Anda di halaman 1dari 11

REMISI KORUPSI

Latar Belakang
Rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan kini hampir mencapai tahap akhir. Isi dari
revisi PP ini dianggap malah menguntungkan para pelaku korupsi. Pada revisi PP ini
menyebutkan bahwa seorang koruptor tidak perlu lagi ikut membantu penegak hukum
membongkar tindak pidana yang melibatkan tersangka lainnya atau sebagai Justice
collaborator. Jika sebelum revisi, PP ini menyebutkan bahwa menjadi syarat wajib bagi
seorang koruptor jika ingin mendapatkan remisi. Poin ini dihilangkan dan disebutkan pada
pasal 32 ayat 1 bahwa, untuk memperoleh remisi, seorang tahanan hanya wajib untuk
berkelakuan baik dan telah melewati sepertiga masa tahanan.
Melihat rancangan revisi ini, banyak menuai pro dan kontra. Belum lama ini 5 guru
besar antikorupsi melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk melakukan
peninjauan ulang pada rancangan revisi PP tersebut.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pro dan kontra terkait adanya remisi koruptor?
2. Bagaimana tanggapan KPK dan koalisi LSM lainnya mengenai remisi koruptor?
Pembahasan
Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundanganundangan yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan
kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Menurut Kemenkumham, PP Nomor 99/2012 bertentangan dengan asas persamaan
perlakuan dan pelayanan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Adanya PP Nomor 99/2012 menjadi batu sandungan bagi warga
binaan yang terkena kasus korupsi, terorisme dan narkotika untuk mendapatkan remisi. Tak
ayal rasa diskriminasi sering kali mengahantui di antara sesame narapidana. Hal ini juga

bertentangan dengan semangat re-integrasi untuk menjadikan warga binaan sebagai sosok
yang besih ketika balik ke masyarakat. Hal ini memang sudah lama dikaji oleh
kemenkumham melalui berbagai kajian. Pada tanggal 22/09/2015 kemenkumham melakukan
Focus Group Discussion (FGD). FGD yang mengangkat tema Menyikapi rencana
pemerintah untuk revisi peratuan pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua
atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak
warga binaan pemasyarakatan, dihadiri oleh perwakilan instansi terkait seperti
Kemenkumham (Dirjen HAM dan PAS), BNN, Mabes Polri, dll. Turut hadir perwakilan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Elsam, ICJR, YLBHI, dll. Dirjen HAM
Kemenkumham, Dr. Mualimin Abdi SH MH, yang mengambil peran sebagai narasumber
pada FGD tersebut menyatakan bahwa mengacu pada UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan
khususnya Pasal 28 C Ayat (2), remisi adalah hak warga binaan pemasyarakatan, maka
pemberiannya wajib diberikan tanpa mempertimbangkan hal lain, non diskriminasi dan tidak
bertentangan dengan nilai keadilan.

Sementara dari kalangan Non-Governmental

Organization yang pada kesempatan ini antara lain dihadiri oleh Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan
pendapat yang senada bahwa pada prinsipnya mereka tidak menolak pemberlakuan kebijakan
remisi. Akan tetapi, masih menurut mereka, persoalan mendasar adalah pada revisi KUHP
yang sesungguhnya telah memicu tindakan kriminalisasi yang cenderung berlebihan terhadap
terduga pelaku pidana. Permasyarakatan adalah tumpukan sampah karena menjadi
penampung dari kriminalisasi yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tukas Bahrain dari
YLBHI. (komnasham.go.id) ICW mengambil sikap yang sebaliknya. Dilansir dari
kompas.com (13/08/2016), Anggota Divisi Hukum dan Monitoring ICW Laola Easter
menyebut, merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan langkah yang proterhadap koruptor. "Substansi
revisi usulan pemerintah itu jelas pro koruptor karena berupaya memberikan banyak celah
dan peluang agar koruptor lebih banyak keluar penjara," jelas Laola di kantornya di Jakarta,
Sabtu (13/8/2016). Laola juga menambahkan bahwa PP 99/2012 sudah sesuai dengan spirit
pemberantasan korupsi. Senada dengan ICW, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
menganggap bahwa konten revisi PP 99/2012 meringankan koruptor. "Menurut saya, suatu
kemunduran kalau ada pemikiran menghapus syarat justice collabolator untuk remisi bagi
koruptor ujar Mahfud MD

Menurut Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad,


meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) tidak mudah
memberi remisi atau pengurangan masa hukuman kepada narapidana.
"Kalau narapidana koruptor dengan mudah diberikan remisi, saya khawatir efek jera
yang

timbulkan

terhadap

pelaku

korupsi

tidak

akan

kena,"

jelas

Samad.

