Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 3, No.

7, Juli 2022
E-ISSN:2723 – 6595
http://jiss.publikasiindonesia.id P-ISSN:2723 – 6692

Analisis Tindak Pidana Pasal 12 Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana

Brenhard Mangatur Tampubolon1*, Fadjrin Wira Perdana2, Irwan3, Doharman


Lumban Tungkup4, Miran5
Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia1, 2, 3, 4, 5
Email: bmtampu@gmail.com1*, fadjrinwira@gmail.com2 irwanpasang07@gmail.com3,
doharman29021980@gmail.com 4, mrnbp2ip@yahoo.com5

Artikel info
Artikel history Abstrak
Diterima : 05-07-2022 Untuk keempatbelas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang
Direvisi : 15-07-2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU
KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2022 Juli
Disetujui : 25-07-2022 yang akan digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini
menggantikan rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 2004.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP
tahun 2022 ini lebih maju beberapa langkah daripada rancangan
sebelumnya. Ide-ide dasar seperti pemaafan korban, kategorisasi denda, dan
alasan penghapus pidana yang tidak ada dalam rancangan sebelumnya
dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini. Artikel ini menelaah RUU
KUHP 2022 sekaligus mengkaji tentang ide-ide dasar yang melatarbelakangi
prinsip-prinsipnya. Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan,
Kata Kunci: tindak pidana; analisisnya berangkat dari persoalan pokok dalam hukum pidana, yaitu
Pasal 12; RUU KUHP tindak pidana, pidana, serta pertanggungjawaban pidana. Sebagai
tambahannya, akan diuraikan juga titik-titik perbedaannya dengan rancangan
sebelumnya.

Abstract
For the fourteenth time since 1964, the Draft Law on the Criminal Code
(hereinafter abbreviated as RUU KUHP) was made. The last one for now is
the July 2022 Criminal Code Bill which will be rolled out in the legislature
for discussion. This draft replaces the previous draft, namely the 2004
Criminal Code Bill. As stated by the Head of its Formulating Team, Muladi,
the 2022 Criminal Code Bill is several steps ahead of the previous draft.
Basic ideas such as forgiveness of victims, categorization of fines, and
reasons for eliminating criminals that were not included in the previous
draft were included in the 2004 Criminal Code Bill. This article examines
the 2022 Criminal Code Bill as well as examines the basic ideas behind its
Keywords: crime; article 12;
principles. To facilitate understanding and discussion, the analysis departs
draft criminal code
from the main issues in criminal law, namely criminal acts, crimes, and
criminal liability. In addition, it will also describe the points of difference
with the previous design
Koresponden author: Brenhard Mangatur Tampubolon
Email: bmtampu@gmail.com
artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
CC BY SA
2022

Pendahuluan
Urgensi pembaharuan Hukum Pidana Indonesia didasarkan pada beberapa alasan,
diantaranya Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dipandang tidak lagi sesuai
dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Kemudian terkait dengan

Doi:
916
Implikasi Penerapan UU Cipta Kerja Terhadap Pelaksanaan Administrasi Pemerintah

