Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Di dalam proses peradilan pidana yang terakhir adalah lembaga


pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan merupakan suatu lembaga yang
dahulunya, lapas disebut rumah penjara, yakni tempat dimana orang-orang yang
telah dijatuhi pidana dengan pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan
pidana mereka. Lembaga itu bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata
memindana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina dan mendidik
orang-orang terpidana Menurut pejabat Menteri Kehakiman yang pada masa itu
dijabat oleh Sahardjo, sebutan penjara di Indonesia diubah menjadi lapas.1

Lembaga pemasyarakatan (Lapas) berfungsi untuk memperbaiki terpidana (


The function of correction) agar terpidana kembali menjalani kehidupan normal
dan produktif (Return to a normal and productive life) di tengah-tengah
masyarakat setelah menjalani masa hukumnya. 2

Eksistensi lembaga ini diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, menurut ketentuan Pasal 1 butir
3 UU No.12 Tahun 1995, lembaga pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sedangkan
dalam Pasal 1 butir 2 dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu
tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara
pembina, yang dibina dan masyarakat.

Tujuannya untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar


menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana yang
1
Tina Asmarawati, Pidana dan Pemindanaan Dalam Sistem Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta : DEEPUBLISH, 2015), hal. 24
2
Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana : Memahami Perlindungan HAM Dalam
Proses Penahanan di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2014), Hal. 226-227
dilakukannya sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab.

Pasal 3 UU no. 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa Sistem pemasyarakatan


berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi
secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. 3 Pembimbingan oleh
BAPAS (Balai Pemasyarakatan) dilakukan terhadap :

1) Terpidana bersyarat.
2) Narapidana, anak pidana dan anak negara yang mendapat pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas.
3) Anak negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial.
4) Anak negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial.
5) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan
kepada orang tua atau walinya.
Pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan petugas pemasyarakatan.
Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar, pendaftaran mengubah status
terpidana menjadi narapidana. Pendaftarannya meliputi, antara lain :
a. Pencatatan :
1. Putusan pengadilan
2. Jati diri
3. Barang dan uang yang dibawa
b. Pemeriksaan kesehatan
c. Pembuatan pas foto
d. Pengambilan sidik jari

3
Tina Asmarawati, Op. Cit, hal. 30-31
e. Pembuatan berita acara serah terima terpidana
Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan
penggolongan atas dasar :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Lama pidana yang dijatuhkan
4. Jenis kejahatan
5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.4

B. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan

Menurut keputusan lama sampai modifikasi hukum Prancis yang dibuat


pada tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam tindakan
penyandraan dengan penembusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum
di tentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di inggris abad pertengahan
kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal hukum kurungan gereja dalam sel (cell)
dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan abad ke 16) yang
dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja menurut Act of 1576 dan
Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung menurut ketentuan Act of 1711.
Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak zaman raja Mesir pada
tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di kenal pidana penjara dalam arti penahanan
selama menunggu pengadilan, dan ada kala sebagai penahanan untuk keperluan
lainmenurut romawi dari jaman Justianus abad 5 (SM).

Karena pemberian pekerjaan dianggap salah satu daya upaya untuk


memperbaiki akhlak terhukum, maka timbulah sistem campuran, yaitu :

a. Pada waktu malam ditutup sendirian,


b. Pada waktu siang bekerja bersama-sama.

4
Ibid, Hal. 34-35
Pada waktu bekerja mereka dilarang bercakap-cakap mengenai hal-hal
yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Oleh karenanya maka sistem ini
dinamakan pula “Silent System”.

Sedangkan sejarah adanya lembaga pemasyarakatan ini di Indonesia


terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa
pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa
penjajahan. Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.Masing-
masing masa memiliki sejarahnya tersendiri.

Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung sejak pertengahan


abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan
dua jenis hukum pidana; pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia
;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa. Bagi orang Indonesia dan
golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus,
yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”,
artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia
Belanda. Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”. Pada
periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang seringkali
dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur
hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua,
yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja
paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang
arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid
buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah
“dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut
“krakal”.

Dasar hukum kepenjaraan relatif dari Hindia Belanda yaitu berupa :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 13,14a s/d f,15,16,17,23,24,25, dan


pasal 29.
2. Reglemen Penjara Stbl. 1917 No.708 Jo.Stbl.No.77
Peraturan penjara sebagai peraturan pelaksanaan dari Kitab Undang -
undang Hukum Pidana, khususnya pasal – pasal tersebut diatas merupakan dasar
dari pelaksananaan pidana hilang kemerdekaan seperti yang tercantum dalam
pasal 10 Kitab Undang - undang Hukum Pidana. Sampai sekarang masih tetap
berlaku peraturan tersebut sebagai dasar hukum berlakunya sistem
Pemasyarakatan. Peraturan penjara itu berlaku adal;ah berpedoman kepada pasal
II aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi : “Segala sesuatu belum diadakan
yang baru menurut UUD ini”.

Pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang hukum pidana


sudah sejak lama dilakukan, yang dalam hal ini meliputi hukum pidana materiil,
hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana. Pembangunan hukum
pidana pada dasarnya tidak hanya yang bersifat struktural akan tetapi mencakup
pula pembangunan substansial dan yang bersifat kultural. Dewasa ini hakikat
pembangunan hukum semakin penting apabila dikaitkan dengan sistem peradilan
pidana yang pelaksanaannya dilakukan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum
yaitu Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
diharapkan dapat bekerja sama secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan


pidana.Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem
Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan
pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana
khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil tidaknya
tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka
pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah
untuk menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem
peradilan pidana yang lain yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya
juga sangat ditentu¬kan oleh pembinaan yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan kemerdekaan,
khususnya pidana penjara.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang


berdasarkan sistem pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan
yang integratif yaitu membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat
yang baik dan berguna. Dengan perkataan lain Lembaga Pemasyarakatan
melaksanakan rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan perlindungan baik terhadap
narapidana serta masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Dengan sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat berhasil dalam mencapai tujuan
resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana/narapidana, maka pada
gilirannya akan dapat menekan kejahatan dan pada akhirnya dapat mencapai
kesejahteraan sosial seperti tujuan sistem peradilan pidana (jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang). Dengan demikian keberhasilan sistem
pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan akan berpengaruh pada keberhasilan pencapaian tujuan
sistem peradilan pidana.

C. Klasifikasi Penghuni Lembaga Pemasyarakatan


Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan,
maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum
ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Sesuai Undang Undang Nomor 12
Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu lembaga
pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3. Orang-orang yang disandera.
4. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan,
akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan di dalam
lembaga pemasyarakatan itu ialah :

1. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan.


2. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh
pengadilan negeri setempat;
4. Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi
dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan secara sah

D. Jenis-jenis Lembaga Kemasyarakatan


Menurut (Yuliati dkk, 2003) jenis-jenis lembaga pemasyarakatan dibagi atas
berbagai tipe sesuai dengan berbagai sudut pengamatan yaitu,
a. Dari sudut perkembangannya kelembagaan terdiri dari Criscive Institution and
Enacted Institution. Yang pertama merupakan lembaga yang tumbuh dari
kebiasaan masyarakat. Sementara yang kedua dilahirkan dengan sengaja untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
b. Dari sudut sistem nilai kelembagaan masyarakat dibagi menjadi dua yakni
Basic institution and Subsidiary Institution.Yang pertama merupakan lembaga
yang memegang peranan penting dalam mempertahankan tata tertib
masyarakat sementara yang kedua kurang penting karena hanya jadi pelengkap.
c. Dari sudut penerimaan masyarakat, terdiri dari dua yaitu Sanctioned Institution
and unsanctioned Institution. Yang pertama merupakan kelompok yang
dikehendaki seperti sekolah dll, sementara yang kedua ditolak meski
kehadirannya akan selalu ada. Lembaga ini berupa pesantren sekolah, lembaga
ekonomi lain dan juga lembaga kejahatan.
d. Dari sudut faktor penyebabnya dibedakan atas General institutional and
Restriktic Institutional.Yang pertama merupakan organisasi yang umum dan
dikenal seluruh masyarakat contoh agama, sementara yang kedua merupakan
bagian dari institusi yakni Islam, Kristen, dan agama lainnya.
e. Dari sudut fungsinya dibedakan atas dua yaitu Operatif Institutional and
regulatif Institutional.Yang pertama berfungsi untuk mencapai tujuan,
sementara yang kedua untuk mengawasi tata kelakuan nilai yang ada di
masyarakat.

E. Fungsi Lembaga Kemasyarakatan

Pada dasarnya lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara


lain:

1) Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat, bagai mana mereka harus


bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2) Menjaga keutuhan masyarakat.
3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian social (social control).Artinya, sistem pengawasan masyarakat
terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak


mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan
secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
Lembaga kemasyarakatan berfungsi sebagai pedoman perilaku atau sikap tindak
manusia dan merupakan salah satu sarana untuk memelihara dan mengembangkan
integrasi di dalam masyarakat.

Memberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus


bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakat.Menjaga keutuhan
masyarakat yang bersangkutan.Memberi pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (social control) dan sistem pengawasan
masyarakat terhadap perilaku anggotanya.
F. Syarat-Syarat Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegak hukum


pidana, oleh karena itu, pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan dari pengembangan
konsepsi umum mengenai pemindanaan. Pemindanaan adalah upaya untuk
menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. 5

Sistem pemasyarakatan yang diciptakan oleh Dr. Sahardjo, SH berdasarkan


falsafah pengayoman yang diterima sebagai sistem pembinaan narapidana
(treatment of offenders) dan akhirnya dikenal sebagai sistem pemasyarakatan
yang dikembangkan menjadi prinsip-prinsip yang lebih operasional setelah
diadakannya Konfersi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung
pada tanggal 27 April 1964. Dalam konfersi tersebut dirumuskan 10 syarat sistem
pemasyarakatan, yaitu:

1) Orang yang tersesat diayomi, dengan memberikan bekal untuk hidup sebagai
warga yang baik dan berguna di dalam masyarakat, agar menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup yang tidak hanya
finansial dan material tapi yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian dan
keterampilan hingga orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan yang
potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum
lagi dan berguna dalam pembangunan Negara.
2) Menjatuhi pidana bukan merupakan tindakan balas dendam dari Negara.
Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan,
perawatan ataupun penempatan.
3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup

5
Ruslan Renggong, Op. Cit, Hal. 227
serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau.
Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk
menambahkan rasa hidup kemasyarakatan.
4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat dari sebelum pelaku tindak
pidana masuk ke lembaga pemasyarakatan, baik itu residivist atau bukan, yang
melakukan tindak pidana berat ataupun ringan, macam-macam tindak pidana
yang diperbuat, siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
5) Selama kehilangan kemerdekaan, narapidana harus dikenalkan dengan
masyarakat dan tidak boleh diasingkan.
6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukkan untuk kepentingan lembaga atau kepentingan
negara semata.
7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila dan juga harus diberikan
pendidikan agama serta kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan
ibadahnya,ditanamkan jiwa gotong royong, toleransi, kekeluargaan, rasa
persatuan, rasa kebangsaan dan jiwa bermusyawarah dan bermufakat yang
positif.
8) Setiap narapidana haruslah diperlakukan sebagai manusia, meskipun
sebelumnya ia telah tersesat.
9) Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan
agar narapidana mendapat pekerjaan untuk menghidupi keluarganya dengan
cara menyediakan pekerjaan dengan upah.6

Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegak hukum


pidana, oleh karena itu, pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan dari pengembangan
konsepsi umum mengenai pemindanaan. Pemindanaan adalah upaya untuk
menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

6
Tina Asmarawati, Op. Cit, hal. 25-28
G. Hak-Hak Narapidana

Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 menentukan hak-hak


narapidana:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.


b. Mendapat perawatan baik itu perawatan rohani maupun perawatan jasmani.
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaan.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.7
H. Tata Cara Pelaksanaan Bimbingan Pemasyarakatan

Kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan sebagai upaya “


Memasyarakatkan kembali” seseorang yang sementara menjalani pidana, dapat
dilakukan melalui berbagai wujud dan kegiatan. Menurut Bambang Purnomo,
pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap
narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan:

7
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 14 Ayat (1)
1. Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama,
kepribadian dan budi pekerti dan pendidikan umum yang diarahkan untuk
membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa
lalu.
2. Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan pengertian
akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu
diberikan kesempatan untuk asimilasi serta integritas dengan masyarakat.
3. Bimbingan keterampilan, yang dapat diselenggarakan dengan kursus, latihan
kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya menjadi bekal hidup
untuk mencari nafkah di kemudian hari.
4. Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai untuk hidup dengan teratur
dan belajar menaati aturan.
5. Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni
budaya dan sedapat-dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan
bermasyarakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan
lingkungan sosial yang terjadi di luar.8

I. Asas-Asas Sistem Pembinaan Pemasyarakatan

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Pengayoman

Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka


melindungi dari adanya kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga
binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan

Pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan


pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

8
Ruslan Renggong, Op. Cit, Hal. 227-229
c. Pendidikan dan Pembimbingan

Penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan


pancasila. Antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan
kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

d. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia

Sebagai orang yang tersesat, warga binaan pemasyarakatan harus tetap


diperlakukan sebagai manusia.

e. Kehilangan Kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan terbesar bagi


narapidana.9

J. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan


Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan
bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah
mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan,
maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Walaupun terpidana
kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi
dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal empat tahap
proses pembinaan, yaitu :
1. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam
lembagapemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal
tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah
melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang
dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas majikan atau atasan mereka,

9
Anggun Malinda, Perempuan Dalam Peradilan Pidana : Tersangka, Terdakwa,
Terpidana, Saksi dan Korban, (Yogyakarta : Garudhawaca, 2016), hal. 123-124
dari teman sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan
mereka dan dari petugas instansi lain yang menangani perkara mereka.
2. Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah
berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan
menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup
kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh
pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan,
maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memberlakukan
tingkat pengawasan medium security.
3. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah
berlangsung selama setengah dari masa pidananya yang sebenarnya, dan
menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup
kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan,
maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan narapidana
yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar lembaga
pemasyarakatan.
4. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah
berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau
sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut dapat
diberikan lepas bersyarat, yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan
oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.10

10
Dwidja Priyatno ,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung, Refika
Aditamma, 2006), hal. 87

Anda mungkin juga menyukai