Anda di halaman 1dari 5

TUGAS TEORI HUKUM

Dr. Kajagi Kalman, SH., MH

Nama : Charles Preston Assa

NPM : MH. 2210017


• Dari Sisi Keadilan

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif
Hiariej memastikan pembebasan bersyarat 23 narapidana koruptor sudah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Bahwa kebijakan itu merujuk kepada Undang-undang (UU)
Pemasyarakatan Nomor 22 Tahun 2022 yang disahkan pada Juli lalu. UU
pemasyarakatan yang baru, yakni UU Nomor 22 Tahun 2022. Ini seperti blessing in
disguise dalam pengertian bahwa UU pemasyarakatan ini in line dengan putusan
Mahkamah Agung yang terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa mengacu pada kebijakan yang merujuk UU Nomor
22 Tahun 2022 tersebut, maka pembebasan bersyarat, remisi, asimilasi, dan hak-hak
terpidana semua sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Penyebabnya, kata
Edward, UU Nomor 22 mengembalikan semua hak dari terpidana tanpa ada
diskriminasi, sehingga ditegaskannya kembali pembebasan bersyarat terhadap para
mantan koruptor sudah sesuai aturan. UU Nomor 22 tahun 2022 itu mengembalikan
semua hak dari seorang terpidana tanpa suatu diskriminasi. Dan itu kan menjadi hukum
yang positif. Jadi kami memberikan (pembebasan syarat) sesuai aturan.

Dalam PP 99/2021 atau yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor sudah
diajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA). Sehingga, pemerintah harus
mengikuti putusan JR di MA. Karena UU, jadi kan PP 99 sudah direview, ada juga
keputusan MK mengatakan bahwa narapidana berhak remisi, jadi kan sesuai prinsip
non diskriminasi, ya kemudian di judicial review lah PP 99.

mekanisme pembebasan bersyarat secara formal, sudah memenuhi syarat dari


peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mahfud menegaskan bahwa pemerintah
hanya bertugas membawa koruptor ke pengadilan dengan bukti-bukti yang kuat.

Setelah itu, pemerintah menyerahkan kepada pengadilan terkait hukuman yang layak
bagi koruptor. Mahfud menuturkan pemerintah tak bisa lagi ikut campur terkait
hukuman yang diberikan hakim untuk koruptor.

Syarat Bebas Bersyarat Bagi Napi

Adapun syarat umum pembebasan bersyarat sebagai berikut :

1. Telah menjalani paling sedikit dua pertiga dari masa pidana, dengan ketentuan dua
pertiga masa pidana tersebut tidak kurang sembilan bulan;
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling sedikit sembilan bulan
terakhir dihitung sebelum tanggal dua pertiga masa pidana.;
3. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun dan bersemangat;
2
4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana;
5. Serta melampirkan kelengkapan dokumen.

• Dari Sisi Ketidakadilan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemkumHAM) melalui Direktorat


Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan surat keputusan pembebasan bersyarat kepada
23 narapidana kasus korupsi per Selasa. Adanya keputusan tersebut, Indonesia
Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa pembebasan bersyarat (PB) 23
narapidana kasus korupsi dilakukan secara terstruktur. Peneliti senior Indonesia
Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menjelaskan, pertanggungjawaban bukan hanya
dikejar dari Kementerian Hukum dan HAM, namun ada juga peran Mahkamah
Konstitusi (MK) hingga Mahkamah Agung (MA), yang kemudian berkontribusi pada
terjadinya peristiwa tersebut.

Sifatnya sudah terstruktur artinya memang dikondisikan sampai akhirnya ada revisi
undang-undang PAS (Permasyarakatan), dan akhirnya hari ini banyak kita tuai, di mana
23 napi korupsi tadi bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Jika menilik ke
belakang, Ada ketentuan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang
memperketat kepada narapidana (napi) korupsi untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat yang dibatalkan oleh putusan MK yang kemudian diikuti oleh MA di tahun
2021.

Salah satu poin yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung yang kemudian juga menjadi
dasar semakin tidak bertajinya upaya pemasyarakatan terhadap koruptor itu adalah,
sejumlah syarat yang awalnya dimasukkan untuk memperketat, untuk membatasi, para
napi korupsi ini untuk memperoleh haknya sebagai warga binaan entah remisi, entah
asimilasi, termasuk pembebasan persyarat. Awalnya terdapat kriteria yang
memperketat napi korupsi memperoleh bebas bersyarat atau mendapatkan haknya
sebagai warga binaan. Pertama kriteria sebagai justice collaborator. Bicara soal kriteria
ini, tentu napi korupsi yang ingin menjadi justice collaborator haruslah dia yang bukan
merupakan aktor utama dari kasus korupsi tersebut. Justice collaborator tentu harus
membantu penegak hukum mengungkap kasusnya, asumsinya adalah orang ini bukan
pelaku utamanya.

Selanjutnya, kriteria yang memperketat ialah melunasi pembayaran denda dan


tambahan uang pengganti. Namun disayangkan kriteria yang memperketat ini justru
dihilangkan dalam revisi Undang-undang 22 tahun 2022. Maka dasar tersebutlah yang
dinilai dan menjadi acuan Ditjen PAS mengeluarkan surat keputusan PB (Pembebasan
Bersyarat) pada 23 napi korupsi. Sehingga ketika dasar hukum sudah mati, artinya
3
pertahanan terakhir untuk menjaga agar kualifikasi itu tetap diberikan kepada napi
kasus korupsi itu sudah tidak ada.

