Anda di halaman 1dari 12

KEADILAN DISTRIBUTIF KESETARAAN GENDER:

Suatu Tinjauan Psikologi

Nahrudin*

Abstract

The principle of distribution is a provision or rule that serve as


guidelines for the sharing or distribution of resources and
opportunities. In connection with efforts to equity, in general,
which is highlighted is a fair distribution. Views or a concept of
equitable sharing related to the size distribution of resources
that must be accepted by a government work unit is associated
with other work units. To get an equal rights for men and
women the size of batteries that can be used is if the
distribution, pembagaian rights equally to men and prempauan,
thereby to reduce inequalities need to apply the principles of
distributive justice.
Kata Kunci: Keadilan distributif, kesetaraan gender, psikologi
Pengantar
Kesamaan hak bagi semua warga negara telah diatur dalam Undang
Dasar Negara Rebupik Indonesia, baik dalam perserikatan, beragama,
berbudaya, maupun norma-norma lainnya, tidak ada alasan bagi kita untuk
tidak memeberikan hak kepada siapapun sebagai warga negara yang hidup
di bumi Indonesia ini dalam bentuk kesamaan untuk tercapainya rasa
keadilan (sence of juctice), sehingga pemaknaan kata “keadilan” mestinya ada
pada setiap orang yang memiliki hak yang dapat dirasan sebagaimana
layaknya ia hidup bersosial. Faktanya masih banyak terjadi kekerasan,
diskriminasi, akses yang terbatas, ketidakadilan terhadap perempuan dalam
relasi sosial. Keadilan bukan pada besar kecilnya sesuatu yang diberikan
tetapi kemauan yang tulus untuk memeberikan sesuatu.
Keadilan terhadap siapa saja menjadi syarat mutlak dalam hubungan
antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Besarnya tuntutan akan keadilan yang akhirakhir ini mengemuka
sebenarnya merupakan tuntutan normatif. Tuntutan tersebut muncul pada
semua tingkatan kehidupan sosial. Menurut hemat penulis, masalah yang
sesungguhnya bukan ada tidaknya keadilan tetapi lebih dikarenakan
194 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

formulasi keadilan. Mengapa? Keadilan dapat dilihat dari berbagai sudut.


Pada tingkatan moral, keadilan menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi
oleh segenap lapisan masyarakat. Pada tingkat operasional di dalam
masyarakat masalahnya menjadi sangat kompleks dan sulit serta sering
tidak mudah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada tingkat
individu, keadilan juga sulit diformulasikan. Makin sulit menemukan orang
yang benar-benar memegang keadilan sebagai nilai kehidupan dan moralitas
yang dijunjung tinggi.
Konsep kesetaraan gender juga telah banyak memberikan pemahaman
terhadap pendistribusian potensi pada pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan negara, prespekrif yang dipilih adalah adanya kesetaraan
hak bagi semua. UUD 1945 pasa 27 ayat (1) menyebutkan: Segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjung hukum dan pemerintahan itu engan tidak ada kecualinya 1.
Dalam perkembangannya konsep ini memberikan kekedudukan dan
peluang yang sama dalam kerangka hak berbuat dalam masyarakat.
Perkembangan konstruk mengenai keadilan menunjukkan bahwa konsep
keadilan distributif memberikan peluang besar terutama bila keadilan
distributif dilihat pada ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama
bila masukan (input) keduanya setara.
Konsep Keadilan
Keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Keadian
diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang diartika adil adalah orang
yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Ada juga
pendapat lain yang mengartikan bahwa keadlian adalah perngakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada
keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. 2 Menurut
penelitian yang dilakukan Luthans (1996) dalam Wiyono (2004), dalam
teori keadilan, para individu membandingkan input dan hasil antara mereka
dengan yang lainnya, dan kemudian merespon untuk mengurangi
ketidakadilan yang terjadi. Perkembangan pengukuran terakhir mengenai
1
UUD 1945 Pasa 27 ayat (1), 111
2
VandVand, Manusia dan Keadian, http://vandvand.manusia-dan-keadilan.
html. Diakses tanggal 22 Desember 2010
Nahrudin: Keadilan Distributif Kesetaraan Gender : 195
Suatu Tinjauan Psikologis
konstruk teori keadilan menunjukkan bahwa konsep keadilan bisa
dikategorikan menjadi tiga, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural,
dan keadilan interaksional.3
Perkembangan selanjutnya keadilan dalam prespekrif psikologi
mengarah pada pemahaman yang lebih konfrehensif. Salah satu hasilnya
adalah terbentuknya model penilaian keadilan yang dikemukakan oleh Tom
Tyler 4. Model ini setidaknya mensintesakan empat teori. Pertama adalah
resource-based model untuk menjelaskan penilaian keadilan distributif. Kedua
adalah self interest model untuk menjelaskan penilaian keadilan prosedural.
Ketiga adalah group value model yang juga menjelaskan penilaian keadilan
prosedural. Keempat adalah teori deprivasi relatif yang menjelaskan dampak
penilaian kedua keadilan tersebut. Model tersebut pernah diterapkan di
Indonesia dan dapat disimpulkan bahwa model yang dimaksud cukup
komprehensif.5 Hal yang menarik jika keadilan dibicarakan dalam kerangka
kesetaraan gender, yakni gender sebagai definisi (kontruksi) sosial yang
membedakan peran, kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial
antara laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan dalam penilaian
sosial.
Keadilan yang berkaitan dengan outcome sering disebut sebagai
keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama.
Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu
memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati,
pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran.6
Keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga
menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak
lain. Pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan
status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak.
Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan

3
Muhammad Arif Listyantara, (Skripsi). Pengaruh Keadilan Distributif, Keadilan
Prosedural, Dan Keadilan Interaksional Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Kasus Pada Pt. Solo
Sentral Taksi) Diakses tanggal 22 Desember 2010
4
Faturochman., Saparinah Sadli. Gender dan Model Penilaian Keadilan. Jurnal
Psikologi Sosial Vol. 8, No. 2, 2002.
5
Ibid
6
Surbakti, R. Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan dalam Siahaan,
H.M. & Purnomo, T. (Eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia. Surabaya Post dan
Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya. 1993
196 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil,


maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin
suatu tatanan sosial yang harmonis. Keadilan berkaitan dengan prinsip
ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama
didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat. Disamping prinsip no
harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan
prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi sehingga terpola
dalam bentuk perimbangan kesetaraan gender.
Dengan demikian, ada pembatasan dalam hal peran yang dinilai cocok
bagi laki-laki dan perempuan. Artinya, stereotipe laki-laki dan perempuan
yang ada harus diterima dan diinternalisasi oleh individu. Apabila ini benar-
benar terjadi maka secara kognitif akan terbentuk schema gender. Skema ini
akan diperkuat oleh fakta bahwa laki- laki dan perempuan berperilaku,
menempati posisi, dan berperan secara berbeda7. Dalam relasi sosial laki-laki
dan perempuan juga berbeda. Pembedaan ini terus berlangsung hingga
mengarah pada diskriminasi yang merugikan perempuan. Karena kuatnya
sistem kemasyarakatan dan budaya yang berlaku menyebabkan laki-laki
dan, khususnya, perempuan menerima perbedaan itu. Pada sisi lain, mulai
muncul kesadaran di antara kelompok-kelompok yang peduli keadilan
bahwa sistem yang ada dinilai tidak adil sehingga perempuan mengalami
deprivasi 8 . Oleh karena itu munculah berbagai upaya untuk mengubah
sistem yang memperlakukan laki-laki dan perempuan secara lebih adil.
Namun demikian, harus diakui bahwa upaya itu belum sepenuhnya
mencapai hasil, karena masalah gender ini masih berpengaruh besar
terhadap dinamika psikologis seperti dalam penilaian sosial.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama
sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume,
Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur
menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga
diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap.
Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa

7
Cross, S.E., Markus, H.R. Gender in Thought, Belief, and Action: A
Cognitive Approach. In Beall, A.E., Sternberg. R.J. (eds.). The Psychology of Gender.
Guilford Press, New York. 1993
8
Crosby, F., Gonzales-Intal, A.M. Relative Deprivation and Equity Theory:
Felt Injustice and Undeserved Benefits of Others. In Folger, R. (ed.). The Sense of
Injustice: Social Psychological Perspectives. Plenum, New York. (1984).
Nahrudin: Keadilan Distributif Kesetaraan Gender : 197
Suatu Tinjauan Psikologis
yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta
pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan
bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah
kurang beruntung dalam masyarakat.9 Bagaimanapun, ketidakadilan akan
mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah
terbentuk.
Keadilan Distributif
Studi tentang keadilan distributif antara ingroup-outgroup dalam
konteks mayoritas-minoritas, dalam bidang studi psikologi, keadilan
distributif secara empirik lebih banyak diukur melalui cara-cara subjek
mendistribusikan alokasi imbalan. Secara operasiorral cara-cara ini
didefinisikan sebagai perilaku distributif. Berbagai studi mengenai
hubungan antarkelompok menunjukkan bahwa dalam menerapkan prinsip
keadilan senantiasa terdapat kecenderungan individu untuk lebih berpihak
kepada ingroup. Rentang varian keberpihakan antara kepentingan ingroup
atau kepentingan kedua belah pibak dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan,
antisipasi hubungan di masa yang akan datang, input, dimensi
individuaisme-kolektivisme.
Keadilan distributif sering digunakan untuk melihat kebijakan
pemerintah terhadap rakyat. Di sini tampak jelas bahwa tanggung jawab
negara terhadap rakyat dinilai lebih besar dibandingkan dengan rakyat
terhadap negara. Oleh karena itu, negara harus mendistribusikan sumber
daya yang dikuasai kepada rakyat secara adil. Pada batas ini prinsip keadilan
distributif memang lebih menonjol diterapkan. 10 Dalam psikologi, ada dua
hal yang sering dibicarakan dalam membahas prinsip keadilan, yaitu
prosedur dan distribusi. Prosedur adalah mekanisme untuk menentukan
suatu ketetapan, di antaranya adalah ketetapan untuk distribusi. Di sini
yang dimaksud prinsip distribusi adalah ketetapan atau kaidah yang
menjadi pedoman untuk membagi atau distribusi sumberdaya dan
kesempatan. Berkaitan dengan upaya pemerataan, pada umumnya yang
disorot adalah distribusi yang adil. Diasumsikan bahwa terjadinya
kesenjangan bersumber pada distribusi sumber daya yang kurang adil. Oleh

9
Fanani Zaenal,Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam.
Yogyakarta 2004
10
Faturochman. Buletin Psikologi, Tahun Vii, No.1, 13-27 Keadilan Sosial: Suatu
Tinjauan Psikologi. 1999
198 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