(KPK) Johan Budi meminta Kementerian Hukum dan HAM memperketat pemberian remisi
atau pengurangan masa hukuman terhadap terpidana kasus korupsi. Sebab korupsi
merupakan kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) merevisi Peraturan
Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut, diatur syarat terpidana kasus kejahatan luar
biasa, seperti korupsi, narkotika, atau terorisme, harus bersedia bekerja sama dengan penegak
hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, serta telah
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Namun, pada naskah revisi yang beredar, syarat mereka harus bekerja sama dengan
penegak hukum dihilangkan, sehingga syaratnya menjadi berkelakuan baik, dan telah
menjalani 1/3 masa pidana. Selain itu, membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai
putusan pengadilan.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif
angkat bicara. "Pimpinan KPK belum dimintai tanggapan soal materi draf PP ini. Namun
demikian kami merasa ini langkah mundur bagi pemberantasan korupsi. Dirjen lapas akan
sangat bebas memberikan remisi dan selama ini kami sering mendapatkan laporan bahwa,
untuk dapat remisi, narapidana bisa membayar," ucap Syarif saat dikonfirmasi, Rabu
(10/8/2016).
Menurut dia, jika sistem remisi tersebut masih terus dilanjutkan, justru akan
menimbulkan celah korupsi baru. "Ini bahkan akan menimbulkan kesempatan korupsi baru di
Kementerian Hukum dan Ham," tutur Syarif. Karena itu, ia melanjutkan, napi koruptor harus
diberi remisi dengan ketat seperti justice collaborator.
"Kalau napi koruptor dapat diberi remisi tanpa kontrol atau syarat ketat seperti JC
(justice collaborator), maka akan dengan mudah para napi koruptor diberikan remisi. Intinya

isi revisi PP ini bertentangan dengan pemberantasan korupsi, narkoba, dan terorisme," tandas
Syarif. Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan, jika PP ini direvisi maka
tidak akan ada efek jera. "Kita ingin memberikan efek jera. Jadi bahkan kita sedang berpikir
selain hukuman badan, kita ingin kerugian negara dikembalikan, ada denda itu kita terapkan.
Kalau koruptor, harapan kami jangan ada remisilah," tutup Syarif.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menjamin koruptor tidak akan
mudah mendapat remisi. Walaupun, PP No 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan direvisi. Terpidana kasus luar biasa,
seperti korupsi tetap harus memenuhi berbagai syarat yang rumit.
Yasonna mengatakan, tetap ada perbedaan perhitungan remisi antara kasus kriminal
biasa dan kasus luar biasa, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme. Keputusan remisi ini juga
sesuai dengan pemantauan yang dilakukan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP).
"Jadi melalui TPP. Jangan ada diskriminasi sekarang ini, ada napi yang koruptor yang
dari kejaksaan beda treatment-nya dengan yang ditangani KPK, kita harus meletakkan
keadilan di situ jadi prosedurnya. Yang kedua jangan sampai bertentangan dengan undangundang yang di atasnya. Filosofinya begitu, kita koreksi yang salah ini pembenaran
prosedur," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2016).
Ia menjelaskan, napi koruptor tetap memiliki perbedaan penilaian dibanding napi
kasus non-luar biasa. Aturan yang berlaku seperti, remisi setelah menjalani setengah masa
tahanan masih tetap berlaku. Selain itu, masih ada banyak syarat yang juga harus dipenuhi
agar

mendapat

remisi.

Pemerintah berniat merevisi PP No 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32


Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam revisi itu, justice colaborator sebagai syarat seorang koruptor, terorisme, dan
narkotika mendapat remisi akan dihilangkan. Hal inilah yang menuai protes dari berbagai
pihak.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz,
menyampaikan 2 kritik ke Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Dia menilai, Yasonna

