Anda di halaman 1dari 88

POLITIK HUKUM LAHIRNYA UNDANG-UNDANG

OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA


Oleh : Ritta Yoafifi, Fahrudin Zuhri, Kristina Gani

ABSTRACK

The core of the Political Law contained in Law No. 21 Year 2001
on Special Autonomy for Papua Province which was then applied also to
the province of West Papua, is an effort to maintain the integrity of the
Unitary Republic of Indonesia. Special Autonomy of Papua and West
Papua include recognition of the values of diversity, uphold democratic
values and the acceleration of the welfare of the people are realized
through decentralization policies in the field of asymmetric composition of
the government, local political parties, and the financial balance
kekuasaanperadilan customs. However, weaknesses in the Special
Autonomy Law for Papua should be revised in a holistic frame
NegaraKesatuan Republic of Indonesia. So that both the state and society
will fully achieve common goals.

Keywords: Politics, Law, Special Autonomy.

A. Pendahuluan.

Politik Hukum Otonomi Khusus Papua dimulai dari


dikeluarkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada saat itu ada dua opsi yang menguat
terkait dengan status Papua, yakni Otonomi Khusus atau Merdeka.
Otonomi Khusus Papua menjadi win-win solution dalam menangani
konflik yang terjadi di Papua. Akar permasalahan konflik di Papua
adalah tidak selesainya proses integrasi Papua ke dalam wilayah
NKRI. Konflik tersebut tidak diselesaikan secara tepat oleh

1
pemerintah. Upaya penyelesaian dilakukan melalui pendekatan
keamanan yang tergolong koersif dan dibiarkan berkepanjangan yang
berakibat pada pelipatgandaan akar permasalahan di Papua. Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik
Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran
Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No.
4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun
2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79
pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam
menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di
dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam
UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang
Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah
di Indonesia.

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia


menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik
penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti
menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun
kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan
tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung

2
terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua,
khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi
timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan
dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada
tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi
Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah
awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat
kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk
meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang
perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di
Provinsi Papua.
Makalah ini mencoba untuk menggali permasalahan terkait
dengan Politik hukum lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi
Khusus Provinsi Papua.

B. Permasalahan

Dalam makalah ini yang menjadi pokok pembahasan adalah :

Bagaimana Politik Hukum lahirnya Provinsi papua?

C. Pembahasan

3
Sebelum membahas lebih jauh tentang Otonomi khusus
Provinsi papua, marilah sejenak kita tengok ke belakang untuk
mengingat-ingat kembali beberapa hal terkait dengan Politik Hukum.

1. Pengertian/Pembahasan Politik Hukum

Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan,


yakni: (1) sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy
lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan (2)
sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum
yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal
policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Menurut Muhadar
(Muhadar, 2006:51), politik hukum adalah Legal Policy yang akan
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup:
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan,
termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan; juga
bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dengan kata lain,
politik hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan
hukum yang dapat menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana
hukum akan di bangun dan ditegakkan.

Pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara


dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya
hal-hal berikut: (1) Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang

4
diidamkan sebagai  orientasi politik hukum, termasuk panggilan
nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum; (2)
sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (3) perencanaan dan
kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum; (4) isi hukum
nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; (5) pemagaran
hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative, review,
dan sebagainya (Mahfud, 2006:16).

2. Tujuan Negara

Politik hukum merupakan arah pembangunan hukum yang


berpijak pada sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan
cita-cita negara atau masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus
mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yakni tegaknya hukum
yang demokratis dan berkeadilan sosial. Pembangunan hukum
harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil
dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum
harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan
atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu
masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu, sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 (Nusantara, 1988:20).

Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum adalah alat


yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan
negara atau cita-cita masyarakat Indonesia. Tujuan negara kita,
bangsa Indonesia, adalah membentuk masyarakat adil dan makmur

5
berdasarkan Pancasila. Secara definitif, tujuan negara kita tertuang
di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang meliputi:
(1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia,
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan negara ini didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila),
yaitu: ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila inilah yang
memandu politik hukum nasional dalam berbagai bidang (Mahfud,
2006:16-17).

3. Prinsip Cita Hukum (rechtsidee)

            Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, selain


berpijak pada lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan
selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:
(1) melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan
(integrasi); (2) mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi
dan kemasyarakatan; (3) mewujudkan kedaulatan rakyat
(demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi); (4) menciptakan
toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup
beragama.

6
Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi
asa umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara,
sebab cita hukum adalah kerangka keyakinan (belief framework)
yang bersifat normatif dan konstitutif. Cita hukum itu bersifat
normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat ideal
yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif
karena mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh
negara (Mahfud, 2006:18).

4. Sistem Hukum Nasional

            Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang


dikristalisasikan di dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita-cita
hukum, maka diperlukan sistem hukum nasional yang dapat
dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum
nasional. Dalam hal ini, pengertian tentang sistem hukum nasional
Indonesia atau sistem hukum Indonesia perlu dikembangkan.

Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian


yang satu dengan yang lain saling bergantung untuk mencapai
tujuan tertentu. Banyak yang memberi definisi tentang istilah
sistem ini. Ada yang mengatakan bahwa sistem adalah keseluruhan
yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin dalam
hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara
teratur. Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan
perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. Dalam

7
konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai
tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD 1945. sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD
itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum Indonesia. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai khas budaya bangsa Indonesia
yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup
bermasyarakat selama berabad-abad.

            Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah


sistem hukum yang berlaku diseluruh Indonesia yang meliputi
semua unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan
perundang-undangan, dan semua sub unsurnya) yang antara satu
dengan yang lain saling bergantungan dan yang bersumber dari
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. (Mahfud, 200620-21;
Hartono, 1991:64). Masalah-masalah yang dipersoalkan dalam
sistem hukum mencakup lima hal, yaitu: (1) Elemen atau unsur-
unsur sistem hukum; (2) Konsistensi sistem hukum; (4) pengertian-
pengrtian dasar sistem hukum; dan (5) kelengkapan sistem hukum.
(Soekanto, 1983).

5. Kerangka Dasar/Pijakan Politik Hukum

8
Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum
sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan arti ini,
maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar,
sebagai berikut (Mahfud, 2006: 31):

1)   Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita


bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.

2)   Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai


tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan
umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.

3)   Politik hukum harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai


dasar negara, yakni: (a) berbasis moral agama, (b) menghargai
dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, (c)
mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan
primordialnya, (d)  meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan
rakyat, (e) membangun keadilan sosial.

4)   Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum


negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh
keharusan untuk; (a) melindungi semua unsur bangsa demi
integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan

9
teritori, (b) mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan
kemasyarakat, (c) mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat)
dan nomokrasi (kedaulatan hukum), (d) menciptakan toleransi
hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusian.

5)   Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan


panduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus
dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum
yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan,
nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum
prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya.

6. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang No.21 Tahun


2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Makalah ini membahas politik hukum dari Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua. Politik Hukum sendiri menurut Prof. Mahfud MD
.adalah: (Moh. Mahfud. MD, 2005: 9)
“...politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara Nasional oleh pemerintahan Indonesia yang
meliputi: pertama pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar
dapat sesuai dengan kebutuhan;
kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Dari penjabaran tersebut pengertian politik hukum mencakup
proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan
sifatdan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.”

10
Lebih lanjut Moh.Mahfud M.D mengemukakan bahwa antara
hukum dan politik merupakan dua hal yang saling berkaitan dan
saling mempengaruhi. Karakteristik produk hukum akan
bergantung pada konfigurasi sistem politik yang ada pada masa
produk hukum itu dibuat. Ilmu Politik Hukum bukan hanya
menyangkut policy atau arah resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan melainkan menyangkut juga tentang berbagai hal
yang terkait dengan arah resmi itu, misalnya politikapa yang
melingkupi, melatarbelakangi, budaya hukum apa yang melingkupi
dan problema macam apa yang dihadapi(Moh. Mahfud MD, 2010:
5).
Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di
pulau Nugini Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat
karena Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk
belahan timur negara tetangga, east New Guinea atau Papua
Nugini. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini
Belanda (Dutch New Guinea). Papua Barat adalah sebutan yang
lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari
Indonesia dan membentuk negara sendiri. Provinsi ini duludikenal
dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973,
namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada
saat meresmikan tambang tembaga dan emas P.T Freeport, nama
yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Asal kata
Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Nama
provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua.