karena itu, untuk mengurangi kesenjangan perlu diterapkan prinsip-prinsip


keadilan distributif. Permasalahannya, banyak prinsip keadilan distributif
yang satu dengan lainnya tidak selalu selaras. Oleh karena itu, untuk
menerapkan prinsip-prinsip yang dimaksud harus didasarkan pada berbagai
pertimbangan. Secara singkat pertimbangan yang dimaksudkan setidak-
tidaknya meliputi kondisi sosial yang ada pada saat itu (Hagerty, 2000;
Schmidt 1991), nilai- nilai yang dianut (Deutsch, 1975; Feather, 1994;
Peterson, 1994), dan tujuan yang hendak dicapai (Corning, 2000; Tornblom,
1977). Kondisi sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar
pemilihan prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-
benar menyelesaikan masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan
yang hendak dicapai perlu diformulasikan secara tepat sehingga lebih
mengena pada sasaran.
Kondisi sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar
pemilihan prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-
benar menyelesaikan masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan
yang hendak dicapai perlu diformulasikan secara tepat sehingga lebih
mengena pada sasaran. Walaupun prinsip distribusi yang diterapkan dinilai
oleh pembuat rumusan memadai dan adil untuk diterapkan, setiap individu
yang peduli dengannya bisa menanggapinya secara berbeda. Karenanya,
kondisi objektif ini dapat berbenturan dengan kepentingan individu.
Pemberian upah pekerja yang didasarkan pada prinsip kebutuhan, misalnya
melalui penentuan upah minimum provinsi (UMP), dianggap tidak sesuai
karena produktivitas pekerja tidak dipertimbangkan, padahal para pekerja
itu selalu dituntut untuk produktif11. Sementara itu, prinsip proporsional
dalam telaah gender untuk memecahkan masalah-masalah perempuan
dinilai belum saatnya diterapkan karena kriteria untuk membagi
mengakibatkan keuntungan yang lebih besar bagi laki-laki12. Ketika posisi,
kesempatan, serta akses dan kontrol terhadap sumber daya antara laki-laki
dan perempuan telah sejajar dan bias-bias kriteria tidak ada, maka prinsip
proporsional dapat diterapkan.

11
Faturochman. Penilaian dan Evaluasi terhadap Pembagian Upah. Jurnal
Psikologi, 22(2), 36-48., Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis
Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi, 25(2), 1-15. 1995;1998
12
Martin, S.E. & Jurik, N.C.. Doing Justice Doing Gender. Sage Publications,
London. 1996
Nahrudin: Keadilan Distributif Kesetaraan Gender : 199
Suatu Tinjauan Psikologis
Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi
dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan
dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak
seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran,
pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa
dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama
memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip
keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas
bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua
pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Dari uraian
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa berawal dari penekanan pada
perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan menyebabkan
perbedaan tersebut menjadi bagian dari cara pandang dan perlakuan
terhadap laki-laki dan perempuan. Karena kuatnya sistem kemasyarakatan
dan budaya yang berlaku menyebabkan laki-laki dan, khususnya,
perempuan menerima perbedaan itu.
Menurut Aristoteles keadilan distributif berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan
dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. 13 Dalam wilayah keadilan
distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan
atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan
ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran
kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan serta perlakuan yang tidak sama.
Prinsip-prinsip keadilan distributif sangat bervarias 14 .
Meskipundemikian, ada tiga prinsip yang paling sering diterapkan. Prinsip
pertama dikenal dengan teori equity. Secara garis besar prinsip ini
mengandung dua hal pokok. Bagian yang diterima seseorang harus
sebanding dengan sumbangan yang diberikan, baik dalam bentuk tenaga,

13
Carl Joachim Friedrich dalam Fanani Zaenal, Teori Keadilan dalam Perspektif
Filsafat Hukum dan Islam. Yogyakarta 2004
14
Reis dalam Faturochman. Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi Buletin
Psikologi, Tahun VII, No.1, , 13-27.1999
200 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

