Tiba-tiba saja puluhan koruptor keluar dari bui dengan status bebas bersyarat. Tanda tanya besar pun
muncul. Ada apa?
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham) selaku
lini pertama pemberi lampu hijau bagi para koruptor itu mendapatkan status bebas bersyarat
memberikan penjelasan. Rika Aprianti selaku Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas
menegaskan bila pembebasan bersyarat pada puluhan koruptor itu sudah sesuai aturan.
"Pembebasan bersyarat ini merupakan salah satu hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh
narapidana tanpa terkecuali dan nondiskriminasi, tentunya yang sudah memenuhi persyaratan
administratif dan substantif," kata Rika ketika ditemui di kantornya pada Rabu (7/9/2022).
Rika menyebutkan Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Pasal itu berisi 4 ayat
yang secara rinci isinya adalah sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Narapidana yang telah memenuhi persyaratan
tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:
a. remisi;
b. asimilasi;
d. cuti bersyarat;
(3) Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi Narapidana yang
akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.
(4) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Narapidana yang
dijatuhi pidana penjara seumur hidup dan terpidana mati.
detikNews
Home
Berita
Jabodetabek
Jawa Timur
Internasional
detikX
Kolom
Blak blakan
Pro Kontra
Infografis
Foto
Video
Hoax Or Not
Suara Pembaca
Jawa Barat
Jawa Tengah & DIY
Makassar
Medan
Indeks
detikNews
Berita
BAGIKAN
Komentar
Jakarta - Tiba-tiba saja puluhan koruptor keluar dari bui dengan status bebas bersyarat. Tanda tanya
besar pun muncul. Ada apa?
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham) selaku
lini pertama pemberi lampu hijau bagi para koruptor itu mendapatkan status bebas bersyarat
memberikan penjelasan. Rika Aprianti selaku Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas
menegaskan bila pembebasan bersyarat pada puluhan koruptor itu sudah sesuai aturan.
"Pembebasan bersyarat ini merupakan salah satu hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh
narapidana tanpa terkecuali dan nondiskriminasi, tentunya yang sudah memenuhi persyaratan
administratif dan substantif," kata Rika ketika ditemui di kantornya pada Rabu (7/9/2022).
Baca juga:
Pasal 10
(1) Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Narapidana yang telah memenuhi persyaratan
tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:
a. remisi;
b. asimilasi;
d. cuti bersyarat;
a. berkelakuan baik;
(3) Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi Narapidana yang
akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.
(4) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Narapidana yang dijatuhi
pidana penjara seumur hidup dan terpidana mati.
"Syarat ini untuk siapa? Semua narapidana yang memenuhi persyaratan itu semuanya diberikan remisi.
Jadi bukan hanya Tipikor, Tipikor ini hanya sebagian kecil untuk diberikan remisi," kata Rika.
"Dan sekali lagi kami sampaikan bahwa hak ini memang diberikan nondiskriminasi tanpa terkecuali,
kasus apa pun apabila sudah memenuhi persyaratan seperti tadi kami sampaikan maka berhak untuk
mendapatkan hak bersyarat, baik itu PB (Pembebasan Bersyarat), CB (Cuti Bersyarat), CMB (Cuti
Menjelang Bebas) termasuk remisi," tambahnya.
Namun sejatinya ada hal krusial di balik pemberian status bebas bersyarat bagi para koruptor yaitu
remisi atau pemotongan masa hukuman. Apa masalahnya?
Aturan turunan dari UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang secara spesifik membahas
tentang remisi adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022.
Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun
2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Di sinilah letak masalahnya.
Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin
mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan.
Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar
denda dan uang pengganti.
Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang
pengganti sesuai dengan putusan pengadilan
Padahal di aturan sebelumnya yaitu PP Nomor 99 Tahun 2012, pemberian remisi bagi koruptor diatur
sedemikian rupa agar tidak mudah didapatkan. Bagaimana aturan sebelumnya itu?
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana
yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk
Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara
tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus
memenuhi persyaratan:
(a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana
yang dilakukannya;
Singkatnya ada beberapa persyaratan bagi para koruptor mendapatkan remisi dan pembebasan
bersyarat. Namun aturan itu sudah digantikan dengan yang baru seperti disebutkan di atas. Kenapa?
Pada tahun 2021 Mahkamah Agung (MA) melalui ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono
dan Is Sudaryono mencabut dan membatalkan aturan itu sebab diujimaterikan atau judicial review oleh
Subowo dan empat temannya. Mereka saat itu adalah mantan kepala desa dan warga binaan yang
sedang menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Hal ini pula yang disorot oleh para aktivis korupsi salah satunya adalah Boyamin Saiman sebagai
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Apa katanya?
Boyamin memahami tentang putusan MA yang mencabut aturan itu. Namun menurutnya seharusnya
koruptor diberikan aturan yang berbeda dibanding narapidana lain.
