Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "PENJATUHAN
SANKSI PIDANA KEPADA PELAKU KEJAHATAN DI INDONESIA" dengan
tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah. Selain itu,


makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran


Sejarah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................3
1.1. Latar Belakang..........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3. Tujuan Masalah.........................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................4
1.5. Metode Penelitian......................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI..................................................................................6
2.1. Pengertian/Konsep Penjatuhan Sanksi Pidana..........................................6
BAB III PEMABAHASAN...................................................................................10
3.1. Sistem Peradilan Di Indonesia................................................................10
3.2.1. Struktur Peradilan Pidana.................................................................11
3.2.2. Prinsip-prinsip Peradilan Pidana......................................................12
3.2.3. Proses Penanganan Kasus Kejahatan...............................................15
3.2. Penjatuhan Sanksi Pidana Di Indonesia..................................................16
3.2.1. Prinsip-prinsip Penjatuhan Sanksi Pidana........................................16
3.2.2. Bentuk – Bentuk Jenis Kejahatan....................................................19
3.2.3. Pertimbangan Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Di Indonesia........21
3.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjatuhan Sanksi Pidana........22
BAB IV PENUTUP...............................................................................................27
4.1. Kesimpulan..............................................................................................27
4.2. Saran........................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur

pelanggaranpelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum,

bersifat memaksa dan dapat dipaksakan, paksaan tersebut perlu untuk

menjaga dan mengatur keseimbangan kekeadaan semula yang dalam

hukum pidana disertai dengan sanksi atau nestapa sebagaimana diatur

dalam hukum pidana (Strafrecht) dan dimuat dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Hukum pidana juga

merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,

bagian lain dari hukum adalah: hukum perdata, hukum tata negara dan

tata pemerintahan, hukum agraria, hukum perburuhan, dan sebagainya.

Kekhasan tersebut dapat dilihat dari sifat sanksi yang mengancam

kepentingan hukum yang dilindungi. Sanksi pidana dapat merampas

nyawa manusia, kebebasan maupun harta benda yang dimiliki oleh

subyek hukum. Sementara sanksi keperdataan biasanya berupa ganti

kerugian, biaya dan bunga, begitu juga dengan sanksi administrasi berupa

pencabutan izin maupun denda. Karakterisktik yang khas menjadikan

hukum pidana dipandang memiliki watak yang keras dan kejam. Oleh

karena itu, hukum pidana digunakan juga untuk mendukung program

tertentu dikedua bidang hokum tersebut. Kriminalisasi merupakan proses

penetapan perbuatan yang


dinyatakan sebagai terlarang, akan tetapi sepanjang menyangkut

jenis sanksi dalam salah satu pasalnya tentang “ketentuan pidana”.

Ketentuan pidana tidak lain adalah untuk mendukung tugas negara dalam

bidang tertentu.1 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis

membuat makalah dengan judul “PENJATUHAN SANKSI PIDANA

KEPADA PELAKU KEJAHATAN DI INDONESIA”

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

2. Bagaimana proses Penjatuhan Sanksi Pidana

1.3. Tujuan Masalah

1. Dapat mengetahui Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

2. Dapat mengetahui proses Penjatuhan Sanksi Pidana

1.4. Manfaat Penulisan

Menyediakan Informasi dan Pemahaman yang Mendalam: Makalah ini

memberikan informasi yang mendalam tentang penjatuhan sanksi pidana

kepada pelaku kejahatan di Indonesia. Hal ini membantu pembaca untuk

memahami secara detail proses, prinsip-prinsip, dan tantangan yang

1
Ali M. Zaidan 2017. Menuju Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
10
terkait dengan penegakan hukum dan penjatuhan sanksi pidana di negara

ini.

