Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjamin rasa

kenyamanan dan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan

melindungi seluruh rakyat Indonesia dari seluruh bentuk tindak pidana

kejahatan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia (UUD NKRI) tahun1945 sebagai konstitusi Negara, telah

menegaskan bahwa tujuan Negara adalah melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian Negara dalam hal

ini penegak hukum yang bertugas penuh dalam menjaga dan melindungi

rakyat Indonesia dari segala bentuk tindak pidana kejahatan yang

menegaskan kenyamanan dan keamanan masyarakat Indonesia.

Narkotika dan Obat Lainnya atau yang paling kita kenal Narkoba

merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra OrdinaryCrime) yang dapat

merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat, dan

lingkungan sekolah, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan

ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa

dan negara. Narkoba yang dapat membahayakan kehidupan manusia

apabila dipergunakan dengan cara yang tidak benar, bahkan dapat

menyebabkan kematian. Narkoba sendiri mempunyai dampak negatif

yang sangat besar bagi fisik, dan psikis.

1
Tindak pidana peredaran Narkotika merupakan masalah besar dan

sangat memprihatinkan bagi bangsa Indonesia. Indonesia sebagai salah

satu negara berkembang menjadi sasaran yang sangat potensial sebagai

tempat untuk memproduksi dan mengedarkan narkotika secara ilegal.

Perkembanagan peredaran Narkotika dari tahun ketahun semakin

meningkat, tidak hanya didaerah perkotaan saja tetapi juga merambah ke

daerah pelosok. Peredarannya bersifat borderless artinya dapat terjadi

pada siapa saja, baik laki-laki, perempuan, remaja, orang tua dan anak-

anak sekalipun bisa menjadi pelaku kejahatan narkotika tersebut.

Berdasarkan dari laporan berjudul Indonesia Drugs Report 2022

yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian, Data, dan Informasi atau disingkat

Puslitdatin BNN, bahwa terdapat 53.405 total tersangka kasus Narkoba di

Indonesia per bulan Juni 2022. Jenis narkoba terbanyak disalahgunakan

adalah jenis sabu yang mencapai 22.950 kasus dan 43.804 tersangka.

Lalu disusul oleh jenis ganja yang mencapai 2.105 kasus dan 3.690

tersangka. Melihat persebarannya setidaknya sepuluh wilayah yang

disebutkan dalam laporan tersebut memiliki kasus tebanyak dibandingkan

wilayah Indonesia lainnya. Berikut adalah wilayah di Indonesia yang

memiliki tingkat darurat narkoba tertinggi.

1. Sumatera Utara: 077 kasus

2. Jawa Timur: 5.931 kasus

3. DKI Jakarta: 3.511 kasus

4. Jawa Barat: 2.570 kasus

2
5. Sumatera Selatan: 2.043 kasus

6. Sulawesi Selatan: 1.923 kasus

7. Jawa Tengah: 1.849 kasus

8. Lampung: 1.709 kasus

9. Riau: 1.622 kasus

10. Kalimantan Selatan: 1.543 kasus

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika tidak ada

memberikan penjelasan perihal apa yang dimaksud dengan izin edar

maupun obat. Akan tetapi, dari ketentuan pasal 1 angka 1 peraturan

Menteri Kesehatan Nomor: 10101/ Menkes/Per/XI/2008, diketahui bahwa

yang dimaksud dengan izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat

untuk dapat diedarkan di wilayah Republik Indonesia. Itu juga yang

terkandung dalam pasal 38 “setiap kegiatan peredaran narkotika wajib

dilengkapi dengan dokumen yang sah”.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di muka, narkotika, di

satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang

pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, namun disisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat yang seksama. Karena itu pengaturan narkotika

perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan narkotia

untuk kepentingan pelayanan kesehatan ataupun untuk pengembangan

ilmu pengetahuan. Dalam pengertian sebagaimana terdapat dalam pasal

3
35 jo. Pasal 36 Undang-Undang No 35 Tahun 2009, dapat disimpulkan,

bahwa peredaran narkotika merupakan sebuah istilah hukum karena

istilah ini telah disebut secara tegas dalam pasal aquo bahwa peredaran

narkotika adalah:

“ kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika dalam rangka


perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan
narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan syarat dan
tata cara perizinan tertentu.”
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak

dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat

putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan

mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan

gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin

intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran

serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Ketentuan perundang-

undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan

diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini

belum dapat diredakan. Dalam kasus-kasus terakhir telah banyak bandar-

bandar dan pengedar narkotika tertangkap dan dijatuhkan hukuman

sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan

lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya. Penegakan

hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal

pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum ynag

bersifat membina penjahat dengan cara melakukan pembinaan di

lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memperbaiki terpidana

4
dilembaga pemasyakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu

memberikan wacana kepada para hakim dan merumuskan vonis

penjatuhan pidana kepada para pelaku kejahatan agar mampu

menangkap aspirasi keadilan masyarakat.

Sementara itu, dalam kenyatan empiris di bidang pemidanaan

secara umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di

lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan gambaran

bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali

dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat. Tindak pidana narkotika

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian

dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat,

dan bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada

kecenderungan untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh

adanya faktor penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak

deterrence effect terhadap pelakunya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis akan melakukan

penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana

Peredaran Narkotika Studi Putusan “Nomor 731/Pid.Sus/2022/PN

Mks”

5
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan hukum pidana materil pada pelaku

pengedar dalam perkara “Nomor 731/Pid.Sus/2022/PN Mks”

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap pelaku pengedar narkotika dalam

putusan “Nomor 731/Pid.Sus/2022/PN Mks”

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil pengedar

narkotika yang dilakukan pada perkara ”Nomor

731/Pid.Sus/2022/PN Mks”

2. Untuk mengetahui hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi

pidana terhadap pelaku pengedar narkotika yang dilakukan

pada perkara ”Nomor 731/Pid.Sus/2022/PN Mks”

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Teoritis

a. Memberikan pemahaman bagi penelitian selanjutnya

mengenai pertanggung jawaban pelaku tindak pidana

peredaran narkotika.

b. Menambah literatur yang dapat dijadikan data sekunder dan

menambah pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum

terutama di bidang hukum pidana.

