Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT 23 PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 22 TAHUN 2022

Oleh

MUHAMMAD BOY BHASKARA

NIM. 2017.06.1.0008

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS HUKUM

2022

1
PROPOSAL SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT 23 PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 22 TAHUN 2022

Disusun Untuk Persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh
MUHAMMAD BOY BHASKARA
NIM. 2017.6.1.0008
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2022
TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT 23 PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2022
PROPOSAL

1. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu bangsa hukum yang dengan tegas ada didalam

pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

selanjutnya di sebut UUD NRI 1945. Indonesia memperoleh sebuah pengaturan

dalam melakukan pembangunan rasa tertib, rasa aman, rasa adil, serta mampu

menyejahterahkan rakyat. 1

Setiap proses pembangunan suatu negara tentu diharapkan untuk memajukan

negaranya, namun tidak dapat terelakan jika mungkin saja terdapat dampak negatif

yang menyertai proses pembangunan sosial tersebut. Salah satu contohnya dampak

negatif tersebut adalah korupsi. Pemerintah yang seharusnya mengindahkan asaas-

asas pemerintahan yang baik, justru berbalik untuk melanggarnya.

Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun

dilihat dari sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak

lagi merupakan kejahatan biasa atau ordinary crimes tetapi sudah merupakan

kejahatan yang sangat luar biasa atau extra ordinary crimes.2

1
Muhammad irnas, Mitro Subroto “Pertanggungjawaban Hukum Pada Pembebasan Bersyarat
Narapidana Sebagai Upaya dalam Pencegahan Virus Covid 19 di Lembaga Pemasyarakatan” Jurnal
Pendidikan Tambusai, Vol. 6 No.1 (2022)
2
Yonna B. Salamor “Kebijakan Moratorium Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bagi
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” Jurnal Sasi, Vol. 22 No.1 (2016)
4

Pengaturan Hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk

kolusi dan nepotisme, telah cukup lengkap. Ini berarti aparat penegak hukum,

berdasarkan pengaturan hukum tersebut, dapat melakukan penindakan terhadap

pelaku korupsi. Lemahnya konsistensi penegak hukum dalam penanggulangan

korupsi membuat masyarakat semakin pesimis. Bahkam korupsi telah berurat akar,

sudah membudaya atau menjadi way of life.

Bergabai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan

tindak pidana korupsi baik berupa peraturan perundang-udangan maupun dalam

berbagai kebijakan hukum pidana lainnya terkait tindak pidana korupsi. Marc Ancel

pernah menyatakan bahwa moder criminal science terdiri dari 3 (tiga) komponen,

yaitu Criminology, Criminal law, dan penal policy. Penal Policy atau kebijakan

hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai

tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

baik dan untuk member pedoman lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya

kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

pengadilan.3

Pada tanggal 3 agustus 2022 telah ditandatanganinya Undang-undang Nomor

22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan oleh Presiden Republik Indonesia. Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2022 ini merupakan subsistem peradilan pidana yang dalam

penyelenggaraannya meliputi penegakkan hukum di bidang perlakuan terhadap


3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2005, hal. 21
5

tahanan, anak, dan warga binaan yang secara langsung mencabut Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.4

Pada tanggal 6 September 2022 23 Narapidana Tindak Pidana Korupsi telah

dibebaskan, Menteri Hukum dan HAM memberikan tanggapan atas pembebasan

bersyarat 23 Narapidana Tindak Pidana Korupsi menurut dirinya hal tersebut sudah

sesuai dengan peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana yang melakukan Tindak

Pidana Korupsi mendapat pertentangan oleh masyarakat luas. Pemberian pembebasan

bersyarat ini seolah mematahkan usaha dan semangat bangsa ini untuk membangun

memberantas Tindak Pidana korupsi. Tentu sangat tidak adil apabila koruptor yang

telah mengakibatkan kerugian negara sebegitu besarnya dibebaskan dengan

pemberian pembebasan bersyarat begitu saja. Pembebasan bersyarat ini juga

berpotensi untuk tidak memberikan efek jera pada terpidana korupsi karena

pembebasan bersyarat ini dapat menjadi jalan keluar untuk lari dari tanggung jawab

atas kerugian negara akibat dari kejahatan Korupsi yang telah mereka lakukan.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut penulis mengangkat judul

“Tinjauan Yuridis Pembebasan Bersyarat 23 Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022”.