pikiran, uang, maupun yang lain. Di samping itu, kesebandingan bagian


yang diterima seseorang juga harus dilihat dengan bagian yang diterima
orang lain. Karenanya, bagian yang diterima berdasarkan sumbangan yang
diberikan juga harus sebanding dengan bagian orang lain yang juga
berdasarkan sumbangan orang yang bersangkutan. Prinsip proposional ini
sangat ideal sekaligus tidak mudah untuk diterapkan. Untuk
menerapkannya banyak syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya,
sumbangan yang diberikan seseorang harus terukur. Perbandingan
sumbangan antara satu orang dan orang lain dalam perusahaan juga sering
sulit dilakukan. Tukang sapu dan juru ketik, misalnya, akan sulit
dibandingkan. Melihat kenyataan ini maka banyak kritik dilontarkan
kepadanya dan modifikasi teori pun banyak diupayakan (untuk lebih jelas
lihat Greenberg, 1996) 15 . Prinsip kedua yang dapat digunakan dalam
distribusi adalah kesetaraan atau ekualitas. Bila prinsip ini digunakan, akan
terdapat variasi penerimaan yang kecil. Dimungkinkan ada variasi bila ada
jenis-jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi atau
kelompok. Variasi itu terjadi antarkelompok, bukan di dalam masingmasing
kelompok. Prinsip ini juga sulit diterapkan. Kritik paling banyak datang
berkaitan dengan pengabaian terhadap potensi dan produktivitas kerja.
Orang yang lebih pandai, terampil atau produktif mestinya mendapat
imbalan lebih tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu
mempertimbangkannya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa prinsip
ini tepat diterapkan pada pola hubungan bukan kerja, misalnya keluarga.
Dalam suasana kerja, prinsip ini dapat diterapkan bila orientasinya adalah
keharmonisan hubungan sesama pekerja. Prinsip ketiga mengutamakan
kebutuhan sebagai pertimbangan untuk distribusi. Di sini dapat
diinterpretasi bahwa sesorang akan mendapat bagian sesuai dengan
kebutuhannya dan dalam hubungan kerja makin banyak kebutuhannya
maka makin besar upah yang diterima. Sayangnya, kebutuhan yang harus
dipenuhi berdasarkan prinsip ini kurang jelas. Prinsip ini menjadi
pertimbangan dalam pemberian upah pekerja/buruh di Indonesia.
Kebutuhan ya ng menjadi pertimbangan adalah kebutuhan fisik minimum.
Karena prinsip ini memang tidak tegas menentukan kebutuhan yang harus
dipenuhi, kritik juga datang kepada ketentuan upah berdasarkan kebutuhan
fisik minimum (KFM).

15
Ibid.
Nahrudin: Keadilan Distributif Kesetaraan Gender : 201
Suatu Tinjauan Psikologis
Kritik lain terhadap konsep di atas mendasarkan pada pentingnya
produktivitas yang berkaitan dengan distribusi hasil. Ada bukti-bukti
bahwa makin tinggi bagian yang diterima akan makin tinggi pula
produktivitasnya. Oleh karena itu, kebutuhan sebagai dasar distribusi
dinilai kurang memotivasi orang untuk lebih produktif. Prinsip keadilan
distributif adalah bahwa manusia secara kodrati mempunyai rasa setia
kawan yang kuat yang tidak begitu saja membiarkan sesamanya hidup
menderita. Oleh karena itu usaha apapun untuk menjamin suatu kehidupan
yang layak bagi mereka yang secara obyektif tidak beruntung akan sangat
diterima sebagai hal yang sah dan adil. Keadilan distributif ialah keadilan
yang berhubungan dengan jasa, kemakmuran, atau keberadaan menurut
kerja, kemampuan, dan kondisi atau keberadaan seseorang.
Kesetaraan Gender
Ada satu hal yang menarik ketika membicarakan keadilan distributif
dan kesetaraan gender, yang harus dicatat dengan cermat, yaitu masalah
gender. Gender sebagai definisi (kontruksi) sosial yang membedakan peran,
kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan
perempuan menyebabkan perbedaan dalam penilaian sosial. Banyak teori
dan kajian psikologi, misalnya Beall & Sternberg, Jackson dkk.16 yang dapat
menjelaskan sebab-sebab terjadinya pembedaan tersebut. Dari berbagai
kajian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa psikodinamika
gender berlangsung sejak individu dilahirkan hingga akhir hayatnya.
Adapun latar belakang dari dinamika itu bermula dari asumsi adanya
perbedaan secara biopsikologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan
ini dijadikan dasar untuk memberi atribut yang berbeda antara keduanya.
Karenanya, laki-laki mempelajari dan mengadopsi maskulinitas yang
memiliki ciri dominan dan self-reliance, sementara perempuan belajar dan
menginternalisasi femininitas sehingga menjadi suka mengalah dan hangat.17
Kesetaraan gender dipahami bahwa sebagai sebuah frasa(istilah) suci
yang sering diucapkan oleh para aktifis sosial, kaum feminis, politikus,
bahkan hampir oleh para pejabat negara. Istiah kesetaraan gender dalam
tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi ketidaksetaraan
yang dialami oleh perempuan, maka istilah kesetaraan gender sering terkait
16
Beall & Sternberg, Jackson dkk dalam Faturochman., Saparinah Sadli.
Jurnal Psikologi Sosial. Gender dan Model Penilaian Keadilan. Vol. 8, No. 2, 2002
17
Ibid.
202 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

