Anda di halaman 1dari 7

USULAN PENELITIAN

IMPLEMENTASI PEDOMAN JAKSA AGUNG RI NOMOR 18


TAHUN 2021 TENTANG PENYELESAIAN PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA PENYELAHGUNAAN
NARKOTIKA MELALUI REHABILITASI DENGAN
PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI
PELAKSANAAN ASAS DOMINUS LITIS JAKSA
(Suatu Penelitian Pada Kejaksaan Tinggi Aceh)

Oleh:
Muhammad Anshar
2203201010055

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
1

A. Latar Belakang
Peredaran narkotika pada umumnya maupun penyalahgunaan
narkotika pada khususnya merupakan kejahatan yang mempunyai dampak
luar biasa destruktif. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan lintas
negara, karena penyebaran dan perdagangan gelapnya, dilakukan dalam
lintas batas negara atau bisa disebut dengan extra ordinary crime. Khusus
terhadap penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang krusial bagi
sebuah bangsa Indonesia.1
Jenis extra ordinary crime meliputi terorisme, narkotika dan
psikotropika, korupsi, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional yang
terorganisir, serta kejahatan terhadap keamanan negara. Hal ini dikarenakan
klasifikasi extra ordinary crime yang telah merampas hak-hak dasar sosial
dan ekonomi rakayat Indonesia, khususnya pada tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang menghambat hak tumbuh dan
berkembangnya generasi penerus bangsa. 2
Faktor mengapa Indonesia menjadi lahan subur bagi pelaku tindak
kejahatan narkotika, salah satunya adalah letak geografis. Indonesia menjadi
Negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Budaya hedonis juga menjadi salah satu faktor pendukung banyaknya
tindak penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Dalam hal ini Eddy Hiariej3 mengkategorikan narkotika sebagai
kejahatan yang unik, karena merupakan kejahatan yang tidak memiliki
korban sebagai objeknya. Dalam hal ini pelaku kejahatan narkoba adalah
korban atas perbuatannya sendiri.
Persoalan yang muncul di atas memiliki dampak yang sangat masif
bagi segala aspek kehidupan manusia. Masalah kesehatan bukan satu-
satunya menjadi perhatian terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh
penyalahgunaan narkotika, namun juga dampak sosial terhadap
penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu aspek yang harus
diperhatikan.4
Berdasarkan data akumulasi jumlah tersangka narkotika pada 2009-
2020 sebanyak 9.531 orang. Jumlah kasus yang berhasil tercatat sebanyak
6.128 kasus. Sepanjang 2009-2019, jumlah tersangka narkotika di tanah air
1
Asrianto Zainal, “Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Ditinjau Dari
Aspek Kriminologi”, Jurnal Al-Adl, Vol. 6, Nomor 2, Juli 2013, hlm. 33.
2
Badan Narkotika Nasional (BNN), https://jatim.bnn.go.id/penyalahgunaan-narkotika-
sebagai-salah-satu-extra-ordinary-crime/, Akses Tanggal 18 January 2023.
3
Edward Omar Sharif Hiariej, dalam Paparan Hasil Survey Nasional Penyalahgunaan
Narkotika, Jakarta, https://bnn.go.id/wamenkumham-narkotika-sebagai-kejahatan-unik-extra-
ordinary/, Akses Tanggal 18 Januari 2023.
4
BNN RI, https://bnn.go.id/wamenkumham-narkotika-sebagai-kejahatan-unik-extra-
ordinary/, Akses Tanggal 19 Januari 2023.
cenderung mengalami peningkatan hingga mencapai puncaknya di tahun
2018, kemudian menurun hingga 2020. Jumlah tersangka narkotika pada
2018 mencapai 1.545 orang, sementara jumlah tersangka yang terendah
pada 2010 sebanyak 75 orang.Dilihat berdasarkan wilayah, Sumatera Utara
merupakan wilayah yang memiliki jumlah tersangka narkotika terbesar
nasional mencapai 658 orang sepanjang 2009-2020. Diikuti Jawa Timur dan
Kalimantan Timur dengan masing-masing 518 orang dan 461 orang. BNN
menyita barang bukti aset narkotika sebanyak Rp 984,6 miliar. Beberapa
bukti narkotika yang berhasil disita, antara lain ganja sebanyak 26,9 juta
gram, obat-obatan sebanyak 2,37 juta butir, shabu sebanyak 11,6 juta gram,
dan ekstasi sebanyak 4,8 juta butir.5
Menurut data yang terhimpun oleh BNN sepanjang tahun 2020,
bahaya narkotika menjadi suatu ancaman global yang serius, sehingga perlu
ada penanganan dalam pencegahannya. Pecandu Narkotika adalah orang
yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun nonfisik.6
Perkembangan yang ada saat ini menunjukkan terjadinya
kecenderungan perubahan yang kuat dalam memandang para pecandu
narkotika yang tidak lagi dilihat sebagai pelaku tindak kriminal, namun
sebagai korban yang harus diberi empati dengan cara penanganan melalui
rehabilitasi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika mengatur bahwasanya rehabilitasi terdiri dari rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial, yang interpretasi auntentiknya yaitu, rehabilitasi
medis merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika, sedangkan
rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan terpadu, baik
fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.7 Selama ini
kecenderungan rehabilitasi terhadap penyalahguna/pecandu narkotika