4
Kementerian Hukum dan HAM, “UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan telah
Terbit, Divisi Pas kanwil Kemenkuham Kalteng Berdiskusi” https://kalteng.kemenkumham.go.id/ 5
September 2022, dikunjungi pada tanggal 22 September 2022.
6

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka rumusan

masalah yang akan menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
7

2.1. Bagaimana kualifikasi terhadap pembebasan bersyarat ditinjau dari

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

2.2. Apakah layak penerapan pembebasan bersyarat tersebut ditujukan kepada

pelaku Tindak Pidana Korupsi.

3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui kajian yuridis

terhadap Tinjauan Yuridis Pembebasan Bersyarat 23 Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 serta dapat dikembangkan lebih

rinci dan terpadu daam pengembangan ilmu hukum mengenai Pembebasan Bersyarat

23 Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022.

3.1. Untuk mengetahui pengaturan dalam pembaharuan hukum pidana untuk

menyikapi adanya pembebasan bersyarat terhadap 23 Narapidana

Tindak Pidana Korupsi yang telah merugikan Negara menurut Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2022.

3.2. untuk mengetahui pengaturan tentang Pembebasan bersyarat dalam

hukum pidana mendatang.


8

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuan agar

dipecahkan secara tepat dan akurat, maka apa manfaat secara praktis dan secara

teoritis.

4.1 Secara Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat memberikan manfaat

dan mampu memberikan tambahan pengetahuan terkait analisis terhadap

Pembebasan Bersyarat 23 Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2022.

4.2. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan badan peradilan tertinggi sesuai

peraturan perundang-undangan dapat mengkaji dan segera

mempertimbangkan terkait Pembebasan Bersyarat 23 Pelaku Tindak Pidana

Korupsi yang ditinjau menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022.

5. Kajian Pustaka

5.1. Makna dan Ruang Lingkup Pembebasan Bersyarat


Pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani

sekurang-kurangnya dua per tiga masa pidananya, dengan ketentuan dua per

tiga tersebut tidak kurang dari 9 bulan. Pasal 15 ayat (1) KUHP menegaskan

bahwa yang dapat dibebaskan secara bersyarat itu hanyalah orang-orang yang

oleh hakim telah dijatuhi putusan yang berkekuatan hukum tetap dengan
9

pidana penjara, yang dua pertiga masa pidana mereka telah mereka jalankan,

dan lamanya duapertiga dari masa pidana tersebut adalah sekurang-kurangnya

sembilan bulan pidana penjara yang telah dijalaninya.5

Pembebasan bersyarat merupakan bagian dari pemidanaan dan

pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan, menurut Barda

Nawawi, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan

pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat, meliputi mencegah,

mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan

keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan

rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda,

memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat) dan aspek

perbaikan dari pelaku, meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan

rehabilitas dan memasyarakatkan kembali pelaku dan melindunginya dari

perlakuan sewenang-wenang diluar hukum.6

5.2. Pengertian Narapidana


Pengertian narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai

waktu dan kesempatan untuk bertobat.7

Narapidana adalah subjek hukum yang kebebasannya terpenjarakan

untuk sementara waktu dalam penempatan ruang isolasi jauh dari lingkup
5
Sunardi, Syudman Halawa, Edyson Boly Mayristo “Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan
Bersyarat Narapidana Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid 19” Jurnal
Rectu. Vol. 4 No. 1 (2022)
6
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Hukum PidanaI”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002,
hal. 224-225
7
Petrus Irawan Panjaitan, Pandapotan Simongkari, “Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Perspektif Sistem Peradilan Pidana Penjara”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 48.
10

masyarakat, oleh karena itulah mereka juga perlu diperhatikan

kesejahteraannya di dalam sel tersebut terlebih lagi seorang narapidana yang

hidupnya terisolasi oleh umum.

Di dalam pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan.8 Dari peraturan tersebut maka narapidana hanya

dikenakan kehilangan kemerdekaan. Tetapi hak-hak yang dimiliki narapidana

tersebut tentunya sama dengan hak-hak subjek hukum lainnya.

5.3. Makna dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi


Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio

atau corruptus yang itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin

yang lebih tua. Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti

Inggris, Corruption, corrupt, Perancis, corruption, dan Belanda, corruptie

(korruptie). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “korupsi” dalam

bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda.9

Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:10

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,

dan ketidak jujuran.