6
2. Manfaat Secara Praktis

1. Sebagai stimulan serta sumbangan bagi masyarakat ilmiah

pada umumnya untuk mencari, meneliti, menenmukan dan

memecah masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat

khususnya masalah pertanggung jawaban pelaku tindak

pidana peredaran narkotika.

2. Untuk mengasah pola pikir dan penalaran sesuai analogi

dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperolah.

3. Diharapkan dapat menjadi sumber bacaan bagi siapa saja

yang ingin mengetahui mengenai tindak pidana peredaran

narkotika.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Pidana

Pidana dalam pinjam terjemahan dari bahasa Belanda

straf, sering disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih

tepat dari istilah hukuman karena sudah lazim merupakan

terjemahan dari recht. Dalam arti sempit dapat dikatakan yang

berhubungan dengan hukum pidana.

Pidana didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang

diberikan/ dijatuhkan oleh negara kepada seseorang atau

beberapa orang atas perbuatannya sebagai sanksi baginya atas

perbuatannya yang telah melanggar aturan/ larangan hukum

pidana.

Menurut Prof. Dr. W.L.G. Lemaire yang dikutip oleh Drs.

P. A. F. Lamintang, S.H. Dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum

Pidana Indonesia (2014: 2).

“Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi


keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan
suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan
yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan
juga bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-
tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan
untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan
bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman

8
yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-
tindakan tersebut”.

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana, yang dalam bahasa Inggris, disebut

dengan criminal act atau a criminal offense, sedangkan dalam

bahasa Belanda, disebut dengan strafbaar feit artinya adalah

perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan. Tindak pidana

terdiri atas dua suku kata, yaitu meliputi:

1. Tindak; dan

2. Pidana

Tindak diartikan sebagai langkah atau perbuatan.

Pidana, yang dalam bahasa inggris, yaitu criminal, sedangkan

dalam bahasa Belanda disebut dengan strafrechtelijke,

sedangkan dalam bahasa Jerman, disebut dengan verbrecher.

Di dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan

pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga sering

disebut delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1981; 50).

“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya


dapat dikenai hukuman pidana dan pelakunya ini dapat
dikatakan subjek tindak pidana”.

Pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa

pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana. Istilah-istilah itu

mendapat tanggapan dari Prof. Moeljatno (2008; 1) yaitu,

9
“perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana
tertentu bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.”

Terkait tentang tanggapan Moeljatno dikemukkan bahwa

tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, terhadap barangsiapa yang melanggar aturan

tersebut. Perbuatan itu harus dirasakan pula oleh masyarakat

sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh

masyarakat.

Menurut Teguh Prasetyo (2013; 50) dalam

mengemukakan pengertian dari tindak pidana, ialah:

“perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan


diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan di sini
selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat
pasif (tidak berbuat yang sebenarnya yang diharuskan oleh
hukum)”.

3. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-

tidaknya dari dua sudut pandang teoritis dan sudut pandang

Undang-Undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para

ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya, sedangkan

sudut pandang Undang-Undang adalah bagaimana kenyataan

tindak pidana itu.

Jika berdasarkan S.R.Sianturi (2012: 211), unsur-unsur

tindak pidana meliputi:

10
1. Adanya unsur kesalahan

2. Adanya subjek

3. Perbuatan yang melawan hukum

4. Tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-

undang dan siapa yang melanggarnya akan diancam

dengan pidana

5. Terjadi dalam suatu keadaan, waktu dan tempat tertentu.

Dari kelima unsur-unsur tindak pidana diatas bisa

disimpulkan adanya unsur subjektif dan objektif.

Dalam unsur subjektif akan termasuk dalam subjek dan

adanya kesalahan . sedangkan dalam unsur objektifnya

adalah tindakan yang dilarang oleh perundangan dan

pelanggarnya bisa dikenai hukuman dan dilakukan dalam

waktu, tempat dan keadaan tertentu.

B. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Teori pemidanaan berkembang meliputi kehidupan

masyarakat sebagai reaksi yang timbul dari berkembangnya

kejahatan itu sendiri yang mewarnai kehidupan sosial

masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum

pidana ada beberapa teori pemidanaan, yaitu:

11
1. Teori Retrobutif

Teori ini mengganggap bahwa hukuman yang diberikan

kepada sipelaku tindak pidana menjadi suatu

pembalasan yang adil terhadap kerugian yang

diakibatkannya. Penjatuhan pidana pada dasarnya

penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat

telah membuat penderitaan bagi orang lain.

2. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Pemidanaan sebagai detterence effect ini, dapat

dibagi menjadi penjeraan umum (general deterrence) dan

penjeraan khusus (individual or special deterrence).

Dalam special deterrence, efek pencegahan dari pidana

yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan

dilakukan, sehingga si terpidana tidak melakukan

kejahatan yang serupa di masa mendatang. Sedangkan,

dalam general deterrence efek pencegahan dari pidana

yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan

dilakukan. Pencegahan ini dilakukan melalui ancaman-

ancaman dan juga pemidanaan yang dijatuhkan secara

terbuka sehingga orang lain dapat dicegah dari

kemungkinan melakukan kejahatan.