1.5. Metode Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam makalah ini bertujuan untuk

mengumpulkan data dan informasi yang relevan serta menganalisisnya

secara sistematis.
BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian/Konsep Penjatuhan Sanksi Pidana

“Sanksi adalah akibat hukum bagi pelanggar ketenuan Undang-

undang.2 Atau Sanksi adalah suatu Alat pemaksa guna ditaatinya suatu

kaidah atau Undang-undang.3Sanksi adalah penderitaan yang diberikan

atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang sesudah terjadi suatu

pelanggaran, kejahatan dan kesalahan.4Sanksi adalah sebuah hukuman

atau tindakan paksaan yang diberikan karena yang bersangkutan gagal

mematuhi hukum, aturan, atau perintah, sebagaimana didefinisikan oleh

Black's Law Dictionary Seventh Edition sebagai berikut:” “A penalty or

coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or

order (a sanction for discovery abuse)”.5 “Sanksi (punnishment)

merupakan pemberian hasil yang tidak diinginkan (menyakitkan) untuk

meminimalisir perilaku yang tidak diinginkan.”6 “Sanksi merupakan

konsekuensi logis dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang.7Sanksi dapat diartikan sebagai tanggungan, hukuman yang


2
R. Wiyono. 2019. SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA . Jakarta. Sinar
Grafika. hlm. 139
3
Ibid
4
7Mardiana. 2018. PENGARUH PEMBERIAN SANKSI TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DI
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN MUHAMMADIYAH 3 TERPADU
PEKANBARU.Pekanbaru.Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. UIN SUSKA RIAU. Hal 8
5
Erizka Permatasari, Mengenal Sanksi Hukum Pidana, Perdata, dan Administratif,
(https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-sanksi-hukum-pidana--perdata--dan-
administratif lt4be012381c490. Diakses tanggal 24 Januari 2022.
6
Mardiana.Loc.cit
7
Hj. Sri Sutatiek. 2012. REKONSTRUKSI SISTEM SANKSI DALAM HUKUM PIDANA ANAK DI
INDONESIA. Yogyakarta. Aswaja Pressindo. Hal.1
bersifat memaksa dan mengikat orang untuk menepati perjanjian dan

menaati ketentuan undang-undang atau hukum yang berlaku. Sanksi pula

menjadi bagian dari hukum yang diatur secara khusus untuk memberikan

pengamanan bagi penegak hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran

atau hukuman bagi seorang yang melanggar aturan hukum

tersebutenjelaskan perilaku seseorang, sehingga pada masa yang akan

datang dapat diatasi.8Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sanksi

adalah tindakan tindakan hukuman untuk memaksa seseorang menaati

aturan atau menaati undang-undang.” “Sanksi dapat dibedakan

berdasarkan lapangan hukumnya seperti sanksi Administrasi, Perdata dan

Pidana.Jika ditinjau dari segi pengertian Sanksi Pidana menurut Sudarto 9

yakni merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.”

“Menurut Roeslan Saleh10 yang dimakud dengan sanksi Pidana adalah

reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan

Negara pada pembuat delik itu.” “Menururt Van Hamel 11 sanksi pidana

adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh

kekuasaan yang berwenang atas nama Negara sebagai penanggung jawab

dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar. Dalam hal ini

semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan

8
M. Iqbal Pratama.2020. SANKSI TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH TINGKAT
PERGURUAN TINGGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN
HUKUM ISLAM.. Palembang. Fakultas Hukum.UIN RADEN FATEH PALEMBANG. Hal 21
9
R. Wiyono.Op.cit. Hlm. 140
10
Ibid
11
Ibid
Hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.” “Menurut Simons 12Pidana

itu adalah suatu penderitaan yang oleh Undang-undang Pidana telah

dikaitkan dengan pelanggaran terhadao suatu Norma yang dengan suatu

putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang besalah.” “Menurut

Algra-Janssen13 Pidana adalah sebagai alat yang dipergunakan oleh

penguasa (Hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan

suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.Reaksi dari penguasa tersebu

telah mencabut kembali sebagian perlindungan yang seharusnya

dinikmati oleh terpidana atau nyawa, kebebasan, dan harta kekayaan,

yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.”