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok, dan sebagainya.

c. Dapat pula berupa:


8
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
9
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal.4
10
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 8
11

1) Korup (busuk; suka menerima uang suap uang/sogok;

memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan

sebagainya);

2) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang,

penerimaan uang sogok, dan sebagainya);

3) Koruptor (orang yang korupsi).

Pengertian tindak pidana korupsi adalah kegiatan yang dilakukan untuk

memperkaya diri sendiri atau kelompok, dimana kegiatan tersebut melanggar

hukum karena telah merugikan bangsa dan negara. Faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia, yaitu sebagai berikut:11

a. Faktor politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan

Hal ini sesuai dengan rumusan penyelewengan penggunaan uang

negara yang dipopulerkan oleh E. Jhon E merich Edward Dalberg

Acton (lebih dikenal dengan nama Lord Acton) yang menyatakan

bahwa “power tend to corrupt, but absolute power corrupts abslutely”

atau “kekuasaan cenderung korupsi, dan kekuasaan yang absolut

menyebabkan korupsi secara absolut”.

b. Faktor yuridis atau yang berkaitan dengan hukum

Lemahnya sanksi hukuman akan menyangkut bunyi pasal-pasal dan

ayat-ayat peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi.

c. Faktor budaya
11
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Cetakan Pertama, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2014, hal. 11
12

Karena korupsi merupakan peninggalan pandangan feodal yang

kemudian menimbulkan benturan kesetiaan, yaitu antara kewajiban

terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara, hal tersebut

berkaitan dengan kepribadian yang meliputi mental dan moral yang

dimiliki seseorang.

Pengertian tindak pidana korupsi sangat sulut di definisikan, hal ini

dikarenakan dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak

menjelaskan secara kata per kata pengertian dari “tindak pidana korupsi”,

melainkan tindak pidana korupsi dapat dilihat dari jenis perbuatan pidana

yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana terseut.

5.4. Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Melihat perkembangan terakhir mengenai pelaku tindak pidana

korupsi tidak hanya dilakukan secara individual atau perseorangan, tetapi

dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok di dalam suatu unit kerja

atau perusahaan. tindakan berkelompok ini berkembang menjadi kerja sama

natar unit kerja yang melibatan pihak ketiga, unit kerja dengan instansi lain,

antar instansi dan perkembangan terakhir antara ekseketif denagn legislatif,

eksekutif dengan auditif yang kesemuanya dilakukan kadangkala

sepengetahuan atasan secara berjenjang sampai dengan tingkat pimpinan.

Tindakan kolusi dengan nepotisme ini betul-betul telah membenturkan


13

hilangnya makna suatu institusi yang semula berfungsi sebagai pengendali

dan pengawas menjadi pelaku tindak pidana korupsi.

Pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur oleh

perundang-undangan yang berlaku yaitu yang diatur dalam KUHP dan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang, bisa

perorangan dan bisa korporasi terdiri atas:12

1. Mereka yang melakukan;

2. Yang menyuruh melakukan;

3. Dan yang turut serta melakukan;

4. Serta pengajur;

5. Mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan; dan

6. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangnan untuk melakukan kejahatan.

Setaip orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Korporasi berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi berbunyi sebagai berikut:

12
Surachmi dan Suhandi Cahaya, Strategis Dan Teknik Korupsi Mengetahui Untuk
Mencegah, Jakarta: Sinar Grafik, 2013, hal. 31-32
14

“korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”

Pegawai negeri berdasarkan Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 31

tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana korupsi yang pengertiannya meliputi:

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang

Kepegawaian;

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP (Pasal 92

KUHP);

3. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;atau

4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi lain yang

menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP pelaku korupsi yang dihukum sebagai orang

yang melakukan peristiwa pidana adalah:

1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut

melakukan perbuatan itu;

2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan

atau pengaru, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi

kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk

melakukan sesuatu perbuatan.


15

Tentang orang-orang tersebut dalam nomor 2 itu yang boleh

dipertnggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja

dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Orang yang dihukum sebagai yang melakukan dapat dibagi atas 4 (empat)

macam, yaitu sebagai berikut:13

1. Orang yang melakukan (pleger)

Oeang ini ialah yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir

atau elemen dari peristiwa pidana. dalam peristiwa pidana yang

dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi

elemen status sebagai pegawai negeri sipil.

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)

Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan

yang disuruh (pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan

peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia

dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau

melakukan peristiwa pidana. disuruh (pleger) itu harus hanya

merupakan sebuah alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat

dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

3. Orang yang turut melakukan (mendepleger)

Turut melakukan dalam arti kata yaitu bersama-sama melakukan.