12
3. Teori Treatment (Teori Pembinaan/ Perawatan)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh

aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sanat

pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada

perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan

oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilition) kepada pelaku

kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa

pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga

membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.

4. Teori Social Defence ( Teori Perlindungan Masyarakat)

Teori ini berkembang dari teori “bio-sosiologis” oleh Ferri.

Pandangan ini juga diterima dan digunakan oleh Union

Internationale de Droit Penal atau Internationale

Kriminalistische Vereinigung (IKV) atau Internationale

Assosiation For Criminology (berdiri 1 januari 1889) yang

didirikan dan dipimpin oleh Adolphe Prins, Geradus

Antonius van Hamel, dan Franz van Liszt. Tokoh tersebut

menerima dan mengakui kebenaran dan keabsahan

temuan-temuan hasil studi antropologi dan sosiologis

terhadap fenomena kejahatan. Mereka juga mengakui

13
bahwa pidana adalah salah satu alat paling ampuh untuk

memerangi kejahatan. Namun sanksi pidana bukanlah

satu-satunya alat untuk melawan kejahatan, pidana

harus dipadukan dengan kebijakan sosial, khususnya

dengan tindakan-tindakan preventif.

Dilihat dari perkembangan, terdapat tiga teori umum

pemidanaan yaitu teori absolut, relatif dan gabungan.

1. Teori Absolut

Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori

imbalan dan teori ini lahir pada akhir abad ke-18.

Menurut teori absolut, setiap kejahatan harus diikuti

dengan pidana tidak boleh tawar-menawar. Seseorang

mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.

Maka pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk

pembalasan terhadap orang yang telah melakukan

kejahatan.

Menurut Hegel, seorang ahli hukum pidana. Hukuman

dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman

merupakan dialectische vergelding. Jadi dapat

disimpulkan bahwa pembalasan yang diberikan oleh

negara bertujuan memberikan penderitaan bagi penjahat

akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai

14
pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa

puas bagi orang, dengan menjatuhkannya hukuman

setimpal sesuai perbuatannya.

2. Teori Relatif

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum)

dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib

masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan

suatu tindakan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk

melakukan kejahatan.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka

pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

1) Bersifat menakut-nakuti (afscrikking)

2) Bersifat memperbaiki (verbefering/ reclasering)

3) Bersifat membinasakan (anscadelijk moken)

3. Teori Gabungan

Teori gabungan merupakan kombinasi dari teori absolut

dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan

dan pertahanan tata tertib hukum masyarakat.

Teori dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu teori

gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori

15
yang menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan

teori yang memposisikan seimbang antara pembalasan

dan pertahanan tertib masyarakat.

C. Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Secara umum narkotika adalah sejenis zat yang bila

dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa

pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat,

halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang

menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya, sensasi

(±30-60 detik) diikuti rasa menyenangkan seperti mimpi yang

penuh kedamaian dan kepuasan atau ketenangan hati (euforia),

dan ingin selalu menyendiri untuk menikmatinya.

Kata narkotika (narcotic) berasal dari bahasa Yunani

yakni “narke” yang berarti terbius atau tidak merasakan apa-

apa. Secara umum narkotika dapat didefenisikan sebagai obat

atau zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupun semi sintetis. Zat tersebut menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa,

mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan (adiktif). (dalam Undang-Undang

No. 22 Tahun 1997).

16
WHO sendiri memberikan defenisi tentang narkotika.

“Narkotika merupakan suatu suatu zat yang apabila


dimasukkan kedalam tubuh akan memengaruhi fungsi
fisik dan/ atau psikologi (kecuali makanan, air, atau
oksigen).”
Berikut beberapa defenisi mengenai narkotika:

Pasal 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, disebutkan bahwa:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari


tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun
semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini”.

Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff (Taufik

Makarao, dkk; 2003,18) membuat defenisi tentang narkotika:

“Narcotic are drugs with produce insensibility or stupor


due to their deppressent effect on the central nervous
system. Included in this definition are opium, opium
derivaties (morphine, codein, heroin) and synthetic
opiates (meperidine, methadone).”
“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan
dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi
sistem susunan saraf sentral. Dalam defenisi narkotika ini
sudah termasuk jenis candu (morphine, codein, heroin)
dan candu sintesis (meperidine, methadone).

Menurut Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin

(i987: tanpa halaman) dikatakan:

Bahwa yang dikatakan dengan narkotika ialah candu,


ganja, kokain, zat-zat yang mentahannya diambil dari
benda-benda tersebut yaitu morphine, heroin, codein,

17
hasisch, dan cocain. Dan termasuk juga narkotika
sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang
tergolong dalam Hallucinogen dan stimulant.

Pengertian narkotika secara farmakologis medis,

menurut Ensiklopedia VI adalah obat yang dapat

menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah

VISERAL dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong, masih

sadar tapi harus digertak) serta adiksi.

2. Sejarah Narkotika

Pada masa kurang lebih 2000 sebelum Masehi ketika di

Sumeria masyarakat menemukan sari bunga opium. Bahkan di

Siberia pada tahun 3000 sebelum Masehi, biji ganja kosong

ditemukan dalam gundukan pemakaman. Dari Sumeria,

tumbuhan ini menyebar ke daerah India, Cina, dan wilayah Asia

lainnya. Orang Cina menggunakan ganja sebagai obat sejak

ribuan tahun silam. Dalam perkembangannya pada 1806

seorang dokter dari Westphalia, Friedrich Wilhelim menemukan

morphine, dengan cara memodifikasi candu yang dicampur

dengan amoniak. Pada 1856 ketika perang saudara (civil war)

pecah, morphine digunakan untuk penghilang rasa sakit ketika

seseorang luka akibat perang. Dalam sejarah Amerika, gabja

pernah dinyatakan legal dan lazim menjadi bahan larutan obat

dalam alkohol ekstrak. Pada tahun-tahun selanjutnya banyak

18
percobaan dilakukan untuk mengembangkan morphin, misalnya

oleh Alder Wright dari London tahun 1874, kemudian pada

tahun 1898 pabrik obat “Bayer” memproduksi heroin, sebagai

obat resmi penghilang rasa sakit.