11
Bangsa Eropa yang pertama kalinya menemukan pulau ini
pada tahun 1511-1513 yaitu dua orang pelaut Portugis bernama
Antonio d' Abreu and Francisco Serrano, namun mereka tidak
mendarat di daratan Pulau Papua. Mereka berlayar dari Gilolo
(sekarang Jailolo di Maluku Utara) kemudian memberi nama
Papoia untuk Gilolo (sekarang Jailolo di Ternate/Maluku Utara)
dan oleh pelaut Portugis, pulau-pulau di bagian Barat New Guinea
sering disebut Os Papoas. Kemudian disusul oleh Jorge de
Menezes (Gubernur Portugis di Ternate) pada tahun 1526, ia
mendarat di pulau Waigeo di kampung Warsai beberapa bulan dan
memberi nama Llhas dos Papuas yang artinya rambut keriting
(John Anari, 2011: 87)
Kedatangan Bangsa Eropa berikutnya pada tanggal 24 June
1545 yaitu San Juan yang diperintahkan oleh Ynigo Ortiz de Retes,
ia adalah seorang Kapten Spanyol yang bermarkas di Mexico dan
berlayar di pantai Utara dan menancapkan bendera Spanyol di
muara Sungai Mamberamo lalu menyatakan daerah ini sebagai
kekuasaan Raja Spanyol, maka ia memberi nama Nueva
Guinea(Guinea Baru). Hal ini disebabkan karena orang-orang
penduduk asli mirip dengan orang-orang penduduk asli Guinea di
benua Afrika. Dan akhirnya, pulau ini mulai dimasukkan ke dalam
Peta Dunia pada tahun 1569 sehingga pada tahun 1581 Migel Rojo
de Brito mengunjungi pulau-pulau Raja Ampat, Teluk Bintuni (Mc
Cluer), dan Seram Utara untuk mencari emas-emas tersebut.
Akibat pemetaan pulau Emas inilah menjadi cikal-bakal rebutan
bangsa-bangsa Eropa serta Indonesia. Akhirnya pada tahun 1605

12
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Perusahaan Dagang
Belanda mulai mengirim ekspedisi ke Maluku dan menyebutnya
Pulau Papua.
Perolehan kesitimewaan otonomi khusus tidak dapat
dilapaskan dari faktor sejarah dan sosial di Papua. Narasi sejarah
Papua dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Jaap Timer
mengatakan penjajahan Belanda masuk pada awal tahun 1960-an,
sedangkan Ottis Simopiaref mengatakan penjajahan Belanda
masuk pada tahun 1898 (Jap Timmer, 2007: 595-625).
Meskipun tidak diketahui secara pasti berapa lama
penjajahan Belanda masuk ke Papua, tetapi dalam berbagai catatan
ditemukan bahwa pada masa penjajahan Belanda, kondisi sosial
dan ekonomi di Papua mengalami injeksi barat yang bagi
mayoritas tokoh intelektual Papua dianggap positif. Salah satunya
dikatakan bahwa pada masa penjajahan, Belanda membangunkan
sebuah Rumah Sakit Umum Pemerintah di Dok II Hollandia
(sekarang Jayapura). Rumah sakit yang dibuka dan diresmikan
pada 3 Juni 1959 tersebut memiliki kapasitas 360 tempat tidur dan
diklaim sebagai rumah sakit termodern di seluruh Pasifik Selatan
(Andi Tagihuma, 2011: 56-62).
Sementara itu di bagian lain Indonesia, penjajahan Jepang
masuk dan memukul mundur pasukan Belanda pada tahun 1942.
Namun tidak seperti Belanda yang bertahan kurang lebih 350
Tahun, penjajahan Jepang terhenti dengan runtuhnya Hiroshima
dan Nagasaki pada 4 dan 9 Agustus 1945. Kesempatan ini

13
dimanfaatkan oleh gerakan kemerdekaan Indonesia yang
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pasca kemerdekaan, agresi militer Belanda mengancam
wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satunya Belanda lewat pendudukan kembali wilayah Papua
Barat yang oleh Belanda sudah lama dijanjikan kemerdekaannya.
Dalam iklim dekolonisasi Internasional, Ir. Soekarno tidak henti-
hentinya mengupayakan perundingan demi masa depan Papua dan
NKRI. Lewat New York Agreement pada 15 Agustus 1962,
pengawasan Papua dialihkan kepada United Nation Temporary
Excecutive Authhority (UNTEA) yang merupakan organisasi
bentukan PBB. Barulah pada tahun 1969 melalui pleibisit
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), Papua secara formil masuk
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Perkembangan wilayah Papua pasca kemerdekaan dapat
dikatakan tidak baik. Ketidakmerataan pembangunan akibat politik
sentralisasi pada era selanjutnya (dalam hal ini era Presiden
Soeharto) mengakibatkan daerah ini rawan akan konflik.
Problematika ini kemudian menarik Pemerintah Pusat melalui
gagasan Otonomi Khusus yang diwujudkan dalam Ketetapan MPR
RI Nomor IV/MPR/1999 tenang perlunya pemberian status
Otonomi Khusus bagi provinsi Irian Jaya dan Tap MPR Nomor
IV/MPR/2000 tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi
Khusus dalam undang-undang. Selang beberapa bulan kemudian,
dibahaslah Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua di
DPR.

14
Berbeda halnya dengan Provinsi Papua, Provinsi Papua
Barat berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya
Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak
Jaya, dan Kota Sorong. Kemudian, melalui Surat Keterangan
Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran
Provinsi Irian Jaya, daerah ini dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi.
Tetapi, pada tanggal 1 Oktober 1999 rencana pemekaran provinsi
oleh Presiden B.J. Habibie, ditolak warga papua di Jayapura
dengan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak
saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran
kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999.
(Anonim, Sejarah Papua, diakses di http://papuabaratprov.go.id
pada tanggal 3 Oktober 2013)
Eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah
kemudian menimbulkan konflik hukum dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. P.M Hadjon berpendapat,
dalam Undang-Undang tersebut, yang dimaksud dengan Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya secara utuh, artinya sebelum
dikurangi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 45
Tahun 1999. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat
mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke
Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi
akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi
payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat.

15
Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya
Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali
diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang
dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal
27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan
membentuk dirinya menjadi provinsi. Instruksi Presiden itu sendiri
secara jelas mencantumkan dalam konsiderans mengingat angka 7:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Dengan demikian, segala
peraturan yang berkenaan dengan wilayah Provinsi Papua harus
tunduk kepada rezim Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi PapuaProvinsi Irian Jaya terus
diperlengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain
payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang
jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD,
akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki
gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan
Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli
2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak
UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan
sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003
dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai
membangun dirinya secara sah.
Pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua Barat sendiri
dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

16
Nomor 21 Tahun 2001 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang
Pembangunan hukum nasional yang bertujuan mewujudkan
staatside sebagaimana dimaktub dalam pembukaan UUD NRI
1945 dicapai melalui politik hukum, yang mana salah satunya
dicapai melalui perundang-undangan. William Zevenbergen
mengutarakan bahwa politik hukum mencoba menjawab
pertanyaan peraturan-peraturan mana yang patut untuk dijadikan
hukum. Jika dikaitkan dengan tata hukum nasional, perundang-
undangan merupakan bentuk dari politikhukum (legal policy).
Pengertian legal policy itu mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan yang dapat menunjukan sifat dan ke arah mana hukum
akan dibangun. Pembentukan UU No.21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan sebuah
pembelajaran menarik akan makna pembangunan hukum. Sebagai
salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keunikan karakter,
Provinsi Papua dan Papua Barat menyimpan banyak problem yang
menuntut penyelesaian yang efektif dan efisien. Pada kesempatan
Dialog Nasional Papua, Tim Perumus dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya memaparkan beberapa realita konflik yang
terjadi di Papua, antara lain: (Rachmad Safaat, 20011: 4)
1) Ketimpangan perolehan bagi hasil dalam pengelolaan tambang
PT. Freeport indonesia;
2)Pemogokan 8.000 buruh PT. Freeport indonesia menuntut
kenaikan upah;

17
3)Pelayanan birokrasi atas pemenuhan kebutuhan publik sangat
rapuh dan buruk;
4)Tata kelola birokrasi yang tidak berbasis pada good and clean
governance;
5)Dominasi model pembangunan yang eksklusif;
6)Pelaksanaan hak atas pendidikan yang layak terhadap
masyarakat belum maksimal;
7)Pengingkaran hak-hak masyarakat adat papua;
8)Pengelolaan dana otonomi khusus yang tidak tepat sasaran;
9)Proses mewujudkan demokratisasi yang gagal;
10)Korupsi dana pembangunan otonomi khusus;
11)Perang antar suku yang terus berlangsung;
12)Gerakan organisasi papua merdeka yang intensif menuntut
merdeka;
13)Pelanggaran HAM yang berlangsung pasca kongres;
14)Pembunuhan Kapolsek, anggota Brimob di Mimika dan area
freeport internasional;
15)Penangkapan aktivis pasca Kongres Papua ke-3;
16)Kericuhan dan pembunuhan terhadap karyawan, penduduk sipil
yang rutin terjadi di sekitar freeport internasional;
17)Kemiskinan dan kelaparan mewarnai kehidupan keseharian
masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Yahukimo
Otto Syamsuddin Ishaq, peneliti Papua pada Imparsial
menekankan bahwa akar permasalahan konflik di Papua adalah
tidak selesainya proses integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI.
(Otto Syamsudin Ishaq, 2011: 17).

