PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Riau
OLEH:
MUHAMMAD ISA
180701130
i
PERSETUJUAN
Kami yang bertanda tangan di bawah ini selaku Pembimbing I dan Pembimbing
II, dengan ini menyetujui bahwa Proposal berjudul: “Implementasi Pembebasan
Bersyarat Terhadap Narapidana Berdasarkan Permenkumham Nomor 18
Tahun 2019 Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura” yang ditulis oleh :
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 61
A. Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019
Di Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura .................................................. 61
B. Kendala Dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat di Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura ................................... 76
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 80
A. Kesimpulan ............................................................................................ 80
B. Saran/Rekomendasi ................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan adanya
norma-norma atau aturan yang menjadi batasan seseorang dalam bertindak
agar tidak terjadi kekacauan. Salah satu norma tersebut yakni norma hukum.
Norma ini bersifat memaksa dan mengikat, sehingga bagi siapapun yang
melanggarnya akan dikenakan sanksi berupa pidana.
Hukuman pidana pada dasarnya bersifat siksaan atau penderitaan yang
dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan yang ditentukan oleh hukum pidana
(undang-undang). Tujuan hukum pidana menjatuhkan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak kejahatan merupakan jalan terakhir (ultimatum remidium)
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum dan hak hukumnya, yaitu
jiwa/nyawa seseorang, badan/fisik seseorang, kehormatan seseorang,
kesusilaan seseorang, kemerdekaan seseorang, dan harta benda seseorang. 1
Menurut Topo Santoso, yang mengutip pendapat Wirjono Pradjodikoro, tujuan
hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Ada pula yang menyebut
tujuan lain yaitu untuk preventif (pencegahan) umum dan preventif khusus, di
samping untuk mendidik dan juga untuk memperbaiki orang yang melakukan
kejahatan.2
Merujuk pada Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jenis
hukuman atau pidana yang dapat diberikan berupa pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok yaitu pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan,
Pidana denda dan Pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan adalah
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Hukuman atau pidana tersebut diberikan dan
dilaksanakan oleh Negara kepada setiap warga negara yang terbukti bersalah
sesuai putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
1
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 236-
237.
2
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam Konteks
Modernitas, Bandung: Asy Syaamil, 2001, hlm. 23.
1
2
3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002, hlm. 23
4
E Sumaryono, Etika dan Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 142.
5
Yeni Widowati et al, Hukum Pidana, (Yogakarta: Lab Hukum FH UMY, 2007), hlm. 5
3
6
I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta:
Fikahati Anesa, 2010, hlm. 133.
7
Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Kesatuan
Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo), Skripsi, (Surakarta: F. H, Univ Sebelas Maret, 2006), hlm. 9
4
8
I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta:
Fikahati Anesa, 2010, hlm. 133.
9
Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Kesatuan
Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo), Skripsi, (Surakarta: F. H, Univ Sebelas Maret, 2006), hlm. 9
5
mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem
Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu
merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah
timbulnya kejahatan..
Macam-macam metode pembinaan dalam sistem pemasyarakatan telah
tersusun dan dikelompokan ke dalam bentuk pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Seperti pembebasan
bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), pemberian
remisi dan amnesti. Pelaksanaan pembinaan narapidana oleh Lembaga
Pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang salah satu asanya menganut asas persamaan perlakuan
dan pelayanan yang dalam penjelasanya asas tersebut memiliki arti yaitu
pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan
pemasyarakatan, yaitu anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan
tanpa membeda-bedakan orang sebagai asas secara khusus.