Narkoba dalam bentuk opium masuk ke Indonesia

khususnya Jawa mulai masuk sejak berabad-abad lalu, tetapi

kapan tepatnya dan dibawa oleh siapa, tidak ada catatan resmi

yang menguatkan. Secara umum, para saudagar dari Timur

Tengah dikenal karena membawa opium ke Asia. Ketika orang-

orang Belanda pertama mendarat di Jawa pada akhir abad ke-

16, opium sudah menjadi komoditas penting dalam

perdagangan regional. Dalam usahanya untuk mendominasi

perdagangan lokal pada abad-abad berikutnya, para saudagar

Belanda bersaing dengan orang-orang Inggris, Denmark, dan

Ara. Di waktu kemudian, 1677 Perusahaan Dagang Belanda di

Hindia Timur (VOC) berhasil membuat sebuah perjanjian

dengan Raja Amangkurat II dari Mataram yang menjamin

diberikannya monopoli kepada VOC untuk mengimpor opium

kedalam wilayah kekuasaan kerajaan Mataram dan

mengedarkannya di wilayah tersebut. Tahun berikutnya

kesultanan Cirebon menyepakati perjanjian serupa. Masa ini

menandai awal dari Monompoli opium Belanda di Jawa.

19
3. Jenis-Jenis Narkotika

a. Opium

Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang

keluar dari kotak biji tanaman samni vervum yang belum masak.

Jika buah candu yang bulat telur itu kena torehan, getah

tersebut jika ditampung dan kemudian dijemur akan menjadi

opium mentah.

Cara modern untuk memprosesnya sekarang adalah dengan


jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran, kemudian dari
jerami candu yang matang setelah diproses akan menghasilkan
alkolida dalam bentuk cairan, padat dan bubuk (Andi Hamzah dan
RM. Surahman,1994:16).

Dalam perkembangan selanjutnya opium dibagi kepada:

1) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh

dari dua tanaman papaver somni verum yang hanya

mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkusan dari

pengangkutan tanpa memerhatikan kadar morfinnya.

2) Opium masak adalah:

a) Candu, yakni yang diperoleh dari opium mentah melalui

suatu rentetan pengolahan khususnya dengan

pelarutan, pemanasan dan peragian, atau tanpa

penambahan bahan lain, dengan maksud mengubahnya

menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

Jicing, yakni sisa-sisa dari candu yang telah diisap,

20
tanpa memerhatikan apakah candu itu dicampur dengan

daun atau bahan lain.

b) Opium Obat adalah opium mentah yang tidak mengalami

pengolahan sehingga sesuai untuk pegobatan baik

dalam bubuk atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai

dengan syarat farmakologi.

Menurut Smite Kline, gejala putus obat (uithdrawe) dari

candu adalah (Hari Sasangka, 2003:41) :

a. Gugup, cemas dan gelisah

b. Kupil mengecil dan bulu roma berdiri

c. Sering menguap, mata dan hidung berair,

berkeringat

d. Badan panas dingin, kaki dan punggung tersa sakit.

e. Diare, tidak dapat istirahat dan muntah-muntah

f. Berat badan dan nafsu makan berkurang, tidak bisa

tidur

g. Pernapasan bertambah kencang, temperatur dan

tekanan darah bertambah

h. Perasaan putus asa

b. Morphin

Perkataan “morphin” itu berasal dari bahasa Yunani

“Morpheus” yang artinya dewa mimpi yang dipuja-puja. Nama

21
ini cocok dengan pecandu morphin, karena merasa play di

awang-awang. Morphin adalah jenis narkotika yang bahan

bakunya berasal dari candu atau opium. Sekitar 4-21% morphin

dapat dihasilkan dari opium. Morphin adalah prototipe analgeik

yang kuat, tidak berbau, rasanya pahit, berbentuk kristal putih,

dan warnanya makin lama berubah menjadi kecokelat-

cokelatan.

Morphin adalah alkoloida utama dari opium, dengan

rumus kimia C17 H19 NO3. Ada tiga macam morphin yang

beredar di masyarakat, yaitu:

a) Cairan yang berwarna putih, yang disimpan di dalam sampul

atau botol kecil dan pemakainya dengan cara injeksi

b) Bubuk atau serbuk berwarna putih seperti bubuk kapur atau

tepung dan mudah larut di dalam air, ia cepat sekali lenyap

tanpa bekas. Pemakaiannya adalah dengan cara

menginjeksi, merokok dan kadang-kadang dengan menyilet

tubuh

c) Tablet kecil berwarna putih, pemakaiannya dengan menelan

c. Ganja

Tanaman ganja adalah damar yang diambil dari semua

tanaman genus cannabis, termasuk biji dan buahnya. Damar

ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk

22
hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan

dasar. Daunnya berbentuk seperti tapak tangan bergerigi dan

selalu ganjil. Ganja berisi zat kimia yang disebut delta-9 hidro

kanabinol (THG) yang mempengaruhi cara melihat dan

mendengar sesuatu. Yang dimanfaatkan dari tanaman ini

adalah daun,bunga, biji, dan tangkainya.

Ganja mempunyai efek psikis antara lain ; timbulnya

sensasi, perasaan gembira, ketawa tanpa sebab, lalai, malas,

senang, banyak bicara, berhalusinasi, lemah daya ingat dan

daya fikir, sensitif dan bicaranya ngelantur.