18
Secara de jure, proses masuknya Papua ke wilayah NKRI
disangsikan oleh sekelompok intelektual Papua yang kemudian
membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM beranggapan
bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) secara yuridis cacat
hukum karena mengandung unsur paksaan yang dilakukan oleh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).Konflik tersebut
tidak diselesaikan secara tepat oleh pemerintah. Upaya
penyelesaian dilakukan melalui pendekatan keamanan yang
tergolong koersifdan dibiarkan berkepanjangan yang berakibat
pada pelipatgandaan akar permasalahan di Papua. Otto
Syamsuddin menjelaskan kondisi ini sebagai sinapsis antara
resistensi masyarakat dengan pendekatan koersif yang kemudian
menyebabkan apa yang disebut dengan memoria passioni.
Hal tersebut yang kemudian menjelaskan dasar tumbuhnya
nasionalisme Papua. Dasar konstitusional pembentukan UU No.21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945. Secara tersurat, konstitusi
mengatur jalan satu-satunya untuk membentuk daerah otonomi
khusus atau daerah istimewa adalah lewat Undang-Undang.
Mekanisme pembentukan lewat undang-undang ini tidak
sepenuhnya efektif. Sebelum amandemen, Jimmly Asshidiqie
mengkritik bahwasanya struktur UUD 1945 yang mengatur
ketenuan organik tanpa disertai dengan arahan tertentu mengenai
materi muatan yang harus diikuti atau dipedomani mengakibatkan
perbedaan-perbedaan yang kontras pada obyek yang sama. Secara
formal, pembentukan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua

19
telah memenuhi kriteria, yakni dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan mengatur hal yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang. Sedangkan dari sisi materiilmeskipun telah melewati
tahapan jaring aspirasi dan persiapan yang begitu lama, Undang-
Undang inimasih belum mewadahi aspirasi segenap elemen
masyarakat Papua. Sehingga di kemudian hari masih saja terdapat
gerakan-gerakan yang menuntu kemerdekaan Papua dan Papua
Barat.
Pada prinsipnya substansi utama dari otonomi khusus
Papua dan Papua Barat adalah; 1) Bentuk dan Susunan
Pemerintahan, 2) Partai Lokal, 3) Perimbangan Keuangan, 4)
Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan 5) Kekuasaan Peradilan
(diakuinya peradilan adat untuk menangani kasus perdata adat dan
pidana). Di antara sejumlah kekhususan tersebut, terdapat pula
beberapa kewenangan yang sudah dicabut. Baik itu lewat putusan
Mahkamah Konstitusi ataupun lewat Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
1.Bentuk dan Susunan Pemerintahan
Pada bagian bentuk dan susunan pemerintahan yang diatur
dalam Bab V, terdapat beberapa format asimetris dari
kewenangan pemerintahan daerah di Papua dan Papua Barat.
Pertama, pada ranah legislatif, DPRP (nama khusus dari
parlemen daerah di Papua, setingkat dengan DPRD Provinsi)
memiliki kewenangan untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur (Pasal 7 ayat (1) huruf a). Pada akhirnya kewenangan

20
ini dicabut oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan
Nomor 81/PUU-VIII/2010
Selanjutnya masih dalam pembahasan kekhususan
bidang pemerintahan, UU No.21 Tahun 2001 juga
mengamanatkan pembentukan Majelis Rakyat Papua dalam
sistem pemerintahan lokal. Dalam sistem Pemerintahan Lokal di
Indonesia, tidak dikenal adanya lembaga sejenis pada daerah
lainnya, pun pada daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus
lainnya. Tetapi apabila dibandingkan dengan system
pemerintahan di level nasional, keberadaan MRP dapat
dipersamakan dengan Dewan Perwakilan Daerah. Bedanya,
DPD adalah representasi wilayah yang dibuktikan dengan
keanggotaannya yang berasal dari perwakilan provinsi saja.
Secara umum, obyek kewenangan yang dimiliki DPD
dan MRP hampir serupa, yakni segala hal yang berkenaan
dengan pengelolaan daerah yang ditentukan dalam Undang -
Undang. Tetapi bila dirinci satu persatu kewenangan MRP dan
DPD amat berbeda. DPD berwenang untuk mengajukan
Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan
kewenangan MRP sebatas untuk memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap Perdasus yang dibuat bersama-sama oleh
Gubernur dan DPRP.

21
Kekhususan selanjutnya adalah mengenai posisi
Gubernur dan Wakil Gubernur yang merupakan orang asli
Papua. John Rawls dalam buku Umar Sholehudin menyatakan
bahwa pada situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga menguntungkan golongan masyarakat
yang paling lemah. Pembukaan peluang pada jabatan-jabatan
publik bagi semua orang akan mendorong percepatan
ekuilibrium antar elemen masyarakat ( John Raws dalam Umar
Sholehudin, 2011: 42).
2.Partai Politik Lokal
Isu yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan partai
politik lokal di Papua. Keberadaan partai lokal di Papua sudah
diatur secara legal dalam Undang- Undang Otonomi Khusus
Papua yang diatur dalam Bab VII tentang Partai Politik. Namun
ketidakjelasan pengaturan oleh Undang- Undang
mengakibatkan implementasi dari partai politik di Papua
menjadi simpang siur.
Berbeda dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua tidak memiliki definisi mengenai
apa yang dimaksud dengan Partai Politik. Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua hanya memiliki 1(satu) Pasal yang
memuat 4 (empat) ayat tentang Partai Politik.
Menurut Dr. Ali Safa’at dari Universitas Brawijaya,
yang dimaksud dengan pendirian partai politik di Papua
mencakup partai politik nasional sekaligus partai politik lokal,

22
keduanya bertujuan untuk memprioritaskan masyarakat asli
Papua dalam rekruitmen politik. (Ali Safaat, 2011: 257).
3.Perimbangan Keuangan
Muatan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua juga
mencakup aspek keuangan. Pada bagian latar belakang telah
dijelaskan bahwa kesenjangan ekonomi yang terjadi di Papua
adalah salah satu problem yang krusial di tanah yang kaya akan
barang tambang dan sumber daya lainnya ini.
Dalam hal otonomi khusus, penerapan asymmetric
decentralisationditerapkan lebih pada faktor historis. Tidak ada
keterkaitan antara otonomi penerimaan dengan penerapan
otonomi khusus. Lebih lanjut, menentukan relativitas muatan
kebijakan keuangan di Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
tidak bisa diukur hanya dari besaran perimbangan keuangan.
Aspek pemanfaatan dan pengawasan keuangan lebih
menentukan, apakah kebijakan desentralisasi fiskal yang
terkandung dalam Undang-Undang telah tepat sasaran atau
merupakan kebijakan yang mubadzir. Peraturan daerah yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan salah satunya adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Pajak Daerah.
4.Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi
Penyusunan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua turut
pula diwarnai dengan tuntutan pelurusan sejarah integrasi Papua
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang telah
dipaparkan pada bagian latar belakang, proses integrasi Papua

23
ke Indonesia dianggap cacat hukum karena mengandung unsur
pemaksaan pada saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
tahun 1969. Pepera dianggap sebagai tonggak penodaan
demokrasi dan hak asasi di Papua. Pendekatan militeristik yang
berulang dalam jangka waktu panjang membuahkan memoria
passionis bagi mereka yang oposisi terhadap pemerintahan
Indonesia. Oleh karenanya pada saat proses pembahasan
rancangan Undang-Undang, rekonsiliasi menjadi agenda
pembahasan yang cukup hangat.
Keberadaan komite atau lembaga yang menangani
persoalan rekonsiliasi ternyata tidak hanya dimiliki oleh
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua saja. DPR RI beberapa
tahun setelahnya mengeluarkan Undang-Undang No. 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Rekonsiliasi
dalam pengertian leksikal berarti perbuatan memulihkan
hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan
menyelesaikan perbedaan.
Dalam pengertian Undang-Undang Rekonsiliasi adalah
hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan,
dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan
bangsa. Tetapi Undang-Undang ini kemudian dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh MK melalui putusan
Nomor. 006/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang
No.27 Tahun 2004.