punya 2 kesalahan, yakni dari sisi kebijakan dan etik yang perlumendapat evaluasi dari
Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menurut dia, pemberian remisi kepada koruptor berimbas besar pada melempemnya
pemberantasan kejahatan kerah putih ini. Contohnya, mantan narapidana kasus korupsi
Jimmy Rimba Rogi yang jadi calon Wali Kota Manado dan mantan Napi Yusak Yaluwo yang
maju jadi calon Bupati Boven Digoel.
Dari sisi etik, kata Donal, Yasonna juga telah membangkang dari perintah
Presiden untuk menghentikan upaya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Padahal, sebagai bawahan, Yasonna harusnya patuh.
Selain Menkumham, ICW juga menilai kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo belum
memuaskan. Terlebih, HM Prasetyo adalah kader dari Partai Nasdem yang sarat kepentingan
politis dalam penegakan hukum. "2 Sektor, Jaksa Agung dan Menkumham adalah prioritas
penting yang harus dibenahi," sebut Donal. Donal meyakini apabila Menkumham Yasonna H
Laoly dan Jaksa Agung HM Prasetyo diganti, akan membawa warna baru bagi penegakan
hukum

di

Indonesia.

"Itu penting (kalau diganti), karena harus ada warna di pemberantasan korupsi Jokowi," jelas
Donal. ICW juga mengapresiasi Jokowi yang selalu ingin membenahi sektor ekonomi.
Namun,

diperlukan

juga

warna

lain

di

penegakan

hukum.

"Pemerintahan Pak Jokowi pun demikian, jangan memikirkan sektor ekonomi saja, tapi
hukum juga. Ekonomi akan menjadi amburadul apabila tidak didukung penegak hukum yang
bagus, seperti untuk lakukan pencegahan dan penindakan," tandas Donal. (Ado/Sun)
Rencana pemerintah merevisi PP No 90 Tahun 2012 tentang hilangnya syarat remisi
kepada koruptor yang menjadi justice collaborator menuai polemik.
Namun berbeda dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan, pemerintah
juga harus memerhatikan sisi kemanusiaan. Sedangkan, remisi diberikan atas penilaian
perbaikan sikap selama di berada di lapas.
"Gunanya remisi sebenarnya, intinya agar mereka itu memperlihatkan disiplin, merasa
katakanlah bertobat dari sisi moral atau berkelakuan baik. Itulah syarat remisi itu," kata JK di

Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (12/8/2016). "Nah persoalannya kalau pembunuh saja
bisa (mendapat remisi), kemudian koruptor tidak bisa diberikan reward karena disiplinnya,
karena kelakuan baiknya, tentu juga kita terjadi diskriminatif," ujar JK.
Tak bisa dipungkiri, korupsi memang masuk dalam kejahatan luar biasa yang
berdampak pada masyarakat luas. Tapi kejahatan lainnya bukan berarti tidak memiliki efek
besar di masyarakat.
"Jadi kita lihat dari sisi kemanusiaan, kalau dia tobat berkelakuan baik, makin baik dia
punya perilaku, ya bukan lihat lagi dari sisi apa yang dia buat, karena ringan beratnya
hukuman kan sudah ada undang-undangnya, sudah ada pengadilannya," jelas JK. Berat atau
ringan hukuman yang diterima koruptor, kata JK, sudah diputuskan di pengadilan. Setelah
hukuman itu, seharusnya semua narapidana diperlakukan sama, termasuk soal remisi. "Kalau
memang korupsi itu kejahatan besar maka hukumannya juga tinggi, tapi setelah dia di dalam
mustinya juga sisi kemanusiannya sudah sama," JK memungkas.
Ketua DPR Ade Komaruddin tidak setuju dengan wacana pemberian remisi untuk
koruptor. Pria yang karib disapa Akom ini mengatakan, pemerintah tidak boleh lemah saat
berkaitan dengan korupsi, narkoba, dan terorisme.
"Kalau saya sih kurang bijaksana kalau kita terlalu kooperatif sekarang ini dengan keputusankeputusan hukum yang berkaitan dengan 3 hal: narkoba, korupsi, yang ketiga terorisme,"
ungkap Akom di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat 12 Agustus 2016. Menurut dia,
rencana pemberian remisi terhadap koruptor itu tidak tepat sasaran. Dia khawatir dengan
adanya remisi, praktik korupsi di Indonesia akan semakin merajalela.
Sebelumnya, pemerintah berniat merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua
atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan penolakannya
terhadap rencana revisi Peraturan Pemerintah Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam rencana revisi yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
itu, syarat-syarat untuk mendapat remisi bagi semua narapidana, termasuk kasus korupsi,
akan dipermudah.
Over capacity atau kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) jadi salah
satu alasan Yasonna ingin mempermudah syarat remisi bagi semua narapidana, tak terkecuali
kasus korupsi.
Menurut Agus, alasan over capacity tidak tepat. Sebab, seharusnya Menkumham bisa
mencari jalan keluar yang lain dari permasalahan itu. Misalnya dengan membangun lapaslapas baru untuk mengatasi permasalahan kelebihan kapasitas. "Kalau mau memberikan
remisi, mestinya alasannya bukan itu. Kan bisa bangun lapas banyak. (Alasan over capacity)
Itu bukan sesuatu yang tepat," ujar Agus di Tanakita, Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu
(20/8/2016).
Koalisi LSM Kecam Ide Pemberian Remisi untuk Terpidana KorupsiRencana
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly merevisi Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
mendapat