Adapun bentuk-bentuk ganja dapat dibagi dalam lima

bentuk yaitu :

a) Berbentuk rokok lintingan yang disebut reefer

b) Berbentuk campuran, dicampur tembakau untuk

rokok

c) Berbentuk daun, biji, dan tangkai ntuk rokok

d) Berbentuk bubuk dan damar yang dapat dihisap

melalui hidung

e) Berbentuk damar hashish berwarna coklat kehitam-

hitaman seperti makjun (Hari sasangka, 2003:50).

d. Kokain

23
Tanaman koka adalah tanaman dari semua genus

erithroxylon dari keluarga eryhroxlaceae. Daun koka adalah

daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk

serbuk dari semua tanaman genus erithroxylon dari keluarga

eryhroxlaceae, yang menghasilkan kokain kokain secra

langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah adalah

semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat

diolah secara langsung untuk mendapatkan kokain. Kakaina

adalah mentil ester I-bensoil ekgonina dengan rumus kimia C17

H21 NO4.13).

Bentuk dan macam cocaine yang terdapat di dunia

perdagangan gelap di antaranya yaitu:

a) Cairan berwarna putih atau tanpa warna

b) Kristal berwarna putih seperti damar (getah perca)

c) Bubuk berwarna putih seperti tepung

d) Tablet berwarna putih.

Kokain adalah obat yang termasuk dalam golongan

stimultant saraf pusat yang populer pada tahun 1980-an sampai

sekarang. Obat ini banyak disalahgunakan (drug abuse)

sehingga menimbulkan ketagihan (adiksi) bagi penggunanya.

Kokain berasal dari daun Erythroylon Coca L. Tanaman tersebut

kebayakan ditanam dan tumbuh didataran tinggi Andes Amerika

Selatan khususnya Peru dan Bolivia. Tumbuh juga di Ceylon,

24
India dan Jawa. Di pulau Jawa kadang-kadang ditanam secara

sengaja, tetapi sering tumbuh sebagai tanaman pagar (Hari

Sasangka, 2003:55).

Kokain ditemukan dalam dua bentuk yaitu garam kokain

dan kokain basa. Bentuk garam (kokain-HCL) mudah larut

dalam air dan biasanya digunakan dengan cara dihirup.

Sedangkan kokain basa digunakan dengan cara dijadikan

rokok. Yang paling sering digunakan adalah cara dihirup dan

kokain itu diabsors lewat mukosa hidung dan masuk dalam

darah , dan cepat didistribusikan ke otak.

e. Heroin

Heroin atau diacethyl morpin adalah suatu zat semi

sintetis turunan motpin. Proses pembuatan heroin adalah

melalui proses penyulingan dan proses kimia lainnya di

laboratorium dengan cara acethalasi dengan aceticanydrida.

Heroin dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Heroin nomor satu, bentuknya masih merupakan bubuk

atau gumpalan yang berwarna kuning tua sampai coklat

b) Heroin nomor dua, sudah merupakan bubuk berwarna

abu-abu sampai putih dan masih merupakan bentuk

transisi dari morphine ke heroin yang belum murni

25
c) Heroin nomor tiga, merupakan bentuk butir-butir kecil

kebanyakan agak berwarna abu-abu juga diberi warna

lain untuk menandai ciri khas oleh pembuatnya

d) Heroin nomor empat, bentuknya sudah merupakan kristal

khusus untuk disuntikkan.

f. Shabu-shabu

Shabu-shabu berbentuk seperti bumbu masak, yakni

kristal kecil-kecil berwarna putih, tidak berbau, serta mudah larut

dalam air alkohol. Air shabu-shabu juga termasuk turunan

amphetamine yang jika dikonsumsi memiliki pengaruh yang

kuat terhadap fungsi otak. Pemakainya segera akan aktif,

banyak ide, tidak merasa lelah meski sudah vekerja lama, tidak

merasa lapar, dan tiba-tiba memiliki rasa percaya diri yang

besar.

g. Ekstasi

MDMA (Methylene Dioxy Meth Amphetamine) atau yang

umumnya dikenal sebagai ekstasi memiliki struktur kimia dan

pengaruh yang mirip dengan amfetamin dan halusinogen.

Ekstasi biasanya berbentuk tablet berwarna dengan disain yang

berbeda-beda. Ekstasi bisa juga berbentuk bubuk atau kapsul.

Seperti kebanyakan obat terlarang, tidak ada kontrol yang

26
mengatur kekuatan dan kemurnian salah satu jenis narkoba ini.

Bahkan tidak ada jaminan bahwa sebutir ekstasi sepenuhnya

berisi ekstasi. Seringkali ekstasi dicampur dengan bahan-bahan

berbahaya lainnya.

Pengaruh langsung pemakaian ekstasi yaitu :

a) Perasaan gembira yang meluap-luap

b) Perasaan nyaman

c) Rasa mual

d) Berkeringat & dehidrasi (kehilangan cairan tubuh)

e) Meningkatnya kedekatan dengan orang lain

f) Percaya diri meningkat dan rasa malu berkurang

g) Rahang mengencang dan gigi bergemeletuk

h) Paranoid, kebingungan

i) Meningkatnya kecepatan denyut jantung, suhu tubuh dan

tekanan darah

j) Pingsan, jatuh atau kejang-kejang (serangan tiba-tiba).