24
5.Kekuasaan Peradilan Adat
Otonomi Daerah yang berlaku saat ini tunduk pada
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dengan pengecualian pada daerah-daerah tertentu yang
kewenangan otonominya khusus diberikan melalui Undang-
Undang tersendiri. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah membatasi kewenanganPemerintahan Daerah dengan 6
(enam) urusan Pemerintah Pusat, yaitu 1) Politik Luar Negeri,
2) Pertahanan, 3) Keamanan, 4) Yustisi, 5)Moneter dan Fiskal
Nasional dan 6) Agama. Penetapan urusan pemerintah pusat
tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa selalu terdapat urusan
yang sepenuhnya/tetap menjadi urusan pemerintah pusat, karena
urusan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup
bangsa dan negara keseluruhan.
Penetapan urusan yustisi sebagai wewenang Pemerintah
Pusat didasarkan atas logika unifikasi hukum. Unifikasi hukum
di Indonesia merupakan salah satu tujuan pembinaan hukum
nasional, karena keseragaman hukum akan dapat meningkatkan
rasa kesatuan. Unifikasi juga berkaitan dengan konsep negara
bangsa yang tak hanya bersifat translokal akan tetapi juga
teritorial, dengan sarana penertibnya yang disebut hukum
nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan.
Dalam konsep dan teori, dikatakan bahwa hukum yang
responsif pada perkembangan kebutuhan hukum warga
masyarakat yang awam pada umumnya akan lebih cepat
mengundang ketaatan daripada hukum yang lebih tanggap pada

25
kepentingan-kepentingan etatis, dengan berbagai sarana
penegaknya yang represif. Pada akhirnya, kepentingan rakyatlah
yang diutamakan. Selama rakyat menghendaki dan hukumnya
memperbolehkan, peradilan adat di Papua menjadi sesuatu yang
legal. Provinsi Papua sudah memiliki perdasus mengenai
Peradilan Adat, yakni Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor
20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat Di Papua.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan tersebut
di atas dapat di simpulan bahwa:

Pada prinsipnya Inti dari Politik Hukum yang terkandung dalam


Undang -Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua yang kemudian diberlakukan pula terhadap
Provinsi Papua Barat, adalah upaya mempertahankan integritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat mencakup nilai-nilai pengakuan terhadap
keberagaman,menjunjung nilai-nilai demokrasi dan percepatan
terhadap kesejahteraan rakyat yang diwujudkan melalui kebijakan
desentralisasi asimetris dalam bidang susunan pemerintahan, partai
politik lokal, perimbangan keuangan dan kekuasaanperadilan adat.

26
2. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :
a. Perlu dievaluasi secara menyeluruh agar mengetahui kelemahan-
kelemahan Undang-Undang otonomi Khusus setelah berlaku di
Provinsi Papua.
b. Pemerintah Pusat dan daerah segera membuka ruang dialog secara
konprehensif, untuk mencari solusi yang tepat akar permasalahan
serta solusinya.
c. Perlu ada Perangkat peraturan untuk mengawasi dana-dana
otonomi Khusus.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latif dan Hasbi Ali,2011, Politik Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

Ali Safa’at,2022, Pembubaran Partai Politik, Jakarta, Rajawali Press

Fred Isjwara, 1974, Pengantar Ilmu Politi, Bandung, Bina Cipta

John Anari, 2011, Analisis Penyebab Konflik di Papua dan


Penyelesaiannya Menurut Hukum Internasional. Bandung, Bina
Cipta

Jimmly Asshidiqie, 2005, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap


Pembangunan HukumNasional, Jakarta, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia

I Ngurah Suryawan (Ed), 2011, Narasi Sejarah Sosial Papua, Bangkit dan
Memimpin Dirinya Sendiri, Malang, Intrans Publishing

Kamus Besar bahasa Indonesia, 2008,Jakarta: Gramedia

Moh.Mahfud M.D, 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES.

------------2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi ,


Jakarta, Rajawali Press.

Muhadar, 2006, Politik Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia.

Nusantara, 1988, Pergulatan Politik Hukum, Bandung, Alumni

Otto Syamsuddin Ishaq, 50 Tahun Konflik Papua, makalah disajikan


dalam Dialog Nasional Papua, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang, 01 Desember 2011.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Eds), 2011, Politik Lokal
di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

28
Umar Sholehudin, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang,
Setara Press.

Anonim, 2013, Sekilas Papua, di http://papua.go.id

Rachmad Safa’at, dkk, Mencermati Dinamika Konflik di Papua-Mencari


Konsep Resolusi Konflik,presentasi pada Dialog Nasional Papua,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 01 Desember
2011

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi


Provinsi Papua junctoUndang-Undang No. 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang- Undang

29
(Disampaikan Oleh: Kader Muda Muhammadiyah. Mahasiswa Magister
Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seorang Lelaki
kampung (insya Allah tidak kampungan), berasal dari Bima, sebuah
kabupaten terpencil namun strategis di Pulau Sumbawa NTB, yang
terletak di belahan selatan bumi Nusantara, hampir tidak masuk peta
karena tidak populer dan kurang komersil. Ayah dari seorang Putera yang
berharap si kecil kelak menjadi orang besar.)

Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak


keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman
budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang
sangat panjang. Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat

30
istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari
masa ke masa.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah


mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut, mengamanatkan Negara


Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan pengaturan antar
daerah yang tidak seragam antara satu sama lain. Dalam hubungan antara
pusat dan daerah atau daerah propinsi dengan kabupaten/kota
dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti propinsi
Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin agar seluruh
bangsa Indonesia benar-benar bersatu dengan keragaman dalam bingkai
Negara Kesatuan.

Namun demikian, amanat pelaksanaan pemerintahan daerah melalui


kebijakan desentralisasi yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2000, dalam
praktik implementasinya tidaklah mudah. Kondisi geografis, tingkat
kesuburan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata,

31
berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan
jumlah penduduk ,kualitas intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi geografis dan
demografi tersebut dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi daerah.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan


keleluasaan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam
pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pengaturan dalam UU No. 22 1999 ini
memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan
oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum
mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat
Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di
wilayah Papua.

Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan


budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional
yang bersifat khusus. Sejalan dengan nafas desentralisasi paska reformasi,
aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon oleh
pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Melalui
kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi
Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan

32
Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua
untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan. 

Hal ini adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka
peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan
seluruh rakyat di Papua. Otsus Papua sebenarnya didesain sebagai langkah
awal dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah,
sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar
yang kukuh demi tuntasnya masalah di Papua. UU Otsus Papua lahir
karena sejak penyatuannya ke Indonesia, masih ada persoalan pemenuhan
rasa keadilan bagi rakyat Papua, belum tercapainya kesejahteraan rakyat,
belum tegaknya hukum di Papua, dan belum adanya penghormatan hak
asasi manusia (HAM) khususnya terhadap warga Papua.

Masalah Yang Muncul


Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan berlakunya UU
Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang
selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran
kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan
menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus.
Pemberlakuan kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum
memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi
pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development),
dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.

33
Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah
krusial, yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan.
Setidaknya ada dua (2) masalah, yaitu: 
1. Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif
dan negative, respon negative seperti permintaan referendum.
2. Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas
sumber daya manusia yang ada.

Sementara itu pada sisi yang lain, Pemerintah menilai pelaksanaan


otonomi khusus Papua masih jauh panggang dari asap. dari sisi pengaturan
misalnya, peraturan turunan UU Otsus No35/2008 yang harusnya dibuat
ternyata tidak direalisasikan. Sehingga implikasinya menyebabkan ada
ketidakjelasan urusan pengelolaan dan tumpang tindih pengelolaan
kewenangan. Di tingkat daerah ternyata Pemprov Papua, Pemprov Papua
Barat, DPRP, DPRPB, MRP, MRPB belum menyelesaikan beberapa
Perdasus dan Perdasi sebagai implementasi UU Otsus. Akibatnya,
pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab serta pola dan
mekanisme kerja sama belum dibangun, sehingga kinerja yang dihasilkan
belum optimal. 

Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah mendasar.


Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya
diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki
acuan dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini
membuka peluang dana otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan

34
agar pemda Papua dan Papua Barat segera menyusun perda yang mengatur
tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus (Otsus) yang nilainya
mencapai Rp.40 triliun per tahun.

Apa yang Harus Dilakukan


Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun
sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada
hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus
ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini–yang justru atas nama
kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi
tersebut. 

Banyak temuan mengindikasikan bahwa kebijakan Otsus, dalam kerangka


penerapan sistem desentralisasi asimetris tersebut, yang diiringi dengan
mengalirkan sejumlah besar uang melalui dana Otsus, ternyata tak
berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas masyarakat Papua.
Bahkan terdapat indikasi kuat aliran dana Otsus tersebut lebih banyak
memperkaya pundi-pundi para elite penguasa lokal di Papua. Hal itu
akibat besarnya dana Otsus yang membuat iri banyak daerah lain tersebut
selama ini tak diimbangi dengan penerapan sistem responsibilitas dan
akuntabilitas dalam pemanfaatannya.
Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83
triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding
pada 2011.

35
Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus penggunaan dana
Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan BPK,
selama 2002-2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat
alokasi anggaran sebesar Rp 28,8 triliun. Tetapi BPK hanya mengaudit 66,
27% dari dana sebesar Rp 19,1 triliun itu dan menemukan ada indikasi
penyelewengan sebesar Rp 319 miliar. Hal itulah yang kemudian
memunculkan desakan dari berbagai elemen agar KPK RI segera
melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang
disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik.