perkembangan Hukum Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun
hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP.
Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana
yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional. Dalam beberapa hal telah juga terjadi
duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma
hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
Secara konseptual, membangun atau melakukan pembaharuan hukum (law reform,
khususnya “penal reform”) pada hakikatnya adalah “membangun/memperbaharui pokok-
pokok pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan sekedar memperbaharui/mengganti perumusan
pasal (undang-undang) secara tekstual. Dengan demkian, pembaharuan hukum pidana
Indonesia berorientasi kepada upaya membangun atau memperbaruhi pemikiran/konsep/ide
dasar hukum pidana yang terformulasikan pada RUU KUHP perlu untuk disiapkan dalam
banyaknya kemajuan dan terobosan di bidang hukum, memang tidak bisa dilakukan dengan
terkesan kejar cepat para penyusun undang undang harus bisa pertanggung jawabkan secara
ilmiah mengenai subtansi tertentu dalam RUU KUHP.
sehingga dalam hal yang berkaitan dengan penyusunan ini memenuhi segala
persyaratan dalam pembahasan rancangan suatu undang undang di dewan perwakilan rakyat
masuk dalam program legislasi nasional. mengingat banyaknya materi perlu dikumpulkan dan
dikaji relevansinya dengan materi hukum yang nantinya dimuat dalam RUU KUHP terus
mengalami perkembangan, diselaraskan sesuai dengan kaidah penyusunan naskah akademik
sampai mememuhi dalam subtasi rancangan undang-undang yang telah ada.
upaya rencana dalam bidang hukum khususnya pembaruhuan bidang hukum tidak
hanya membangun lembaga-lembaga hukum, tetapi juga harus mencakup pembangunan
substansi produk produk hukum yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk
peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural yakni berupa sikap-sikap dan nilai-nilai
yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum. dikarenakan kitab undang undang hukum
pidana yang berlaku di indonesia merupakan salah satu produk warisan kolonial belanda yang
sebelumnya bercorak liberalis. karena itu, muncul suatu upaya untuk memperbaharui RUU
KUHP yang dilatarbelakangi oleh perkembangan budaya atau sosial untuk mengurani
beragam hal yang menimbulkan kontroversi berbagai pihak nantinya.
RUU KUHP merupakan kesepakatan suatu ketentuan hukum yang bersifat dengan asa
lex Generalis, karena ketentuan hukum yang bersifat lebih umum. akan tetapi terkadang satu
topik memerlukan Lex Specialis yang bersifat khusus. sehingga apanila keduanya disahkan
secara bersamaan, maka berdasarkan asas Lex Specialis dengan Lex generalis, ketentuan
hukum yang bersifat khusus harus diberlakukan lebih utama daripada ketentuan hukum yang
bersifat umum.
sehingga upaya menetapkan waktu dalam RUU KUHP sebaiknya dilakukan dengan
banyak pertimbangan yang matang dan adanya sosialisasi secara komprehensif kepada semua
pihak terutama pada draft akademik, sehingga dapat memahami secara filosofis, sosiologis
dan secara persiapan yuridis apa yang diatur dalam undang-undang yang akan disahkan
tersebut. dengan segala macam perubahannnya diajukan lagi untuk di sahkan sebagai pasal 12
RUU KUHP yang baru sebelum diperlakukan di indonesia.
Uraian di bawah ini, akan dilakukan analisis terhadap substansi hukum (legal
substance) Pasal 12 RUU KUHP yang mengatur mengenai rumusan tindak pidana.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 917


Doharman Lumban Tungkup, Fadjrin Wira Perdana, Irwan, Surnata, Wahyudi Siswanto

Metode Penelitian
Metodologi yuridis normatif merupakan metodologi penulisan yang digunakan dalam
artikel jurnal ini. Metodologi ini merupakan metodologi penelitian yang menitikberatkan
kajian pada studi dokumen, seperti buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain,
serta melakukan wawancara terhadap para narasumber atau informan yang merupakan ahli
dalam topik yang menjadi pembahasan.

Hasil dan Pembahasan


Sebelum dilakukan pembahasan dan analisis, terlebih dahulu diuraikan rumusan Pasal
12 RUU KUHP sebagai berikut:
1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.
2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar.
Berkaitan dengan rumusan di atas, ada dua hal yang menarik untuk dilakukan analisis
mengenai rumusan tindak pidana dalam Pasal 12 RUU KUHP.
KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai konsep yang dianut berkaitan
dengan pengertian Tindak Pidana maupun Pertanggunjawaban Pidana. Keadaan ini sering
kali menimbulkan perdebatan dan juga perbedaan dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia. Sekalipun pada dasarnya kebanyakan para pengajar hukum pidana Belanda
dipengaruhi oleh pandangan yang bersifat monistis, yang pada dasarnya melihat persoalan
“pertanggungjawaban” sebagai bagian dari “tindak pidana”. Hal ini berarti bahwa dalam
suatu “tindak pidana” dengan sendirinya mencakup pula kemampuan bertanggungjawab.
Sudah sejak lama di Indonesia berkembangan pemikiran yang bersifat dualistis,
diantaranya secara khusus dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Moelyatno sebagaimana
disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Gadjah Mada,
yang pada dasarnya beranggapan bahwa konsep yang memisahkan “tindak pidana” dengan
persoalan “pertanggungjawaban pidana” dianggap lebih sesuai dengan cara berpikir bangsa
Indonesia. Konsep inilah tampaknya telah digunakan sebagai salah satu dasar dalam
memperbaharui KUHP, sebagaimana tampak dalam judul bab II (buku I) yaitu “Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”.
Berkaitan dengan pengertian “Tindak Pidana”, RUU KUHP telah merumuskan
sebagai “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”. Perumusan
tersebut tampaknya belum mencakup pengertian tindak pidana dalam delik materil, seperti
halnya dalam tindak pidana pembunuhan. Kelemahan ini tentunya tidak mempunyai relevansi
terkait dengan tindak pidana korupsi yang selama ini tidak dirumuskan sebagai delik materil.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 918