Kita menduga bahwa kebijakan tersebut memang sudah dimaksudkan untuk


menguntungkan koruptor. Dimana rangkaian peristiwanya itu menguatkan dugaan ke
arah sana. Ada peran MK, ada peran MA yang kemudian berkontribusi pada terjadinya
peristiwa seperti saat ini. Sebagai informasi, terdapat beberapa pasal dalam PP No 99
Tahun 2012 yang memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis
kejahatan luar biasa, yakni narkoba, korupsi, dan terorisme.

Pemberian PB (Pembebasan Bersyarat) dan remisi yang banyak ini menjadi bentuk
landscape utuh Indonesia yang semakin mentoleransi korupsi. Hal tersebut menjadi
paket komplit dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilihat dari
perubahan UU KPK, pemilihan komisioner yang dinilai melanggar etik, hingga
pemecatan 52 pegawai, pengadilan yang berikan putusan yang ringan kepada Pinangki,
dan juga ketidakseriusan dalam menangkap kasus korupsi penting seperti Harun
Masiku. Pinangki dapat putusan ringan dari 10 jadi 4 tahun, sudah 4 tahun putusannya
terus dapat remisi dapat pula pembebasan bersyarat. Ini menunjukkan negara semakin
tunduk semakin kalah terhadap keganasan koruptor. Hal itu diperkuat dengan uji materi
akan undang-undang dilakukan oleh terpidana koruptor dan dikabulkan. Hal tersebut
ditakutkan menjadi arus balik sebagai negara yang justru mentolerir dan menganggap
bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang berbahaya.

kriteria berkelakuan baik yang dilakukan koruptor untuk mendapatkan remisi atau PB
juga dipertanyakan. Berkelakuan baik bagi napi koruptor tak bisa disamakan dengan
napi tindak pidana lainnya. Kalau menurut aturan di lapas bangun subuh tidak buat
keributan itu jadi indikator baik bagi narapidana koruptor nggak cukup. harus berbeda
indikator berkelakuan baik bagi narapidana korupsi. Perlu transparansi dari pemberian
remisi hingga PB pada napi korupsi. Banyak fenomena menggelitik soal pemberantasan
korupsi sebelum adanya pemberian PB (Pembebasan Bersyarat) kepada 23 napi
korupsi.

Remisi bagi narapidana korupsi perlu diperketat karena korupsi merupakan kejahatan
yang sangat serius, namun putusan aparat penegak hukum MA dan MK justru
menunjukkan sebaliknya. Ia menyebut MA inkonsisten dalam pengetatan pemberian
remisi hingga PB (Pembebasan Bersyarat) pada napi korupsi. Kenapa perlu diperketat
karena diskresi pemerintah dalam pemberian remisi luar biasa besar, sayangnya MA
dan MK setuju melonggarkan ini. Adapun argumentasi MA bahwa keputusan tersebut
menunjukkan rasa ketidakadilan. Dimana MA menyebut bahwa keputusan tersebut

4
berkaitan dengan restorasi justice hingga persoalan mendudukkan hak narapidana
sebagai hak yang equal. Itu diskriminasi disana, isu praktik korupsi ini buka hal yang
sebelah mata. Dalam konteks hukum HAM, saya rasa mereka yang jadi napi korupsi
tidak pantas mendapatkan hak yang equal dalam pemberian remisi.

korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebab, hanya
dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas.
program pemiskinan koruptor tidak berjalan. Sebab, hingga saat ini undang-undang
yang merampas hasil kejahatan belum juga disahkan. Tidak adanya disinsentif secara
ekonomi yang keras itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu, potensi keuntungan
melakukan korupsi itu lebih tinggi, daripada risikonya. Akan banyak narapidana kasus
korupsi yang mendapatkan pembebasan bersayarat. Hal ini dikarenakan kebijakan
pemerintah yang telah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP 99 Tahun 2012 yang
dicabut terdapat sejumlah persyaratan bagi para napi koruptor mendapat hak bebas
bersyarat, selain sudah menjalani dua per tiga hukuman.

Salah satunya bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dihapusnya PP 99 Tahun 2012
akan semakin menjauhkan sifat kasus korupsi sebagai extraordinary crime, sehingga
pembelaan terhadap kasus korupsi sama seperti kejahatan lain. Pembebasan bersyarat
bagi napi korupsi ini merujuk pada UU 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Hal ini
semakin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi sebagai extraordinary
crime atau kejahatan luar biasa dan tidak seriusnya pemerintah dalam pemberantasan
korupsi. Di sisi lain hukuman bagi terpidana koruptor juga jauh dari harapan masyarakat
dan dinilai tidak membuat efek jera. Ditambah lagi pembahasan Rancangan Undang-
Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang molor berkepanjangan. Jadi
kalau ada yang berniat korupsi begitu melihat sanksinya berat, mereka meninggalkan
rencana itu. Tapi begitu melihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang memberi
remisi dan pembebasan bersyarat jorjoran, jangan-jangan mereka malah timbul niat
korupsi besar. Toh nanti akan dapat remisi.

Jika pemerintah serius dalam pemberantasan korupsi seharusnya diterbitkan kembali


peraturan pemerintah terkait syarat bagi pembebasan bersyarat dan remisi bagi
terpidana kasus korupsi. Kemarin kita punya alasan menolak kejahatan extraordinary
terutama korupsi untuk tidak dapat remisi di PP 99 Tahun 2012. Kalau serius memberi
penjeraan kepada terpidana korupsi ya diperbaiki undang-undangnya dan peraturan
pelaksanaannya.
5

Anda mungkin juga menyukai