Suatu hal yang kontradiktif, di saat segelintir elite yang berkuasa


menikmati kucuran dana Otsus, mayoritas masyarakat di Papua tetap
berkubang dalam kemiskinan. Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) tentang adanya kerugian negara sebesar Rp 319 miliar harus
menjadi pijakan awal pemerintah untuk menjawab persoalan
ketidaksinkronan besaran kucuran dana kepada Papua dan Papua Barat.

Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat


menjadi semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini,
mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk
mengakses pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh
dari kelayakan, sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat
memprihatinkan, terutama di daerah pedalaman Papua.

36
Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau secara ketat
untuk menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan
masyarakat Papua; penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-
sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan
yang layak; pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta
pembangunan infrastruktur sosial yang layak dan merata di seluruh
daerah. Di samping itu, indikasi penyelewengan dana Otsus Papua yang
sudah terjadi harus diusut secara komprehensif, untuk menemukan aktor-
aktornya yang harus bertanggung jawab, modus operandinya, dan langkah
preventif untuk perbaikan pengelolaan dana Otsus ke depan. 

Di samping langkah tersebut, pemerintah perlu mengevaluasi dampak


penerapan Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi
mayoritas masyarakat Papua, karena berbagai indikasi terjadinya praktek
penyimpangan penggunaan dana Otsus untuk kepentingan segelintir elite
penguasa di Papua. Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat
jika mereka dapat merasakan keadilan, terutama untuk menikmati hasil-
hasil sumber daya alamnya sendiri. 

Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished


agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan
komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka
demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan
kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta
membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya
diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus

37
kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat
dan kebijakan yang tepat, kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya
memperkukuh integrasi nasional.

POLITIK HUKUM

Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa
ahli :

1. Satjipto Rahardjo

Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai


tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum
dalam masyarakat.

1. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa


yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan
sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum

dan penerapannya.

38
1. L. J. Van Apeldorn

Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .

Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang –


undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis
saja.

1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan


menerapkan nilai – nilai.

1. Moh. Mahfud MD.

Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :

a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan
meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang
ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang
diperlukan.

b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan


Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in
Nederland

Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai


ilmu. Politik hukum merupakan salah satu  cabang atau bagian dari ilmu
hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :

1. Dogmatika Hukum
2. Sejarah Hukum
3. Perbandingan Hukum
4. Politik Hukum
5. IlmU Hukum Umum

39
Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai
berikut :

1. Dogmatika Hukum

Memberikan penjelasan mengenai isi  ( in houd ) hukum , makna


ketentuan – ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas –
asas dalam suatu sistem hukum.

1. Sejarah Hukum

Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan


peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum
mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang
baik tentang hukum yang berlaku sekarang .

1. Ilmu Perbandingan Hukum

Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara ,


meneliti kesamaan, dan perbedaanya.

1. Politik Hukum

Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang


perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan –
kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.

1. Ilmu Hukum Umum

Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu
sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan
waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar-
dasar pengertian  perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang
yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum.
Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

40
Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan
seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “
HUKUM “.

Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun
yang seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.

Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek politik hukum adalah


praktis ilmiah bukan teoritis ilmiah.

)Penggolongan lap Hukum yang klasik/tradisional dianut dalam tata


hukum di Eropa dan tata hukum Hindia Belanda :

1. Hukum Tata Negara

2. Hukum Tata usaha

3. Hukum Perdata

4. Hukum Dagang

5. Hukum Pidana

6. Hukum Acara

v     Lapangan Hukum Baru :

1. Hukum Perburuhan

2. Hukum Agraria

3. Hukum  Ekonoimi

4. Hukum Fiskal

Pembagian Hukum secara tradisional antara lain : Hukum Nasional terbagi


mejadi 6 bagian diantaranya :

41
1. Hukum Tata Negara
2. Hukum adminitrasi Negara
3. Hukum Perdata
4. Hukum Pidana
5. Hukum Acara Perdata
6. Hukum Acara Pidana

Hukum Nasional tradisional Mengandung  “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “,


sumber hukum ketika semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan
POLITIK HUKUM NASIONAL.

I. RUANG GERAK POLITIK HUKUM SUATU NEGARA

Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu ,


bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik
Hukum dari negara tertentu.

II. POLTIK HUKUM  KEKUASAAN DAN WARGA


MASYARAKAT

Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para


warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir
menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk
mengatur negara , bangsa  dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm
seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara.

III. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG

Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kkuasaan negara


yang terdiri atas 3  ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara
lain :

a)      Eksekutif

42
b)      Legislatif

c)      Yudikatif

Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing –


masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang
tidak lain tidak bukan adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka
ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya.

REGIONALISME

Berasal dari kata “ Region” yang berarti “ daerah bagian dari suatu
wilayah tertentu “. Dewasa ini regionalisme diartikan bagian dari dunia ,
yang meliputi beberapa negara yang berdekatan letaknya , yang
mempunyai kepentingan bersama. Dengan kata lain Regionalisme adalah
Suatu kerjasama secara kontinue antara negara – negara di dunia. Pada
dasarnya Regionalisme sudah ada sejak dahulu kala seperti Regionalisme
antara negara – negara SKANDINAVIA yang terdiri dari Swedia,
Norwegia , dan Denmark. Begitu pula dengan BENELUX yang terdiri dari
Belgia , Nederland dan Luxsemburg.  Mereka bekerjasam dalam satu
ikatan , namun perlu diketahui bahwa contoh – contoh diatas kurang
mempunyai pengaruh terhadap Politik Hukum dunia. Keduanya tidak
dianggap terlalu penting , lain halnya dengan NATO yang terdiri dari
batasan negara Eropa Barat masih ditambah lagi dengan Turki dan
Canada. Mereka punya pengaruh besar  terhadap Politik Hukum negara –
negara didunia dibandingkan dengan BENELUX.

TATA TERTIB DUNIA

Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum
itu sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka
ruang gerak Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja
melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat
Internasional.

Menrut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari


realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk.
Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka Politik Hukum
Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum Internasional.

43
Kalau kita kaji antara POLITIK HUKUM dan ASAS-ASAS HUKUM
maka akan terlihat konsep sebagai berikut :

 Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia


tidak bisa lepas dari asas Hukum.
 diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum
bagi suatu negara.
 Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Huykum/dasar Negara di
sebut : GRUND NORM
 Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah PANCASILA
 Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil
proses pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia
sendiri; bukan diambil dari hasil  perenungan belaka; bukan hal
yang sekonyongkonyong masuk kedalam pemikiran masyarakat
Indonesia tetapi :

1. ada yang bersifat Nasional


1. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan
agama,suku,profesi, dll.
2. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan
lingkungan masyarakat dunia.

B. KERANGKA LANDASAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945,proklamasi


kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas
nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan
detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan
tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional ).

C. MUNCULNYA POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya


Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya
konstitusi / hukum dasar negara RI.

44
D. SIFAT POLITIK HUKUM

Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam
bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara
” bahwa Politik Hukum terdiri dari

1. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )

Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar


kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.

Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :

1. i.      Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.

Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik
hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu
sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional
tersebut terdiri dari:

1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)


2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )
3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
4. ii.      Sistem hukum nasional yang dibangun berdasrkan Pancasila
dan UUD 1945.

1. iii.      Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga
negara tertentu berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun
ada perbedaan , semata – mata didasarkan pada kepentingan
nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
2. iv.      Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan
masyarakat

Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan


hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam
pembentukan hukum .

45
1. v.      Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui
sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup
dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
2. vi.      Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada
partisipasi masyarakat.
3. vii.      Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum
( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat
yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara
berdasarkan hukum dan konstitusi.
4. Politik Hukum  yang bersifat temporer.

Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan  yang ditetapkan dari waktu ke waktu


sesuai dengan kebutuhan .

E. CARA YANG DIGUNAKAN

Di Indonesia cara – cara yang digunakan untuk membentuk politik


hukumnya tidak sama dengan cara – cara yang digunakan oleh:

 Negara Kapitalis
 Negara Komunis
 Negara yang fanatik religius

Tetapi menghindari perbedaan – perbedaan yang mencolok dan cara – cara


yang ekstrim untuk mencapai keadilan dan kemakmuran , menolak cara –
cara yang dianggap tepat oleh paham:

 Negara Kapitalis
 Negara Komunis
 Negara yang fanatik religius

Ketga cara ini merupakan cara yang ekstrim:

 Kapitalis

46
Menganggap bahwa manusia perorangan yang individualis adalah yanhg
paling penting.

 Komunisme

Menganggap bahwa masyarakat yang terpenting diatas segalanya

 Fanatik religius

Merupakan realita bahwa manusia hidup di dunia ini harus bergulat untuk
mempertahankan hidupnya ( survive ) , maka Politik Hukum kita pasti
tidak akan menggunakan cara – cara kapitalis, komunis, dan fanatik
religius.

F. SISTEM HUKUM NASIONAL

Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai


tatanan hukum nasional yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat
yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan hukum nasional yang sesuai
dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila dengan
pokok – pokoknya sebagai berikut :

1. Sumber dasar Hukum Nasional

Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi


suatu kaedah hukum. Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum
Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia yang terjelma
dalam pandangan hidup Pancasila. Oleh karena itu dalam kerangka sistem
hukum Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No.
XX/ MPRS / 1966 ).

1. Cita – cita hukum nasional

Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945


memuat pokok – pokok pikiran sebagai berikut :

1)      Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah


darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan.

47
2)      Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

3)      Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan


permusyawaratan perwakilan.

4)      Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.

1. Politik Hukum Nasional

Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan


wawasan nasional bidang hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia
mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam rangka
pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik
dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN.

Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang
menyangkut GBHN, antara lain:

1. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960


2. TAP MPR No. IV / MPR / 1973
3. TAP MPR No. IV / MPR / 1978
4. TAP MPR No. II / MPR / 1983
5. TAP MPR No. II / MPR / 1988
6. TAP MPR No. II / MPR / 1993
7. TAP MPR No. X / MPR / 1998

Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam rangka


penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
“.

1. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998

Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998

48
1. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN
2. Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan
2004.

POLITIK HUKUM SEBAGAI ILMU

a.1. Batasan / Definisi Politik Hukum

Sesungguhnya ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli. Pada
definisi-definisi yang diberfikan tersebut ternyata ada perbedaann batasan
tentangf politik hukum.

Politik Hukum Perundang-undangan :

1.Tertulis adalah Undang-undang yang bersifat Permanen.

2. Tidak tertulis adalah Kebijakan Publik (bisa berubah “setiap saat sesuai
dengan kebutuhan dan keadaan”)

Sehingga keadaan dan kebutuhan yang berubah-ubah inilah yang


menyebabkan pembicaraan Politik Hukum menjadi sangat kompleks,
sebab antara kebutuhan dan keadaan suatu negara dengan negara lain bisa
berbeda, waktu lalu bisa berbeda dengan waktu sekarang.

a.2. Ruang Lingkup Politik Hukum

Ruang Lingkup artinya situasi/tempat/faktor  “lain yang berada di sekitar


Politik Hukum yang berlaku sekarang, Hukum yang suidah berlaku dan
Hukum yang akan berlaku.

a.3. Obyek Politik Hukum

Obyek yang dipelajari dalam Politik Hukum adalah Hukum-hukum yang


bagaimana itu bisa berbeda-beda atau Hukum ini dihubung atau
dilawankan dengan Politik.

a.4. Ilmu Bantu Politik Hukum

49
Yang dimaksud Ilmu bantu disini adalah Ilmu yang dipakai dalam
mendekati/mempelajari Politik Hukum baik berupa konsep, “teori” dan
penelitian. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum dalam hal ini sangat
membantu dalam mempelajari Politik Hukum.

a.5. Metode Pendekatan Politik hukum

Metode   adalah cara   dalam mempelajari Politik Hukum Empirik adalah


kenyataan (secara praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah dengan
melihat Konstitusi Negara)

POLITIK HUKUM LAMA

Politik Hukum Lama, di jalankan pada masa pemerintahan Hindia,


Belanda, diawali sejak kedatangan atau zaman pemerintahan Hindia
Belanda yang menerapkan asas Konkosedansi yaitu: menerapakn
hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda.

Di Hindia Belanda selain berlaku hukum adat dan Hukum Islam.

Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai dengan Indonesia merdeka


tidak ada asvikasi hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk
melakukan asifikasi (memberlakukan satu hukum untuk seluruh Rakyat di
seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.

Asas Konkordansi

Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda.

Unifikasi Hukum adalah berlakunya suatu  hukum di suatu wilayah negara


untuk seluruh paalnya.

Kenapa hukum Islam masih berlaku ? karena sebagian besar pelakunya


adalah beragama Islam.

Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela


pemikiran barat”. A.c. Hamengku Buwono IX yang tetap
mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa barat  dan

50
timur dapat dilakukan dan bekerja sama secara ekonomomis tanpa harus
kehilangan kepadiannya masing-masing. Selama tidak menghambat
kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam mator
yang kay7a dalam tradisi.

Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda;

1. secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan


politik hwed untuk tanah atau aja hanya di Hindia Belanda.
2. panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan
politik hukum dari hampir smua orang Eropa dan orang negara
baratt trhadap daerah timur yang mereka jajah.
3. umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan
Asia.
4. dikatakan oleh mereka, kebudayaan barat, tinggi, baik,
mul;ia,sedangkan kebudayaan timur rendah terbelakang, primitif,
sangat bergantung pada alam.
5. orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan
yang berpegang pada timur ketinggalan zaman.
6. pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah,
pendidikan Islam rendah dapat dilihat pada daerah jajahan Inggris,
perancis, Belanda.
7. Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke
Hindia Belanda berhasil sehingga pemikiran sebagian bangsa
Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat.
8. Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.

UNIFIKASI JAMAN PENJAJAHAN DI HINDIA BELANDA

Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa


penjajahan di Hindia Belanda antara lain; dalam bidang hukum dagang
dan lalu lintas ekonomi, dengan tujuan utamanya adalah keinginan
pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda
caranya ialah:

51
1. memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh
pemerintah Belanda itu untuk orang Belanda dan Eropa sendiri.
2. Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang
menunjukkan dii dengan sukarela kepada hukum Belanda.
3. selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang
yang dipersamakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan orang-
orang Belanda.

UNIFIKASI MASA INDONESIA MERDEKA

1. dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak


diperlukan memberlakukan suatu hukum gak tetap untuk yang lain
atau menundukkan diri kepada kepada hukum tertentu tidak
diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di Indonesia
merdeka, teutama dalam tindak hukum lalu lintas ekonomi dan
keuangan baik untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam
hubungan dengan bangsa lain.
2. Khusus untuk sesama bangsa Indonesia terhadap kemungkinan
memberlakukan pertahanan hukum bagi   kekhususan orang
Indonesia.

Menyangkut bidang yang disebut untuk dewa sesuai dengan bidang yang
netral, tidak sulit mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam
hak ;

1. Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan


peraturan-peraturannya.
2. sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak
terhingga, misal bidang perdagangan dalam perdata yang
berhubungan dengan perjanjian, bidang ini sudut isinya tetap tidak
sangat sulit perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.
3. mungkin di mintakan masukan yang diperlukan oleh pihak yang
merasa bersangkutan dengan masalahnya, hal yang diangkat
tersulit dalam dalam bidang hukum yang berhubungan dengan rasa
kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan, namun
untuk bidang ini ini telah di rumus dengan suatu idang hukum
yang berat.

52
KODIFIKASI

Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;

1. Kodifikasi  terbuka

Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap


terdapatnya tambahan – tambahan  diluar induk kondifikasi.  Pertama atau
semula maksudnya induk permasalahannya sejauh yang dapat dimasukkan
ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi diluar
kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan
peraturan itu isinya  menyangkut permasalahan – permasalahan dalam
kumpulan peraturan pertama tersebut.  Hal ini dilakukan berdasarkan atas
kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai
kebaikan ialah;

“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan


hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat
hukum disini diartikan sebagai peraturan “.

2. Kodifikasi tertutup

Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke


dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.

Cacatan;

Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang


suatu hukum lengkap dan perkasanya perubahan kehendak masyarakat
mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang nyatanya
kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah
Kodifikasi Terbuka.

Isinya;

1. Politik hukum lama


2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal
3. Penduduk terpecah menjadi;

53
1. penduduk bangsa Eropa
2. Penduduk bangsa Timur Asing
3. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)

1. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.


2. Pendidikan bangsa indonesia:

1. Hasil Pendidikan Barat.


2. Hasil Pendidikan Timur

POLITIK HUKUM BARU

Politik hukum baru di Indonesia muali pada tanggal 17 Agustus 1945


(versi Indonesia). Kemerdekaan Indonesia Belanda adalah; 19 desember
1949 yaitu sewaktu adanya KMB di Denhaag (Belanda).

Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi
suatu negara;

1. Negara tersebut negara Merdeka.


2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam
o Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara
kita merdeka.
o Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh
seluruh Warga Negara.

1. Ada keinginann untuk membuat  hukum yang tujuannya untuk


mensejahterakan Masyarakat.

Sumber-sumber hukum bagi Politik antaralain ;

1. Konstitusi
2. Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)

54
3. Kebijakan tidak tertulis atau tidak.

Antara lain :

1. UUD 1945 ~ suppel tapi


2. Perbidang atau perlapangan hukum

-         perdata,pidana, dagang,tata usaha negara, tata negara.

@ Persektor

-         ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management,


sosial politik, politik bisnis.

1. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.

Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:

Contoh : 1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih


menyelenggarakan pertunangan. 2. Adanya pelarangan menikah antara 2
Agama yang berbeda.

Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang
baru)

1. Hukum Islam
2. hukum Adat
3. Hukum Barat

Ada :

1. cara rakyat Indonesia sebagian besar beragama Islam.


2. peraturan di Indonesia mengadopsi Asas “hukum Islam Bukti: UU
No. 1. 1974 ~ asas monogami.
3. karena hukum aslinya rakyat Indonesia adalah Adat Indonesia.

55
4. hukum rakyat yang diambil oleh hukum Indonesia adalah
sistemnya yang baik.

Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :

1. Negara ~ pemerintah

Parpol ~ partai.

Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.

Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan


hukum tinggi maka politik hukumnya tinggi begitu sebaliknya.

Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :

1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.

2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.

3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.

4. Adat = Berupa Nilai.

5. GBHN = Berupa Program

6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.

Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan


Politik Hukum, yakni: dengan dikeluarkannya beberapa UU yang semula
belum ada, yakni :

1.
1. UU No 14 tahun 1970 Tentang  ketentuan kekeuasaan
kehakiman.
2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.
3. UU lingkungan Hiduop.

56
4. UU Perburuhan.
5. UU Perbankan, Dsb.

Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :

 diPakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah


disebakan Hukum Adat sudah Eksis dalam budaya dan perasaan
Bangsa Indonesia.
 Di pakainya Hukum Islam sebagai sumber Hukum Nasional karena
mayoritas Penduduk Indonesia beragama Islam ~ Iman.
 Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil
asas-asasnya saja.
 Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional juga berkaitan
dengan urusan-urusan Internasional atau berkaitan dengan Hukum
atau perdagangan Internasional.

Tahun 1979, PURNADI dan SURYONO  SUKAMTO menyatakan :


Hukum Negara (Tata Negara) adalah Struktur dan proses perangkaat
kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu
serta bwerbentuk tertulis.

Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia


adalah persoalan dalam rangka mewujudkan Hukum Nasional di
Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu pada realita alam
Indonesia.

Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam


Hukum Indonesia”.

Tahun 1977, AHMAD SANUSI menyatakan PTHI hendaknya dipahami


sebagai penguraian Deskritif-Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan
bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan sifat-sifat spesifik dari Hukum
Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.

b.Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak


hanya sekedar penciptaan Hukum baru yang dapat ditujukan pada

57
hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya yang telah cukup
diketahui.

c. Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan


penggantinya dengan cara berpikir yang didorong oleh kebutuhan
menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah merdeka.

Tahun 1978 , DANIEL S. LEV menlis aspek Politiknya dengan


menyatakan dan kedudukan Hukum di Negara republik indonesia sebaian
besar merupakn perjuangan yang hanya dapat dimengerti secara lebih baik
dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.

a. Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum,


Pengertian Hukum,Paham Hukum yang khas (Indonesia).

b. Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.

Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :

1.
1. menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum”  (buku PIH
karangannya ini adalah buku PIH pertama dalam Bahasa
Indonesia).
2. Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di
Indonesia.

Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.

Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang


sesungguhnya terhadap ;

1. hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-


ide baru, yang akan mendorong ke arah bentuk Hukum yang sama
sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.
2. Sejak sebelum kemerdekaan                   sesudah kemerdekaan
Republik Indonesia sudah banyak usulan agar Negara Republik
indonesia memiliki Hukum Politik dsendiri, bukan Politik Hukum

58
yang sama dengan Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan
tersebut.

Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :

1. pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara


yang berlaku di Hindia Belanda.
2. Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai  di Hindia Belanda.

Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul


“Romantika Dalam Hukum indonesia” menyatakan :

1. Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan


jangan hanya menjadi tambahan saja bagi Hukum Belanda di
Hindia Belanda.
2. Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki Politik
Hukumnya sendiri yang sesuai dengan situasi dan kondisi Bangsa
indonesia.

Khusus
OTONOMI

Papua -
59
Dinamika
dan Solusi
Pemecahan
nya
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia
melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001
No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan
Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU
21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan
Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa
dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU
ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah
yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.

Latar Belakang
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat

60
kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun
kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi
Papua, khususnya masyarakat Papua.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran


dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa
Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi
Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah,
sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang
kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian
masalah-masalah di Provinsi Papua.

Provinsi Papua
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan
khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-
provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih
sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi
Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol
kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan
lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

Wilayah Papua
Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-
masing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah
Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala

61
Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah
kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut
dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus


yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran
Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan
MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan
sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan
perkembangan di masa datang.

Pemerintahan
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan
eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua
dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural
orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan
hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap
adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup
beragama.

Legislatif
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota
DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi
Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai
contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR,
DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.

Eksekutif
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala
Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah
yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya
adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

62
• orang asli Papua;
• setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada
rakyat Provinsi Papua;
• tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali
dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
• tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.

MRP
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat,
wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing
sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP
ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun.
Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.
MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain
:
• memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur
dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
• memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus
yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

Parpol
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh
partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat
asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal
seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua
dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus
dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan
dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan
Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh
DPRP bersama-sama Gubernur.

Keuangan
Dana Perimbangan

63
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil
pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai
berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh
persen)
3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun
terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung
dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak
bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-
kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi

Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan
khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara
dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan yang berlaku
selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR
berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Perekonomian
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya
alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat,
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang
pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian
berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan
dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam
perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di

64
wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat
adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan
antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus
melibatkan masyarakat adat setempat

Penegakan Hukum
Kepolisian
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi
Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi
untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik
Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua
dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan
Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan
tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi
kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi
Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik
Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum,
budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
Kejaksaan
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari
Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi
Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan
Gubernur.
Peradilan
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan
kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum
adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan
mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut
ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata

65
dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana
bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta
mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua
yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk
kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para
anggotanya.

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau


kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya
tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi
putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

Adat Papua dan Perlindungannya


Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta
dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun.
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi,
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Masyarakat adat
adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta
tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para
anggotanya.

Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat
dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta
isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat
dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun,
dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang
bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang
diperlukan maupun imbalannya.

Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk


mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi
Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan

66
pekerjaan di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan
untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. Orang asli Papua
adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku
asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli
Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua
orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di
Provinsi Papua

Hak Asasi dan Rekonsiliasi


Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib
menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua. Untuk hal itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum
perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak
dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua
upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua


dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan
persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan


Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk
agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua
berkewajiban untuk menjamin:
• kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
• menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
• mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
• memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional
berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga
asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.
Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan
pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah
Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli

67
Papua. Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan
melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan
memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang
pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di
jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

Lingkungan Hidup
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan
hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi
sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan
keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

Lain-lain
Usul perubahan atas UU 21/2001 dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua
melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pelaksanaan UU 21/2001 dievaluasi setiap tahun dan
untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-
undang ini berlaku. Pemberian otonomi ini disahkan pada 21 November 2001.

Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008


Perpu 1/2008 merupakan revisi dari UU 21/2001 yang ditujukan untuk
memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua
Barat. Dalam UU 21/2001, hanya dijelaskan mengenai pelaksanaan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua. Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU
ini diterjemahkan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi
Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah pemekaran". Pada waktu UU
21/2001 disahkan, yang dimaksud Provinsi Papua mencakup seluruh wilayah
Pulau Papua bagian barat. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur dari
Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya
mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan
pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur
di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, Presiden menerbitkan Perpu 1/2008
sebagai dasar hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat.

Sumber: Wikipedia Indonesia

68
------------------------------------------------------- 

Otonomi Khusus Papua - Dinamika dan Solusi Pemecahannya:

(Disampaikan Oleh: Kader Muda Muhammadiyah. Mahasiswa Magister Ilmu


Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seorang Lelaki kampung (insya
Allah tidak kampungan), berasal dari Bima, sebuah kabupaten terpencil namun
strategis di Pulau Sumbawa NTB, yang terletak di belahan selatan bumi
Nusantara, hampir tidak masuk peta karena tidak populer dan kurang komersil.
Ayah dari seorang Putera yang berharap si kecil kelak menjadi orang besar.)

Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman


budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang
tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang.
Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di
pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah


mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut, mengamanatkan Negara


Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan pengaturan antar daerah
yang tidak seragam antara satu sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan
daerah atau daerah propinsi dengan kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola
hubungan yang bersifat khusus seperti propinsi Papua. Pengaturan demikian
dimaksud untuk menjamin agar seluruh bangsa Indonesia benar-benar bersatu
dengan keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan.