Implikasi Penerapan UU Cipta Kerja Terhadap Pelaksanaan Administrasi Pemerintah

RUU KUHP memandang setiap “tindak pidana” sebagai bersifat melawan hukum,
kecuali bila dapat dibuktikan bahwa terdapat alasan pembenar, yang meliputi: perbuatan
melaksanakan undang-undang, adanya perintah jabatan, keadaan darurat, pembelaan secara
terpaksa, dan perbuatan dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (dianutnya ajaran melawan hukum secara materil yang dirumuskan dalam Pasal
11 ayat (2) RUU KUHP). Perumusan tersebut di atas, lebih menjamin kemudahan dalam
proses penuntutan, karena Penuntut Umum tidak diwajibkan untuk membuktikan
dipenuhinya unsur melawan hukum. Sekalipun hal ini sesungguhnya sudah merupakan hal
biasa dalam praktek penegakan hukum pidana di Indonesia, namun KUHP saat ini
sesungguhnya tidak pernah mengatur secara tegas.
RUU KUHP tidak membagi tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran”,
karenanya RUU KUHP hanya terdiri dari 2 buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum dan
Buku II tentang Tindak Pidana. RUU KUHP mengklasifikasikan Tindak Pidana berdasarkan
bobot tindak pidana yaitu: Sangat Ringan, Berat, dan “Sangat Berat/Sangat Serius”. Dengan
demikian RUU KUHP tidak mengenal kategori tindak pidana sebagai “Tindak Pidana Luar
Biasa” atau “Extra Ordinary Crime”. Sekalipun bila kita mencermati secara lebih mendalam,
tampaknya RUU KUHP juga masih menempatkan beberapa tindak pidana tertentu sebagai
tindak pidana yang memperoleh perlakuan khusus, seperti Tindak Pidana Makar, Tindak
Pidana Terorisme, dan Tindak Pidana Narkotika.
RUU KUHP mengatur tentang kemungkinan untuk mengkualifikasi perbuatan
“permufakatan jahat” sebagai tindak pidana pidana dalam tindak pidana tertentu yang secara
tegas dinyatakan dalam undang-undang. Dalam RUU KUHP, permufakatan jahat
dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam tindak pidana: Makar, Penghianatan terhadap
Negara, Sabotase, Terorisme, Makar terhadap Negara Sahabat, Menimbulkan Kebakaran,
ledakan, dan Banjir, Membahayakan Orang dan Keamanan Umum, Psikotropika, Pencucian
Uang. RUU KUHP tidak mengkualifikasi “permufakatan jahat” untuk melakukan tindak
pidana korupsi sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.
RUU KUHP juga mengatur tentang pemidanaan terhadap “perbuatan persiapan”
terhadap tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Dalam
RUU KUHP, “perbuatan persiapan” dikualifikasi sebagai tindak pidana, apabila dilakukan
berkaitan dengan tindak pidana: Makar, Sabotase dan Terorisme. RUU KUHP tidak
mengkualifikasi “perbuatan persiapan” melakukan tindak korupsi sebagai perbuatan yang
dapat dipidana, padahal berkaitan dengan hal ini, UNCAC (artcicle 27) telah menganjurkan
kepada negara peserta untuk mengadopsi.
RUU KUHP telah pula merumuskan definisi tentang “permulaan pelaksanaan” yang
merupakan salah satu syarat untuk mengkualifikasi perbuatan sebagai suatu “percobaan
tindak pidana”. Perumusan definisi ini tentu berdampak positif khususnya dapat
memudahkan dan memberikan kepastian hukum dalam menentukan suatu perbuatan sebagai
“percobaan tindak pidana”. Secara tidak langsung, perumusan ini tentunya juga memudahkan
untuk membedakan suatu perbuatan, apakah merupakan “percobaan tindak pidana” atau
semata-mata sebagai suatu “persiapan tindak pidana”.
RUU KUHP telah juga mendefinisikan tentang “tindak pidana korporasi”
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 48 RUU KUHP, sebagai berikut: “Tindak pidana
dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 919