Sistem pembinaan bagi narapidana bertujuan untuk mencapai
reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan antara warga binaan dan masyarakat.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.10
Selain penjatuhan hukuman pidana sebagai bentuk hukuman atas tindak
pidana yang dilakukannya, negara juga tetap memperhatikan hak-hak asasi
manusia bagi seorang narapidana. Osita Eze menyatakan bahwa Hak Asasi
Manusia merupakan tuntutan atau klaim yang dilakukan oleh individu atau
kelompok kepada masyarakat atau negara, yang sebagiannya telah dilindungi
dan dijamin oleh hukum, dan sebagiannya lagi masih menjadi aspirasi atau
10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat
6
harapan dimasa depan. Eze memberikan tekanan pada realitas bahwa hak-hak
dasar tersebut belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum negara.11 Hak-hak
narapidana, yaitu sebagai berikut:
1. Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaanya
2. Hak untuk mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun
jasmani.
3. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
5. Hak untuk menyampaikan keluhan.
6. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang
7. Hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya
9. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
10. Hak untuk mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
12. Hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
13. Hak untuk mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.12
11
Hariyanto, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Mahameru Press,
2017, hlm. 3-4.
12
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
13
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 2.
14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 3
7
Bersyarat diatur dalam Pasal 82 sampai Pasal 100 Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sebagaimana telah diubah
melalui Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018
tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dapat saja
dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa
pidana di Lembaga Pemasyarakatan, hingga kemudian berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat. Dengan adanya pembebasan bersyarat ini negara
berusaha untuk memberikan hak-hak narapidana dengan tidak menciderai rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat secara umum.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dapat saja
dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa
pidana di Lembaga Pemasyarakatan, hingga kemudian berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat. Dengan adanya pembebasan bersyarat ini negara
berusaha untuk memberikan hak-hak narapidana dengan tidak menciderai rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat secara umum. Pembebasan Bersyarat
merupakan pelaksanaan pidana penjara untuk dilepas menjelang bagian akhir
masa pidananya, agar menjalani sisa pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Secara umum, pembebasan bersyarat memberikan hak kepada seorang
narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk menjalani masa hukuman di
luar tembok penjara.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan untuk memberikan kesempatan memperbaiki diri. Dalam
penetapan 2/3 masa pidananya minimal 9 bulan, tak semua narapidana dan
anak didik pemasyarakatan yang mendapatkan pembebasan bersyarat kecuali
yang telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang pernah
dilakukan, serta mengikuti kegiatan pembinaan secara tekun, dan selama
menjalankan pidananya tidak melanggar hukum disiplin. Dalam pemberian
8
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 dalam
pemberian Pembebsan Bersyarat terhadap narapidana di Rutan Kelas IIb
Siak Sri Indrapura?
2. Apa saja kendala dan hambatan dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat
terhadap narapidana Rutan Kelas IIb Siak Sri Indrapura?
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penyusunan skripsi ini, penyusun telah melakukan telaah
pustaka, dan ada beberapa skripsi sebelumnya yang meneliti dalam masalah
yang hampir sama dengan judul yang akan penyusun tulis. Sejauh pengamatan
penyusun, sampai disusunnya penelitian ini ada beberapa penelitian yang
mirip. Beberapa karya tulis yang meneliti tentang pembebasan bersyarat
adalah:,
10
15
Azhar, “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bukittinggi”, Skripsi untuk meraih gelar SI Fakultas Hukum UAP,
Sumatra Barat, 2008
16
Hanif Suprayogie, “Analisis Yuridis Sosiologis terhadap Pembebasan Bersyarat bagi
Narapidana, Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Malang”, Skripsi untuk meraih gelar SI
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang , 2008
17
Lutfi Azizah, “Hak-hak Narapidana dalam Prespektif Hukum Islam pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2006.
18
Qiwamuddin Tata Adi Sasmita, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi
Narapidana (studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A yogyakarta), Skripsi, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013.
11
19
Arinal Nurrisyad Hanum, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Kepada
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman, 2012.
12
E. Teori
Adapun teori yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah
1. Teori efektivitas Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi
penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal.20
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3
bagian yaitu:21
a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive
law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
20
Shant Dellyana. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 37
21
Ibid, hlm. 39
13
dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.
Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri
memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu
sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten).
Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal.
c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-
keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan
sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya
discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum
pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law
application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk
didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan
hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative
system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang
menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.
b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif
(administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai
aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.
c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system),
dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula
diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan
masyarakat.
14
22
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan
Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42
15
yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh
polisi begitu luas dan banyak.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono
Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
2. Teori Pembebasan
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah
pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.
Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht
voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris
(progressive system), dimana rangka pengembalian terpidana dengan baik
ke masyarakat.
16
23
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3)
24
Ibid
25
Rocky Marbun, “Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014, hlm. 567-568.
17
elemen sistem tersebut. Dengan kata lain, suatu sistem hukum diandaikan
untuk menjamin distribusi tujuan dari hukum secara benar dan tepat di antara
orang-orang dan kelompok.26
a. Struktur Hukum/Pranata Hukum
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem
Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan
dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981
meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana
Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-
undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat
adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia
ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan
independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya
angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan
penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor
yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya
lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor
penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka
akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan
kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.27
b. Substansi
26
Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Social Science Perspective, Terjemahan
M. Khozim, (Bandung: Nusamedia, 2011), hlm. 18-19
27
Slamet Tri Wahyudi, “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks Penegakan
Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2 Juli 2012, hlm. 217- 218.
18
F. Metode Penelitian
Dalam hal melakukan penelitian ini dan untuk melengkapi data yang
konkrit, jawaban yang objekif dan ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan
dalam hal kebenarannya, maka penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah Yuridis Empiris (hukum
Sosiologis) yang‘ bersifat deskriptif yang ‘dengan kata lain adalah jenis
penelitian hukumsosiologis dandapat disebut pula dengan penelitian
lapangan‘, ‘yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang
terjadi dalam kenyataannya‘.29 Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentangmanusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya.30 Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang
dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukanfakta-fakta
dan data yang dibutuhkan. Penelitian ini terfokus pada gejala sosial dan
hukum dalam masyarakat, dalam hal ini adalah Rumah Tahanan Negara
Kelas II Siak Sri Indrapura.
2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian adalah merupakan tempat dan keadaan di
manapeneliti diharapkan dapat menangkap keadaan yang sebenarnya dari
obyek yang diteliti dalam rangka memperoleh data. Agar data yang
diperoleh lebih akurat, maka peneliti memilih sekaligus menetapkan tempat
dan waktu serta suasana yang memungkinkan dalam upaya menggali
keterangan atau data yang dibutuhkandengan pertimbangan agar dapat
29
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.
15
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, (UI-
Press), 1986, hlm‘. 10.
20
31
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, 1983. hlm. 65
21
32
Soemadi Pradja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bina Cipta, Bandung. 2011, Hlm.
24
22
23
yang pernah dia lakukan, sedangkan pembimbingan pada Pasal 1 ayat (2) adalah
pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan
rohani klien Pemasyarakatan.33
Pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan pada hakikatnya
berorientasi kepada pembangunan manusia seutuhnya, yang berarti terdapat
hubungan yang erat dengan Program Pendidikan Masyarakat (Kelompok Belajar
Paket A dan Kelompok Belajar Usaha) dan bertujuan agar mereka kelak setelah
selesai menjalani masa pidananya tidak lagi melanggar hukum serta dapat ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pembinaan dan pembimbingan
kepribadian dan kemandirian meliputi hal-hal :
1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kesadaran berbangsa dan bernegara.
3. Intelektual.
4. Sikap dan perilaku.
5. Kesehatan jasmani dan rohani.
6. Kesadaran hukum.
7. Reintregasi sehat dengan masyarakat.
8. Ketrampilan kerja.
9. Latihan kerja dan produksi
Dalam prinsip-prinsip pokok pemsyarakatan sebagai dasar pembinaan
narapidana, menyebutkan bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.
Kepada narapidana harus diberikan kesempatan dan bimbingan untuk
melaksanakan ibadahnya, jiwa musyawarah untuk mufakat. Narapidana harus
diikutsertakan dalam kegiatan demi kepentingan umum. Dalam hal
penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana merupakan
kewenangan menteri, melalui petugas pemasyarakatan sebagai pelaksana. Hal
tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Pasal 7 ayat (1) yaitu
pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan diselenggarakan
oleh menteri dan dilaksanakan oleh petugas Lapas.
33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan Pasal 1
24
34
Ninik Wijayanti dan Yulius Waskito, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya.
Biana Aksara, Jakarta, 2013, Hlm. 67
35
Soemadi Pradja. Op. Cit. Hlm. 24.
36
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2014, Hlm.
305.
25
37
HC Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1998, Hlm.2
38
A.W. Widjaya. Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen. Jakarta: Radar Jaya Offest,
2015, Hlm. 57
39
Thoha Miftah., Pembinaan Organisasi, proses dianosa dan intervensi, Manajemen
Kepemimpinan. Yogyakarta, Gava Media, 2013, Hlm. 76.
40
W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2012,
Hlm. 187.
26
41
Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri),
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2014, Hlm.
11.
30
42
Ibid.
43
Bambang Poernomo. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.
Yogyakarta: Liberty, 1989, Hlm. 23
44
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, Yogyakarta, 1992, Hlm. 32
31
45
Adi Sujatno, Op. Cit, Hlm. 133
33
46
Adi Sujatno, Op. Cit, Hlm. 135
47
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990. Pola Pembinaan Narapidana dan
Tahanan, Puslitbang, Jakarta, hal. 10
34
48
Bambang Poernomo, Op. Cit, Hal. 42
35
semua segi kehidupan warga binaan dan tenaga-tenaga pembina yang cukup
cakap dan penuh dengan rasa pengabdian.49
2. Syarat-Syarat Pemberian Hak-Hak Narapidana
Hak adalah merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang
tersangka, terdakwa, dan terpidana atau terhukum, sehingga apabila hak tersebut
dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau terhukum telah
dilanggar atau tidak dihormati. Untuk itu hak-hak tersangka, terdakwa, dan
terpidana atau terhukum harus tetap dijamin, dihargai dan dihormati, dan demi
tegaknya dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Menurut Fagin dalam Mimin
Erni Suhaemi (2004:24) berpendapat, hak adalah tuntutan terhadap sesuatu
seseorang yang berhak, seperti kekuasaan atau hak istimewa.
Ciri-ciri yang melekat pada hak adalah sebagai berikut :50
a. Hak itu diletakkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commision) dan tidak melakukan (omission).
Unsur-unsur yang mengandung hak sebagai berikut : 51
a. Subjek hukum, yaitu segala sesuatu yang memperoleh hak dan dibebani
kewajiban.
b. Objek hukum, yaitu segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan
diadakannya hubungan hukum.
c. Hubungan hukum, yaitu hubungan yang terjalin karena suatu peristiwa
hukum.
d. Perlindungan hukum, yaitu segala sesuatu yang mengatur dan menentukan
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan
hukum, sehingga segala kepentingannya terlindungi
49
Dwidja Priyanto, pidana penjara di indonesia,bandung: Rafika Aditama, hal 105-106
50
Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen
Kolektif, Bandung, 2011, Hlm. 47.
51
Alexander Indriyanti, Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher
Anwar, Jakarta, 2008, Hlm. 135.
37
52
Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7
53
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR.Sahardjo
Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co, 2008, Hlm. 23
39
54
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan
DiInodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 2013, Hlm. 17
55
Kanter. E.Y. dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, 2012, Hlm. 63.
56
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1
40
57
Ibid
58
Op. Cit. Hal. 93
59
Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7.
60
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Op. Cit, Hlm. 35
61
PAF. Lamintang Samosir. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru,
2012, Hlm. 90
41
62
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang PemasyarakatanPasal 1 angka 7
63
M. Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum ( Dictionary of Law CompleteEdition), Reality
Publisher, Surabaya, 2014, Hlm. 447
64
Dahlan, M.Y. Al-Barry.Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual (Surabaya: Target
Press, 2016, Hlm. 75.
65
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995, Hlm. 683.
66
Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Asas-Asas Penologi, Armico, Jakarta, 1984, Hlm.
26
42
67
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Op. Cit, Hlm. 67
43
68
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 82
44
c. Surat keterangan tidak terdaftar dalam red notice dan jaringan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya dari Sekretariat NCB-Interpol
Indonesia.
d. Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan
oleh Direktur Jenderal kepada Direktur Jenderal Imigrasi.
e. Direktur Jenderal Imigrasi menyampaikan surat keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 12 (dua belas) Hari.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 84 Pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, harus juga memenuhi
syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
d. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana warga negara Indonesia.
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 85 Pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta
psikotropika, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 juga harus memenuhi syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
46
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 86, pemberian pembebasan
bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 harus memenuhi syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 87 (1) Syarat pemberian
Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 dibuktikan dengan melampirkan dokumen:
a. Surat keterangan bersedia bekerjasama untuk membantu membongkar
tindak pidana yang dilakukannya yang ditetapkan oleh instansi penegak
hukum.
b. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.
c. Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala
Lapas.
d. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing
Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.
47
sisa pidananya. Sedangkan maksud dan tujuan dari pada pemberian pembebasan
bersyarat menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo adalah:69
Untuk transisi atau memudahkan kembalinya terpidana ke masyarakat dan
pemberian pelepasan bersyarat sebelum selesainya masa pidana itu juga
dimaksudkan untuk mendorong terpidana agar berkelakuan baik dalam penjara.
Supaya terpidana tidak mengulangi kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang
diberikan pelepasan bersyarat dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat
baik dengan bantuan Reklasering.”
5. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat
Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syarat-syarat untuk
mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidanan. Pasal 15 KUHP :
a. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana yang
penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan
bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus
menjalanai bebrapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu
pidana.
b. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pada suatu masa
perubahan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan.
c. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang
belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidanan ada di dalam tahanan
yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a KUHP :
a. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak
akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
b. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khsuus mengenai
kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragaman
dan kemerdekaan berpolitik.
c. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat yang dipenuhi ialah pejabat
tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
69
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2013, Hlm. 85,
50
d. Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul
dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan
bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya
mulai dari tahanan.
Ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat
Ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat 12 dan Tata
Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 3/2018”).
Pembebasan Bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan
Narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.70
Pembebasan Bersyarat harus bermanfaat bagi Narapidana dan Anak serta
Keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan,
ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.71 Pembebasan Bersyarat dapat
diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat umum:72
a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9
(sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa
pidana.
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat.
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.
Syarat di atas dibuktikan dengan kelengkapan dokumen: 73
a. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.
70
Pasal 1 angka 6 Permenkumham 3/2018
71
Pasal 2 ayat (2) dan (3) Permenkumham 3/2018
72
Pasal 82 Permenkumham 3/2018
73
Pasal 83 ayat (1) Permenkumham 3/2018
54
74
Keluarga yang dimaksud adalah suami atau istri, anak kandung, anak angkat, atau anak
tiri, orangtua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau
ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal (Pasal 1
angka 7 Permenkumham 3/2018)
75
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 83 ayat (2)
76
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 84
55
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
d. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana warga negara Indonesia.
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
6. Tata Cara Pembebasan Bersyarat
Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan
pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS.Pengawasan
tersebut dimaksudkan untuk tentang memonitor segala perbuatan narapidana
dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila nantinya dalam pelaksanaan bebas
bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malas
bekerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan
keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat
maka pembebasan yang diberikan di cabut kembali.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 94 mengenai Tata Cara
Pemberian Pembebasan Bersyarat : 77
a. Pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi
pemasyarakatan.
b. Sistem informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit
Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat
Jenderal.