tanggapan

dari

Koalisi

Masyarakat

Sipil

Antikorupsi.

Menurut mereka, Yasonna memiliki itikad buruk dengan mencoba 'membela' koruptor agar
mendapat remisi. Sebab, dalam PP 99 itu diatur juga tentang pengetatan pemberian remisi
bagi

narapidana

khusus,

seperti

korupsi,

narkoba,

dan

terorisme.

"Kami menyimpulkan bahwa ada itikad buruk dari Menkumham Yasonna Laoly yang
mencoba menipu rakyat dengan menjual nasib terpidana dan menjual (alasan) over crowded,"
ucap Julius Iberani, perwakilan Koalisi dari YLBHI, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa
(16/8/2016).
Menurut Julius, pihaknya mendapatkan fakta bahwa secara prosedural rencana Revisi PP 99
itu terkesan terburu-buru. Belum lagi substansi rencana revisi yang tidak benar, mulai dari
konsiliasi, misalnya mencantumkan Undang-Undang Perlindungan Anak di dalamnya yang
dinilai

tidak

ada

kaitannya

dengan

remisi

"(Revisi) Dipaksakan. Sebelum 17 Agustus ini Revisi PP 99 harus disahkan. Lalu substansi
yang mulai dari konsiliasinya sudah tidak benar, misalkan mencantumkan UU Perlindungan
anak

di

situ,

padahal

jelas

tidak

ada

kaitannya,"

ujar

dia.

Menurut Julius, persoalan sebetulnya mengenai remisi bukan terletak di situ. Alasan
Menkumham dalam rencana Revisi PP 99 soal over capacity yang menyebabkan crowdeddi
lembaga pemsyarakatan tak bisa dibenarkan. Sebab, Julius menduga, Yasonna ada niatan
agar narapidana

korupsi

mendapat

remisi.

"Kita jelas melihat adanya potongan-potongan syarat bagi koruptor untuk mendapat remisi ini
jadi niat utama Menkumham untuk melawan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
Jadi bagaimana caranya mempermudah, yaitu dengan cara memotong syarat-syarat itu," ujar
dia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan masih mencari formula terbaik terkait
revisi Undang-Undang No 99 Tahun 2012 yang mengatur remisi koruptor dan terpidana
narkoba.
Yasonna mengatakan, permasalahan utama saat ini adalah lemahnya hukuman yang
dijatuhkan hakim di pengadilan. Padahal, hakim memiliki kuasa penuh menjatuhkan hukum
seberat-beratnya.
"Kalau hakim mau cabut, misalnya hak politiknya, ya silakan. Hanya memang kalau cabut
hak remisi akan langgar UU No 12 Tahun 2015. Tapi kita cari formulasilah. Konsep middle
ground sudah disepakati, sudah dirancang. Nanti akan dibahas lagi. Satu putaran lagi dalam
semingu dua minggu ini," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (27/9/2016).
Dia yakin revisi aturan ini tidak akan jauh dari keinginan Presiden Jokowi yang sangat hatihati

soal

ini.