Sedikit yang diketahui tentang pengaruh jangka panjang

dari pemakaian ekstasi, tetapi kemungkinan kerusakan mental

dan psikologis sangat tinggi. Berikut adalah apa saja yang kita

sudah tahu:

a) Ekstasi merusak otak dan memperlemah daya ingat

b) Ekstasi merusak mekanisme di dalam otak yang

mengatur daya belajar dan berpikir dengan cepat

27
c) Ada bukti bahwa obat ini dapat menyebabkan kerusakan

jantung dan hati

d) Pemakai teratur telah mengakui adanya depresi berat

dan telah ada kasus-kasus gangguan kejiwaan.

Jenis ekstasi (tergolong jenis adiktif) yang sudah beredar

di Indonesia dari ratusan jenis ekstasi yang sudah ada, di

antaranya sebagai berikut: Star: mempunyai logo bintang,

Dollar: mempunyai logo uang dolar Amerika, Apple: mempunyai

logo apel; Mellon/555: mempunyai logo 555 berwarna hijau,

Pink: berwarna merah hujau, Butterfly: mempunyai logo kupu-

kupu dan berwarna biru, Pinguin, Lumba-lumba, RN:

mempunyai logo RN berwarna hijau laut, Elektrik, Apache, Bon

Jovi, Kangguru, Petir, Tanggo, Diamond: berwarna intan warna

hijau, Paman Gober: logo mirip paman gober, Taichi: berwarna

biru atau kuning, Balck Heart: berbentuk hati berwarna hitam

(Hamami Nata, 1997:8-9).

h. Narkotika sintesis dan buatan

Yaitu sejenis narkotika yang dihasilkan dengan malalui

proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan

istilah Napza, yaitu kependekan dari narkotika, Alkohol,

psikotropika dan Zat adiktif. Napza termasuk zat psikoaktif, yaitu

zat yang terutama berpengaruh pada otak sehingga

28
menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, fikiran,

persepsidan kesadaran. Narkotika sintesis ini terbagi menjadi 4

(empat) bagian sesuai menurut reaksi pada pemakainya :

1) Depressant

Depressant atau depresif, yaitu mempunya efek

mengurangi kegiatan dari susunan saraf pusat, sehingga

dipakai untuk menenangkan saraf seseorang atau

mempermudah orang untuk tidur. Yang dimaksud zat

adiktif dalam golongan depressant adalah Sedative/

Hinotika ( obat penghilang rasa sakit), Tranguilizers (obat

penenang), Mandrax, Ativan, Valium 5, Metalium,

Rohypnol, Nitrazepam, Megadon, dan lain-lain. Pemakai

obat ini menjadi delirium, bicara tidak jelas, ilusi yang

salah, tak mampu mengambil keputusan yang cepat dan

tepat.

2) Stimulants

Yaitu meransang sistem saraf simpatis dan

berefek kebalikan dengan depressant, yaitu

menyebabkan peningkatan kesiagaan, frekuensi denyut

jantung denyut jantung bertambah atau berdebar,

merasa lebih tahan bekerja, merasa gembira, suka tidur,

dan tidak merasa lapar.

29
Obat-obat yang tergolong stimulant adalah

Amfetamine atau ectacy, Menth-Amphetamine atau

shabu-shabu, Kafein, Kokain, Khat, Nikotin. Obat ini

khusus digunakan dalam waktu singkat guna mengurangi

nafsu makan, mempercepat metabolisme tubuh,

menaikkan tekanan darah, memperkeras denyut jantung,

serta menstimulir bagian-bagian saraf dari otak yang

mengatur semangat dan kewaspadaan.

3) Hallucinogens

Zat yang dapat menimbulkan perasaan-perasaan

yang tidak nyata yang kemudian meningkat pada

halusinasi-halusinasi atau khyalan karena opersepsi

yang salah, artinya sipemakai tidak dapat membedakan

apakah itu nyata atau hanya ilusi saja. Yang termasuk

dalam golongan obat ini adalah, L. S. D. (Lysergic Acid

Diethylamide), P. C. D. (Phencilidine), D. M. T.

(Demithyltrytamine), D. O. M. (illicid forms of STP),

Psylacibe Mushroom, Peyote Cavtus, Buttons dan

Ground Buttons.

4) Obat adiktif lain

Yaitu minuman yang mengandung Alkohol, seperti

wine, beer, vodka, whisky dan lain-lain. Pecandu alkohol

cenderung mengalami kurang gizi karena alkohol

30
menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa,

asam amino, kalsium, asam folat, magnesium, dan

vitamin B12. Keracunan alokohol akan menimbulkan

gejala muka merah, gangguan keseimbangan dan

kordinasi motorik. Akibat yang paling fatal adalah

kelainan fungsi susunan syaraf pusat yang dapat

mengakibatkan koma.

Dari uraian jenis narkotika diatas kita dapat

menggolongkannya menjadi 3 kelompok seperti yang dijelaskan

didalam Pasal 6 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika digolongkan menjadi :

a. Narkotika Golongan I: Narkotika yang paling berbahaya dengan

daya adiktif yang sangat tinggi dan menyebabkan

ketergantungan. Karenanya tidak diperbolehkan

penggunaannya untuk pengobatan, kecuali penelitian dan

pengembangan pengetahuan.

Yang termasuk narkotika golongan I yaitu tanaman koka, daun

koka, kokain mentah, opium mentah, ganja, heroina, tanaman

ganja dan metamfetamina.

b. Narkotika Golongan II: Narkotika yang berkhasiat untuk

pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan

31
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

menyebabkan ketergantungan.

Yang termasuk narkotika golongan II yaitu morfin, morfin

metobromida dan ekgonina.

c. Narkotika Golongan III: Narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak dugunakan dalam terapi atau tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan ketergantungan.

Yang termasuk narkotika golongan III yaitu propiram, kodein,

polkadina dan etilmorfina.