"Ya itu karena pengaturan hak itu kan memang harus undang-undang, maka memang PP itu dianggap
juga melanggar hak orang. Maka harus diatur di undang-undang," kata Boyamin kepada wartawan, Rabu
(7/9/2022).
me
Berita
Jabodetabek
Jawa Timur
Internasional
detikX
Kolom
Blak blakan
Pro Kontra
Infografis
Foto
Video
Hoax Or Not
Suara Pembaca
Jawa Barat
Makassar
Medan
Indeks
Tapal Batas
Pemilu 2024
ADVERTISEMENT
detikNews
Berita
Boyamin memahami tentang putusan MA yang mencabut aturan itu. Namun menurutnya seharusnya
koruptor diberikan aturan yang berbeda dibanding narapidana lain.
"Ya itu karena pengaturan hak itu kan memang harus undang-undang, maka memang PP itu dianggap
juga melanggar hak orang. Maka harus diatur di undang-undang," kata Boyamin kepada wartawan, Rabu
(7/9/2022).
ADVERTISEMENT
"Sementara dalam UU Pemasyarakatan, napi itu berhak remisi, bebas bersyarat, asimilasi. Kemarin itu
yang mengatur pengurangan itu hanya narkoba dan teroris, sementar korupsi tidak diatur. Maka dia
berlaku seperti napi-napi yang lain. Sehingga MA mencabut itu karena tidak diatur UU. Maka sekarang
diatur di UU Pemasyarakatan. Jadi sepanjang nanti UU Pemberantasan Korupsi tidak membatasi seperti
narkoba dan teroris, maka ya tetap berlaku UU Pemasyarakatan Nomor 22 tahun 2022 itu bahwa
korupsi berhak yang sama seperti napi yang lain," sambungnya.
Baca juga:
"Sebenarnya pemerintahan yang lalu membuat PP itu untuk membatasi, tapi mestinya dimasukkan ke
UU. Nah kalau DPR tidak mau, karena ini politis ya sudah nasib kita lah melihat kasus korupsi menjadi
tidak istimewa lagi, sama dengan tindak pidana lain," ucapnya.
"Maka ya karena aturan PP dicabut ya otomatis tidak berlaku pengetatan atau pembatasan remisi,
bebas bersyarat, dan lain-lain. Maka sekarang terjadi itu. Semua akhirnya pemerintah tak berhendak
membatasi, DPR tidak membatasi, MA yudikatif tak membatasi," imbuhnya.
Hal serupa disampaikan Denny Indrayana yang diketahui menjabat sebagai Wamenkumham pada
periode 2011-2014. PP pengetatan remisi yaitu PP 99/2012 lahir di masa dirinya menjabat.
"Kembalinya rezim 'obral remisi' demikian seharusnya tidaklah mengejutkan, dan merupakan
konsekuensi dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang pada intinya adalah
mengetatkan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat," ucap Denny
yang kini sebagai senior partner dari Integrity Law Firm dalam keterangannya.
"Pembatalan PP 99 tahun 2012 diawali setahun lalu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41
tahun 2021. Putusan MK tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi Mahkamah Agung melalui
putusannya Nomor 28P/HUM/2021 yang menyatakan pasal-pasal 'pengetatan remisi' PP 99
bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat," imbuhnya.
Denny menyentil bila dicabutnya PP itu disambut gembira para koruptor. Mereka dinilai Denny memang
selama ini dibikin sulit mendapatkan diskon hukuman karena PP itu.
"Putusan MK dan MA tersebut tentu saja disambut riang-gembira oleh para napi korupsi yang sudah
sejak lama berjuang membatalkan PP 99 tahun 2012, yang memang membuat mereka sulit
mendapatkan pengurangan hukuman, alias menghilangkan kebiasaan 'obral dan jual-beli remisi'. Sejak
diterbitkan di tahun 2012, ketika saya masih menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, PP 99 telah diuji
berkali-kali ke MA dan MK. Dalam putusan-putusan sebelumnya, baik MK maupun MA konsisten
menyatakan bahwa PP pengetatan remisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan
sejalan dengan politik hukum pemberantasan korupsi yang luar biasa. Sayangnya, pertahanan MK dan
MA tersebut jebol juga dengan gempuran tanpa henti para koruptor. Pembatalan PP 99 mengembalikan
rezim obral remisi yang menghamparkan karpet merah kebebasan serta menghilangkan efek jera bagi
para koruptor," ucap Denny.
Baca juga:
Hakim Agung Ini Sebut Koruptor Rp 546 Miliar Djoko Tjandra Layak Lepas
Sebelumnya Ditjen Pas Kemenkumham mengungkapkan jumlah napi koruptor yang mendapat bebas
bersyarat. Sebanyak 23 napi koruptor bebas bersyarat.
"Dua puluh tiga narapidana tipikor yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari 2 lapas,
yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang," ujar Koordinator Hubungan Masyarakat
dan Protokol Ditjen Pas Rika Aprianti kepada wartawan, Rabu (7/9).
Rinciannya 23 orang itu adalah empat narapidana dari Lapas Kelas IIA Tangerang dan 19 narapidana dari
Lapas Kelas I Sukamiskin. Salah satu yang bebas bersyarat adalah Zumi Zola, Patrialis Akbar, Ratu Atut,
dan Pinangki Sirna Malasari.
• Setyabudi Tejocahyono