Doharman Lumban Tungkup, Fadjrin Wira Perdana, Irwan, Surnata, Wahyudi Siswanto

fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi
atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”.
Rumusan tersebut berbeda dengan rumusan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU Tipikor,
yang telah dirumuskan secara lebih luas karena dapat dilakukan oleh setiap orang baik
berdasarkan hubungan kerjamaupun berdasarkan hubungan lain. Sementara dalam RUU
KUHP menjadi dibatasi hanya apabila perbuatan dilakukan oleh orang-orang dalam
kedudukan fungsional tertentu dalam korporasi. Perbedaan ini dapat membawa perdebatan
hukum, khususnya terkait dengan apakah dalam hal ini, UU Tipikor tetap dapat dikecualikan
sebagai lex spesialis. Dalam arti bahwa dalam penegakan tindak pidana korupsi terhadap
korporasi, kriteria “perbuatan korporasi” yang digunakan tetap mengacu pada UU Tipikor
dan bukan pada buku I KUHP (bila kemudian RUU telah menjadi UU). Padahal buku I
dengan sendirinya berlaku terhadap ketentuan pidana di luar KUHP.
Hukum yang Hidup sebagai dasar pemidanaan juga dimuat dalam Pasal 12 ayat (2).
Pasal ini mengatur bahwa “Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang
diancam sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundangundangan harus bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Berbeda
dengan pasal 2 di atas, pasal 12 RUU KUHP menggunakan Hukum yang Hidup sebagai
landasan alternatif dari konsep melawan hukum. Melalui Pasal 12 ayat (2) ini, pelanggaran
Hukum yang Hidup dikonstruksikan terpisah dari unsur melawan hukum. Hal ini berarti
bahwa unsur melawan hukum tidak lagi menjadi unsur mutlak untuk menentukan tindak
pidana. Meskipun tidak terdapat unsur melawan hukum (baik formil maupun materiil) dalam
perbuatan pelaku, perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana jika bertentangan
dengan Hukum yang Hidup dalam masyarakat.
Sebelumnya norma hukum yang meletakan Hukum yang Hidup sebagai dasar
pemidanaan sudah dimuat dalam Undang-Undang Darurat No. 1/1951 tentang
TindakanTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pasal 5 ayat (3)b UU ini berbunyi sebagai berikut “suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi
tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu
sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak
terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan yang terhukum‟. Tidak hanya sekedar memakai norma pidana adat untuk
pemidanaan, UU ini juga menyinggung eksistensi peradilan atau sidang adat yang dapat
menghasilkan hukuman adat.
Pasal 12 RUU KUHP menempatkan Hukum yang Hidup dalam fungsinya yang
semata-mata positif: meskipun suatu perbuatan tidak mengandung sifat melawan hukum,
perbuatan tersebut dapat dipidana berdasarkan Hukum yang Hidup dalam masyarakat.
Padahal, dalam ajaran „melawan hukum‟, dikenal pula sifat melawan hukum dalam
kapasitasnya yang negatif. Artinya, meskipun perbuatan seseorang melanggar peraturan
perundangundangan, apabila perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum yang
Hidup dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum.
Sayangnya, RUU KUHP tidak memiliki ketentuan semacam ini.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 920