4. Jenis-Jenis Tindak Pidana Narkotika

Umumnya, jenis-jenis tindak pidana Narkotika dapat

dibedakan menjadi berikut ini:

a. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Narkotika

Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dibedakan menjadi

dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk

diri sendiri.

b. Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli

Narkotika

Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli disini

bukan hanya dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula

perbuatan ekspor impor dan tukar menukar Narkotika.

32
c. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan Narkotika

Tindak pidana dalam arti luas termasuk perbuatan

membawa, mengirim, mengangkut, dan mentrasito

Narkotika. Selain itu, ada juga tindak pidana di bidang

pengangkutan Narkotika yang khusus ditujukan kepada

nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan

tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam Pasal 139

UU Narkotika, berbunyi sebagai berikut:

“Nakhoda atau kapten penerbang yang secara


melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal
28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

d. Tindak pidana yang menyangkut penguasaan Narkotika

e. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu

Narkotika

Orang tua atau wali memiliki kewajiban untuk melaporkan

pecandu Narkotika. Karena jika kewajiban tersebut tidak

dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua

atau wali dan pecandu yang bersangkutan.

f. Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi

Seperti yang diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan

mencantumkan label pada kemasan Narkotika baik dalam

33
bentuk obat maupun bahan baku Narkotika (Pasal 45).

Kemudian untuk dapat dipublikasikan Pasal 46 Undang-

Undang Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media

cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Apabila tidak dilaksanakan dapat merupakan tindak pidana.

g. Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan

Narkotika

Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana

dilakukan penyitaan untuk dijadikan barang bukti perkara

bersangkutan dan barang bukti tersebut harus diajukan

dalam persidangan. Status barang bukti ditentukan dalam

Putusan pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti

dipergunakan dalam tindak pidana maka harus ditetapkan

dirampas untuk dimusnahkan.

Dalam tindak pidana Narkotika ada kemungkinan barang

bukti yang disita berupa tanaman yang jumlahnya sangat

banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti tersebut

diajukan kepersidangan semuanya. Dalam hal ini, penyidik

wajib membuat berita acara sehubungan dengan tindakan

penyidikan berupa penyitaan, penyisihan, dan pemusnahan

kemudian dimasukkan dalam berkas perkara. Sehubungan

dengan haltersebut, apabila penyidik tidak melaksanakan

tugasnya dengan baik merupakan tindak pidana.

34
h. Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah

umur Tindak pidana dibidang

Narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa,

tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-

sama dengan anak dibawah umur ( belum genap 18 tahun

usianya). Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak

dibawah umur untuk melakukan kegiatan Narkotika

merupakan tindak pidana.

Secara aktual, penyalahgunaan Narkotika sampai saat ini

mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir seluruh

penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan Narkotika,

misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah,

diskotik, dan berbagai tempat lainnya. Bisnis Narkotika telah

tumbuh dan menjadi bisnis yang banyak diminati karena

keuntungan ekonomis.

Didalam Undang-Undang Narkotika telah diatur sedemikian

rupa mengenai bentuk penyalahgunaan Narkotika, misalnya dalam

Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika menyatakan bahwa:

”Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana

35
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahundan

pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah).”

Larangan-larangan sebagaimana yang disebutkan dalam

Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika diatas menunjukkan

bahwa undang-undang menentukan semua perbuatan dengan

tanpa tanpa hak atau melawan hukum untuk menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual

beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I karena

sangat membahayakan dan berpengaruh terhadap meningkatnya

kriminalitas. Apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh

seseorang dengan tanpa hak, maka dapat dikategorikan sebagai

perbuatan penyalahgunaan Narkotika atau merupakan suatu tindak

pidana khusus yang dapat diancam dengan sanksi hukum yang

berat.

Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang

Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 4 (empat)

tahun penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana

mati jika memproduksi Narkotika golongan I lebih dari 1 (satu) atau

5 (lima) kilogram. Denda yang dicantumkan dalam undang-undang

36
Narkotika tersebut berkisar antara Rp.1.000.000,00 (satu juta

rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar

rupiah).

5. Penyalahgunaan Narkotika

1. Pengertian Penyalahgunaan

Istilah “penyalahgunaan” berasal dari kata dasar

“salah guna” yang artinya melakukan sesuatu tidak

sebagaimana mestinya. Dalam kamus besar Bahasa

Indonesia, penyalahgunaan didefinisikan sebagai berikut:

“proses, cara, perbuatan menyalahgunakan”

Sementara Salim dan Yenny Salim (1991:37)

merumuskan:

“Penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan


menyeleweng untuk melakukan sesuatu yang tidak
sepatutnya atau menggunakan sesuatu tidak
sebagaimana mestinya“

2. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika tidak memberikan penjelasan yang

jelas mengenai istilah penyalahgunaan tersebut. Hanya

istilah penyalahguna yaitu orang yang menggunakan

narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

37
Penyalahgunaan narkotika dan penyalahgunaan obat

(drug abuse) dapat pula diartikan mempergunakan obat atau

narkotika bukan untuk tujuan pengobatan, padahal fungsi

obat narkotika adalah untuk membantu penyembuhan dan

sebagai obat terapi. Apabila orang yang tidak sakit

mempergunakan narkotika, maka ia akan merasakan segala

hal yang berbau abnormal.

Begitu bahaya yang dapat ditimbulkan dalam

penyalahgunaan narkotika sehingga dalam pasal 114 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika dinyatakan bahwa:

“setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum


dalam hal narkotika yaitu menawarkan untuk dijual,
menjnual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Larangan-larangan sebagaimana yang disebutkan

dalam pasal 114 ayat (1) tersebut diatas menunjukkan

bahwa Undang-Undang menentukan perbuatan dengan

tanpa hak atau melawan hukum untuk menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika

golongan I karena sangat membahayakan dan berpengaruh

38
terhadap meningkatnya kriminalitas. Apabila perbuatan-

perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang atau tanpa

hak, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan

penyalahgunaan narkotika atau merupakan suatu tindak

pidana khusus yang dapat diancam dengan sanksi hukum

yang berat.

