Anda di halaman 1dari 3

Argumentasi Penolakan Pasal-pasal tidak mencermikan keadilan sosial bagi

sulurh rakyat indonesia.

1. RUU Pemasyarakatan
a. Remisi Koruptor Diperlonggar
RUU Pemasyarakatan jika disahkan, otomatis PP nomor 99 Tahun 2012
tentang pembatasan pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi,
narkoba, dan terorisme tak berlaku lagi. Syarat-syarat pemberian hak-hak,
seperti remisi dan pembebasan bersyarat, bagi terpidana kasus korupsi
kembali mengacu pada KUHAP. Maka dari itu, menurut kajian kami jika PP 99
tahun 2012 tak berlaku lagi, maka peluang terjadinya obral remisi untuk
narapidana korupsi, narkoba dan terorisme terbuka lagi.
b. Napi boleh Cuti
Di RUU Pemasyarakatan ada pasal mengatur hak narapidana untuk
mendapatkan kegiatan rekreasional yang diatur dalam pasal 9 huruf c dan
cuti bersyarat yang diatur dalam pasal 10 ayat 1 huruf d. Narapidana yang
telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:
1. remisi;
2. asimilasi;
3. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga;
4. cuti bersyarat;
5. cuti menjelang bebas;
6. pembebasan bersyarat; dan
7. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya MK Pernah Tolak Gugatan Syarat Remisi Napi Korupsi
Pada 2017 lalu, MK Menolak permohonan uji materi atas pasal 14 ayat (1)
huruf i UU nomor 12 tahun 1995 tentang pemberian remisi narapidana.
Dalam UU itu disebutkan bahwa ada syarat khusus untuk remisi bagi
narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan
hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi
lainnya. Selain terbukti berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana
lebih dari enam bulan, PP 99 tahun 2012 juga mengatur napi korupsi bisa
menerima remisi bila bersedia bekerja sama dengan penegak hukum
untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya
(justice collaborator). Narapidana juga harus sudah membayar lunas
denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

2. RUU Pertanahan/Agraria
a. Korban penggusuran yang melawan terancam pidana
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika
menilai ada sejumlah pasal karet dalam RUU tentang Pertanahan. Salah
satunya itualah Pasal 91. Menurutnya, Pasal ini bisa memberikan legitimasi
bagi aparat untuk memidanakan masyarakat yang ingin membela hak
tanahnya.

menurut kajian kami, "RUU itu bermasalah. Di pasal 91 misalnya, itu


memberikan legitimasi hukum polisi untuk melakukan pemidanaan. Tentu
ini kan pasti akan ditafsirkan secara utuh, untuk secara bebas menangkap
siapapun. Misalkan, warga yang menolak tanahnya untuk dijadikan bandara,"
Pasal 91 dalam draft RUU tentang Pertanahan itu menyebut orang yang
menghalangi petugas saat menggusur bisa dipidana. Begini bunyinya:

"Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum


yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c atau orang suruhannya, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000 (lima ratus juta rupiah)," bunyi pasal dalam draft yang diterima.
b. Mereka yang melakukan pemufakatan jahat dalam sengketa tanah bisa
dipidana
dalam pasal lain bahwa ada pasal yang juga bisa mempidanakan aktivis
organisasi agraria, yakni pasal 95. Apalagi, pasal itu sifatnya hukum positif.
"Itu bisa berpotensi mengkriminilasi masyarakat adat atau masyarakat
terorganisir atau aktivis. Kan petani-petani ini yang berserikat, bisa dipidana
juga mereka. Soalnya pasal itu sifatnya hukum positif," ujarnya.
Begini bunyi pasal 95 itu:
"Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan dan/atau
membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa
atau konflik Pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak
Rp 15.000.000.000 (lima belas milyar rupiah)," begitu bunyi pasal yang
tertulis dalam draft.
c.[b.] Nama pemilik HGU dirahasiakan?
Pasal berikutnya adalah pasal yang bisa melindungi nama pemilik HGU. Hal
itu disebutkan dalam pasal 46 ayat 8. Begini bunyinya:

(8) Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data


Pertanahan kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Meskipun tak secara eksplisit menyebut pemilik HGU dirahasiakan, namun


menurutnya pasal itu tetap memiliki celah untuk menyembunyikan nama
pemilik HGU.
d.[c.] Masa kepemilikan HGU diperpanjang 90 tahun
Pasal lain yang bermasalah, menurut kami adalah pasal 26. Pasal ini
menurutnya memberikan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 90 tahun. Begini
bunyi pasalnya:

Pasal 26
(1) Hak Guna Usaha diberikan dengan jangka waktu:
a. untuk perorangan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan
b. untuk badan hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
(2) Dalam hal memenuhi ketentuan dan persyaratan, Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang satu kali, yaitu:
a. untuk perorangan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan
b. untuk badan hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
(3) Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan kekhususan dalam hal
permohonan dan perpanjangan Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan perpanjangan jangka


waktu Hak Guna Usaha paling lama 20 (dua puluh) tahun.

5. Nuansa Domein Verklaring zaman Belanda

Draft RUU Pertanahan ini juga dianggap mengandung nilai Domein


Verklaring zaman kolonial Belanda. Domein Verklaring sendiri merupakan
asas di mana tanah menjadi milik negara ketika sang pemilik tanah tidak bisa
membuktikkan bukti kepemilikkannya. Nuansa itu muncul dalam Pasal 36:

Pasal 36
(1) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf b diberikan kepada:
a. instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau
c. badan keagamaan dan sosial.
(2) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemegang hak dalam
rangka pelayanan publik.
(3) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilepaskan dan dialihkan dengan cara tukar bangun atau cara lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai dengan jangka waktu dan Hak
Pakai selama digunakan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai