Anda di halaman 1dari 88

IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP

NARAPIDANA BERDASARKAN PERMENKUMHAM NOMOR 18


TAHUN 2019 RUTAN KELAS IIB SIAK SRI INDRAPURA

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Riau

OLEH:
MUHAMMAD ISA
180701130

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
PEKANBARU
2022

i
PERSETUJUAN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini selaku Pembimbing I dan Pembimbing
II, dengan ini menyetujui bahwa Proposal berjudul: “Implementasi Pembebasan
Bersyarat Terhadap Narapidana Berdasarkan Permenkumham Nomor 18
Tahun 2019 Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura” yang ditulis oleh :

Nama : MUHAMMAD ISA


NIM : 180701130
Prog. Studi : Ilmu Hukum

Untuk diajukan dalam Ujian Proposal pada Program Sarajana (S1)


Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau.

Pembimbing I, Pembimbing II,

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .................................................................................................. i


Persetujuan Pembimbing ................................................................................ ii
Daftar isi ...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 9
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9
E. Teori ....................................................................................................... 12
F. Metode Penelitian .................................................................................. 19
BAB II TINJAUAN TEORITIS/GAMBARAN UMUM PENELITIAN .... 22
A. Dasar Hukum Tentang Pembinaan Narapidana ..................................... 22
1. Maksud Dan Tujuan Pembinaan ........................................................ 24
2. Syarat-Syarat Pemberian Hak-Hak Narapidana ................................ 36
B. Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat .................................. 38
1. Pengertian Pembebasan Bersyarat .................................................... 38
2. Warga Binaan Pemasyarakatan ......................................................... 41
3. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat ............................................... 42
4. Tujuan Pembebasan Bersyarat .......................................................... 48
5. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat ................................................ 49
6. Tata Cara Pembebasan Bersyarat ...................................................... 55
C. Tinjauan Umum Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura ............................... 56
1. Sejarah Singkat dan Letak Geografis ................................................ 56
2. Visi Dan Misi .................................................................................... 57
3. Bagan Susunan Organisasi ................................................................ 59

iii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 61
A. Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019
Di Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura .................................................. 61
B. Kendala Dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat di Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura ................................... 76
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 80
A. Kesimpulan ............................................................................................ 80
B. Saran/Rekomendasi ................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan adanya
norma-norma atau aturan yang menjadi batasan seseorang dalam bertindak
agar tidak terjadi kekacauan. Salah satu norma tersebut yakni norma hukum.
Norma ini bersifat memaksa dan mengikat, sehingga bagi siapapun yang
melanggarnya akan dikenakan sanksi berupa pidana.
Hukuman pidana pada dasarnya bersifat siksaan atau penderitaan yang
dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan yang ditentukan oleh hukum pidana
(undang-undang). Tujuan hukum pidana menjatuhkan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak kejahatan merupakan jalan terakhir (ultimatum remidium)
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum dan hak hukumnya, yaitu
jiwa/nyawa seseorang, badan/fisik seseorang, kehormatan seseorang,
kesusilaan seseorang, kemerdekaan seseorang, dan harta benda seseorang. 1
Menurut Topo Santoso, yang mengutip pendapat Wirjono Pradjodikoro, tujuan
hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Ada pula yang menyebut
tujuan lain yaitu untuk preventif (pencegahan) umum dan preventif khusus, di
samping untuk mendidik dan juga untuk memperbaiki orang yang melakukan
kejahatan.2
Merujuk pada Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jenis
hukuman atau pidana yang dapat diberikan berupa pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok yaitu pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan,
Pidana denda dan Pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan adalah
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Hukuman atau pidana tersebut diberikan dan
dilaksanakan oleh Negara kepada setiap warga negara yang terbukti bersalah
sesuai putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
1
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 236-
237.
2
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam Konteks
Modernitas, Bandung: Asy Syaamil, 2001, hlm. 23.

1
2

Hukuman bagi seorang terpidana adalah suatu bentuk reaksi sosial


yang disebabkan: 1) Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap
suatu aturan hukum. 2) Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang
berkuasa sehubunga dengan tertib hukum yang dilanggar. 3) Mengandung
penderitaan atau paling tidak konsekuensikonsekuensi lain yang tidak
menyenangkan. 4) Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.3
Secara yuridis seseorang yang melakukan kejahatan kemudian dijatuhi
pidana akibat dari kejahatan yang dilakukannya memang biasa dan dibenarkan
menurut Undang-Undang. Dalam upaya ini maka diperlukan hukum sebagai
media, hukum yang adil adalah hukum yang mengikat manusia dalam
kesadarannya sebab hukum adalah perintah. Setiap pelaku tindak kejahatan
tentu harus menanggung dari setiap apa yang telah diperbuatnya, karena fungsi
hukum adalah untuk melindungi kepentingan umum.4 Berkaitan dengan itu
bahwa masyarakat seharusnya mulai merubah persepsi terhadap narapidana,
bahwa setiap narapidana adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah,
oleh karena itu perlu partisipasi masyarakat untuk bisa menerima narapidana
di tengah- tengah masyarakat agar kelak tidak mengulangi tindak pidana,
karena suatu kejahatan memiliki hubungan erat antara struktur masyarakat
5
dengan penyimpangan tingkah laku individu. Sebenarnya tanggung jawab
itu tidak hanya dibebankan kepada masyarakat saja, Negara melalui Lembaga
Pemasyarakatan berupaya melakukan pembinaan secara tepat terhadap
narapidana ketika berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang harapanya
adalah agar narapidana tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
kembali diterima oleh lingkungannya dapat aktif berperan dalam pembangu-
nan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
Pada prinsipnya, negara republik Indonesia bertujuan membentuk
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam usaha-
usahanya negara menjumpai banyak berbagai rintangan dan halangan yang

3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002, hlm. 23
4
E Sumaryono, Etika dan Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 142.
5
Yeni Widowati et al, Hukum Pidana, (Yogakarta: Lab Hukum FH UMY, 2007), hlm. 5
3

ditimbulkan antara lain oleh para pelanggar hukum. Dengan menangkap,


mengadili dan memasukkan pelanggar hukum sebagai terpidana dalam suatu
lembaga pemasyarakatan. Pada prinsipnya, negara republik Indonesia
bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Dalam usaha-usahanya negara menjumpai banyak berbagairintangan
dan halangan yang ditimbulkan antara lain oleh para pelanggar hukum. Dengan
menangkap, mengadili dan memasukkan pelanggar hukum sebagai terpidana
dalam suatu lembaga pemasyarakatan, tugas negara belumlah selesai justru
baru dimulai. Karena terpidana pada suatu saat akan dilepas kembali ke dalam
kehidupan masyarakat sebagai warga yang menghormati hukum dan sadar
akan tanggung jawab.Tercapai atau tidaknya tugas negara tergantung dari
berhasil atau tidaknya usaha pembinaan bagi narapidana dalam lembaga yang
menjadi tanggung jawab negara.6
Lembaga Permasyarakatan merupakan salah satu komponen dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang bertugas melaksanakan pembinaan
terhadap narapidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem
penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Sistem Peradilan
Pidana terdiri dari 4 (empat) komponen (sub sistem), yaitu sub sistem
kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem
lembaga pemasyarakatan.7 Sistem Peradilan Pidana terbagi manjadi 3 (tiga)
tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi), tahap sidang
pengadilan (adjudikasi), dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi). Dalam
mekanisme Sistem Peradilan Pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub
sistem agar Sistem Peradilan Pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub
sistem dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda
namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan
mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila salah satu sub sistem ada
yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi

6
I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta:
Fikahati Anesa, 2010, hlm. 133.
7
Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Kesatuan
Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo), Skripsi, (Surakarta: F. H, Univ Sebelas Maret, 2006), hlm. 9
4

Pada prinsipnya, negara republik Indonesia bertujuan membentuk


masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam usaha-
usahanya negara menjumpai banyak berbagairintangan dan halangan yang
ditimbulkan antara lain oleh para pelanggar hukum. Dengan menangkap,
mengadili dan memasukkan pelanggar hukum sebagai terpidana dalam suatu
lembaga pemasyarakatan, tugas negara belumlah selesai justru baru dimulai.
Karena terpidana pada suatu saat akan dilepas kembali ke dalam kehidupan
masyarakat sebagai warga yang menghormati hukum dan sadar akan tanggung
jawab. Tercapai atau tidaknya tugas negara tergantung dari berhasil atau
tidaknya usaha pembinaan bagi narapidana dalam lembaga yang menjadi
tanggung jawab negara.8
Lembaga Permasyarakatan merupakan salah satu komponen dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang bertugas melaksanakan pembinaan
terhadap narapidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem
penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Sistem Peradilan
Pidana terdiri dari 4 (empat) komponen (sub sistem), yaitu sub sistem
kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem
lembaga pemasyarakatan.9 Sistem Peradilan Pidana terbagi manjadi 3 (tiga)
tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi), tahap sidang
pengadilan (adjudikasi), dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi). Dalam
mekanisme Sistem Peradilan Pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub
sistem agar Sistem Peradilan Pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub
sistem dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda
namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan
mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila salah satu sub sistem ada
yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi
Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang
langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan,

8
I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta:
Fikahati Anesa, 2010, hlm. 133.
9
Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Kesatuan
Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo), Skripsi, (Surakarta: F. H, Univ Sebelas Maret, 2006), hlm. 9
5

mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem
Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu
merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah
timbulnya kejahatan..
Macam-macam metode pembinaan dalam sistem pemasyarakatan telah
tersusun dan dikelompokan ke dalam bentuk pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Seperti pembebasan
bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), pemberian
remisi dan amnesti. Pelaksanaan pembinaan narapidana oleh Lembaga
Pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang salah satu asanya menganut asas persamaan perlakuan
dan pelayanan yang dalam penjelasanya asas tersebut memiliki arti yaitu
pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan
pemasyarakatan, yaitu anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan
tanpa membeda-bedakan orang sebagai asas secara khusus.
Sistem pembinaan bagi narapidana bertujuan untuk mencapai
reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan antara warga binaan dan masyarakat.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.10
Selain penjatuhan hukuman pidana sebagai bentuk hukuman atas tindak
pidana yang dilakukannya, negara juga tetap memperhatikan hak-hak asasi
manusia bagi seorang narapidana. Osita Eze menyatakan bahwa Hak Asasi
Manusia merupakan tuntutan atau klaim yang dilakukan oleh individu atau
kelompok kepada masyarakat atau negara, yang sebagiannya telah dilindungi
dan dijamin oleh hukum, dan sebagiannya lagi masih menjadi aspirasi atau

10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat
6

harapan dimasa depan. Eze memberikan tekanan pada realitas bahwa hak-hak
dasar tersebut belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum negara.11 Hak-hak
narapidana, yaitu sebagai berikut:
1. Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaanya
2. Hak untuk mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun
jasmani.
3. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
5. Hak untuk menyampaikan keluhan.
6. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang
7. Hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya
9. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
10. Hak untuk mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
12. Hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
13. Hak untuk mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.12

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pada


Pasal 2 yang menentukan bahwa:
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.13
Pasal 3 menentukan bahwa:
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”.14
Penyelenggaraan sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari penerapan
hak-hak narapidana, seperti remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga,
pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Pembebasan

11
Hariyanto, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Mahameru Press,
2017, hlm. 3-4.
12
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
13
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 2.
14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 3
7

Bersyarat diatur dalam Pasal 82 sampai Pasal 100 Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sebagaimana telah diubah
melalui Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018
tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dapat saja
dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa
pidana di Lembaga Pemasyarakatan, hingga kemudian berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat. Dengan adanya pembebasan bersyarat ini negara
berusaha untuk memberikan hak-hak narapidana dengan tidak menciderai rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat secara umum.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dapat saja
dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa
pidana di Lembaga Pemasyarakatan, hingga kemudian berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat. Dengan adanya pembebasan bersyarat ini negara
berusaha untuk memberikan hak-hak narapidana dengan tidak menciderai rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat secara umum. Pembebasan Bersyarat
merupakan pelaksanaan pidana penjara untuk dilepas menjelang bagian akhir
masa pidananya, agar menjalani sisa pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Secara umum, pembebasan bersyarat memberikan hak kepada seorang
narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk menjalani masa hukuman di
luar tembok penjara.
Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan untuk memberikan kesempatan memperbaiki diri. Dalam
penetapan 2/3 masa pidananya minimal 9 bulan, tak semua narapidana dan
anak didik pemasyarakatan yang mendapatkan pembebasan bersyarat kecuali
yang telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang pernah
dilakukan, serta mengikuti kegiatan pembinaan secara tekun, dan selama
menjalankan pidananya tidak melanggar hukum disiplin. Dalam pemberian
8

pembebasan bersyarat bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang


mendapatkan haknya hanya pidana penjara bukan kurungan.
Narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat di Rutan Kelas
IIB Siak Sri Indrapura pada tahun 2018 sebanyak 43 orang sedangkan pada
tahun 2019 sebanyak 49 orang. Sementara pada tahun 2020 sebanyak 60 orang
dan tahun 2021 terdapat 51 narapidana yang berhak mendapat pembebasan
bersyarat. Mengenai jumlah narapidana yang mendapatkan pembebasan
bersyarat dapat dilihat pada tabel berikut;
Tabel 1
Jumlah narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat di Rutan Kelas
IIB Siak Sri Indrapura dari tahun 2018-2021
Jumlah Total Jumlah Narapidana
No Tahun Narapidana yang Mendapatkan
Pembebasan Bersyarat
1 2019 212 49
2 2020 265 60
3 2021 408 51
Sumber: Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura dan sdppublik.ditjenpas.go.id, 2022
Berdasarkan data di atas bisa dilihat bahwa ada kenaikan jumlah
narapidana yang diberikan pemebebasan bersyarat terutama pada tahun 2019
dan 2020, sementara pada tahun 2021 terjadi penurunan pemberian
pembebasan bersyarat. Inilah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih
jauha tentang proses pelaksanaan dan penerapan dalam pemberian
pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dalam peraturannya memerlukan
proses dan mekanisme yang sangat panjang untuk bisa mendapatkan pelepasan
bersyarat, sesuai alur mekanisme syarat-syarat dan prosedurnya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang timbul tersebut, sehingga
penulis mengangkat judul “Implementasi Pembebasan Bersyarat Terhadap
Narapidana Berdasarkan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Rutan
Kelas IIB Siak Sri Indrapura”
9

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 dalam
pemberian Pembebsan Bersyarat terhadap narapidana di Rutan Kelas IIb
Siak Sri Indrapura?
2. Apa saja kendala dan hambatan dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat
terhadap narapidana Rutan Kelas IIb Siak Sri Indrapura?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Mengacu pada latar belakang masalah pokok diatas, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis, mengetahui dan menjelaskan sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk Mengetahui Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun
2019 dalam pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana di
Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura.
b. Untuk Mengetahui dan menganalisis kendala dan hambatan dalam
pelaksanaan pembebasan bersyarat terhadap narapidana Rutan Kelas IIb
Siak Sri Indrapura.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi
bagi pembaca sekaligus masukan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana.
b. Untuk menjadi referensi bagi peneliti berikutnya dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan dalam dunia akademik.
c. Bagi instansi pemerintah Untuk menjadi bahan masukan bagi instansi
terkait dengan masalah diatas.

D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penyusunan skripsi ini, penyusun telah melakukan telaah
pustaka, dan ada beberapa skripsi sebelumnya yang meneliti dalam masalah
yang hampir sama dengan judul yang akan penyusun tulis. Sejauh pengamatan
penyusun, sampai disusunnya penelitian ini ada beberapa penelitian yang
mirip. Beberapa karya tulis yang meneliti tentang pembebasan bersyarat
adalah:,
10

1. Azhar, dengan Judul skripsi “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat bagi


Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Bukittinggi”, Fakultas
Hukum Universitas Andalas Padang Sumatra. Penelitian tersebut
menjelaskan tentang bagaimana pengawasan bagi narapidana yang diberi
pembebasan bersyarat dan kendala-kendala dalam pelaksanan pemberian
15
pembebasan bersyarat. Perbedaan penelitian Azhar dengan penyusun
terletak pada fokus permasalahan yang dikaji dan tempat penelitianya.
2. Hanif Suprayogie, dengan judul skripsu “Analisis Yuridis Sosiologis
terhadap Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana” (Studi di Lembaga
Pemasyarakatan kelas I Malang), Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang. Penelitian tersebut menjelaskan tentang
prosedur pembebasan bersyarat serta kreteria apa yang harus dipenuhi
narapidana untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Perbedaan
penelitian Hanif Suprayogie dengan penyusun terletak pada fokus
permasalahan yang dikaji dan tempat penelitianya.16
3. Lutfi Azizah, dengan judul skripsi “Hak-hak Narapidana dalam Prespektif
Hukum Islam pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Yogyakarta”,
Siyasah, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Yogyakarta.
Penelitian tersebut menjelaskan tentang pemenuhan hak-hak narapidana
dalam prespektif hukum Islam pada LAPAS Klas II A Yogyakarta.
Perbedaan penelitian Lutfi Azizah dengan penyusun terletak pada fokus
permasalahan yang dikaji. 17
4. Qiwamuddin Tata Adi Sasmita,18 dengan judul Skripsi: Pelaksanaan
Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana (studi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A yogyakarta). Hasil pembahasannya, yaitu

15
Azhar, “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bukittinggi”, Skripsi untuk meraih gelar SI Fakultas Hukum UAP,
Sumatra Barat, 2008
16
Hanif Suprayogie, “Analisis Yuridis Sosiologis terhadap Pembebasan Bersyarat bagi
Narapidana, Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Malang”, Skripsi untuk meraih gelar SI
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang , 2008
17
Lutfi Azizah, “Hak-hak Narapidana dalam Prespektif Hukum Islam pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2006.
18
Qiwamuddin Tata Adi Sasmita, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi
Narapidana (studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A yogyakarta), Skripsi, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013.
11

konsep pemberian pembebasan bersyarat dalam hukum positif merupakan


bentuk keringanan hukuman dari pemerintah dengan wujud pemenuhan
hak bagi setiap narapidana yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan
(substantif dan administratif) dan sebagai upaya pendidikan dan
pengajaran bagi narapidana, agar menimbulkan efek jera baginya serta
menjaga ketertiban dan kemaslahatan umum. Hal ini selaras dengan teori
dan tujuan hukum pidana. Sedangkan dalam hukum Islam, peraturan
pembebasan bersyarat tidak memiliki pengertian dan aturan pelaksanaan
yang konkrit (eksplisit), namun terdapat konsep pengampunan sebagai
bentuk keringanan hukuman yang selaras dengan bentuk pembebasan
bersyarat dalam hukum positif.
19
5. Arinal Nurrisyad Hanum , dengan judul Skripsi: Pelaksanaan Pemberian
Pembebasan Bersyarat Kepada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Purwokerto”. Hasil pembahasannya yaitu pembebasan bersyarat adalah
proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah
menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan 2/3
masa pidana tersebut minimal 9 bulan. Dalam pelaksanaan pembebasan
bersyarat setiap narapidana yang diajukan mendapatkan pembebasan
bersyarat haruslah memenuhi syarat substantif dan juga syarat
administratif selain itu juga narapidana harus mendapatkan penjaminan
dari pihak keluarga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui Pelaksanaan
Pembebasan Bersyarat oleh Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto
dianggap telah berhasil, karena dilihat dari perbandingan data
Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dari
tahun antara yang diusulkan dengan yang terealisasikan mendekati dengan
jumlah diusulkan dan jumlah yang terealisasi terus meningkat tiap
tahunnya. Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat oleh Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto antara lain proses di
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sangat lama, pihak penjamin bukan
dari pihak keluarga, masih memiliki perkara lain diluar, narapidana

19
Arinal Nurrisyad Hanum, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Kepada
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman, 2012.
12

melanggar hukum disiplin Lembaga Pemasyarakatan, terdapat hambatan


psikologis dari masyarakat dalam penerimaan kembali narapidana.
Berdasarkan lima penelitian terdahulu yang sangat relevan dengan
penelitian peneliti, penelitian terdahulu terkait dengan pembebsan bersyarat.
Penyusun mencoba meneliti tentang bagaimana implementasi Permenkumham
Nomor 18 Tahun 2019 dalam pemberian pembebsan bersyarat terhadap
narapidana di rutan kelas iib siak sri indrapura serta mengetahui dan
menganalisis kendala dan hambatan dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat
terhadap narapidana Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura. Pada rumusan
masalah ini yang membedakan penlitian penulis dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, sehingga hal ini dianggap penting untuk diteliti dan sebagai
pembeda dari penelitian yang sebelumnya .

E. Teori
Adapun teori yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah
1. Teori efektivitas Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi
penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal.20
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3
bagian yaitu:21
a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive
law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
20
Shant Dellyana. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 37
21
Ibid, hlm. 39
13

dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.
Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri
memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu
sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten).
Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal.
c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-
keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan
sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya
discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum
pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law
application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk
didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan
hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative
system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang
menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.
b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif
(administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai
aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.
c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system),
dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula
diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan
masyarakat.
14

Adapun faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut


Soerjono Soekanto adalah:22
a. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang
tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat
dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan
hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance,
karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan prose
penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan
untuk mencapai kedamaian.
b. Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung


Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung
pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah
pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus

22
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan
Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42
15

yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh
polisi begitu luas dan banyak.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono
Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

2. Teori Pembebasan
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah
pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.
Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht
voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris
(progressive system), dimana rangka pengembalian terpidana dengan baik
ke masyarakat.
16

Hak untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi setiap narapidana


merupakan salah salah satu Hak yang dapat digunakan oleh Warga Binaan
sesuai aturan yang berlaku. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
itu sendiri perlu mendapat jaminan atas pelaksanaannya. Berikut beberapa
peraturan yang mengatur mengenai pembebasan bersyarat di Indonesia,
yaitu : Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 194523 menyatakan: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.” Negara yang berdasarkan atas hukum
harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk
kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 1 angka 6 dijelaskan
bahwa pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat
adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke
dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan.24

3. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman


Penggunaan islah “sistem hukum” lebih mengarah kepada serapan
dari bahasa Inggris yaitu legal system. Dalam penggunaan islah bahasa
Inggris, para ahli hukum asing dak menggunakan islah “law” dalam islah
sistem hukum, namun menggunakan islah “legal”. Apabila merunut literatur
yang ada, yang muncul adalah legal system dan bukan law system atau the
system of law, sehingga penggunaan islah “legal system” menjadi biasa dan
dapat dipersamakan dengan islah “sistem hukum”. Layaknya islah-islah
sebelumnya, islah sistem hukum atau legal system pun memiliki beragam
pemaknaan dari para ahli hukum.25
Menurut Friedmann, suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya
merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur (structure), substansi
(substance), dan kultur (culture) berinteraksi untuk menjelaskan latar
belakang dan efek dari seap bagiannya diperlukan peranan dari banyak

23
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3)
24
Ibid
25
Rocky Marbun, “Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014, hlm. 567-568.
17

elemen sistem tersebut. Dengan kata lain, suatu sistem hukum diandaikan
untuk menjamin distribusi tujuan dari hukum secara benar dan tepat di antara
orang-orang dan kelompok.26
a. Struktur Hukum/Pranata Hukum
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem
Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan
dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981
meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana
Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-
undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat
adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia
ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan
independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya
angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan
penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor
yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya
lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor
penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka
akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan
kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.27
b. Substansi

26
Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Social Science Perspective, Terjemahan
M. Khozim, (Bandung: Nusamedia, 2011), hlm. 18-19
27
Slamet Tri Wahyudi, “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks Penegakan
Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2 Juli 2012, hlm. 217- 218.
18

Subtansi hukum bisa dakatakan sebagai norma, aturan, dan perilaku


nyata manusia yang berada pada sestem itu, di dalam subtansi hukum ada
istilah “produk” yaitu suatu keputusan yang baru di susun dan baru di buat
yang mana di sini di tekankan pada suatu hukum akan di buat jika melalui
peristiwa terlebih dahulu. Seperti tertulis pada KUHP pasal 1 di tentukan
“tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan
yang mengaturnya”, system ini sangat mempengaruhi system hukum di
Indonesia. Peluang besar bagi seorang pelanggar hukum untuk lari dari
sebuah sanksi dari tindakan yang menyalahi hukum itu sendiri. Sudah
banyak kasus yang terjadi di Indonesia, yang di sebabkan lemahnya system
yang sehingga para pelanggar hukum itu seolah meremehkan hukum yang
ada. Subtansi hukum juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan
hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai
negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa
Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah
menganut Common Law).28
c. Kultur
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap
manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap
hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas
substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-
orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum
tidak akan berjalan secara efektif.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial
tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu.
Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat
kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum
dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas
perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan
kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang

Khairu Umah, “Sistem Hukum Menurut


28
Lawrence M Friedmen”, melalui
www.khoiruumah.blogspot.com, diakses 7 Juni 2022.
19

baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-


undangannya belaka, malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.

F. Metode Penelitian
Dalam hal melakukan penelitian ini dan untuk melengkapi data yang
konkrit, jawaban yang objekif dan ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan
dalam hal kebenarannya, maka penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah Yuridis Empiris (hukum
Sosiologis) yang‘ bersifat deskriptif yang ‘dengan kata lain adalah jenis
penelitian hukumsosiologis dandapat disebut pula dengan penelitian
lapangan‘, ‘yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang
terjadi dalam kenyataannya‘.29 Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentangmanusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya.30 Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang
dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukanfakta-fakta
dan data yang dibutuhkan. Penelitian ini terfokus pada gejala sosial dan
hukum dalam masyarakat, dalam hal ini adalah Rumah Tahanan Negara
Kelas II Siak Sri Indrapura.

2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian adalah merupakan tempat dan keadaan di
manapeneliti diharapkan dapat menangkap keadaan yang sebenarnya dari
obyek yang diteliti dalam rangka memperoleh data. Agar data yang
diperoleh lebih akurat, maka peneliti memilih sekaligus menetapkan tempat
dan waktu serta suasana yang memungkinkan dalam upaya menggali
keterangan atau data yang dibutuhkandengan pertimbangan agar dapat

29
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.
15
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, (UI-
Press), 1986, hlm‘. 10.
20

memperoleh kemudahan dalam pengambilan data sesuai dengan tema


penelitian. Maka, lokasi tersebut berada di Rumah Tahanan Negara Kelas II
Siak Sri Indrapura.
3. Populasi dan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri
utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian.31
Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling,
yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel
dalam penelitian ini adalah: Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas II Siak
Sri Indrapura, Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura,
Narapidana yang akan mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan Narapidana
telah mendapatkan Pembebasan Bersyarat, untuk lebih jelasnya bisa dilhat
pada Tabel 1.2 dibawah ini:
Tabel 1.2
Populasi dan Sampel

No Nama Populasi Sampel


1 Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan 1 1
Kelas II Siak
2 Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II 1 1
Siak Sri Indrapura
Narapidana 10 2
3 Narapidana yang telah 10 2
mendapatkan PB

4. Jenis dan Sumber Data


Jenis data dan sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dengan melakukan
penelitian dengan cara menyebarkan angket atau serta wawancara
kepada responden yang berhubungan dengan penelitian.
b. Data skunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
sebagai data pendukung data primer meliputi undang-undang, peraturan

31
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, 1983. hlm. 65
21

pemerintah, buku-buku tentang studi hukum lainnya, laporan-laporan


resmi yang telah tersedia berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
c. Data tertier, yaitu berupa kamus hukum dan kamus bahasa indonesia.
Data hukum tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti kamus, koran,
majalah, ensiklopedia dan dokumen lain sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data primer dan data skunder, maka dalam
pengumpulan data penulis menggunakan alat pengumpulan data penulis
menggunakan alat pengumpulan data sebagai berikut :
a. Observasi atau pengamatan, yaitu penulis mengadakan pengamatan
secara lansung terhadap gejala-gejala (objek penelitian) yang kemudian
dicatat secara sistematis dan logis.
b. Wawancara, yaitu penulis mendapatkan keterangan-keterangan lisan
secara langsung dari responden dengan mempersiapkan pertanyaan
yang berhubungan erat dengan pokok-pokok masalah yang hendak
diteliti.
c. Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari kepustakaan atau
literatur- literatur yang ada yang memiliki kolerasi dengan
permasalahan yang diteliti.
6. Analisis Data
Setelah data sekunder dan data primer dikumpulkan dari penelitian,
maka dari data tersebut penulis menganalisa dengan menggunakan metode
analisis kualitatif, yaitu uraian terhadap hasil penelitian dan data terkumpul
dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar,
termasuk pengalaman penulis yang didapatkan dilapangan. Selanjutnya
dianalisis juga dengan menggunakan analisis kuantitatif, dengan
menggunakan statistik atau matematika. Dalam menarik kesimpulan
digunakan metode berfikir induktif yaitu cara berfikir yang menarik suatu
kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat khusus menjadi suatu
pernyataan yang bersifat umum.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS/GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A. Dasar Hukum Tentang Pembinaan Narapidana


Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur
sistem pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara baik. Masyarakat dibina secara baik guna meningkatkan
kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki
diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat di terima kembali di
lingkungan masyarakat, dan juga dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warganegara yang baik dan bertanggung jawab
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2).
Pemasyarakatan adalah suatu proses normal, tujuannya adalah :
1. Berusaha agarnarapidana atau anak didik tidak melanggar hukum lagi
dimasyarakat nantinya.
2. Menjadikan narapidana atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan
kreatif dalam pembangunan.
3. Mambantu narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan
akhirat.32
Menurut kutipan diatas bahwa pemasyakan adalah sebagai upaya untuk
mempebaiki diri sesorang yang telah dianggap melanggar hukum yang ada,
sehingga dengan adanya pemasyarakatan narapidana atau anak didik dapat
bermanfaat dan diterima kembali oleh masyarakat pada umumnya, merujuk dari
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) menyebutkan, pembinaan adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,
sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan
anak didik Pemasyarakatan, yaitu mengembalikan para narapidana menjadi
masyarakat yang berguna kembali dan diharapkan tidak mengulangi kejahatan

32
Soemadi Pradja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bina Cipta, Bandung. 2011, Hlm.
24

22
23

yang pernah dia lakukan, sedangkan pembimbingan pada Pasal 1 ayat (2) adalah
pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan
rohani klien Pemasyarakatan.33
Pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan pada hakikatnya
berorientasi kepada pembangunan manusia seutuhnya, yang berarti terdapat
hubungan yang erat dengan Program Pendidikan Masyarakat (Kelompok Belajar
Paket A dan Kelompok Belajar Usaha) dan bertujuan agar mereka kelak setelah
selesai menjalani masa pidananya tidak lagi melanggar hukum serta dapat ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pembinaan dan pembimbingan
kepribadian dan kemandirian meliputi hal-hal :
1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kesadaran berbangsa dan bernegara.
3. Intelektual.
4. Sikap dan perilaku.
5. Kesehatan jasmani dan rohani.
6. Kesadaran hukum.
7. Reintregasi sehat dengan masyarakat.
8. Ketrampilan kerja.
9. Latihan kerja dan produksi
Dalam prinsip-prinsip pokok pemsyarakatan sebagai dasar pembinaan
narapidana, menyebutkan bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.
Kepada narapidana harus diberikan kesempatan dan bimbingan untuk
melaksanakan ibadahnya, jiwa musyawarah untuk mufakat. Narapidana harus
diikutsertakan dalam kegiatan demi kepentingan umum. Dalam hal
penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana merupakan
kewenangan menteri, melalui petugas pemasyarakatan sebagai pelaksana. Hal
tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Pasal 7 ayat (1) yaitu
pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan diselenggarakan
oleh menteri dan dilaksanakan oleh petugas Lapas.
33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan Pasal 1
24

Selanjutnya dalam Pasal 8 ditentukan bahwa petugas Lapas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan pejabat fungsional penegak hukum
yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengawasan dan pembimbingan
warga binaan pemasyarakatan. Situasi dalam membina narapidana harus
mempunyai iklim dan identik dengan iklim keluarga dimana ditemukan
kedamaian dan keamanan.34
Berdasarkan kutipan diatas bahwa pemasyarakatan yang merupakan
bagian dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral
dari tata peradilan terpadu. Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari
sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.
1. Maksud Dan Tujuan Pembinaan
Pemasyarakatan adalah suatu proses normal, tujuannya adalah :35
a. Berusaha agar narapidana atau anak didik tidak melanggar hukum lagi
di masyarakat kelak.
b. Menjadi narapidana atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan
kreatif dalam pembangunan.
c. Membantu narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan
di akhirat.
Menurut pengertian yang tercantum pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia36, pembinaan adalah hal-hal yang meliputi :
a. Proses
b. Pembaruan, penyempurnaan
c. Usaha, tindakan dan kegiatana yang dilakukan secara berdaya guna
dan berhasil guna untuk mendapatkan hasil yang baik.
Pembinaan narapidana adalah semua usaha yang ditujukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak
didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rutan
(intramuraltreatment). Pada awalnya pembinaan narapidana di Indonesia

34
Ninik Wijayanti dan Yulius Waskito, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya.
Biana Aksara, Jakarta, 2013, Hlm. 67
35
Soemadi Pradja. Op. Cit. Hlm. 24.
36
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2014, Hlm.
305.
25

menggunakan sistem kepenjaraan. Model pembinaan seperti ini sebenarnya sudah


dijalankan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum atau Undang-undang
yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah Reglemen penjara, aturan ini
telah digunakan sejak tahun 1917.37
Menurut Thoha38, pembinaan diartikan sebagai suatu tindakan, proses,
hasil, atau pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya
kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evolusi, atas berbagi kemungkinan,
berkembang, atau meningkatnya sesuatu. Disini terdapat dua unsur pengertian,
yakni pembinaan dari suatu tujuan dan yang kedua pembinaan dapat menunjukkan
kepada “perbaikan” atas sesuatu.
Jadi pembinaan dapat diartikan suatu proses kegiatan yang dilakukan
secara sadar, teratur, terarah dan terencana oleh pembina untuk merubah,
memperbaharui serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan cara kepada
binaan dengan melalui tindakan yang sifatnya mengarahkan, membimbing dan
mengawasi berdasarkan norma yang ke-seluruhannya dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil untuk mencapai tujuan yangdi inginkan yaitu pembangunan
manusia seluruhnya.
Menurut Widjaja39, pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan
yang mencakup urutan-urutan pengertian, diawali dengan mendirikan
membutuhkan memellihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha-usaha
perbaikan, menyempurnakan dan mengembangkannya. Menurut Poerwadarmita40
pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
berdayaguna berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Dari definisi diatas pembinaan dimaksud pembinaan tersebut bermuara
pada adanya perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya yang diawali
dengan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi,
pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan
hasil yang lebih baik.

37
HC Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1998, Hlm.2
38
A.W. Widjaya. Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen. Jakarta: Radar Jaya Offest,
2015, Hlm. 57
39
Thoha Miftah., Pembinaan Organisasi, proses dianosa dan intervensi, Manajemen
Kepemimpinan. Yogyakarta, Gava Media, 2013, Hlm. 76.
40
W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2012,
Hlm. 187.
26

Pembinaan telah menempatkan narapidana sebagai subjek pembinaan dan


tidak sebagai objek pembinaan seperti yang dilakukan dalam sistem kepenjaraan.
Dalam sistem pemasyarakatan perlakukan sudah mulai berubah. Pemasyarakatan
telah menyesuaikan diri dengan falsafah negara yaitu Pancasila, terutama
perlakukan terhadap narapidana. Sistem baru pembinaan narapidana secara tegas
mengatakan bahwa tujuan pembinaan narapidana adalah mengembalikan
narapidana kemasyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana lagi.
Dalam melaksanakan pembinaan, petugas Lembaga Pemasyarakatan harus
dapat menjaga keseimbangan dan memberikan perlakuan yang sama terhadap
sesama narapidana. Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugasnya juga
harus memperhatikan sisi kemanusiaan dan hak asasi manusia, karena narapidana
merupakan bagian dari masyarakat yang seharusnya mendapat perhatian yang
wajar terutama perhatian terhadap hak-hak narapidana baik selama menjalani
masa pidana maupun yang telah selesai menjalani hukumannya, serta diberikan
pembinaan dan bimbingan pada narapidana yang benar-benar berjalan dengan
efektif.
Proses pembinaan yang dilakukan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang kemudian
dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Untuk tahap selanjutnya,
Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus untuk menjalani
proses Masa Pengenalan Lingkungan (mapenaling) selama 7 hari (satu minggu).
Setelah menjalankan proses Mapenaling, maka Warga Binaan Pemasyarakatan
akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya menjalankan proses
pembinaan, yang terbagi ke dalam :
1. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½ (satu
per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat
ketat (maximum security).
2. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai ½ (satu per dua) sampai 2/3 (dua
per tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di
dalam LAPAS ataupun di luar LAPAS.Pada tahap ini pengawasan agak
berkurang (medium security).
27

3. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan


menjalani 2/3 (duapertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa
pidana.
Pada dasarnya, pemberian pembinaan di beberapa Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU
No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian
Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dijelaskan
bahwa tahapan-tahapan pembinaan narapidana secara sistematis sebagai berikut:
1. Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus
sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.
Tahapan ini meliputi:
a. Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama
1 (satu) bulan;
b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
2. Pembinaan tahap lanjutan meliputi tahap lanjutan tahap pertama yang
dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu
per dua) dari masa pidana dan tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya
pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa
pidana. Tahapan kedua ini meliputi:
a. Perencanaan program pembinaan kepribadian lanjutan;
b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
3. Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai
dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan,
meliputi:
a. Perencanaan program integrasi;
28

b. Pelaksanaan program integrasi;


c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
pada Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan
warga bianaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang
bebas dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pasal tersebut, secara jelas mengenai gambaran keluaran
(output) yang ingin dihasilkan dalam proses pembinaan di LAPAS. Terkait
dengan hal tersebut, selanjutnya dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa sistem
pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
1. Pengayoman,
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan.
3. Pendidikan.
4. Pembimbingan,
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia.
6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
Selain itu, sistem pemasyarakatan juga mengakui pentingnya peran serta
masyarakat dalam proses pembinaan narapidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 9
UU/12/1995 disebutkan bahwa: (1).Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan
dan pembibingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan
kerja sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan
lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem
pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (2).Ketentuan
mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pembinaan Narapidana didasarkan pada sistem pemasyarakatan, dan telah
diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Menurut pasal 2
UU No.12Tahun 1995, tujuan dari pembinaan adalah “sistem pemasyarakatan
diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan agar menjadi manusia
29

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak


pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara
yang baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No, 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, system pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas :
1. Pengayoman
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan
3. Pendidikan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan harkat dan martabat
6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu satunya penderitaan
7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan
pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah
selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi
warga masyarakat yang baik. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat wajib
menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan
penuh tanggung jawab. Untuk melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan
yang berdaya guna,tepat guna dan berhasil guna, petugas harus memiliki
kemampuan profesional dan integritas moral.
Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakaatan
adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya dan bisa menemukan
kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima menjadi bagian dari anggota
masyarakat. Selain itu pembinaan juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana
itu sendiri. Tujuannya agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan
memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi. Sistem Pemasyarakatan menurut Adi
Sujatno41, disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan

41
Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri),
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2014, Hlm.
11.
30

pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi


masyarakat terhadap kemungkinan diulanginanya tindak pidana oleh warga
Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.42
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang
bertatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi orang yang baik. Atas
dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah
pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa
harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa
tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan
sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia
yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi
pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu
memberi warna dasar agar narapidana kelak kemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di masyarakat.
Namun demikian masih tergantung bagaimana hubungannya terhadap
masyarakat luar, yang menerima narapidana menjadi anggotanya. Menurut
Bambang Poernomo43, bahwa arah pembinaan terhadap narapidana harus tertuju
kepada :
1. Pembinaan kepada narapidana agar tidak mengulangi kejahatan dan
mentaati peraturan-peraturan hukum.
2. Pembinaan terhadap hubungan antara narapidana dan masyarakat luar agar
dapat beridiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.44
Pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan menurut Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.02.PK.04.10 tanggal 10 April
1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Tahanan dijelaskan bahwa ruang
lingkup pembinaan dapat dibagi dalam dua bidang, yaitu pembinaan dalam bidang
kepribadian dan pembinaan dalam bidang kemandirian.
1. Pembinaan Kepribadian

42
Ibid.
43
Bambang Poernomo. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.
Yogyakarta: Liberty, 1989, Hlm. 23
44
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, Yogyakarta, 1992, Hlm. 32
31

a. Pembinaan kesadaran beragama Usaha ini diperlukan agar narapidana


meneguhkan imannya terutama memberikan pengertian agar Warga
Binaan Pemasyarakatan dapat menyadari akibat-akibat dari perbuatan
yang benar dan perbuatan yang salah.
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara Usaha ini
dilaksanakan melalui penyuluhan-penyuluhan tentang berbangsa dan
bernegara termasuk menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga
negara yang baik yang dapat berbakti bagi bangsa dan negaranya.
Mereka perlu disadarkan bahwa berbakti untuk bangsa dan negara
adalah sebagian dari iman (taqwa).
c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) Usaha ini diperlukan
agar pengetahuan serta kemampuan berfikir Warga Binaan
Pemasyarakatan semakin meningkat sehingga menunjang kegiatan-
kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan. Pembinaan
itelektual (kecerdasan) dapat dilakukan baik melalui pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal. Pendidikan formal
diselenggarakan dengan ketentuan – ketentuan yang telah ada yang
ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan kualitas Warga
Binaan Pemasyarakatan. Pendidikan non-formal, diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan melalui kursus-kursus,
latihanlatihan ketrampilan dan sebagainya. Bentuk pendidikan non-
formal yang paling mudah dan paling murah ialah kegiatan-kegiatan
ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memperoleh informasi dari luar, misalnya membaca koran atau
majalah, menonton televisi, mendengar radio, dan sebagainya. Untuk
mengejar ketinggalan di bidang pendidikan baik formal maupun non-
formal diupayakan cara belajar melalui program kejar paket A dan
kejar usaha.
d. Pembinaan kesadaran hukum Pembinaan kesadaran hukum Warga
Binaan Pemasyarakatan dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan
hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang
tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat, mereka menyadari hak
32

dan kewajibannya dalam rangka turut serta menegakkan hukum dan


keadilan, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya
perilaku tiap warga negara Indonesia yang taat kepada hukum.
Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga
sadar hukum (Kadarkum) yang dibina selama berada dalam
lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-
tengah masyarakat. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara
langsung, yakni penyuluhan berhadapan langsung dengan sasaran
yang diangkat dalam ”Temu Sadar Hukum” dan ”Sambung Rasa”
sehingga dapat bertatap muka langsung, misalnya melalui ceramah,
diskusi, saresehan, temuwicara, peragaan, dan simulasi hukum.
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat Pembinaan di
bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah
diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai
ini, kepada mereka selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina
terus untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial
secara gotong royong, sehingga pada waktu mereka kembali ke
masyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya. 45
2. Pembinaan Kemandirian Pembinaan kemandirian diberikan dalam
Lembaga Pemasyarakatan di antaranya melalui program-program:
a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya
kerajinan tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat
elektronik, dan sebagainya.
b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya
pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam
meliputi bahan setengah jadi, dan jadi (contoh mengolah rotan
menjadi perabotan rumah tangga, pengolahan makanan ringan berikut
pengawetannya, dan pembuatan batu bata, genteng, serta batako).

45
Adi Sujatno, Op. Cit, Hlm. 133
33

c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing.


Dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu diusahakan
pengembangan bakatnya itu. Misalnya memiliki kemampuan di
bidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke
perkumpulanperkumpulan seniman untuk dapat mengembangkan
bakatnya sekaligus mendapatkan nafkah.
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan
pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi biasa atau
teknologi tinggi, misalnya industri kulit, industri pembuatan sepatu
kualitas ekspor, pabrik tekstil, industri minyak atsiri, dan usaha
tambak udang. 46
Pola pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan
dalam memperlakuan narapidana, dengan demikian pola pelaksanaan pembinaan
di dalam Lembaga Pemasyarakatan haruslah terlaksana dengan baik sehingga
tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan dapat tercapai. Secara khusus pembinaan
warga binaan pemasyarakatan bertujuan agar selama masa pemidanaan dan
sesudah selesai menjalani pidananya yaitu :
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta
bnersikap optimis akan masa depannya.
2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal,
mampu hidup mandiri dan berprestasi dalam pembangunan nasional.
3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin dalam sikap
dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta mampu menggalang
kesetiakwanan sosial.
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan
negara.47
Pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan sebagai
sistem perlakuan bagi narapidana, dengan demikian pola pelaksanaan pembinaan
di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) haruslah terlaksana dengan baik
sehingga tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan dapat tercapai. Mengenai

46
Adi Sujatno, Op. Cit, Hlm. 135
47
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990. Pola Pembinaan Narapidana dan
Tahanan, Puslitbang, Jakarta, hal. 10
34

pembinaan di dalam Lapas, Bambang Poernomo mengemukakannya sebagai


berikut : ”Pembinaan di dalam lembaga adalah sebagian tugas sistem
pemasyarakatan sesudah dikurangi oleh pembinaan luar lembaga, namun dalam
praktik pelaksanaannya pembagian tugas yang demikian itu masih dijalankan
bersama karena pertimbangan tenaga dan fasilitas yang kurang. Terutama dalam
proses asimilasi atau integrasi sangat membutuhkan tenaga pengaman yang
terdidik, dan tugas bimbingan lanjutan (after care) hanya mungkin berjalan
dengan penyediaan dana yang relatif besar. Pembinaan dan kegiatan bimbingan di
dalam lembaga masih perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan makna
sistem pemasyarakatan Indonesia untuk meningkatkan usaha-usaha terwujudnya
pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap
narapidana sesuai dengan prinsip pembaharuan pidana.48
Berdasarkan Pasal 5 Bab II Undang-undang Nomor: 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa sistem pemasyarakat dilaksanakan
berdasarkan asas :
1. Pengayoman.
Yang dimaksud dengan "pengayoman" adalah perlakuan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari
kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan.
Yang dimaksud dengan "persamaan perlakuan dan pelayanan" adalah
pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

3. Pendidikan dan bimbingan.


Yang dimaksud dengan "pendidikan dan pembimbingan" adalah bahwa
penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan

48
Bambang Poernomo, Op. Cit, Hal. 42
35

Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan,


pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
4. Penghormatan harkat dan martabat manusia.
Yang dimaksud dengan "penghormatan harkat dan martabat manusia"
adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan
harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
Yang dimaksud dengan "kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya
penderitaan" adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam
Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai
kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lapas, Warga
Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti
layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti
hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat
tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi.
6. Terjaminnya hal untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu Yang dimaksud dengan "terjaminnya hak untuk tetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu" adalah bahwa
walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus
tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh
diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat
dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota
masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan
keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Pembinaan narapidana/warga binaan di lakukan secara terus menerus sejak
warga binaan masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan
merupakan suatu proses pembinaan warga binaan sebagai makhlik Tuhan,
individu dan sebagai masyarakat, dalam pembinaan warga binaan di kembangkan
keadaan jasmani , rohani serta kemasyarakatannya dan di butuhkan elemen-
elemen yang berkaitan untuk mendukung keberhasilan dalam pembinaan, elemen-
elemen tersebut adalah lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengembangan
36

semua segi kehidupan warga binaan dan tenaga-tenaga pembina yang cukup
cakap dan penuh dengan rasa pengabdian.49
2. Syarat-Syarat Pemberian Hak-Hak Narapidana
Hak adalah merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang
tersangka, terdakwa, dan terpidana atau terhukum, sehingga apabila hak tersebut
dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau terhukum telah
dilanggar atau tidak dihormati. Untuk itu hak-hak tersangka, terdakwa, dan
terpidana atau terhukum harus tetap dijamin, dihargai dan dihormati, dan demi
tegaknya dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Menurut Fagin dalam Mimin
Erni Suhaemi (2004:24) berpendapat, hak adalah tuntutan terhadap sesuatu
seseorang yang berhak, seperti kekuasaan atau hak istimewa.
Ciri-ciri yang melekat pada hak adalah sebagai berikut :50
a. Hak itu diletakkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commision) dan tidak melakukan (omission).
Unsur-unsur yang mengandung hak sebagai berikut : 51
a. Subjek hukum, yaitu segala sesuatu yang memperoleh hak dan dibebani
kewajiban.
b. Objek hukum, yaitu segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan
diadakannya hubungan hukum.
c. Hubungan hukum, yaitu hubungan yang terjalin karena suatu peristiwa
hukum.
d. Perlindungan hukum, yaitu segala sesuatu yang mengatur dan menentukan
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan
hukum, sehingga segala kepentingannya terlindungi

49
Dwidja Priyanto, pidana penjara di indonesia,bandung: Rafika Aditama, hal 105-106
50
Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen
Kolektif, Bandung, 2011, Hlm. 47.
51
Alexander Indriyanti, Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher
Anwar, Jakarta, 2008, Hlm. 135.
37

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa


narapidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum untuk menjalani pidana hilang
kemerdekaan dilembaga pemasyarakatan (A. Widiada Gunakarya, 1988:3). Hak-
hak narapidana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan sebagai berikut:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Hak-hak narapidana secara garis besar dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Hak-hak umum, yang secara langsung dapat diberikan kepada narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tanpa syarat-syarat tertentu yang
bersifat khusus. Hak-hak umum, adalah :
1) Setiap narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya.
2) Setiap narapidana berhak mendapatkan perawatan rohani dan jasmani.
3) Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
38

4) Setiap narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan


makanan yang layak.
5) Setiap narapidana berhak menyampaikan keluhan.
6) Setiap narapidana berhak mendapatkan bahan bacaan dan siaran media
massa.
7) Setiap narapidana berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan
yang dilakukan.
8) Setiap narapidana berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat
hukum atau orang tertentu.
b. Hak-hak khusus, yang hanya diberikan kepada narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) yang telah memenuhi persyaratan tertentu yang
bersifat khusus yakni persyaratan substantif dan administratif. Hak-hak
khusus, adalah:
1) Setiap narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau
remisi.
2) Setiap narapidana berhak mendapatkan kesempatan mendapatkan
asimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
3) Setiap narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
4) Hak mendapatkan cuti menjelang bebas.

B. Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat


1. Pengertian Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar Rumah
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3
(duaper tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.52 Pembebasan bersyarat tersebut merupakan
bagian dari fungsi Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan
salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan.53

52
Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7
53
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR.Sahardjo
Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co, 2008, Hlm. 23
39

Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan


perundangundangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan
bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana
penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor
Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.54
Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht
voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris
(progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa
pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke
masyarakat.55
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1 angka 1 yang
dimaksud dengan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.56
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Permenkumham Nomor 18
Tahun 2019.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa
pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat adalah program

54
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan
DiInodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 2013, Hlm. 17
55
Kanter. E.Y. dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, 2012, Hlm. 63.
56
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1
40

pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan


masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.57
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 2 (1) Setiap Narapidana dan
Anak berhak mendapatkan Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Istilah pembebasan bersyarat akan nampak lebih lazim digunakan dalam
hukum pidana jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192 ayat (1), Pasal
183 ayat (2) huruf b KUHP dan lain-lain. Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang
menyebutkan mengenai syarat-syarat bahwa seorang narapidana berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat.Pengertian pembebasan bersyarat ini akan
nampak lebih jelas jika kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP
dan pendapat para pakar bidang ilmu hukum.58
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar Rumah
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurangkurangnya 2/3
(duaper tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.59 Pembebasan bersyarat tersebut merupakan
bagian dari fungsi Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan
salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan.60
Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu : 61
a. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara
dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15
sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi
tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai
ordonansi de voorwardelijke invrijheidstelling atau peraturan mengenai
Pembebasan Bersyarat.

57
Ibid
58
Op. Cit. Hal. 93
59
Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7.
60
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Op. Cit, Hlm. 35
61
PAF. Lamintang Samosir. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru,
2012, Hlm. 90
41

b. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan


dalam suatu lembaga pendidikan suatu negara seperti yang dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal
21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai
dwangoveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa.
2. Warga Binaan Pemasyarakatan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Pemasyarakatan menentukan
bahwa Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana adalah orang-orang
sedang menjalani sanksi kurungan atau sanksi-sanksi lainnya, menurut perundang-
undangan. Pengertian Narapidana menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang
hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman) karena tindak pidana.62
Menurut kamus hukum (Dictionary of Law Complete Edition), narapidana
adalah orang yang tengah menjalani masa hukuman atau pidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan.63 Menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa
narapidana adalah orang hukuman atau orang buaian.64sedangkan narapidana
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai orang hukuman (orang
yang menjalani hukuman karena tindak pidana).65
Menurut Soedjono Dirdjosisworo, terpidana adalah seseorang yang telah
merugikan pihak lain, kurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan
dan masyarakat serta tidak menghormati hukum, setelah habis menjalani
pidananya mereka mau tidak mau harus kembali ke masyarakat. 66
Dengan demikian pengertian Narapidana adalah seseorang yang
melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah divonis
hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara.
Narapidana secara umum adalah orang yang kurang mendapat perhatian, baik dari

62
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang PemasyarakatanPasal 1 angka 7
63
M. Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum ( Dictionary of Law CompleteEdition), Reality
Publisher, Surabaya, 2014, Hlm. 447
64
Dahlan, M.Y. Al-Barry.Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual (Surabaya: Target
Press, 2016, Hlm. 75.
65
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995, Hlm. 683.
66
Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Asas-Asas Penologi, Armico, Jakarta, 1984, Hlm.
26
42

masyarakat maupun dari keluaganya. Sebab itu ia memerlukan perhatian yang


cukup dari petugas Rutan, untuk dapat memulihkan rasa percaya diri.
3. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat
Hak untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi setiap narapidana
merupakan salah salah satu Hak yang dapat digunakan oleh Warga Binaan sesuai
aturan yang berlaku. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat itu sendiri
perlu mendapat jaminan atas pelaksanaannya. Berikut beberapa peraturan yang
mengatur mengenai pembebasan bersyarat di Indonesia, yaitu :
a. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.” Negara yang berdasarkan atas hukum
harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk
kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya.
b. TAP MPR Nomor X/MPR/1998, yakni menciptakan ketertiban umum dan
keadilan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
c. Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan
perundangundangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan
bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana
penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor
Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.67 Sedangkan pada Pasal 15
KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat
diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang kurangnya harus 9
(sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan
bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan
Bersyarat (Voorwaardelijke Invrijheidsteeling), tidak terdapat ketentuan mengenai
bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan
bersyarat.

67
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Op. Cit, Hlm. 67
43

Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan bersyarat adalah tertuang


dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP, disamping itu terdapat pada aturan
pelaksanaan yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya penelitian ini mengenai pembebasan bersyarat menggunakan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 82 (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal
82) mengenai Bab V Syarat dan Tata Cara Pemberian Pembebasan Bersyarat
Bagian Kesatu Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana,
pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi
syarat:
a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9
(sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa
pidana.
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat.
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.68
Selanjutnya Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 83 (1) Syarat
pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
dibuktikan dengan kelengkapan dokumen:
a. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.
b. Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala
Lapas.

68
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 82
44

c. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing


Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.
d. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian
Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Pemasyarakatan yang
bersangkutan.
e. Salinan register F dari Kepala Lapas.
f. Salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas.
g. Surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melakukan perbuatan
melanggar hukum.
h. Surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, lembaga sosial,
instansi pemerintah, instansi swasta, atau Yayasan yang diketahui oleh
lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa:
1) Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan
perbuatan melanggar hukum.
2) Membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama
mengikuti program Pembebasan Bersyarat.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 83 (2) Dalam hal surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak mendapatkan
balasan dari Kejaksaan Negeri paling lama 12 (dua belas) Hari terhitung sejak
tanggal surat pemberitahuan dikirim, Pembebasan Bersyarat tetap diberikan. Pasal
83 (3) Bagi Narapidana warga negara asing selain memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), juga harus melengkapi dokumen:
a. Surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang
telah ditentukan dari:
1) Kedutaan besar/konsulat Negara.
2) Keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas
keberadaan dan kegiatan Narapidana, selama berada di wilayah
Indonesia.
b. Surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi
yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari
kewajiban memiliki izin tinggal.
45

c. Surat keterangan tidak terdaftar dalam red notice dan jaringan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya dari Sekretariat NCB-Interpol
Indonesia.
d. Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan
oleh Direktur Jenderal kepada Direktur Jenderal Imigrasi.
e. Direktur Jenderal Imigrasi menyampaikan surat keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 12 (dua belas) Hari.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 84 Pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, harus juga memenuhi
syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
d. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana warga negara Indonesia.
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 85 Pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta
psikotropika, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 juga harus memenuhi syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
46

b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 86, pemberian pembebasan
bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 harus memenuhi syarat:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 87 (1) Syarat pemberian
Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 dibuktikan dengan melampirkan dokumen:
a. Surat keterangan bersedia bekerjasama untuk membantu membongkar
tindak pidana yang dilakukannya yang ditetapkan oleh instansi penegak
hukum.
b. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.
c. Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala
Lapas.
d. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing
Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.
47

e. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian


Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana yang bersangkutan.
f. Salinan register F dari Kepala Lapas.
g. Salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas.
h. Surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak
melakukan perbuatan me1anggar hukum.
i. Surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, atau Wali, atau Lembaga
Sosial, atau instansi pemerintah, atau instansi swasta, atau Yayasan yang
diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan:
1) Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan
perbuatan melanggar hukum.
2) Membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama
mengikuti program Pembebasan Bersyarat.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 87 (2) Dalam hal surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak mendapatkan
balasan dari Kejaksaan Negeri paling lama 12 (dua belas) hari terhitung sejak
tanggal surat pemberitahuan dikirim, Pembebasan Bersyarat tetap diberikan. (3)
Bagi Narapidana warga negara asing selain melampirkan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus juga melampirkan dokumen:
a. Surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang
telah ditentukan dari:
1) Kedutaan besar/konsulat Negara.
2) Keluarga atau orang atau korporasi yang bertanggung jawab atas
keberadaan dan kegiatan Narapidana atau Anak selama berada di
wilayah Indonesia.
b. Surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi
yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari
kewajiban memiliki izin tinggal.
c. Surat keterangan tidak terdaftar dalam red notice dan jaringan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya dari Sekretariat NCB- Interpol
Indonesia.
48

d. Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan


oleh Direktur Jenderal kepada Direktur Jenderal Imigrasi.
e. Direktur Jenderal Imigrasi menyampaikan surat keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 12 (dua belas) Hari.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 88 (1) Selain melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), bagi Narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme juga harus melampirkan surat
keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2) Selain melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), bagi Narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi juga harus melampirkan bukti
telah membayar lunas denda dan uang pengganti.
4. Tujuan Pembebasan Bersyarat
Secara umum tujuan dari diberlakukannya pelepasan pidana bersyarat di
Indonesia ini khususnya antara lain karena:
a. Untuk mengurangi overcrowding (kapadatan) didalam Lapas atau rutan.
b. Uuntuk menghemat anggaran Negara dalam pos pemeliharaan narapidana.
c. Untuk pembinaan agar para narapidana dapat hidup kembali di masyarakat
dan tidak melakukan kejahatan lagi.
Pembebasan bersyarat dapat berjalan bersamaan dengan sistem pidana
penjara dalam sel, dan terpidana mendapatkan hak bebas bersyarat setelah
menjalani dua pertiga dari pelaksanaan di penjara. Apabila menteri memberikan
pembebasan bersyarat, maka menurut pasal 15a, dipersyaratkan syarat umum,
bahwa terpidana tidak akan melakukan suatu tindak pidana, ataupun perbuatan
jahat lainnya, selama waktu percobaan. Pembebasan bersyarat itu dapat ditarik
kembali setiap waktu, apabila terpidana melakukan perbuatan jahat atau bertindak
bertentangan dengan syarat yang ditentukan. Menteri dapat menentukan syarat
khusus, tetapi tidak boleh membatasi kebebasan agama dan kenegaraan lainnya.
Penarikan pelepasan bersyarat kembali terjadi, apabila terpidana pada waktu
percobaan melakukan tindakan yang bertentangan dengan syarat yang ditentukan.
Jika terpidana melanggar perjanjian dan syarat-syarat yang ditentukan dalam surat
pelepasan (verlofpas), maka terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani
49

sisa pidananya. Sedangkan maksud dan tujuan dari pada pemberian pembebasan
bersyarat menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo adalah:69
Untuk transisi atau memudahkan kembalinya terpidana ke masyarakat dan
pemberian pelepasan bersyarat sebelum selesainya masa pidana itu juga
dimaksudkan untuk mendorong terpidana agar berkelakuan baik dalam penjara.
Supaya terpidana tidak mengulangi kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang
diberikan pelepasan bersyarat dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat
baik dengan bantuan Reklasering.”
5. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat
Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syarat-syarat untuk
mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidanan. Pasal 15 KUHP :
a. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana yang
penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan
bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus
menjalanai bebrapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu
pidana.
b. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pada suatu masa
perubahan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan.
c. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang
belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidanan ada di dalam tahanan
yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a KUHP :
a. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak
akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
b. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khsuus mengenai
kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragaman
dan kemerdekaan berpolitik.
c. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat yang dipenuhi ialah pejabat
tersebut dalam pasal 14d ayat 1.

69
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2013, Hlm. 85,
50

d. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus


yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana
e. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau
dapat diadakan syarat-syarat khusus baru, begitu juga dapat diadakan
pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada
orang lain daripada oarng yang semula diserahi.
f. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat
syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalaam
ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas yang baru.

Pasal 15b KUHP :


a. Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan
melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat
pasnya, hal-hal di atas dilakukan. Menteri Kehakiman dapat menghentikan
peelpasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
b. Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana
lagi, tidak waktu pidananya.
c. Jika tiga bulan pada masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat
dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana
dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan
tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan
bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih
dapat dicabut dalam waktu tiga bulan stelah putusan menjadi tetap
nerdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana
selama masa percobaan.
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 15 KUHP tersebut diatas dapat dilihat
tentang syarat pemberian pembebasan pelepasan bersyarat. Dalam hal tersebut
terdakwa harus telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya sembilan (9) bulan
dan jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-
perbatan yang dapat dihukum. Permohonan Pembebasan Bersyarat bagi
narapidana yang telah memenuhi dua dari pertiga masa pidananya yang sekurang-
kurangnya sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15
KUHP,dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor.
51

M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimiliasi. Cara menjelang bebas dan


pembebasan bersyarat :
a. Syarat Substansif
1) Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana.
2) Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang
positif.
3) Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan
bersemangat.
4) Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan narapidana
yang bersangkutan.
5) Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak pernah
mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 bulan
terakhir.
6) Masa pidana yang dijalani, telah menjalani 2/3 dari masa pidananya.
Setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan
ketemtuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan.
b. Administratif
1) Salinan surat keputusan pengadilan.
2) Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang
bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak
pidana lainnya.
3) Laporan penelitian kemasyarakatan (Linmas) dari balai
permasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima
narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada
hubungannya dengan narapidana.
4) Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggraran tata
tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari
kepala lembaga permasyarakatan.
5) Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti grasi,
remisi dan lain-lain dari kepala lembaga permasyarakatan.
52

6) Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima


narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah/swasta
dengsn diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-
serendahnya lurah atau kepala desa.
7) Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dkter bahwa
narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas
tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan
kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum.
8) Bagi narapidana atau anak pidana WNA (warga Negara asing),
diperlukan syarat tambahan.
9) Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/konsulat Negara
orang asing yang bersangkutan.
10) Surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.
Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian
pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam Pasal 16 KUHP juga diatur tentang
pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan bersyarat.
Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP sebagi berikut :
a. Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas
usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana,
dan setelah mendapat keterangan dari Jaksa tempat asal terpidana.
Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering
Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
b. Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal tersebut
dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau
setelah mendapatkan kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum
memutus, harus ditanya lebih dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.
c. Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat
dimana dia berada, orang yang dilepaskan bersyarat orang yang dilepaskan
bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum. Jika ada sangkaan
yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-
hal yang melanggra syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, jaksa harus
segera memberitahukan penahanan ini kepada Menteri Kehakiman.
53

d. Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul
dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan
bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya
mulai dari tahanan.
Ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat
Ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat 12 dan Tata
Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 3/2018”).
Pembebasan Bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan
Narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.70
Pembebasan Bersyarat harus bermanfaat bagi Narapidana dan Anak serta
Keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan,
ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.71 Pembebasan Bersyarat dapat
diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat umum:72
a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9
(sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa
pidana.
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat.
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.
Syarat di atas dibuktikan dengan kelengkapan dokumen: 73
a. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.

70
Pasal 1 angka 6 Permenkumham 3/2018
71
Pasal 2 ayat (2) dan (3) Permenkumham 3/2018
72
Pasal 82 Permenkumham 3/2018
73
Pasal 83 ayat (1) Permenkumham 3/2018
54

b. Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala


Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”).
c. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing
Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Balai Pemasyarakatan
(“Bapas”).
d. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian
Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Pemasyarakatan yang
bersangkutan.
e. Salinan register F dari Kepala Lapas; f. salinan daftar perubahan dari
Kepala Lapas
f. Surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melakukan perbuatan
melanggar hukum.
g. Surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga74, wali, lembaga sosial,
instansi pemerintah, instansi swasta, atau Yayasan yang diketahui oleh
lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa:
1) Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan
perbuatan melanggar hukum.
2) Membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama
mengikuti program Pembebasan Bersyarat.
Dalam hal surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana
pemberian Pembebasan Bersyarat tidak mendapatkan balasan dari Kejaksaan
Negeri paling lama 12 hari terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dikirim,
Pembebasan Bersyarat tetap diberikan.75
Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana yang telah
memenuhi syarat Khusus :76
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

74
Keluarga yang dimaksud adalah suami atau istri, anak kandung, anak angkat, atau anak
tiri, orangtua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau
ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal (Pasal 1
angka 7 Permenkumham 3/2018)
75
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 83 ayat (2)
76
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 84
55

b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan.
c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
d. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana warga negara Indonesia.
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
6. Tata Cara Pembebasan Bersyarat
Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan
pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS.Pengawasan
tersebut dimaksudkan untuk tentang memonitor segala perbuatan narapidana
dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila nantinya dalam pelaksanaan bebas
bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malas
bekerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan
keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat
maka pembebasan yang diberikan di cabut kembali.
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 94 mengenai Tata Cara
Pemberian Pembebasan Bersyarat : 77
a. Pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi
pemasyarakatan.
b. Sistem informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit
Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat
Jenderal.
Pemebasan bersyarat diberikan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia
(Menkumham). Pihak kementerian akan memberikan pembebasan bersyarat

77
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 94
56

tersebut, setelah mendapat rekomendasi dari aparatnya. Berikut ini adalah tahapan
pemberian pembebasan besyarat :
a. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas atau TPP Rutan mendengar
pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan dari Wali
Pemasyarakatan. Setelah itu mengusulkan pembebasan bersyarat kepada
Kepala Lapas atau Kepala Rutan untuk dimintai persetujuan.
b. Apabila disetujui, Kepala Lapas atau Kepala Rutan meneruskan usul
tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Depertemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) setempat dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas).
c. Kakanwil Depkumham menyetujui/menolak usul tersebut setelah
mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Depkumham
setempat.
d. Apabila disetujui, usulan tersebut diteruskan oleh Kakanwil Depkumham
setempat kepada Dirjen Pas paling lama 14 hari sejak diterimanya usul
tersebut.
e. Keputusan Pembebasan Bersyarat diterbitkan oleh Dirjen Pas jika
disetujui.78

C. Tinjauan Umum Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura


1. Sejarah Singkat dan Letak Geografis
Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura beralamat di Jalan Sultan Syarif
Hasyim, Kp. Dalam, Kec. Siak, Kabupaten Siak, Riau 28773. Rumah Tahanan
Negara Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun1902 oleh pemerintah Belanda
yang dahulu terletak di Desa Benteng Hulu Kecamatan Siak dengan luas kurang
lebih 1250 m2 dan luas bangunan kurang lebih 160 m2, yang waktu itu dikenal
dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan Bengkalis di Siak Sri Indrapura.

78
Redaksi Ras, Tip Hukum Praktis: Menghadapi Kasus Pidana (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2010), h. 170.
57

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI


No.M.04.PR. 07.03 tahun 1985 beralih fungsi menjadi Cabang Rumah Tahanan
Negara Bengkalis di Siak sri Indrapura karena waktu itu bangunan sudah tua
sudah tidak layak huni dan pada tahun 1990 dibangunlah gedung baru Cabang
Rumah Tahanan Negara yang terletak di Desa Kampung Dalam Kecamatan siak
dengan luas tanah 10.000 m2 dan luas bangunan 4900 m2.
Setelah Siak Sri Indrapura menjadi Kabupaten sendiri maka status Cabang
Rumah Tahanan Negara (Cabang Rutan) Bengkalis di Siak Sri Indrapura menjadi
Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura hingga saat ini, sesuai dengan keputusan
Menteri Kehakiman dan RI No.06.PR. 07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.04-PR.07.03
Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura
mempunyai tugas melaksanakan perawatan terhadap hak para tersangka atau
terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seiring
perkembangan, mendasar pada SE Dirjen Pemasyarakatan Nomor
PAS1152.PK.01.01.02 Tahun 2020 Tentang Rencana Aksi Tata Kelola Sistem
Pemasyarakatan Optimalisasi Penempatan Narapidana di Rutan dari 24 Bulan
Menjadi 12 Bulan, sehingga Rutan bisa berfungsi sebagai Lapas.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura mempunyai fungsi :
1. Melakukan pelayanan dan perawatan terhadap para tersangka/terdakwa.
2. Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan.
3. Melakukan urusan tata usaha Rutan.
Disamping mempunyai tugas pokok dan fungsi tersebut di atas, Rutan
Kelas II Siak Sri Indrapura juga melaksanakan tugas-tugas pembinaan terhadap
para warga binaan pemasyarakatan sebagaimana di atur dalam UU No. 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan
2. Visi Dan Misi
Visi Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura adalah mengedepankan RUTAN
SIAK yang bersih, kondusif, tertib dan transparan serta produktif dengan
dukungan petugas yang berintegritas dan berkompeten dalam pembinaan WBP. "
58

WBP adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien


Pemasyarakatan. Misi Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura :
1. Mewujudkan tertib pelaksanaan tupoksi Pemasyarakatan secara konsisten
dengan mengedepankan penghormatan terhadap HUKUM dan HAM serta
transparansi publik.
2. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan ketertiban stake holder
dan masyarakat dalam upaya pembinaan WBP.
3. Mendayagunakan potensi sumber daya manusia petugas dengan
kemampuan penguasaan tugas yang tinggi dn inovatif serta berakhlak
mulia.
Tata nilai Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura : Kementerian Hukum dan
HAM menjunjung tinggi tata nilai kami "P-A-S-T-I"
a. Profesional : Aparatur Kementerian Hukum dan HAM adalah aparat yang
bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi melalui penguasaan
bidang tugasnya, menjunjung tinggi etika dan integirtas profesi.
b. Akuntabel : Setiap kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan
atau peraturan yang berlaku.
c. Sinergi : Komitmen untuk membangun dan memastikan hubungan
kerjasama yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para
pemangku kepentingan untuk menemukan dan melaksanakan solusi
terbaik, bermanfaat, dan berkualitas.
d. Transparan : Kementerian Hukum dan HAM menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
e. Inovatif : Kementerian Hukum dan HAM mendukung kreatifitas dan
mengembangkan inisiatif untuk selalu melakukan pembaharuan dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsinya.
59

3. Bagan Susunan Organisasi


Dapat dilihat struktur organisasi Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura :
Gambar 3.1
Struktur Organisasi Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura

Sumber : Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura


Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura terdiri dari:
1. Kepala Rutan
Bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Provinsi Riau dalam perencanaan, administrasi
keamanan dan tata tertib keuangan, perlengkapan, sumber daya manusia
(SDM), pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP), perawatan,
pembinaan keterampilan sehingga terselenggaranya pembinaan terhadap
narapidana, terselenggaranya program pembinaan keterampilan, kesehatan
napi, tertib administrasi lapas, terkendalinya tingkat keamanan dan
ketertiban di Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura.
2. Kasubsi Pengelolaan
Anggota pada Sub Seksi ini terbagi dalam 1 Bendahara, 1 Pengelola
BMK, 1 Pengelola Data Kepegawaian dan 1 petugas jasa
60

Adapun tugas dari Sub Seksi Pengelolaan adalah melakukan pengurusan


keuangan, perlengkapan, kepegawaian, dan rumah tangga Rutan Kelas IIB
Siak Sri Indrapura.
3. Ka. KPR
Anggota Kesatuan Pengamanan dibagi menjadi beberapa fungsi, yaitu
sebagai 1 orang Ka. KPR, 4 orang Komandan Jaga yakni Karupam Alpha,
Bravo, Charlie dan Delta. Mempunyai tugas dan wewenang menjaga
keadaan rutan baik penghuni, inventaris kantor dan keadaan isi rutan
dalam keadaan aman dan kondusif. Selain itu juga bertanggung jawab
dalam merencanakan mengkoordinir dan mengawasi kegiatan pengamanan
lingkungan rutan dan menjaga ketertiban WBP (Warga Binaan
Pemasyarakatan) sehingga dapat menciptakan suasana aman terkendali
pada lingkungan rutan.
4. Kasubsi Yantah
Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan
pengadministrasian, perawatan, mempersiapkan bantuan hukum dan
penyuluhan serta memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan.
Anggota-anggota dari Sub Seksi Pelayanan Tahanan terbagi dalam
beberapa tugas pokok dan fungsi, diantaranya adalah 1 Kasubsi, 1
pengolah data kesehatan, 1 pengelola pembimbingan kemandirian, 1
pengelola pembinaan kepribadian, 1 penelaah status WBP dan 2 petugas
jaga. Adapun tugas dari Sub Seksi Pelayanan Tahanan adalah melakukan
pengadministrasian dan perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan
hukum, melakukan pembinaan, melaksanakan pemberian hak-hak
narapidana dan penyuluhan bagi tahanan.
61

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 di Rutan Kelas


IIB Siak Sri Indrapura
Dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan yang dapat menciptakan
warga binaan pemasyarakatan kembali kepada fitrahnya sebagai manusia ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, hidup dan berkembang serta berinteraksi secara positif
dan wajar di tengah-tengah masyarakat berdasarkan UU 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang telah mengatur beberapa hak dari warga binaan
pemasyarakatan di indonesia. Terhadap pembebasan bersyarat, tidak semua warga
binaan pemasyarakatan diberikan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat
diberikan kepada narapidana, anak pidana dan anak negara. Pelaksanaan
Pembebasan Bersyarat bertujuan, antara lain :
1. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah
pencapaian tujuan pembinaan.
2. Memberikan kesempatan pada narapidana untuk pendidikan dan
keterampilan guna mempersiapkan diri untuk hidup mandiri di tengah
masyarakat setelah bebas menjalani pidana.
3. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam
penyelanggaraan pemasyarakatan.
Hasil wawancara dengan Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura menambahkan bahwa : Pemberian Pembebasan Bersyarat memiliki
maksud dan tujuan, yaitu agar nantinya para Narapidana memperoleh kesempatan
untuk beradaptasi dan berbaur kembali dengan masyarakat luas agar menjelang
kebebasannya nantinya narapidana tidak tersisikan dan terkucilkan dalam
masyarakat.79
UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1)
memberikan hak kepada narapidana untuk mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi) dan pembebasan bersyarat, dimana hal tersebut diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

79
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
62

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yg telah diubah dengan PP No


99 Tahun 2012, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas, Dan Cuti Bersyarat (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019).
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1 angka 1 yang
dimaksud dengan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.80
Pembebasan Bersyarat adalah salah satu hak murni yang dimiliki oleh
narapidana yang telah jelas diatur di dalam pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Narapidana berhak :
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

80
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Pasal 1
63

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi


keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Terkait dengan pembebasan bersyarat berdasarkan Penjelasan Pasal 14
ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan81 sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "pembebasan
bersyarat" adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya
dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang
dari 9 (sembilan) bulan.
Berdasarkan hal tersebut, Pembebasan Bersyarat (PB) dapat diberikan
setelah narapidana menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa
pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan)
bulan. Selain itu untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat harus memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Permenkumham Nomor 18
Tahun 2019, sebagai berikut : Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3
dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan)
bulan terkahir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana; Telah mengikuti
program pembinaan dengan baik, tekum, bersemangat; dan Masyarakat dapat
menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
Menurut Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura,
pemberian Pembebasan Bersyarat kepada Narapidana, apabila yang bersangkutan
telah memenuhi syaraf substantif dan syaraf administratif, hal tersebut sesuai
Pasal 82 Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.82

81
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) huruf
k
82
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
64

Pasal 82 Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019, Pembebasan Bersyarat


dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat:
1. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9
(sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa
pidana;
3. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat;
4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.
Syarat substantif yang diberikan untuk pembebasan bersyarat kepada
narapidana meliputi:
1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana.
2. Telah menunjukkan perkembangan budi-pekerti dan moral yang positif.
3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan narapidana yang
bersangkutan.
4. Masyarkat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang
bersangkutan.
5. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat
hukuman disiplin untuk pembebasan bersyarat sekurang-kurangnya dalam
waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.
6. Masa pidana yang telah dijalani untuk pembebasan bersyarat adalah 2/3
(dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Persyaratan administratif yang dilakukan dalam pemberian Pembebasan
Bersyarat untuk Narapidana meliputi yaitu :
1. Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis)
2. Laporan penelitian yang dibuat pembimbing kemasyarakatan atau laporan
perkembangan pembinaan narapidana yang bersangkutan.
3. Surat pemberitahuan Kekejaksaan Negeri tentang rencana pemberian
pembebasan bersyarat terhadap Narapidana yang bersangkutan.
65

4. Salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib


yang dilakukan narapidana selama menjalani masa pidana atau
pendidikan) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rumah
Tahanan Negara.
5. Susunan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi,
remisi, dan lain-lain dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah
Tahanan Negara.
6. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana,
seperti pihak keluarga, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui
oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya Lurah atau Kepala
Desa.
7. Terhadap narapidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan yang
meliputi antara lain :
a. Surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsultat Negara orang asing
yang bersangkutan bahwa narapidana dan anak pidana
pemasyarakatan tidak melarikan diri atau menaati syarat-syarat selama
menjalani pembebasan bersyarat.
b. Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai
status keimigrasian yang bersangkutan.
Persyaratan administrasi diatas sesuai Permenkumham Nomor 18 Tahun
2019 Pasal 83 selanjutnya wewenang dalam pemberian pembebasan bersyarat
tersebut ada pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
yang pelaksanaannya didelegasikan kepada setiap Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dan untuk
Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia wilayah Riau.
Dan hal tersebut juga sesuai dengan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal
83.
Berdasarkan hasil wawancara, ada beberapa tahapan dalam pemberian
pembebasan bersyarat yang meliputi :83

83
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
66

1. Tim pengamat pemasyarakatan Lapas/LPKA merekomendasikan usul


pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana kepada Kepala
Lapas/LPKA berdasarkan data Narapidana yang telah memenuhi
persyaratan.
2. Dalam hal Kepala Lapas/LPKA menyetujui usul pemberian Pembebasan
Bersyarat, Kepala Lapas/LPKA menyampaikan usul pemberian
Pembebasan Bersyarat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Kantor Wilayah.
3. Kepala Kantor Wilayah melakukan verifikasi tembusan usul pemberian
Pembebasan Bersyarat paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal
usul Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas/LPKA.
4. Hasil verifikasi usul Pembebasan Bersyarat, disampaikan oleh Kepala
Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal.
5. Direktur Jenderal melakukan verifikasi usul pemberian Pembebasan
Bersyarat paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal usul pemberian
Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas/LPKA.
6. Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi terdapat perbaikan, Direktur
Jenderal mengembalikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat kepada
Kepala Lapas/LPKA untuk dilakukan perbaikan dengan tembusan kepada
Kepala Kantor Wilayah.
7. Kepala Lapas/LPKA wajib melakukan perbaikan usul pemberian
Pembebasan Bersyarat paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal
pengembalian usul pemberian Pembebasan Bersyarat diterima.
8. Hasil perbaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat disampaikan
kembali oleh Kepala Lapas/LPKA kepada Direktur Jenderal untuk
mendapatkan persetujuan dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah.
9. Dalam hal Direktur Jenderal menyetujui usul pemberian Pembebasan
Bersyarat, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan keputusan
pemberian Pembebasan Bersyarat.
10. Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat disampaikan kepada Kepala
Lapas/LPKA untuk diberitahukan kepada Narapidana dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Wilayah.
67

11. Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat dicetak di Lapas/LPKA


dengan tanda tangan elektronik Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Pemberian pembebasan bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi
pemasyarakatan. Sistem informasi pemasyarakatan sendiri merupakan sistem
informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Prosedur pemberian pembebasan bersyarat menurut
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 dan berdasarkan wawancara dengan
Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas II Siak :
Petugas pemasyarakatan mendata Narapidana yang akan diusulkan
pembebasan bersyarat. Pendataan dilakukan terhadap syarat pemberian
pembebasan bersyarat dan kelengkapan dokumen. Kelengkapan dokumen wajib
dimintakan setelah 7 hari Narapidana berada di Rutan Kelas II Siak. Kelengkapan
dokumen wajib terpenuhi paling lama 1/2 masa pidana Narapidana berada di
Rutan Kelas II Siak. Selanjutnya, tim pengamat pemasyarakatan Rutan Kelas II
Siak merekomendasikan usul pemberian pembebasan bersyarat bagi Narapidana
kepada Kepala Rutan Kelas II Siak berdasarkan data Narapidana yang telah
memenuhi persyaratan.84
Dalam hal Kepala Rutan Kelas II Siak menyetujui usul pemberian
pembebasan bersyarat, Kepala Rutan Kelas II Siak menyampaikan usul pemberian
pembebasan bersyarat kepada Dirjen Pemasyarakatan dengan tembusan kepada
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil). Kemudian, Kakanwil melakukan verifikasi
tembusan usul pemberian pembebasan bersyarat yang hasilnya disampaikan oleh
Kakanwil kepada Dirjen Pemasyarakatan.
Kemudian Dirjen Pemasyarakatan melakukan verifikasi usul pemberian
pembebasan bersyarat paling lama 3 hari terhitung sejak tanggal usul pemberian
pembebasan bersyarat diterima dari Kepala Rutan Kelas II Siak. Dalam hal Dirjen
Pemasyarakatan menyetujui usul pemberian pembebasan bersyarat, Dirjen
Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) menetapkan
keputusan pemberian pembebasan bersyarat. Lalu terakhir, keputusan pemberian
pembebasan bersyarat disampaikan kepada Kepala Rutan Kelas II Siak untuk
84
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
68

diberitahukan kepada Narapidana dengan tembusan kepada Kakanwil.


Pembebasan bersyarat dapat diajukan dengan memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dan mengikuti proses yang telah dijabarkan di atas sampai terbitnya
keputusan pemberian pembebasan bersyarat dari Dirjen Pemasyarakatan atas
nama Menkumham.
Proses pengusulan pembebasan bersyarat juga dilakukan secara online
yang dapat dilihat sebagai berikut :
69

Narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat di Rutan Kelas IIB


Siak Sri Indrapura pada tahun 2018 sebanyak 43 orang sedangkan pada tahun
2019 sebanyak 49 orang. Sementara pada tahun 2020 sebanyak 60 orang dan
tahun 2021 terdapat 51 narapidana yang berhak mendapat pembebasan bersyarat.
70

Mengenai jumlah narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat dapat


dilihat pada tabel berikut;
Tabel 3.1
Jumlah narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat di Rutan
Kelas IIB Siak Sri Indrapura dari tahun 2018-2021

Jumlah Total Jumlah Narapidana


No Tahun Narapidana yang Mendapatkan
Pembebasan Bersyarat
1 2019 212 49
2 2020 265 60
3 2021 408 51
Sumber: Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura dan sdppublik.ditjenpas.go.id, 2022
Berdasarkan data di atas bisa dilihat bahwa ada kenaikan jumlah
narapidana yang diberikan pemebebasan bersayarat terutama pada tahun 2019 dan
2020, sementara pada tahun 2021 terjadi penurunan pemberian pembebasan
bersyarat.
Pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani
sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga
tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.85 Pembebasan bersyarat merupakan
program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana ke dalam kehidupan
masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.86 Pembebasan
bersyarat harus bermanfaat bagi narapidana serta keluarganya dan diberikan
dengan mempertimbangkan kepentingan pembinaan, keamanan, ketertiban umum,
dan rasa keadilan masyarakat.87
Jadi, pembebasan bersyarat dapat diajukan dengan memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dan mengikuti proses yang telah dijabarkan di atas sampai
terbitnya keputusan pemberian pembebasan bersyarat dari Direktur Jenderal
Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM. Berikut ini dapat dilihat
rangkuman layanan Pembebasan Bersyarat (PB) pada Rutan Kelas IIB Siak Sri
Indrapura :
85
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
86
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
87
Pasal 2 ayat (2) dan (3) Permenkumham
71

Tabel 4.2
Layanan Pembebasan Bersyarat (PB) Pada Rutan Kelas IIB Siak Sri
Indrapura

No Keterangan Layanan Pembebasan Bersyarat (Pb)


. Tindak Pidana Umum Tindak Pidana Khusus
1. Persyaratan 1. Telah menjalani paling 1. Telah menjalani paling sedikit
sedikit 2/3 (dua pertiga) 2/3 (dua pertiga) masa pidana,
dari masa pidana, dengan dengan ketentuan 2/3 (dua per
ketentuan 2/3 (dua tiga) masa pidana tersebut
pertiga) masa pidana tidak kurang dari 9 (sembilan)
tersebut tidak kurang 9 bulan
(sembilan) bulan; 2. Berkelakuan baik selama
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling
menjalani masa pidana singkat 9 (sembilan) bulan
paling sedikit 9 terakhir, dihitung sebelum
(sembilan) bulan terakhir tanggal 2/3 (dua per tiga)
dihitung sebelum tanggal masa pidana;
2/3 (dua pertiga) masa 3. Telah mengikuti program
pidana. pembinaan dengan baik,
3. Telah mengikuti program tekun, dan bersemangat;
pembinaan dengan baik, 4. Masyarakat dapat menerima
tekun dan bersemangat program kegiatan pembinaan
dan; Narapidana;
4. Masyarakat dapat 5. Dibuktikan dengan
menerima program melengkapi dokumen :
kegiatan pembinaan a. Salinan putusan hakim dan
narapidana Berita Acara Pelaksanaan
5. Bagi Anak Negara : Putusan Pengadilan;
Pembebasan Bersyarat b. Laporan perkembangan
dapat diberikan setelah pembinaan Narapidana dan
menjalani pembinaan Anak Didik
paling sedikit 1 (satu) Pemasyarakatan yang
tahun; dibuat oleh Wali
6. Melampirkan Pemasyarakatan atau hasil
kelengkapan dokumen: assessment resiko dan
a. Fotokopi kutipan assesment kebutuhan yang
putusan hakim dan dilakukan oleh asesor;
berita acara c. Laporan penelitian
pelaksanaan putusan kemasyarakatan yang
pengadilan; dibuat oleh Pembimbing
b. Laporan Kemasyarakatan yang
perkembangan diketahui oleh Kepala
pembinaan yang Bapas;
dibuat oleh wali d. Surat pemberitahuan ke
pemasyarakatan atau Kejaksaan Negeri tentang
hasil asesmen resiko rencana pemberian
dan asesmen Pembebasan Bersyarat
kebutuhan yang terhadap Narapidana dan
dilakukan oleh Anak Didik
asessor. Pemasyarakatan yang
c. Laporan penelitian bersangkutan;
72

No Keterangan Layanan Pembebasan Bersyarat (Pb)


. Tindak Pidana Umum Tindak Pidana Khusus
kemasyarakatan yang e. Salinan register F dari
dibuat oleh Kepala Lapas;
Pembimbing f. Salinan daftar perubahan
Kemasyarakatan yang dari Kepala Lapas;
diketahui oleh Kepala g. Surat pernyataan dari
Bapas. Narapidana dan Anak
d. Surat pemberitahuan Didik Pemasyarakatan
ke Kejaksaan Negeri tidak akan melarikan diri
tentang rencana dan tidak melakukan
pemberian perbuatan melanggar
Pembebasan Bersyarat hukum;
terhadap Narapidana h. Surat jaminan
dan Anak Pidana yang kesanggupan dari pihak
bersangkutan; Keluarga yang diketahui
e. Salinan (Daftar Huruf oleh lurah atau kepala desa
F) dari Kepala atau nama lain yang
Lembaga menyatakan bahwa :
Pemasyarakatan 1) Narapidana atau Anak
(Kepala LAPAS); Didik Pemasyarakatan
f. Salinan daftar tidak akan melarikan
perubahan dari Kepala diri dan/atau tidak
LAPAS; melakukan perbuatan
g. Surat pernyataan dari melanggar hukum; dan
Narapidana dan Anak 2) Membantu dalam
Pidana tidak akan membimbing dan
melakukan perbuatan mengawasi Narapidana
melanggar hukum. atau Anak Didik
h. Surat jaminan Pemasyarakatan selama
kesanggupan dari mengikuti program
pihak Keluarga yang Pembebasan Bersyarat;
diketahui oleh Lurah 3) Bagi WNA, harus
atau Kepala Desa atau melengkapi dokumen:
nama lain yang  Surat jaminan tidak
menyatakan : melarikan diri dan
7. Narapidana dan Anak akan menaati
Pidana tidak akan persyaratan yang
melarikan diri dan/atau telah ditentukan
melakukan perbuatan dari: Kedutaan
melanggar hukum; besar/konsulat
8. Membantu dalam negara; dan
membimbing dan Keluarga, orang,
mengawasi Narapidana atau korporasi yang
dan Anak Pidana selama bertanggung jawab
mengikuti program atas keberadaan dan
Pembebasan Bersyarat. kegiatan Narapidana
atau Anak Didik
Pemasyarakatan
selama berada di
wilayah Indonesia
i. Surat keterangan dari
73

No Keterangan Layanan Pembebasan Bersyarat (Pb)


. Tindak Pidana Umum Tindak Pidana Khusus
Direktur Jenderal Imigrasi
atau pejabat imigrasi yang
ditunjuk yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan
dibebaskan dari kewajiban
memiliki izin tinggal;
j. Surat keterangan tidak
terdaftar dalam red notice
dan jaringan kejahatan
transnasional terorganisasi
lainnya dari Sekretariat
NCB- Interpol Indonesia.
Prosedur 1. Wali/Asesor Narapidana 1. Wali/Asesor Narapidana
dan Anak Didik mengajukan nama-nama
Pemasyarakatan Narapidana yang telah
mengajukan nama-nama memenuhi persyaratan
Narapidana dan Anak kepada Petugas Lapas;
Didik Pemasyarakatan 2. TPP melaksanakan sidang
yang telah memenuhi dan hasilnya disampaikan
syarat substantif dan kepada Kepala Lapas;
persyaratan administratif 3. Kepala Lapas mengusulkan
kepada TPP/Petugas pemberian PB kepada
Lapas; Kanwil;
2. TPP melaksanakan 4. Kanwil melaksanakan
sidang dan hasilnya sidang TPP dan hasilnya
disampaikan kepada disampaikan kepada Ditjen
Kepala Lapas; Direktur Jenderal
3. Kepala Lapas Pemasyarakatan;
mengusulkan pemberian 5. TPP Pusat melaksanakan
PB kepada Kanwil; sidang TPP;
4. Kanwil melaksanakan 6. Untuk kasus tertentu,
sidang TPP dan hasilnya Direktur Jenderal
disampaikan kepada menyampaikan
Direktur Jenderal pertimbangan pemberian PB
Pemasyarakatan; kepada Menteri berdasarkan
5. Direktur Jenderal rekomendasi TPP Ditjen dan
Pemasyarakatan rekomendasi instansi terkait;
melaksanakan sidang 7. Direktur Jenderal atas nama
TPP; Menteri menetapkan
6. Direktur Jenderal atas pemberian PB;
nama Menteri 8. Untuk kasus tertentu
menetapkan pemberian Menteri menetapkan
PB; pemberian PB;
7. Lapas menerima dan 9. Lapas menerima dan
melakukan pengecekan melakukan pengecekan SK
SK PB; PB;
8. Lapas melaksanakan SK 10. Lapas melaksanakan SK
pemberian PB. pemberian PB;
Jangka Waktu 1. Untuk di Rutan ±14 hari 1. Untuk di Rutan, paling lama
Penyelesaian kerja sejak persyaratan ±14 hari kerja sejak
74

No Keterangan Layanan Pembebasan Bersyarat (Pb)


. Tindak Pidana Umum Tindak Pidana Khusus
dinyatakan lengkap dan persyaratan dinyatakan
sudah disidang TPP, lengkap dan sudah disidang
pengusulan diteruskan ke TPP, pengusulan diteruskan
Kanwil atau ditolak; ke Kanwil atau ditolak;
2. Untuk di Kanwil, ±14 2. Untuk di Kanwil, paling
hari kerja sejak lama ± 14 hari kerja sejak
persyaratan dinyatakan persyaratan dinyatakan
lengkap dan sudah lengkap dan sudah disidang
disidang TPP, TPP, pengusulan diteruskan
pengusulan diteruskan ke ke Ditjen Pas atau ditolak;
Ditjen Pas atau ditolak; 3. Untuk di Ditjen Pas, paling
3. Untuk di Ditjen Pas, ±30 lama ± 30 hari kerja sejak
hari kerja sejak persyaratan dinyatakan
persyaratan dinyatakan lengkap dan sudah sidang
lengkap dan sudah TPP, pengusulan sudah
disidang TPP, diputuskan untuk disetujui
pengusulan sudah atau ditolak.
diputuskan untuk
disetujui atau ditolak
Jaminan 1. Pelayanan pemberian PB 1. Pelayanan pemberian PB
Pelayanan tanpa dipungut biaya; tanpa dipungut biaya;
2. Pelayanan diberikan 2. Pelayanan diberikan secara
secara responsif responsif.
Jaminan 1. Surat Keputusan 1. Surat Keputusan
Keamanan Pembebasan Bersyarat Pembebasan Bersyarat
memberikan legalitas memberikan legalitas bagi
bagi Narapidana dan Narapidana untuk
Anak Pidana untuk mendapatkan hak bersyarat;
mendapatkan hak 2. Penerbitan Surat Keputusan
bersyarat. PB dijamin kerahasiannya
2. Penerbitan Surat sampai dengan diterima
Keputusan PB dijamin langsung oleh Narapidana
kerahasiannya sampai yang bersangkutan;
dengan diterima 3. Surat Keputusan PB dapat
langsung oleh dicabut apabila Narapidana
Narapidana dan Anak melanggar ketentuan PB.
Pidana yang
bersangkutan;
3. Surat Keputusan PB
dapat dicabut apabila
Narapidana dan Anak
Pidana melanggar
ketentuan PB.

Sebagai tambahan informasi, jika seseorag sebagai pihak keluarga atau


penjamin harus memenuhi syarat penjamin pembebasan bersyarat yaitu:
1. Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang menyatakan bahwa
narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau melanggar hukum dan
75

membantu membimbing/mengawasi narapidana selama program


pembebasan bersyarat.
2. Membawa identitas diri (KTP/SIM/KK/Paspor) dan meterai 6.000.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi
Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura menjelaskan bahwa tidak semua
narapidana dapat mengajukan permohonan Pembebasan Bersyarat, terutama
narapidana yang dipidana paling singkat 5 tahun atau lebih dengan kasus
terorisme, korupsi terutama narkotika meskipun telah narapidana memenuhi
syarat untuk dapat mengusulkan pengurusan Pembebasan Bersyarat. Karena untuk
pemberian hak pembebasan bersyarat kepada narapidana narkotika dengan vonis
tersebut harus memenuhi syarat tertentu yaitu melakukan Justice Collaborator. 88
Justice Collaborator (JC) adalah kebijakan pemerintah untuk narapidana
agar membantu penegak hukum membongkar kejahatan baru dengan kasus yang
sama atau membongkar Tindak Pidana yang telah dilakukanya disertai surat
pernyataan tertulis dari penegak hukum atas narapidana itu sendiri sebagai bukti
bahwa bersedia melakukan JC dengan penegak hukum. Dengan hal tersebut
narapidana dengan vonis paling singkat 5 tahun atau lebih dapat memenuhi syarat
untuk pengusulan Hak Pembebasan Bersyaratnya hal ini diatur lebih khusus lagi
dalam Pasal 52 no. 21 Tahun 2013 yaitu, Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi
Narapidana yang dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun karena melakukan
tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika, selain harus
memenuhi syarat subtantif dan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
85 Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019.
Pasal 85 Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun karena melakukan tindak pidana teroris,
narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika, selain harus memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 juga harus memenuhi syarat:
1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

88
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
76

2. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
3. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.
Narapidana harus juga memenuhi syarat:
1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
3. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani.89

B. Kendala Dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di


Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura
Dalam proses pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat tidak
selamanya berjalan dengan lancar, akan tetapi banyak juga mengalami berbagai
hambatan dengan beberapa faktor-faktor internal maupun eksternal di pihak Rutan
Kelas IIB Siak Sri Indrapura, selain itu juga terdapat 2 aturan yang berbeda yang
dapat menghambat proses pemberian hak pembebasan bersyarat kepada
narapidana narkotika mengenai Pembebasan Bersyarat yaitu dalam pasal 14 UU
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa salah satu Hak
Narapidana adalah mendapatkan Pembebasan Bersyarat dengan syarat pengajuan
harus memenuhi syarat subtantif dan syarat administratif. Karena pada dasarnya
semua narapidana berhak mendapatkan perlakuan dan hak yang sama namun akan
tetapi dalam Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 85 sampai Pasal 89
diatur lebih khusus lagi proses Hak Pembebasan Bersyaratnya untuk narapidana
dengan kasus Korupsi, Terorisme dan Kejahatan Narkotika. Juga harus memenuhi
persyaratan:

89
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
77

1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu


membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2. Telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana,
dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
3. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani;
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 85 sampai Pasal 89 harus
dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Adanya perbedaan aturan tersebut maka menurut
Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura berpendapat bahwa kedua
aturan tersebut maka dalam hal memproses pengajuan hak pembebasan bersyarat
terhadap narapidana korupsi, terorisme dan narkotika yang sudah mengajukan
pembebasan bersyarat dan memenuhi syarat namun akan terhalang jika vonis
mereka 5 tahun atau lebih harus mendapat persyaratan khusus dengan melakukan
Justice Collaborator. 90
Baiknya pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang tersebut
pasalnya jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia narapidana berhak
mendapat perlakuan, dan hak yang sama dimata hukum. Sedangkan jika
perbedaan aturan tersebut dilihat dari sudut ranah hukum hal ini merupakan ranah
hukum bagi Kemenkunham begitu juga dengan Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan mempunyai ranah hukum sendiri karena dengan adanya Tim
Pengamat Pemasyarakatan dirasa itu sudah jauh lebih komprehensif, berkaitan
dengan hal tersebut TPP bertugas menentukan remisi, cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat bagi narapidana Korupsi, Terorisme, dan Narkotika oleh
karena itu TPP juga akan diisi orang-orang dari berbagai lembaga, seperti KPK,
BNN, Kepolisian, dan Kejaksaan.
1. Faktor Internal
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi
Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura, pelaksanaan Hak
90
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
78

Pembebasan Bersyarat kepada narapidana terutama nrapidan kasus


korupsi, narkotika dan terorisme juga memiliki kendala internal tersendiri
yaitu antara lain :91
a. Adanya perbedaan aturan yaitu Permenkumham Nomor 18 Tahun
2019 Pasal 85 sampai Pasal 89 sehingga proses pengajuan
pembebasan bersyarat narapidana narkotika mengalami kesulitan
untuk mendapatkan haknya terutama bebas bersyarat. Sehingga upaya
yang di lakukan pihak Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura dalam adanya
aturan berbeda tersebut lebih cenderung menggunakan dasar hukum
yang terbaru daripada aturan yang lama.
b. Kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih menekankan pada
Kebijakan masing-masing
c. Kebijakan prosedur dalam proses pemberian Hak Pembebasan
Bersyarat pada kenyataanya membutuhkan waktu yang sangat lama.
2. Faktor Eksternal
Tidak hanya faktor internal saja hambatan dalam proses pemberian hak
pembebasan bersyarat ada beberapa juga faktor eksternal dalam proses
pembebasan bersyarat antara lain :92
a. Menurut Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan
Kelas II Siak Sri Indrapura menyatakan hambatan-hambatan yang
terjadi selama menunggu proses mendapatkan Pembebasan Bersyarat
adalah narapidana itu sendiri jika melanggar disiplin atau tata tertib
Lembaga Pemasyarakatan seperti berkelahi, memiliki barang illegal di
dalam Rutan Kelas II Siak Sri Indrapura maka proses haknya utnuk
mendapatkan Pembebasan Bersyarat akan dibatalkan
b. Selain itu Penjamin narapidana, seringnya terjadi tidak adanya
penjamin bagi narapidana dari kerabat maupun keluarga narapidana
itu sendiri sehingga syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat
tidak dapat terpenuhi dan di proses.

91
Wawancara dengan Ibu Jumarti selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II Siak Sri
Indrapura
92
Wawancara dengan Bapak Satriyo Widagdo selaku Kasubsi Pengelolaan Rutan Kelas II
Siak Sri Indrapura
79

c. Menurut hasil wawancara menambahkan bahwa masih ada saja


narapidana yang melakukan tindakan indisiplinier seperti narapidana
melawan kepada petugas Lembaga pemasyarakatan.
d. Banyaknya narapidana yang masih melakukan pernikahan siri,
sehingga istri atau suami dari pernikahan siri tersebut tidak dapat
menjadi penjamin untuk narapidana dalam pengusulan pembebasan
bersyarat dikarenakan tidak memiliki buku nikah secara sah di mata
hukum itu merupakan salah satu syarat jika si penjamin adalah istri
maupun suami narapidana. Namun jika narapidana mengajukan Cuti
Bersyarat, hal itu dapat diatasi jika tidak memiliki buku nikah secara
sah, calon penjamin tersebut harus mengurus surat keterangan nikah
dari RT,RW dan kantor Lurah tempat tinggal narapidana. Hal inilah
yang juga menjadi faktor semakin lamanya proses kepengurusan.
e. Kurangnya pengetahuan Ilmu Hukum tentang syarat dan tata acara
prosedur pembebasan bersyarat sehingga banyak penjamin dan
narapidana merasa dipersulit saat proses pengajuan Pembebasan
Bersyarat
f. Untuk narapidana yang bertempat tinggal di luar pulau pun juga
mengalami hambatan yang serupa, Karena tidak adanya penjamin dari
keluarga dan kerabat dekat sehingga kurangnya mendapat informasi
dari keluarganya yang ada di luar pulau dalam kepengurusan PB
selain itu biaya dari luar pulau untuk berkunjung juga sangat mahal.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pembebasan Bersyarat adalah salah satu hak murni yang dimiliki oleh
narapidana yang telah jelas diatur di dalam pasal 14 UU No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan Dan mekanisme Pembebasan bersyarat di
Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura dalam pelaksanaannya narapidana
telah memenuhi ketentuan berdasarkan aturan yang sudah diterbitkan pada
Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018
Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas,
Dan Cuti Bersyarat (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019) dan tata
cara dan persyaratan pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana
pada aturan tersebut yakni berdasarkan Syarat subtantif dan Syarat
administratif.
2. Proses pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat tidak selamanya
berjalan dengan lancar, akan tetapi banyak juga mengalami berbagai
hambatan dengan beberapa faktor-faktor internal maupun eksternal di
pihak Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura.

B. Saran/Rekomendasi
Ada beberapa saran yang dapat penulis berikan, diantaranya yaitu:
1. Diharapkan kepada pihak Rutan Kelas IIB Siak Sri Indrapura untuk lebih
sering memberikan pengarahan atau penyuluhan kepada narapidana
supaya narapidana lebih termotivasi dan paham mengenai persyaratan
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
2. Diharapkan peranan langsung dari masyarakat agar dapat menerima
narapidana yang telah diberikan pembebasan bersyarat, serta ikut membina
dan mengawasi narapidana tersebut. Karena pada hakikatnya pembebasan
bersyarat merupakan bentuk pembinaan narapidana dengan cara
megintegrasikan narapidana kedalam kehidupan bermasyarakat.

80
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.W. Widjaya. Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen. Jakarta: Radar Jaya


Offest, 2015

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri),


Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM
RI, Jakarta, 2014

Alexander Indriyanti, Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher
Anwar, Jakarta, 2008

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2013

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, Yogyakarta, 1992

________________, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.


Yogyakarta: Liberty, 1989

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen


Kolektif, Bandung, 2011

Dahlan, M.Y. Al-Barry.Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual (Surabaya:


Target Press, 2016

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990. Pola Pembinaan Narapidana


dan Tahanan, Puslitbang, Jakarta

Dwidja Priyanto, pidana penjara di indonesia,bandung: Rafika Aditama

E Sumaryono, Etika dan Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas


Aquinas, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Hariyanto, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Mahameru
Press, 2017

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,
2014

HC Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1998

I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta:


Fikahati Anesa, 2010
______________, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa ,
Jakarta: Fikahati Anesa, 2010

Kanter. E.Y. dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, 2012

Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Social Science Perspective,


Terjemahan M. Khozim, (Bandung: Nusamedia, 2011)

M. Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum ( Dictionary of Law CompleteEdition),


Reality Publisher, Surabaya, 2014

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002

Ninik Wijayanti dan Yulius Waskito, Kejahatan Dalam Masyarakat dan


Pencegahannya. Biana Aksara, Jakarta, 2013

PAF. Lamintang Samosir. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar


Baru, 2012

Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran


DR.Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co,
2008

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995

R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan


DiInodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 2013

Redaksi Ras, Tip Hukum Praktis: Menghadapi Kasus Pidana (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2010)

Shant Dellyana. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 1988)

Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Asas-Asas Penologi, Armico, Jakarta, 1984

Soemadi Pradja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bina Cipta, Bandung. 2011

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,


(UI-Press), 1986

_______________, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum


Cetakan Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
Thoha Miftah., Pembinaan Organisasi, proses dianosa dan intervensi, Manajemen
Kepemimpinan. Yogyakarta, Gava Media, 2013
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam
Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil, 2001

Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016

W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


2012

Yeni Widowati et al, Hukum Pidana, (Yogakarta: Lab Hukum FH UMY, 2007)

B. Jurnal, Skripsi, Internet

Arinal Nurrisyad Hanum, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Kepada


Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Jendral Soedirman, 2012.

Azhar, “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas II A Bukittinggi”, Skripsi untuk meraih gelar SI
Fakultas Hukum UAP, Sumatra Barat, 2008

Hanif Suprayogie, “Analisis Yuridis Sosiologis terhadap Pembebasan Bersyarat


bagi Narapidana, Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Malang”,
Skripsi untuk meraih gelar SI Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang, 2008

Khairu Umah, “Sistem Hukum Menurut Lawrence M Friedmen”, melalui


www.khoiruumah.blogspot.com, diakses 7 Juni 2022.

Lutfi Azizah, “Hak-hak Narapidana dalam Prespektif Hukum Islam pada


Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.

Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif


Kesatuan Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak
Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo), Skripsi, (Surakarta:
F. H, Univ Sebelas Maret, 2006)

Qiwamuddin Tata Adi Sasmita, Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat


Bagi Narapidana (studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
yogyakarta), Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2013.

Rocky Marbun, “Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 -
No 3 - Tahun 2014
Slamet Tri Wahyudi, “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks
Penegakan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1,
Nomor 2 Juli 2012

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat

Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan


Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang
Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti
Bersyarat (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019)

Anda mungkin juga menyukai