Jadi dapat disimpulkan berdasarkan pendapat para ahli Pidana merupakan

Penderitaan yang sengaja diberikan kepada subjek hukum yang

melakukan perbuatan bertentangan degan Undang-undang. “Pemidanaan

adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi

terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict)

maupun pelanggaran (wetsdelict). Pemidanaan dapat diartikan sebagai

tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum

pidana.” “Pihak yang mempunyai wewenang menjatuhkan pidana

menurut E. Utrecht14 mengemukakan bahwa yang menjatuhkan pidana

adalah negara melalui alat-alatnya.Alat-alat negara yang menjatuhkan

pidana, karena negara (pemerintah) yang mengendalikan hukum dan oleh


12
Ibid
13
R. Wiyono. Op.cit. Hal. 141
14
Zaini.2019. Tinjauan Konseptual Tentang Pidana dan Pemidanaan.Pamekasan.Jurnal Hukum
dan Keadilan.Vol 3. No. 2 . Fakultas Hukum. Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan. Hal 5
karena itu pemerintah berhak memidana.Hak memidana itu merupakan

atribut pemerintah, hanya yang mempunyai hak memerintah yang dapat

memaksakan dan memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak

memidana.”
BAB III PEMABAHASAN

3.1. Sistem Peradilan Di Indonesia

Romli Atmasasmita mengartikan sistem peradilan pidana sebagai

suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan

kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.15 Sebagai

sebuah sistem peradilan pidana mengenal tiga pendekatan yaitu pendekatan

normatif, administratif dan sosial.16 Pendekatan normatif memandang

keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-

undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum

sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja baik

hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

dengan sruktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem

yang digunakan adalah sistem administrasi sedangkan pendekatan sosial

memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara

keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dan ketidakberhasilan

15
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif eksistensialisme dan
abolisionalisme, Bandung:Putra abardin, 1996, hal. 14.
16
Ibid., hal. 17.
dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan

tugasnya, sistem yang digunakan adalah sistem sosial.17

3.2.1. Struktur Peradilan Pidana

Di Indonesia, struktur peradilan pidana terdiri dari beberapa

tingkatan pengadilan. Berikut adalah struktur peradilan pidana di

Indonesia:

a. Pengadilan Negeri: Pengadilan Negeri merupakan pengadilan

tingkat pertama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pengadilan ini memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara

pidana dalam lingkup wilayahnya.

b. Pengadilan Tinggi: Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan

tingkat banding dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pengadilan Tinggi mengadili banding terhadap putusan

Pengadilan Negeri dan memiliki yurisdiksi atas beberapa jenis

perkara pidana yang ditetapkan oleh undang-undang.

c. Mahkamah Agung: Mahkamah Agung adalah lembaga

pengadilan tertinggi di Indonesia. Mahkamah Agung memutuskan

kasasi dan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung juga memiliki


17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010,
hal. 6-7.
wewenang untuk mengeluarkan pedoman hukum yang mengikat

bagi pengadilan di seluruh Indonesia.18

3.2.2. Prinsip-prinsip Peradilan Pidana

Prinsip-prinsip yang mengatur peradilan pidana di Indonesia

meliputi:

1. Asas Legalitas

Di Indonesia, Asas Legalitas diwujudkan dalam aturan

hukum yaitu pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) yang menyatakan: ”Tiada suatu perbuatan

dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan

dilakukan” Ketentuan tentang ”aturan pidana dalam

undang-undang yang telah ada” dalam pasal 1 ayat (1)

KUHP ini memiliki pengertan bahwa harus ada empat

unsur pentng dalam hukum pidana, yaitu: 1) kualifkasi

perbuatan pidana; 2) undang-undang pidana yang harus

diberlakukan; 3) sumber hukum pidana; dan 4) sistem

hukum pidana.19

2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of Innocence)

18
Undang-Undang RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Pasal 15 Nomor 48 tahun 2021). Dki Jakarta.
19
Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana; Sejarah Asas
Legalitas dan gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014), hlm.
7.
Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of Innocence) adalah

asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang

pengadilan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam

Penjelasan Umum butir 3 huruf c yang merumuskan:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau

dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap.”