Setidaknya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger)

13
Ibid, hal. 31-35
16

dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. disini

diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan

pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana

itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja

atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian,

maka orang yang menolong itu tidak masuk sebagai orang yang turut

melakukan, tetapi dihukum sebagai membantu melakukan

(medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56 KUHP.

4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan

sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan

(ultiloker).

6. Metode Penelitian
Penulisan karya ilmiah atau skripsi harus selalu dibuat dengan

berdasarkan data-data yang bersifat obyektif, sistematis, dan rasional sehingga

karya ilmiah atau skripsi tersebut dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang terencana dan

dilakukan dengan metode-metode yang berkaitan dengan analisis dan

terkontruksi secara metologis, sistematis, dan konsisten.14

Metode penelitian hukum mempunyai ciri-ciri tertentu yang

merupakan identitasnya, oleh karena itu ilmu hukum dapat dibedakan dari

ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. secara khusus menurut jenis, sifat dan tujuan

14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 35
17

dari suatu penelitian hukum juga dibedakan dari ilmu-ilmu pengetahuan

lainnya. suatu penelitian hukum dibedakan menjadi 2 (dua) aitu penelitian

hukum normative dan penelitian hukum empiris.15

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum

normative, sebagaimana menurut Peter mahmud Marzuki, penelitian hukum

normative adalah langkah untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi.16

Ada dua jenis penelitian:17

1) Penelitian kepustakaan atau yang disebut sebagai penelitian

mengumpulkan data atau bahan sekunder. Pada penelitian ini alat

atau metode nya adalah studi dokumen atau buku-buku apabila dirasa

bahan atau data kurang maka dapat dilakukan wawancara dengan

informan atau narasumber guna mendapatkan data yang lebih

lengkap.

2) Penelitian lapangan yaitu penelitian dengan studi dokumen kemudian

peneliti melakukan wawancara dengan responden dan apabila dirasa

kurang, maka dapat dilakukan pengamatan silang tergantung

permasalahan yang diteliti.

15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Cet. 6 Kencana Prenada Media Group,
2005, hal. 21
16
Ibid, hal. 13
17
Sri Mamudji, Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, Jakarta: badan Penerbit Fakultas
Hukum Indonesia, 2005, hal. 1
18

6.1. Tipe Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum, yaitu

suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini

sesuai dengan karakter perspektif ilmu hukum.18 Tipe penelitian dalam

penulisan skripsi ini adalah yuridis normative (Legal Research), yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang

bersifat formil seperti Undang-undang, peraturan-peraturan serta literature

yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.19

6.2. Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Undang-

undang (statute approach) yang dilakukan dengan cara menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani.20 Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian.21

Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan konseptual (conceptual

approach) yang merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-

18
Peter Mahmud Marzuki, penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 35
19
Ibid, hal. 29
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013,
hal. 133
21
Johni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Publishing,
2006, hal. 302
19

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum, guna

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep, dan asas hukum

yang relevan, sebagai sandaran dalam membangun suatu argumentasi hukum

dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.22

6.3. Sumber dan bahan Hukum

Adapun sumber dan bahan hukum dalam penelitian ini sebagai berikut:

a) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan

b) Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

6.4. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder maupun

tersier yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kepustakaan yaitu

dengan menyimpulkan dan di inventarisasi semua bahan-bahan hukum yang

terkait dengan pokok permasalahan. Kemudian dalam pengelolaan bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang telah

terlampir tersebut diuraikan lalu dihubungkan sedemikian rupa sehingga

membentuk penulisan yang lebih sistematis.

22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013,
hal. 135-136
20

6.5. Analisis Bahan Hukum

Menganalisis bahan yang diperoleh, dengan cara memadukan bahan

hasil penelitian pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta

doktrin yang berkaitan dengan pokok permaslahan. Norma hukum diperlukan

sebagai premis, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan

(legal facts) dan melalui proses ini akan diperoleh kesimpulan (conclusion)

terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

7. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian yang berjudul ”TINJAUAN YURIDIS

PEMBEBASAN BERSYARAT 23 PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022” peneliti

membagi penelitian kedalam 4 (empat) bab yang mana setiap bab terdiri dari

sub-sub guna memberi penjelasan yang sistematis dan efektif.