Pemebasan bersyarat diberikan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia
(Menkumham). Pihak kementerian akan memberikan pembebasan bersyarat
77
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 94
56
tersebut, setelah mendapat rekomendasi dari aparatnya. Berikut ini adalah tahapan
pemberian pembebasan besyarat :
a. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas atau TPP Rutan mendengar
pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan dari Wali
Pemasyarakatan. Setelah itu mengusulkan pembebasan bersyarat kepada
Kepala Lapas atau Kepala Rutan untuk dimintai persetujuan.
b. Apabila disetujui, Kepala Lapas atau Kepala Rutan meneruskan usul
tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Depertemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) setempat dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas).
c. Kakanwil Depkumham menyetujui/menolak usul tersebut setelah
mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Depkumham
setempat.
d. Apabila disetujui, usulan tersebut diteruskan oleh Kakanwil Depkumham
setempat kepada Dirjen Pas paling lama 14 hari sejak diterimanya usul
tersebut.
e. Keputusan Pembebasan Bersyarat diterbitkan oleh Dirjen Pas jika
disetujui.78
78
Redaksi Ras, Tip Hukum Praktis: Menghadapi Kasus Pidana (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2010), h. 170.
57
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
79
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
62
80
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1
63
81
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) huruf
k
82
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
64
83
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
66
Tabel 4.2
Layanan Pembebasan Bersyarat (PB) Pada Rutan Kelas IIB Siak Sri
Indrapura
88
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
76
2. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
3. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Narapidana harus juga memenuhi syarat:
1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
3. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.89
89
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
77
91
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
92
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
79
A. Kesimpulan
1. Pembebasan Bersyarat adalah salah satu hak murni yang dimiliki oleh
narapidana yang telah jelas diatur di dalam pasal 14 UU No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan Dan mekanisme Pembebasan bersyarat di
Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura dalam pelaksanaannya narapidana
telah memenuhi ketentuan berdasarkan aturan yang sudah diterbitkan pada
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018
Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas,
Dan Cuti Bersyarat (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019) dan tata
cara dan persyaratan pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana
pada aturan tersebut yakni berdasarkan Syarat subtantif dan Syarat
administratif.
2. Proses pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat tidak selamanya
berjalan dengan lancar, akan tetapi banyak juga mengalami berbagai
hambatan dengan beberapa faktor-faktor internal maupun eksternal di
pihak Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura.
B. Saran/Rekomendasi
Ada beberapa saran yang dapat penulis berikan, diantaranya yaitu:
1. Diharapkan kepada pihak Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura untuk lebih
sering memberikan pengarahan atau penyuluhan kepada narapidana
supaya narapidana lebih termotivasi dan paham mengenai persyaratan
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
2. Diharapkan peranan langsung dari masyarakat agar dapat menerima
narapidana yang telah diberikan pembebasan bersyarat, serta ikut membina
dan mengawasi narapidana tersebut. Karena pada hakikatnya pembebasan
bersyarat merupakan bentuk pembinaan narapidana dengan cara
megintegrasikan narapidana kedalam kehidupan bermasyarakat.
80
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alexander Indriyanti, Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher
Anwar, Jakarta, 2008
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2013
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002
Hariyanto, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Mahameru
Press, 2017
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,
2014
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995
Redaksi Ras, Tip Hukum Praktis: Menghadapi Kasus Pidana (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2010)
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016
Yeni Widowati et al, Hukum Pidana, (Yogakarta: Lab Hukum FH UMY, 2007)
Rocky Marbun, “Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 -
No 3 - Tahun 2014
Slamet Tri Wahyudi, “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks
Penegakan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1,
Nomor 2 Juli 2012
C. Peraturan Perundang-Undangan