3. Asas Oportunitas

Asas oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh

penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas

seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada

kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan

Pasal

144 KUHAP). Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang


Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh

undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenag oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

4. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatior dan Inquisitor)

Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan

terdakwa sebagai subjek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi

dipandang sebagai objek. Sedangkan pemahaman dalam asas

inkisitor, terdakwa dipandang sebagai objek pemeriksaan. Asas

inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka

merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan

pengakuan tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun

penganiayaan.

Asas akusatoir ini telah ditunjukan dalam Pasal 54 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan


kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat

hukumnya.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana menyebutkan bahwa :

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat

hukum selama dalam waktu dan pada setiap tibgkat pemeriksaan,

menurut tatcara yang ditentukan dalam undangundang ini.”

3.2.3. Proses Penanganan Kasus Kejahatan

Proses penanganan kasus kejahatan di Indonesia meliputi beberapa

tahap, antara lain:

a. Penyelidikan: Penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum,

seperti kepolisian, untuk mengumpulkan bukti-bukti dan informasi

yang diperlukan untuk mengungkap kejahatan dan mengidentifikasi

pelaku.

b. Penuntutan: Setelah penyelidikan selesai, penuntut umum menilai

apakah ada cukup bukti untuk mengajukan dakwaan terhadap

terdakwa. Jika ada cukup bukti, dakwaan diajukan ke pengadilan.


c. Persidangan: Persidangan dilakukan di pengadilan, di mana hakim

mempertimbangkan bukti-bukti, argumen, dan fakta-fakta yang

disajikan oleh penuntut umum dan terdakwa. Hakim akan membuat

keputusan berdasarkan hukum dan fakta yang terungkap dalam

persidangan.

c. Putusan: Setelah mendengarkan argumen dari kedua belah

pihak, hakim akan memberikan putusan. Putusan ini dapat

berupa vonis bebas, vonis bersalah dengan sanksi pidana, atau

putusan lain yang sesuai dengan hukum yang berlaku.20

3.2. Penjatuhan Sanksi Pidana Di Indonesia

3.2.1. Prinsip-prinsip Penjatuhan Sanksi Pidana

Prinsip-prinsip penjatuhan sanksi pidana adalah panduan

atau pedoman yang digunakan oleh sistem peradilan pidana dalam

menentukan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Berikut

ini adalah penjelasan singkat mengenai prinsip-prinsip tersebut

1. Prinsip Legalitas

Prinsip ini adalah prinsip legalitas yaitu Bahwa tidak ada satu

perbuatan dapat dihukum kecuali telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan sebelumnya.  prinsip ini ini dapat dilihat dan

20
Agus, A. A., & Riskawati, R. (2017). Penanganan Kasus Cyber Crime Di Kota Makassar (Studi
Pada Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar). Jurnal Supremasi, 11.
diatur pada pasal 1 ayat 1 KUHP.  dalam prinsip ini terdapat 7 unsur

yaitu21:

a) Tidak ada hukuman yang dapat dikenakan Shangri tanpa didahului

adanya peraturan yang memuat sanksi hukuman terlebih dahulu

b) Undang-undang tidak berlaku surut yang berarti undang-undang

tersebut tidak menjangkau peristiwa atau perbuatan yang telah terjadi

sebelum undang-undang tersebut dinyatakan berlaku. Pengecualian

khusus diberikan terhadap Asus Ham dan juga terorisme.

c) Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu.

Latar belakang  terjadinya prinsip legalitas ini adalah keinginan kuat

masyarakat Eropa pada abad ke-17 untuk memberikan perlindungan

terhadap hak individu dari kesewenang-wenangan raja.  prinsip ini

kemudian tertuang dalam deklarasi Magna Charta tahun 1215.

d) Tidak ada penerapan undang-undang berdasarkan analogi yang berarti

penerapan undang-undang berdasarkan analogi.

e)  Lex Carta atau tidak ada perumusan delik yang tidak jelas.  setiap

delik yang diatur dalam undang-undang tidak boleh menjadi

multitafsir dan harus memuat unsur unsur delik dengan jelas.

f) Tidak ada pidana karena kebiasaan. Unsur ini berarti kebiasaan tidak

dapat dibenarkan untuk menjadi dasar sebuah pemidanaan.

g) Penuntutan hanya menurut cara yang telah ditentukan undang-

undang. Segala macam upaya dalam penegakan hukum dan juga

21
7D. Schaffmeister (dkk). Hukum Pidana. Editor Penerjemahan J.E Sahetapy. (Yogyakarta:
Liberty. 2017)., halaman 5-6.
pembuatan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan daripada

undang-undang yang berlaku dan harus berdasarkan pada hukum

acara pidana.

2. Prinsip Proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas adalah suatu alat bantu uji bagi hakim dalam

usahanya memberi pertimbangan hukum terhadap kebijakan yang sedang diuji

untuk mencari kebijakan yang tepat, dibutuhkan dan bermanfaat. Dalam

menggunakan prinsip tersebut, terdapat aspek-aspek atau tahap uji yang harus

dilalui. Pertama, legitimate aims, untuk mengetehui apakah tujuan kebijakan

yang diuji telah sah berdasarkan konstitusi. Kedua, suitability, untuk

mengetahui apakah kebijakan yang diuji antara tujuan dari kebijakan tersebut

memiliki korelasi yang mendukung pemenuhan tujuan kebijakan tersebut.

Ketiga, necessity, untuk mengetahui apakah kebijakan yang diuji merupakan

kebijakan yang memiliki kerugian paling sedikit dari antara alternative

kebijakan yang lain. Keempat, balancing in narrow sense, untuk mengetahui

apakah kebijakan yang diuji memiliki manfaat dan keuntungan yang lebih

besar daripada kerugian yang telah dikeluarkan22

3. Prinsip Kemanusiaan

Prinsip ini menghormati hak asasi manusia dan mempertimbangkan

kesejahteraan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial pelaku kejahatan.23

4. Prinsip Presumpsi Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

22
Agus Y.H, 2017, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta:
Pena Grafika), Hal. 93
23
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
UII Press, Yogyakarta, 2010., hlm. 4.
Prinsip parduga tak bersalah (Presumption Of Innocence) adalah prinsip

dimana seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan

bersalah. 24

5. Prinsip Deterrence (Efek Jera)

Prinsip ini bertujuan untuk mencegah tindakan kejahatan dengan memberikan

sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan maupun

masyarakat secara umum.25

6. Prinsip Reintegrasi Sosial

Prinsip ini memperhatikan upaya untuk reintegrasi sosial pelaku kejahatan

ke dalam masyarakat setelah menjalani sanksi pidana.26

3.2.2. Bentuk – Bentuk Jenis Kejahatan

Bentuk-bentuk sanksi pidana yang umum di Indonesia meliputi:

1) Sanksi Pidana Mati

Sanksi ini merupakan hukuman paling berat yang diberikan

kepada pelaku kejahatan yang melakukan tindakan yang sangat

serius dan mengakibatkan kematian seseorang. Namun, perlu

dicatat bahwa sanksi pidana mati saat ini sedang mengalami

perdebatan dan di beberapa negara telah ditiadakan.27

2) Sanksi Pidana Penjara:


24
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 122-123
25
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 80/PUU-X/2012.
26
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
19.PK.01.07 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Reintegrasi Sosial Bagi Narapidana.
27
Mahfud MD. (2017). Hukum Acara Pidana: Penjatuhan Hukuman Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sanksi ini melibatkan penahanan pelaku kejahatan di

lembaga pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu. Penjara

dapat diberikan dalam berbagai durasi, mulai dari beberapa bulan

hingga puluhan tahun, tergantung pada kejahatan yang dilakukan

dan pertimbangan pengadilan.28

3) Sanksi Pidana Denda

Sanksi ini berupa pembayaran sejumlah uang kepada negara oleh

pelaku kejahatan sebagai bentuk hukuman. Besarnya denda

ditentukan berdasarkan jenis kejahatan, kerugian yang

ditimbulkan, dan kemampuan keuangan pelaku.29

4) Sanksi Pidana Pencabutan Hak

Sanksi ini melibatkan pencabutan hak-hak tertentu bagi pelaku

kejahatan sebagai konsekuensi dari tindakan kriminal yang

dilakukan. Contoh hak yang dapat dicabut meliputi hak

memegang jabatan publik, hak memegang izin atau lisensi

tertentu, dan hak kepemilikan senjata api.30

5) Sanksi Pidana Kerja Sosial

28
Pasal 10-15 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
29
Pasal 18 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
30
Dian Ekawati, S. (2019). Hukum Pidana Indonesia: Teori dan Praktek. Vol.5 Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sanksi ini melibatkan pelaku kejahatan dalam kegiatan kerja

sosial yang bertujuan untuk mendidik, membimbing, dan

memperbaiki perilaku mereka. Contohnya adalah pelaku

kejahatan diharuskan melakukan layanan masyarakat,

membersihkan lingkungan, atau melakukan kegiatan sosial

lainnya sebagai bentuk pembinaan.31

3.2.3. Pertimbangan Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Di Indonesia

Pertimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana di Indonesia meliputi

beberapa faktor, antara lain:

1) Tingkat Keparahan Kejahatan

Pertimbangan ini mencakup tingkat kerugian yang ditimbulkan,

ancaman terhadap kehidupan dan keselamatan orang lain, serta

dampak sosial yang dihasilkan oleh kejahatan tersebut.32

2) Keadaan Terdakwa

Pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia,

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kehidupan

terdakwa. Pertimbangan ini membantu dalam menilai faktor-

31
Manurung, S. M. (2017). Pokok-Pokok Hukum Pidana. Vol.8 Bandung: PT. Alumni.
32
Pasal 18 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
faktor yang dapat mempengaruhi tanggung jawab terdakwa dan

keputusan pengadilan terkait penjatuhan sanksi pidana.33

3) Dampak Kejahatan terhadap Korban dan Masyarakat:

Pertimbangan ini melibatkan dampak kejahatan terhadap korban

dan masyarakat secara umum. Pengadilan mempertimbangkan

kerugian fisik, emosional, dan material yang diderita oleh korban,

serta implikasi kejahatan terhadap keamanan dan ketertiban

masyarakat.34

4) Faktor Pemidanaan:

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dan motivasi

pelaku kejahatan juga menjadi pertimbangan. Misalnya, keadaan

pikiran pelaku saat melakukan kejahatan, niat jahat, atau motif

pelaku dalam melakukan tindakan kriminal.35

3.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjatuhan Sanksi Pidana

Faktor-faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana dapat

mencakup beberapa aspek. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana di Indonesia

1) Undang-Undang yang Mengatur Kejahatan dan Sanksi Pidana:

33
Pasal 32 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).)
34
Susanto, H., & Rudianto, Y. (2018). Teori dan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
35
Prawirohardjo, S. (2017). Hukum Pidana dan Kriminologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Faktor utama yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana

adalah ketentuan dalam undang-undang yang mengatur kejahatan

dan sanksi pidana. Undang-undang ini menentukan jenis

kejahatan, ancaman pidana, dan rentang hukuman yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan. Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) dengan berbagai macam pasal yang

mengakomodir segala bentuk pidana.

