidak jarang, penelitian ini juga diberkaitan dengan upaya melakukan
peninjauan kritis terhadap undang-undang dan proses pengambilan keputusan dan
kebijakan yang mendasarinya, putusan-putusan pengadilan, dan putusan lembaga
kuasi-pengadilan. Penelitian hukum tersebut meliputi suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.12
2. Metode Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian doctrinal menurut Marzuki ada 5 (lima) jenis, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan kasus

12
Widodo, Konstruksi Dan Aplikasi Metode Kontenporer Dalam Penelitian Hukum: Kombinasi Analisis
Doctrinal Dan Non-Doktrinal , (Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2000), hlm. 13
(case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).13 Maka
dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) untuk digunakan dalam menjawab rumusan masalah pertama dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menjawab rumusan masalah
kedua.
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
a. Jenis Bahan Hukum
Penulis menggunakan jenis bahan hukum sekunder yang digunakan disini
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada, data ini digunakan untuk
mendukung informasi primer yang telah diperoleh yaitu dari bahan pustaka,
literatur, penelitian terdahulu, buku, dan lain sebagainya.
b. Sumber Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang bersifat
autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai otoritas. Bahan hukum
primer meliputi peraturan perundang-undangan dan segala dokumen resmi
yang memuat ketentuan hukum, sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
2) Bahan Hukum Sekunder
Dokumen atau bahan hukum yang memberikanpenjelasan terhadap
bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian,
makalah dan lain sebagainya yang relevan dengan permasalahan yang akan
dibahas.
3) Bahan hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, maupun ensiklopedi.
4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik pengumpulan bahan
hukum, yaitu:

13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana, Jakarta, 2005), hlm. 93
a. Penelitian kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan data
dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai
laporan yang berkaitan.
b. Studi dokumentasi hukum adalah mencari data hukum mengenai hal-hal atau
variable seperti buku-buku, majalah, surat kabar, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat,dan lain sebagainya.
c. Internet searching merupakan teknik pengumpulan data melalui bantuan
teknologi yang berupa alat/ mesin pencari di internet dimana segala informasi dari
berbagai era tersedia didalamnya. Internet searching sangat memudahkan dalam
rangka membantu peneliti menemukan suatu file/ data dimana kecepatan,
kelengkapan dan ketersediaan data dari berbagaitahun tersedia. Mencari data di
internet bisa dilakukan dengan cara searching, browsing, surfing, ataupun
downloading.
5. Metode Analisis Bahan Hukum
Data-data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisa dengan melalui
pendekatan secara analisis kualitatif, yaitu dengan mengadakan pengamatan data-data
yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan
ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan
yang diteliti dengan logika induktif, yakni berpikir dari hal yang khusus menuju hal
yang lebih umum, dengan menggunakan perangkat normatif, yakni interpretasi dan
konstruksi hukum dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif
sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yang menghasilkan suatu
kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan penelitian. 14

14
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 103
G. Pustaka Acuan

Adi. 2014. Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak.
Malang: UMM Press
Arief, Barda Nawawi. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Darmawan, Iwan. 2015. “Perkembangan dan Pergeseran Pemidanaan”, Pakuan Law Review,
vol. 1, no. 2
Farikhah, Mufatikhatul. 2018. “Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum
Indonesia (Studi Perbandingan Sistem Hukum Indonesia Dengan Sistem Hukum
Barat)”. dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 48, no. 3
Fatah, Damanhuri. 2013. “Teori Keadilan Menurut John Rawls”. dalam Jurnal Tapis, Vol 9,
No 2
Kartanegara, Satochid. 1998. Hukum Pidana Bagian Satu. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa
Marlina. 2011. Hukum Penitensier. Bandung: Reflika Aditama
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni
Saputro, Adery Ardhan. 2016. “Konsepsi Rechterlijk Pardon Atau Pemaafan Hakim Dalam
Rancangan KUHP”. dalam Jurnal Mimbar Hukum, vol. 28, no. 1
Sutarto, Suryono. 2005. Hukum Acara Pidana (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang
Widodo. 2000. Konstruksi Dan Aplikasi Metode Kontenporer Dalam Penelitian Hukum:
Kombinasi Analisis Doctrinal Dan Non-Doktrinal. Yogyakarta: Aswaja Presindo

Anda mungkin juga menyukai