dengan diskriminasi terhadap perempuan seperti subordinasi, penindasan,


kekerasan, dan semacamnya.18
Persoalan perempuan berkaiatan dengan kesetaraan gender dapat
mengundang rasa simpati yang cukup marak dari masyarakat luas, hal ini
disebabkan permasalahan kesetaraan gender erat kaitannya dengan masalah
keadilan sosial, peniaian sosial, terutama dalam kerangka pendistribusian
akses kerja secara adil, demikian pula isu-isu yang berkaiatan dengan
kesenjangan antara kaya-miskin, mayoritas-minoritas, hingga ketimpangan
ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Kesetaraan
gender ini pua dapat menimbulkan rasa ambivalensi bahkan intipatik baik
dari kelompok aktifis perempuan itu sendiri maupun dari masyarakat luas.
Rasa ambivalensi biasanya disebabkan oleh keterbatasan memahami
tentang konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender dapat juga berarti
adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam
memperoleh kesempatan serta hah-haknya sebagai manusia, untuk mampu
berperan dan partisipatif dalam kegiatan politik, hukum, indutri ekonmi,
sosial buadaya, pendidikan, dan kesamaan menikmati hasil pembangunan.
Terwujudnya kesetaraan gender dimaknai dengan hilangnya rasa
diskriminatif, antara laki-laki dan perempaun, dan adanya pemberian akses
yang sama serta memperoleh manfaat yang sama secara adil.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan konsep yang
sangat rumit dan mengundang kotroversi. Hingga saat ini belum ada
konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, ada yang mengatan bahwa kesetaraan gender itu adalah
kesamaan hak dan kewajiban, ada pula yang mengartikan bahwa kesetaraan
gender itu dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempauan
memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus
sesuai dengan kodratnya asing-masing, juga adanya suatu kesaan kondisi
bagi laki-laki mapun perempuan dalam memeperoleh kesempatan serta hak-
haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
dunia industri.19
Berkaitan dengan kesetaraan gender, hal ini bertautan dengan hak
asasi manusia di mana, setiap orang berhak memiliki hak yang setara