dilakukan setelah melalui tahapan persidangan melalui Integrated Criminal
Justice System (ICJS) yang melibatkan Penyidik BNN/Polisi, Penuntut
Umum, dan Hakim, berdasarkan hasil assessment dari Tim Assesment
Terpadu (TAT), yang tentunya tetap berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
5
BNN RI, dalam https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/14/bnn-catat-
jumlah-tersangka-narkotika-tanah-air-sebanyak-1307-orang-pada-2020, Akses Tanggal 14
Desember 2022.
6
Diki Pahlevi, “Peran Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Menanggulangi Narkoba
di Keluarahan Pelita Kota Samarinda”, E-Journal Ilmu Pemerintahan, Vol. 8, No. 1, Tahun 2020,
E-ISSN 2477-2458, P-ISSN 2477-2631, hlm. 12.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 sebagai
Administrative Penal Law (APL) juga tidak mengatur secara tegas, rinci,
dan limitatif pada tingkat atau tatanan mana seseorang yang dianggap
sebagai pecandu narkotika itu dilakukan rehabilitasi, sehingga pada
pelaksanaannya kecenderungan rehab dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan (melalui proses litigasi).
Dalam Paparan Hasil Survey Nasional Penyalahgunaan Narkotika
Tahun 2020, diketahui tingginya jumlah narapidana berlatar belakang kasus
Narkotika. Terdapat 59,4% atau sekitar 142.000 dari 271.000 penghuni
keseluruhan Lembaga Pemasyarakatan adalah pelaku narkotika. Hal ini
menyebabkan terjadinya over capacity di Lembaga Pemasyarakatan.8
Menyikapi hal tersebut, pada Tahun 2021 Jaksa Agung Indonesia
sebagai penuntut umum tertinggi menerbitkan Pedoman Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui
Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan
Asas Dominus Litis Jaksa, maksud dan tujuan dikeluarkan pedoman ini
yaitu sebagai acuan bagi penuntut umum di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalam penyelesaian penanganan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dan sebagai bentuk
optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan
restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis Jaksa.9
Asas dominus litis menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak
melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut dan
monopoli. Penuntut Umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki
dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana. Artinya,
sebagai pengendali perkara, arah hukum dari suatu proses penyidikan
maupun untuk dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu
perkara tindak pidana hasil penyidikan adalah mutlak wewenang Penuntut
Umum (Dr.Fadil Zumhana, S.H,M.H, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum).10
Terbitnya Pedoman Jaksa Agung Pedoman Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 juga dilatar-belakangi oleh anggapan
8
Badan Narkotika Nasional (BNN RI), https://bnn.go.id/wamenkumham-narkotika-
sebagai-kejahatan-unik-extra-ordinary/, Akses Tanggal 18 Januari 2023.
9
Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
10
Website Kejaksaan Negeri Tebo: https://kejari-tebo.go.id/berita/detail/jaksa-agung-
muda-tindak-pidana-umum--terbitnya-p19-merupakan-wujud-asas-dominus-litis. Diakses pada
tanggal 24 Pebruari 2023.
bahwasanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini cenderung punitive
(tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi
kapasitas/overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak
pidana narkotika, sehingga dipandang perlu adanya kebijakan kriminal yang
bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika, salah satunya melalui reorientasi kebijakan
penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dilakukan melalui optimalisasi
lembaga rehabilitasi, dalam artian Jaksa selaku pengendali perkara
berdasarkan asas dominus litis dapat melakukan penyelesaian perkara
tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap
penuntutan. Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi ini merupakan mekanisme
yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif,
dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan
dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang
bersifat victimless crime, yang tentunya dengan komitmen bahwasanya
penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan
narkotika melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan
restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid), serta mempertimbangkan asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium), cost and benefit analysis, dan pemulihan
pelaku.11
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (selanjutnya disebut dengan UU Kejaksaan) menyatakan bahwa
“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah
Lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenagan lain berdasarkan undang-undang”.12 Kejaksaan RI adalah
Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenagan dan tugas lain berdasarkan undang-undang,
bertindak sebagai penuntut umum, pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