2) Putusan Pengadilan dan Pertimbangan Hakim

Putusan Pengadilan adalah hasil akhir dari proses peradilan

yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan berwenang setelah

mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang ada dalam

suatu perkara. Putusan tersebut dikeluarkan untuk menyelesaikan

suatu persoalan hukum dan memutuskan apakah terdapat

pelanggaran hukum, serta menetapkan sanksi atau hukuman bagi

pelaku kejahatan.

Dalam proses pengambilan keputusan, Hakim memiliki peran

yang sangat penting. Hakim bertanggung jawab untuk

mempertimbangkan semua faktor hukum dan fakta-fakta yang

berkaitan dengan suatu kasus untuk kemudian mengeluarkan

Putusan Pengadilan. Pertimbangan hakim tersebut biasanya

didasarkan pada bagian pertimbangan hukum atau dikenal juga


dengan konsideran yang memuat alasan-alasan dan dasar hukum

dari putusan yang dikeluarkan.36

Pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan sangat

penting dalam memastikan keadilan dan objektivitas dalam

proses hukum . Hakim harus mempertimbangkan semua fakta dan

bukti yang berkaitan dengan kasus, serta mencari solusi yang

terbaik berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Dalam

menjalankan tugasnya, Hakim perlu memahami dan menerapkan

kode etik dan pedoman perilaku hakim untuk memastikan

integritas dan profesionalisme dalam putusan yang dikeluarkan37

Kebijakan Pemasyarakatan dan Keadilan Restoratif:

Faktor lain yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana adalah

kebijakan pemasyarakatan dan pendekatan keadilan restoratif.

Kebijakan pemasyarakatan berkaitan dengan upaya rehabilitasi

dan reintegrasi sosial terhadap narapidana. Pendekatan keadilan

restoratif menekankan pemulihan kerugian kepada korban dan

reintegrasi pelaku kejahatan ke dalam masyarakat.38

3) Kebijakan Pemasyarakatan dan Keadilan Restoratif

36
Putusan Hakim Dalam Acar Perdata-DJKN.”13 Apr. 2017,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2299/Putusan-Hakim-Dalam-Acara-Perdata.html
Di akses pada 25 Mei. 2023.
37
Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim-Makalah Hakim,.”23 Mar. 2018,
https://www.pn-medankota.go.id/v3/index.php?
option=com_content&view=article&id=132&Itemid=487
Di akses pada 25 Mei. 2023.
38
Dian Ekawati, S. (2019). Hukum Pidana Indonesia: Teori dan Praktek. Vol. 9. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Faktor lain yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana

adalah kebijakan pemasyarakatan dan pendekatan keadilan

restoratif. Kebijakan pemasyarakatan berkaitan dengan upaya

rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap narapidana.

Pendekatan keadilan restoratif menekankan pemulihan kerugian

kepada korban dan reintegrasi pelaku kejahatan ke dalam

masyarakat.39

Keadilan Restoratif/Restorative Justice merupakan sebuah

bentuk dari peradilan yang bertumpu pada upaya pemulihan dan

ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan kepada pihak-pihak

yang mengalami kerugian.40 Bagi beberapa pihak seperti

Braithwaite, ia memandang bahwa keadilan restoratif ialah teori

keadilan yang titik tumpunya ialah pada upaya untuk melakukan

perbaikan atas kerugian yang timbul dari suatu tindak pidana

yang mana dalam hal ini, keadilan restoratif ini dapat tercapai

dengan adanya kerja sama yang baik antara semua pihak. 41

Pendapat tersebut sejalan dengan penjelasan Bagir Manan

bahwasanya dasar dari pelaksanaan keadilan restoratif ialah untuk

membangun partisipasi antara semua pihak terkait dengan tindak

pidana tersebut baik pelaku kejahatan, korban maupun

masyarakat yang dianggap memiliki kepentingan dalam tindak

39
Ibid
40
Kuat Puji Prayitno. “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 03
(2012): 407-420
41
Ibid.
pidana ini agar mereka secara berdampingan dapat menemukan