Implikasi Penerapan UU Cipta Kerja Terhadap Pelaksanaan Administrasi Pemerintah

Inkonsitensi ajaran “melawan hukum” yang berusaha dimasukkan RKUHP (Pasal 12


justru bertentangan dengan Pasal 37 RKUHP) Pasal 12 menyatakan untuk dinyatakan sebagai
suatu tindak pidana, maka harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat, namun Pasal 37 huruf a justru mengatur orang dapat dipidana
semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan
adanya kesalahan.
Menjalani pidana penjara untuk waktu sementara selama 32 tahun, adalah jelas
menyalahi batas maksimum pidana penjara untuk waktu sementara yang diatur dalam
Pasal 12 ayat (4) KUHP yang menyatakan “(4) Lamanya hukuman penjara sementara itu
sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlepas dari masih adanya beberapa perbedaan,
rumusan tindak pidana dalam Pasal 12 RUU KUHP telah mengakomodir pembaharuan
pemikiran/konsep/ide dasar Hukum Pidana Indonesia. memang upaya dalam pembaharuan
produk hukum pidana tidak mengensampingkan secara ad-hoc (partial) tetapi harus mendasar,
menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang nantinya memuat serta mencakup
tiga aspek penting permasalahan pokok hukum pidana antara lain, perumusan perbuatan yag
bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility)
baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate
criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.
sehingga upaya mencapai tujuan itu melalui hukum pidana, secara bertahap dan
dilaksanakan kebijakan legislasi nasional. berbagai rancangan undang-undang baru atau revisi
yang nantinya mengatur aspek pemidanaan telah dilakukan seiring dengan perkembangan
masyrakat indonesia yang begitu cepat dan tuntutan akan keadilan begitu kuat, rumusan
hukum pidana yang menjadi rujukan serta sumber utama dalam RUU KUHP terkadang tidak
mampu dijadikan dasar hukum untuk mengatasi promblem kejahatan dan tuntutan keadilan
karena adanya perkembangan beragam aspek baru adanya tuntutan masyarakat terhadap
kepentingan hukm baru yang harus dilindungi hukum pidana, kebutuhan bidang hukum lain
(hukum perdata dan hukum administrasi) membutuhkan sanksi hukum pidana untuk
memperkuat norma norma dan nilai nilainya dan terpenting adaptasi terhadap demokratisasi
dan harmonisasi terhadap perkembangan dunia hukum internasional.
karena keadaan hukum pidana tersebut telah menggugah kesadaran masyarakat
indonesia akan arti pentingnya pembaharuan hukum pidana dalam RUU KUHP secara
komprehensif, yang didalamnya harus mengandung misi konsolidasi untuk mentaati asas-asas
tersurat dan tersirat guna membangun sistem hukum pidana indonesia bisa diterima sampai
dengan bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan moril.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 921


Doharman Lumban Tungkup, Fadjrin Wira Perdana, Irwan, Surnata, Wahyudi Siswanto

Bibliografi

------------------------, ”Kendala Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi &
Pencucian Uang”, Paper, Jakarta, 2007.
-----------------------, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia,
Penerbit Badan Pembinaaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Jakarta, 2002.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Depok: PT. RajaGrafindo
Persada, 2013.
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor
Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan”, Jakarta, 2006.
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi Asas, Teori dan Penerapannya), Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Apeldoorn, L.J. van., Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: BPHN, 2015.
Budiarjo, Miriam. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan,
1984
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Edisi Revisi), Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2016.
Fence M. Wantu, Pengantar Ilmu Hukum, Gorontalo: Reviva Cendekia, 2015. Kardi Husin
dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 922


Implikasi Penerapan UU Cipta Kerja Terhadap Pelaksanaan Administrasi Pemerintah

Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, 2002.
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2002.

Rahmawati, Maidina dan Supriyadi Widodo Eddyono. RUU DPR Versus DIM Pemerintah :
Melihat Posisi DPR dan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang. Jakarta: ICJR,
2017
Rukmini, Mien, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT
Alumni, Bandung, 2006.

Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 923

Anda mungkin juga menyukai