18
Ratna Megawang, Membiarkan Berbeda: Sudut pandang baru tentang Relasi Gender,
(Bandung: Mizan, 1999), 19
19
Aminah Sitti, Implementasi Kebijakan Kesetaraan Gender di Lembaga
Legislatif Kabupaten Donggala Periode 2004-2009 (skripsi), 2009
Nahrudin: Keadilan Distributif Kesetaraan Gender : 203
Suatu Tinjauan Psikologis
dengan kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan kebebasan yang
serupa untuk orang lain. Hal tersebut merupakan sebuah kepedulian akan
penjaminan hak asasi pribadi yang setara bagi semua warga. Pemerintah,
seyogyanya menggunakan prinsip tersebut sebagai pedoman untuk
menentukan sejumlah dasar hak asasi seperti kehidupan, kebebasan, dan
pengejaran kebahagiaan, kepada setiap individu tanpa memperhatikan ras,
agama, suku, jenis kelamin, kedudukan dan lain sebagainya. Disamping
adanya hak asasi, mesti kita ingat juga dengan kewajiban asasi. Kewajiban
diciptakan untuk mengimbangi hak. Begitu juga sebaliknya, hak ada untuk
mendampingi kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak ada yang
didahulukan, tidak ada yang diakhirkan. Jika kita mendahulukan hak dan
mengakhirkan kewajiban, maka yang ada hanya kesewenang-wenangan dari
yang mempunyai hak, batasannya adalah saat kewajiban datang menuntut
untuk dilaksanakan. Sebaliknya, jika kita mendahulukan kewajiban dan
mengakhirkan hak, maka yang ada hanya kesewenang-wenangan dari yang
menuntut kewajiban, menjelang mendapatkan haknya, yang mempunyai
hak akan merasa “tersiksa” dan terpaksa.
Penutup
Masalah keadilan distributif tidak hanya kompleks dalam tatanan
operasional di masyarakat tetapi juga dalam tatanan konsep. Secara
psikologis permasalahan keadilan makin kompleks karena sangat mungkin
keadilan dalam tatanan nilai- nilai masyarakat menjadi berbeda dalam
penilaian individu. Beberapa kajian di atas menunjukkan adanya
kompleksitas tersebut. Ada dua implikasi penting dari permasalahan yang
dipaparkan di atas. Pertama adalah dalam bidang penelitian dan kedua
dalam penerapan di masyarakat termasuk untuk formulasi kebijakan yang
menyangkut keadilan distributif. Sejauh ini tampaknya belum berkembang
penelitian yang secara mendasar mencoba mengkaji masalah keadilan
distributif dari sudut pandang psikologi, khususnya di Indonesia. Oleh
karena itu bahasan ini diharapkan dapat merangsang munculnya penelitian
tentang keadilan distributif dari sudut pandang psikologi. Pada sisi lain
implementasi konsep-konsep keadilan sering tidak didasarkan pada
pemikiran yang matang sehingga justru sering menimbulkan konflik sosial.
Untuk itu diharapkan pada masa mendatang berbagai kebijakan didasarkan
pada pemikiran yang lebih matang.
204 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 193-204

Daftar Pustaka
Aminah Sitti, implementasi kebijakan kesetaraan gender di lembaga egislatif
kabupaten donggala periode 2004-2009 (skripsi), 2009
Beall & Sternberg, Jackson dkk dalam Faturochman., Saparinah Sadli.
Jurnal Psikologi Sosial. Gender Dan Model Penilaian Keadilan. Vol. 8, No.
2, 2002
Crosby, F., Gonzales-Intal, A.M. Relative Deprivation and Equity Theory:
Felt Injustice and Undeserved Benefits of Others. In Folger, R. (ed.).
The Sense of Injustice: Social Psychological Perspectives. Plenum, New York.
(1984).
Cross, S.E., Markus, H.R. Gender in Thought, Belief, and Action: A
Cognitive Approach. In Beall, A.E., Sternberg. R.J. (eds.). The
Psychology of Gender. Guilford Press, New York. 1993
Fanani Zaenal,Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam.
Yogyakarta 2004
Faturochman., Saparinah Sadli. Gender Dan Model Penilaian Keadilan. Jurnal
Psikologi Sosial Vol. 8, No. 2, 2002.
Faturochman., Saparinah Sadli. Jurnal Psikologi Sosial. Gender Dan Model
Penilaian Keadilan. Vol. 8, No. 2, 2002
Muhammad Arif Listyantara, (Skripsi). Pengaruh Keadilan Distributif, Keadilan
Prosedural, Dan Keadilan Interaksional Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Kasus
Pada Pt. Solo Sentral Taksi) Download. Rabu, 22 Desember 2010
Ratna Megawang, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999
Surbakti, R.. Demokrasi Ekonomi: Keadilan Dan Kerakyatan. Dalam
Siahaan, H.M. & Purnomo, T. (Eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia.
Surabaya Post Dan Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya. 1993
VandVand, Manusia dan Keadian, http://vandvand.manusia-dan-
keadilan.html. Download. Rabu, 22 Desember 2010
* Dosen STAIN Datokarama Palu

Anda mungkin juga menyukai