Bab I Pendahuluan : Pada Bab ini memulai dari pendahuluan yang

terdiri dari Latar Belakang peneliti mengangkat judul penelitian ini,

Rumusan masalah guna membatasi permasalahan yang akan dibahas

agar tidak keluar dari topik, tujuan penulisan yang menjelaskan

mengenai tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber bahan hukum,

dan pengumpulan bahan hukum, kemudian di sambung dengan

sistematika penulisan.
21

Bab II : Pada bab ini akan menjelaskan tentang

kualifikasi terhadap pembebasan bersyarat ditinjau dari Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Dan dalam

rumusan masalah ini akan membahas beberapa sub bab, antara lain

“model pembinaan narapidana” yang berisis tentang jenis-jenis

pembinaan yang diberikan kepada narapidana di lembaga

pemasyarakatan, sub bab yang kedua akan membahas tentang “hak dan

kewajiban narapidana” yang akan menjelaskan penempatan narapidana

sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri dengan hak dan

kewajiban yang sama dengan manusia lainnya. dalam bab ini akan di

tutup dengan penjelasan “prosedur pembebasan bersyarat” yang

nantinya berisi Tujuan untuk mengetahui pelaksanaan prosedur

administrasi pembebasan bersyarat narapidana Tindak Pidana

Korupsi..

Bab III : Pada Bab ini akan membahas tentang layak

atau tidaknya penerapan pembebasan bersyarat tersebut ditujukan

kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi. Yang juga akan membahas

tentang “faktor dan dampak terjadinya korupsi” yang penjabarannya

tentang faktor internal dan eksternal yang menyebabkan terjadinya

kasus korupsi. Dan akan menjelaskan bahwa “tindak pidana korupsi

sebagai extraordinary crime” Terminologi extraordinary crimes

(kejahatan luar biasa) pada sub bab ini akan dijelaskan sifat-sifat dan
22

karakteristik tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa,

setelah itu akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang “pembinaan

terhadap narapidana korupsi” yang berisi penjelasan tentang

pembinaan apa saja yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi,

dan pada bab 3 ini akan di tutup dengan analisis tentang “alasan

mendapat pembebasan” apakah syarat umum dan syarat khusus

pemberian pembebasan bersyarat telah terpenuhi oleh 23 narapidana

kasus tindak pidana korupsi.

Bab IV : Pada Bab ini merupakan penutupan yang

didalamnya terdapat kesimpulan dari penelitian dan untuk

menyempurnakannya penulis memberikan saran terhadap

permasalahan penelitian ini.

Daftar Bacaan:

Peraturan mPerundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


23

Buku:

Andi Hamza. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007.

Barda Nawawi Arief. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti. 2005.

Barda Nawawi Arief. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti. 2002.

Petrus Irawan Panjaitan, Pandapotan Simongkari. 1995. Lembaga Pemsyarakatan

Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Penjara. Jakarta:Pustaka Sinar

Harapan. 1995.

Evi Hartanti. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.

Surachmi dan Subandi Cahaya. 2013.Strategis dan Teknik Korupsi Mengetahui

Untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1986.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Cet. 6. Jakarta:Kencana Prenada

Media Group. 2005.

Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010.

Sri mamudji. 2005. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Indonesia. 2005.


24

Johni Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu

Publishing. 2006.

Jurnal, Skripsi, Tesis, Desertasi:

Muhammad Irnas, Mito Subroto. 2022. “Pertanggungjawaban Hukum Pada

Pembebasan Bersyarat Narapidana Sebagai Upaya dalam Pencegahan Virus

Covid 19 di Lembaga Pemasyarakatan”. Jurnal Pendidikan Tambusai. Vol.

6 No. 1.

Sunardi, Syudman Halawa, Edyson Boly Mayritos. “Kebijakan Hukum Pidana

Pembebasan Bersyarat Narapidana Dalam Rangka Pencegahan dan

Penanggulangan Penyebaran Covid 19”. Jurnal Rectu. Vol. 4 No. 1.

Yonna B. Salamor. 2016. “Kebijakan Moratorium Remisi dan Pembebasan Bersyarat

Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Sasi. Vol. 22

No. 1.

Internet:

Kementerian Hukum dan HAM, “UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan

telah Terbit, Divisi Pas kanwil Kemenkuham Kalteng Berdiskusi”

https://kalteng.kemenkumham.go.id/ 5 September 2022, dikunjungi pada

tanggal 22 September 2022.


25

Anda mungkin juga menyukai