Yasonna memastikan revisi UU ini akan mengarah pada pengetatan remisi bagi koruptor dan
gembong narkoba. Tentu akan ada aturan khusus untuk kedua terpidana ini. Tinggal
tergantung pengadilan menjatuhkan hukuman bagi para terdakwa nantinya.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku sudah mendengar adanya wacana revisi
peraturan yang sudah memperketat remisi bagi koruptor itu. Hanya saja, sampai saat ini draft
tersebut belum juga sampai padanya. Namun, dia memastikan akan menolak dan
mengembalikan draft revisi bila sampai di mejanya.
"Kalau sampai ke meja saya, saya akan sampaikan saya kembalikan, saya pastikan. Saya
belum tahu isinya, tapi sudah saya jawab kembalikan, itu saja," ujar Jokowi saat bertemu
dengan ahli hukum di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Jokowi memang belum tahu persis poin mana saja yang akan diubah dari PP itu. Tapi, arah
perubahan aturan justru memberi kemudahan bagi koruptor untuk medapat remisi.
Poin itu rupanya yang tidak disetujui oleh Jokowi. Meski belum tahu secara lengkap, ulasan
di berbagai media massa cukup memberinya informasi atas rencana perubahan aturan itu.
Hal itu disampaikan Jokowi saat bertemu pakar hukum di Istana Kepresidenan untuk
mendengar masukan dari para ahli tersebut terkait perbaikan sistem hukum yang ada. Pada
kesempatan itu Presiden menegaskan perlunya dilakukan reformasi hukum.
Dalam pertemuan itu, sedikitnya ada 22 pakar hukum yang hadir. Di antaranya mantan Wakil
Ketua MK Harjono, Mantan Hakim MK Maruara Siahaan, Ketua Pusat Studi Konstitusi Saldi
Isra, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Mantan Ketua MK Mahfud MD, Mantan Ketua
PPATK Yunus Husein, dan dan mantan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengundang para ahli hukum untuk membahas
mengenai revisi peraturan pemerintah (PP) mengenai pemberian remisi terhadap narapidana
kasus korupsi dan narkoba di Bogor, Jawa Barat.
Yasonna mengatakan forum yang digelar dengan tema "Pembuatan Cetak Biru Pembangunan
Hukum Indonesia di bidang Hukum dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hak Warga
Binaan Permasyarakatan" itu dilakukan untuk mengakomodasi keinginan publik.
"Karena ramainya hiruk-pikuk, makanya kami undang para pakar di sini. Kami di sini
mencari titik tengah dari PP No 99 Tahun 2012 yang ada kekurangannya," ujar Yasonna pada
Jumat di Bogor, Jawa Barat (23/9/2016).

Harapannya, ujar Yasonna, setelah menjalani beberapa tahun hukuman di penjara, narapidana
korupsi baru dapat diberikan remisi. Akan tetapi, untuk sementara, para pakar menyepakati
pemberian remisi hanya dapat diberikan kepada narapidana kasus narkoba.
"Tadi disepakati ada titik tengah yang besok bisa dirumuskan, yaitu narapidana narkoba. Tapi
bukan bandarnya, kalau bandarnya harus dihukum berat. Jadi ada pemberian harapan bagi
pengguna," ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Sedangkan remisi narapidana kasus korupsi hingga kini masih dalam tahap pembahasan.
"Kalau untuk korupsi kita tahan dulu, karena masih ada pembicaraan yang lebih mendalam,"
kata dia.
Yasonna mengatakan pemberian remisi terhadap koruptor harusnya dilakukan oleh hakim
saat menentukan vonis di pengadilan. Dan remisi diberikan setelah narapidana tersebut
menjalani masa tahanan sekian tahun.
"Hakim yang harus membuat putusan tidak memberikan remisi karena pencabutan hak ada
pada hakim," kata mantan anggota DPR RI itu. Namun, kata Yasonna, untuk memutuskan
layak dan tidaknya terdakwa kasus narkoba maupun korupsi mendapat remisi, harus tetap
didasari oleh undang-undang.
SARAN
1. Kementerian Hukum dan HAM harus berhati-hati untuk menggampangkan pemberian
remisi. Pemberian remisi harus lebih ketat. Tujuannya, agar narapidana yang
mendapatkan remisi betul-betul orang yang pantas mendapatkannya. Jangan sampai
narapidana korupsi mudah memperoleh remisi.
2. Harus ada perbedaan perhitungan remisi antara kasus kriminal biasa dan kasus luar
biasa, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme. Keputusan remisi ini juga sesuai
dengan pemantauan yang dilakukan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP). Melalui
TPP jangan ada diskriminasi sekarang ini dan jangan sampai bertentangan dengan
undang-undang yang di atasnya.
3. Revisi aturan secepatnya diterapkan tahun ini. Masih terdapat ada perbaikan dan
diskusi yang harus dilakukan untuk penyempurnaan aturan. Cara yang dapat

dilakukan antara lain dengan mengundang undang para pakar untuk mencari titik
tengah dari PP No 99 Tahun 2012 yang masih banyak kekurangannya.

Anda mungkin juga menyukai