39
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah

penelitian yang akan dilaksanakan. Tempat atau lokasi penelitian

yang dipilih dalam penulisan proposal penelitian ini yaitu pada Kota

Makassar. Sehubungan dengan masalah yang dibahas dalam

proposal penelitian ini berkaitan dengan Peredaran Narkotika,

maka penulis memilih lokasi penelitian di Pengadilan Negeri

Makassar.

B. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber yang akan dipergunakan dalam

penulisan skripsi ini terbagi atas dua yaitu:

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung

dari lapangan. Melalui wawancara dengan hakim dan pihak yang

terkait dengan kasus Penyalahgunaan Narkotika.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh penulis

secara tidak langsung melalui media perantara yang diperoleh dan

dicatat oleh pihak lain serta bahan lain yang digolongkan sebagai

berikut:

40
a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang berasal dari peraturan

perundang-undangan dan ketentuan peraturan yang ada di

Indonesia.

1) Putusan “Nomor 731/Pid.Sus/2022/PN Mks”

2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang tentang

Narkotika

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti buku-buku, karya tulis ilmiah, tulisan

artikel internet atau cetak dan dokumen-dokumen tentang

Penyalahgunaan Narkotika.

C. Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis

adalah dengan:

a. Teknik kepustakaan melalui studi literatur dengan cara

membaca, mempelajari buku-buku, hasil penelitian, tulisan-

tulisan dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

b. Teknik wawancara dengan pihak yang terkait yaitu hakim yang

berhubungan dengan penelitian ini.

41
D. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik data

primer ataupun data sekunder dianalisis secara kualitatif. Analisis

data kualitatif adalah pengelolaan data secara deduktif, yaitu

dimulai dari dasar-dasar pengetahun yang umum kemudian

meneliti hal yang bersifat khusus. Kemudian dari proses tersebut,

ditarik sebuah kesimpulan. Kemudian disajikan secara deskriptif

yaitu dengan cara menjelaskan dan menggambarkan sesuai

dengan permasalahan yang terkait dengan penulisan proposal

penelitian ini.

42
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

AR. Sujono, Bony Daniel (2011) Komentar Dan Pembahasan

Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika.

Chazawi, Adami (2002) Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta,

Raja Grafindo Persada.

Prakoso, Djoko, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin (1987)

Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan dan Membahayakan

Negara, Jakarta, Bina Aksara.

Lamintang P.A.F dan Franciscus Theojunior Lamintan (2014)

Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika.

Kanter E.Y dan Sianturi (2012) Asas-Asas Hukum Pidana di

Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Stori Grafika.

Salim Hs dan Rodliyah (2021) Hukum Pidana Khusus, (Depok,

Rajawali Pers.

Juliana Risa, Nengah Sutrisna (2013) Narkoba, Psikotropika dan

Gangguan Jiwa, Yogyakarta, Nuha Medika.

Makarao, Taufik, dkk (2003) Tindak Pidana Narkotika, Jakarta,

Penerbit Ghalia Indonesia.

Prasetyo, Teguh (2013) hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada.

43
Prodjodikoro, Wirjono (1981) Asas-Asas Hukum Pidana di

Indonesia cetakan ke-3, Eresco, Jakarta-Bandung.

Seri Perundang-Undangan, Perundangan Narkotika 2012

Yogyakarta, Penerbit Pustaka Yustisia.

Subandi, Andi, Toto Widyarsono, dan Suriadi (2021), Menumpas

Bandar Penyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika

di Indonesia, Prenada Media.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 10101/ Menkes/Per/XI/2008

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

mengatur tentang Narkotika

C. Jurnal Yang Terkait

Depari, Aswan, Supri Helmi Lubis, Syawal Amry Siregar. 2022.

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkotika (Studi

Putusan Pengadilan Negeri No. 207/Pid.Sus/2020/PN.Sim).

Vol. 4 No. 1

Murtiwidayanti, Sri Yuni. 2018. Sikap Dan Kepedulian Remaja

Dalam Penyalahgunaan Narkoba. Jurnal PKS Vol. 17 No 1.

44
D. Internet

https://blog.justika.com/pidana-dan-laporan-polisi/unsur-unsur-

tindak-pidana-dan-syarat-pemenuhannya/

https://core.ac.uk/download/pdf/141541626.pdf

https://repository.uin-suska.ac.id/17422/8/8.%20BAB

%20III__2018486JS.pdf

https://repository.umko.ac.id/id/eprint/112/4/bab2chindi.pdf

https://repository.unpas.ac.id/42943/8/BAB%20II%20ALLAH

%20BENER.pdf

https://shcolar.unand.ac.id/10727/2/BAB%20I.pdf

https://www.dictio.id/t/apakah-yang-dimaksud-dengan-teori-relatif-

deterrence-theory/8986/2

https://www.google.com/url?sa=t&source+web&rct=j&url=https://

core.ac.uk/download/pdf/77627575.pdf

%ved=2ahUKEwjatrLD27b7AhUDjdgFHUt-

A4kQFnoECC4QAQ&usg=AOvVaw3oGckbp2RGFvhDYCev

JDKS

https://nasional.tempo.co/read/1645582/kasus-narkoba-irjen-teddy-

minahasa-data-bnn-10-wilayah-tertinggi-kasus-narkoba-

jatim-peringkat-kedua

45

Anda mungkin juga menyukai