11
Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
12
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 Bertentangan Dengan
Penegakan Hukum Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?
2. Bagaimana penyelesaian penanganan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan
keadilan restoratif ?
3. Bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Pedoman
Nomor 18 Tahun 2021?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021
Bertentangan Dengan Penegakan Hukum Narkotika Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mekanisme penyelesaian
penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika
melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan-hambatan dalam
implementasi Pedoman Nomor 18 Tahun 2021.

D. Keaslian Penelitian
1. Tesis Yusra Aprilia (2009) mahasiswi Program Pasca Sarjana
Universitas Syiah Kuala, dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap
Penerapan Pidana Perawatan dan Rehabilitasi Bagi Pelaku Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkotika”. Adapun yang menjadi garis besar
permasalahan dalam penelitian ini adalah menyangkut hak rehabilitasi
bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba di wilayah hukum
pengadilan Nageri Banda Aceh. Maka dapat penulis simpulkan bahwa
penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis teliti
yaitu menyangkut penaggulangan predaran dan pemberantasan
narkotika psikotropika di wilayah perbatasan Aceh dengan sumatera
utara.
Diketahui salah satu variabel dalam penelitian ini sama dengan
masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai penyalahguna narkotika.
Tetapi terdapat perbedaan yang besar antara rumusan masalah dalam
tesis ini dengan Tesis Yusra tersebut. Salah satunya dalam penelitian
ini ingin melihat efektivitas penanggulangan narkotika di Daerah
Perbatasan Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara yang dimana
sampel penelitianya adalah pelaku tindak pidana baik penyalahguna
maupun pengedar narkotika. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan
penelitian Sdr. Yusra yang berfokus terhadap korban yaitu
penyalahguna narkotika itu sendiri dan yang dikaji adalah pidana
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika.
2. Tesis Febri Adriani (2013) mahasiswi Program Pasca Sarjana
Universitas Syiah Kuala dengan judul tesis “Pemenuhan Hak
Rehabilitasi Narapidana Anak Kasus Narkoba (Studi Pada Cabang
Rumah Tahanan Lhokga Aceh Besar)”. Adapun yang menjadi garis
besar permasalahan dalam penelitian tersebut adalah menyangkut
pemenuhan hak rehabilitasi narapidana anak pada cabang rumah
tahanan Lhokga Aceh Besar, sehingga dapat kita simpulkan bahwa
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis teliti yaitu
menyangkut penaggulangan predaran dan pemberantasan narkotika
psikotropika di wilayah perbatasan Provinsi Aceh dengan Sumatera
Utara.
Dalam penelitian tesis ini yang menjadi rumusan masalahnya
adalah bagaimana pemenuhan hak rehabilitasi terhadap narapidana
narkotika. Penelitian ini tidak mengajukan efektivitas penegakan
hukum sebagai salah satu rumusan masalahnya sehingga lokasi
penelitianya berada di Lemabaga Pemasyarakatan (dikarekan berfokus
pada rehabilitasi). Selanjutnya, penelitian ini tidak menelaah
kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.
Sehingga dapat disimpulkan penelitian tesis Sdr Febri berbeda dengan
permasalan dalam tesis yang diangkat ini.
3. Tesis Victor Ziliwu (2015) mahasiswa Program Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara dengan judul Tesis “Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Pengguna Narkotika sebagai Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Polresta Medan”. Adapun rumusan masalah dalam tesis
ini. pertama, Hambatan dalam Proses Penyidikan Terhadap Pengguna
Narkotika sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Polresta Medan.
Kedua, Upaya untuk Menangani Hambatan dalam Penyidikan
Terhadap Pengguna Narkotika sebagai Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Polresta Medan.

Anda mungkin juga menyukai