solusi atas tindak pidana yang terjadi demi tercapainya suatu

solusi yang dapat menjadi jalan penyelesaian terbaik bagi semua

pihak (win-win solution).42 Oleh karenanya, dalam hal ini

tonggak utama dari restorative justice ialah ditujukan agar pelaku

mau mempertanggungjawabkan kesalahannya demi mereparasi

kondisi korban serta pelaku mampu menunjukan rasa

penyesalannya yang dalam hal ini dapat melibatkan korban, orang

tua maupun keluarga dan pihak lainnya.43

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, penjatuhan sanksi

pidana kepada pelaku kejahatan memiliki peran penting dalam menjaga

ketertiban, keadilan, dan keamanan masyarakat. Sanksi pidana merupakan

42
M. Alvi Syahrin. “Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu (The Implementation of Restorative Justice Principles in Integrated Criminal Justice
System)”. Majalah Hukum Nasional, Vol. 48, No. 01 (2018): hlm. 97-114.
43
Rena Yulia. “Keadilan Restoratif dan Korban Pelanggaran HAM (Sebuah Telaah Awal)”. Jurnal
Hukum dan Peradilan, Vol. 01, No. 30 (2012): 275-292.
bentuk hukuman yang diberikan oleh pengadilan kepada pelaku kejahatan

sebagai akibat dari tindakan kriminal yang dilakukan.

Penjatuhan sanksi pidana didasarkan pada prinsip-prinsip hukum,

termasuk asas legalitas, asas akusatori, asas presumpsi tidak bersalah, dan

asas kesatuan sistem peradilan. Struktur peradilan pidana di Indonesia

melibatkan Pengadilan Negeri sebagai tingkat pertama, Pengadilan Tinggi

sebagai tingkat banding, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan

tertinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana

meliputi undang-undang yang mengatur kejahatan dan sanksi pidana,

putusan pengadilan, dan pertimbangan hakim. Selain itu, kebijakan

pemasyarakatan dan pendekatan keadilan restoratif juga ikut

mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana di Indonesia.

Dalam penjatuhan sanksi pidana, penting untuk memperhatikan

prinsip keadilan, proporsionalitas, dan rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dan

reintegrasi sosial terhadap narapidana juga merupakan aspek penting dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia.

4.2. Saran
Meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

penjatuhan sanksi pidana yang adil dan efektif dalam menangani

kejahatan.

Mengedukasi masyarakat mengenai konsekuensi dari tindakan kriminal

serta pentingnya rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku

kejahatan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009


Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dki Jakarta.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2019).


Pedoman Pelaksanaan Reintegrasi Sosial Bagi Narapidana.
Rini, A., & Santoso, B. (2018). The Indonesian Criminal Justice System: A
Comprehensive Review. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 21(3), 1-
8.

Cahyono, D. (2017). The Indonesian Criminal Justice System and Penal Policy:
An Overview. Indonesian Journal of International Law, 14(3), 267-289.

Sutarto, P. (2020). Penjatuhan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Kejahatan


Korupsi: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI. Jurnal Dinamika Hukum,
20(3), 453-465.

Utomo, D. (2017). Reintegrasi Sosial Bagi Mantan Narapidana: Studi Kasus di


Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Madiun. Jurnal Administrasi Publik, 4(1), 84-
94.

Husni, A. (2019). Restorative Justice in the Indonesian Criminal Justice System:


An Analysis of Legal and Non-Legal Factors. Journal of Indonesian Legal Studies,
4(1), 15-31.

Amnesty International. (2019). Indonesia: Criminal Justice System Overview.


Diakses dari
https://www.amnesty.org/en/countries/asia-and-the-pacific/indonesia/report-
indonesia/

https://cons.id/id/prinsip-proporsionalitas-dalam-judicial-review-di-indonesia-
dan-jerman/

Anda mungkin juga menyukai