Namun demikian, amanat pelaksanaan pemerintahan daerah melalui kebijakan


desentralisasi yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2000, dalam praktik
implementasinya tidaklah mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu

69
daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk ,kualitas
intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Kondisi geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan
banyak permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan keleluasaan


yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan
pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya
alam di wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan
dalam UU No. 22 1999 ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang
yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih
belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat
masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun
pembangunan di wilayah Papua.

Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan


budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang
bersifat khusus. Sejalan dengan nafas desentralisasi paska reformasi, aspirasi
dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon oleh pemerintah dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan
peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek
sekaligus objek pembangunan. 

Hal ini adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan
pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di
Papua. Otsus Papua sebenarnya didesain sebagai langkah awal dalam rangka
membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan
langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh demi tuntasnya
masalah di Papua. UU Otsus Papua lahir karena sejak penyatuannya ke
Indonesia, masih ada persoalan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Papua,
belum tercapainya kesejahteraan rakyat, belum tegaknya hukum di Papua, dan
belum adanya penghormatan hak asasi manusia (HAM) khususnya terhadap
warga Papua.

Masalah Yang Muncul

70
Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan berlakunya UU
Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini
termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran kenyataannya berbagai
persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak
terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh
sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan
terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service),
membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah krusial,


yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan. Setidaknya
ada dua (2) masalah, yaitu: 
1. Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif dan
negative, respon negative seperti permintaan referendum.
2. Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas sumber
daya manusia yang ada.

Sementara itu pada sisi yang lain, Pemerintah menilai pelaksanaan otonomi
khusus Papua masih jauh panggang dari asap. dari sisi pengaturan misalnya,
peraturan turunan UU Otsus No35/2008 yang harusnya dibuat ternyata tidak
direalisasikan. Sehingga implikasinya menyebabkan ada ketidakjelasan urusan
pengelolaan dan tumpang tindih pengelolaan kewenangan. Di tingkat daerah
ternyata Pemprov Papua, Pemprov Papua Barat, DPRP, DPRPB, MRP, MRPB
belum menyelesaikan beberapa Perdasus dan Perdasi sebagai implementasi UU
Otsus. Akibatnya, pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab serta pola
dan mekanisme kerja sama belum dibangun, sehingga kinerja yang dihasilkan
belum optimal. 

Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah mendasar. Hingga


kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya diatur Peraturan
Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan dan petunjuk
teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana otsus
diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat
segera menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana
otonomi khusus (Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.

Apa yang Harus Dilakukan

71
Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun sejak 2001
telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada hakikatnya
bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus ketidakadilan struktural
yang terjadi selama ini–yang justru atas nama kebijakan Otonomi Khusus
(Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut. 

Banyak temuan mengindikasikan bahwa kebijakan Otsus, dalam kerangka


penerapan sistem desentralisasi asimetris tersebut, yang diiringi dengan
mengalirkan sejumlah besar uang melalui dana Otsus, ternyata tak berkorelasi
dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas masyarakat Papua. Bahkan terdapat
indikasi kuat aliran dana Otsus tersebut lebih banyak memperkaya pundi-pundi
para elite penguasa lokal di Papua. Hal itu akibat besarnya dana Otsus yang
membuat iri banyak daerah lain tersebut selama ini tak diimbangi dengan
penerapan sistem responsibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatannya.
Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun
untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana Otonomi
Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011.

Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus penggunaan dana


Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan BPK, selama
2002-2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat alokasi
anggaran sebesar Rp 28,8 triliun. Tetapi BPK hanya mengaudit 66, 27% dari
dana sebesar Rp 19,1 triliun itu dan menemukan ada indikasi penyelewengan
sebesar Rp 319 miliar. Hal itulah yang kemudian memunculkan desakan dari
berbagai elemen agar KPK RI segera melakukan pengusutan indikasi
penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite
politik.

Suatu hal yang kontradiktif, di saat segelintir elite yang berkuasa menikmati
kucuran dana Otsus, mayoritas masyarakat di Papua tetap berkubang dalam
kemiskinan. Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya
kerugian negara sebesar Rp 319 miliar harus menjadi pijakan awal pemerintah
untuk menjawab persoalan ketidaksinkronan besaran kucuran dana kepada
Papua dan Papua Barat.

Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat menjadi


semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas
masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mengakses

72
pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan,
sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan,
terutama di daerah pedalaman Papua.

Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau secara ketat untuk
menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua;
penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-sekolah termasuk
pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak;
pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur
sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di samping itu, indikasi
penyelewengan dana Otsus Papua yang sudah terjadi harus diusut secara
komprehensif, untuk menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab,
modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan pengelolaan dana
Otsus ke depan. 

Di samping langkah tersebut, pemerintah perlu mengevaluasi dampak penerapan


Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi mayoritas
masyarakat Papua, karena berbagai indikasi terjadinya praktek penyimpangan
penggunaan dana Otsus untuk kepentingan segelintir elite penguasa di Papua.
Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat jika mereka dapat
merasakan keadilan, terutama untuk menikmati hasil-hasil sumber daya alamnya
sendiri. 

Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda


yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk
bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun
kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi
dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif
dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif,
kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula
tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat, kerangka yang sebaiknya
dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional.
Masalah Otonomi Khusus Papua
1. Apa yang dimaksud otonomi khusus yang ada di Papua? 2. Apakah
kriteria otonomi khusus yang ada di Papua? Apakah perbedaan kriteria
otonomi khusus di Papua dengan daerah-daerah lain yang mempunyai
otonomi khusus? 3. Apakah konsekuensi hukum bagi MRP, jika terjadi

73
kesalahan dalam mengambil keputusan terkait dengan syarat untuk
menjadi gubernur dan wakil gubernur di Papua?  
ghozfargh
 Share:

Jawaban:
Diana Kusumasari

1.     Otonomi Khusus di Papua.

Berdasarkan Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan


Atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
dengan UU No. 35 Tahun 2008:

a.      Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi
Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b.      Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan


diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

74
Jadi, otonomi khusus yang ada di Papua diberikan oleh Pemerintah
sehingga Provinsi Papua dapat mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya sendiri menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

2.     Kriteria Otonomi Khusus di Papua dan Perbedaannya dengan


Daerah Otonomi Khusus Lainnya.

Kami kurang memahami maksud dari kriteria yang Anda tanyakan,


semoga keterangan dalam boks di bawah ini dapat menjawab yang
Anda tanyakan. Kami kutip bagian menimbang dari peraturan
perundang-undangan yang memberikan alasan/latar belakang
pemberian otonomi khusus di dua wilayah di Indonesia yaitu Provinsi
Aceh dan Provinsi Papua:

Papua Aceh
Menimbang: Menimbang:

a.      bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya a.   bahwa sistem pemerintahan Negara
Barat yang kemudian berubah menjadi Kesatuan Republik Indonesia menurut
Provinsi Papua Barat, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
kenyataannya telah menjalankan Indonesia Tahun 1945 mengakui dan
urusan pemerintahan dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
pembangunan serta memberikan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
pelayanan kepada masyarakat sejak istimewa yang diatur dengan Undang-
tahun 2003, namun belum Undang;
diberlakukan Otonomi Khusus
berdasarkan Undang-Undang Nomor b.   bahwa berdasarkan perjalanan
21 Tahun 2001 tentang Otonomi ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh
Khusus Bagi Provinsi Papua; merupakan satuan pemerintahan daerah

75
b.      bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus yang bersifat khusus atau istimewa terkait
bagi Provinsi Papua Barat memerlukan dengan salah satu karakter khas sejarah
kepastian hukum yang sifatnya perjuangan masyarakat Aceh yang
mendesak dan segera agar tidak memiliki ketahanan dan daya juang
menimbulkan hambatan percepatan tinggi;
pembangunan khususnya bidang
sosial, ekonomi, dan politik serta c.    bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
infrastruktur di Provinsi Papua Barat; tersebut bersumber dari pandangan hidup
yang berlandaskan syari’at Islam yang
c.       bahwa berdasarkan pertimbangan melahirkan budaya Islam yang kuat,
sebagaimana dimaksud dalam huruf sehingga Aceh menjadi daerah modal
“a” dan huruf “b”, perlu menetapkan bagi perjuangan dalam merebut dan
Peraturan Pemerintah Pengganti mempertahankan kemerdekaan Negara
Undang-Undang tentang Perubahan Kesatuan Republik Indonesia;
Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus d.   bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Bagi Provinsi Papua. dan pelaksanaan pembangunan di Aceh
belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta
pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan
Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik;

e.   bahwa bencana alam gempa bumi dan


tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi
bangsa Indonesia untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh
serta menyelesaikan konflik secara
damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

f.     bahwa berdasarkan pertimbangan


sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh.

Sehingga, memang latar belakang diberikannya status otonomi khusus


pada kedua wilayah tersebut (Papua dan Aceh) berbeda (lihat UU No.

76
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU 21/2001 jo
Perpu 1/2008).

3.     Konsekuensi Hukum Bagi Majelis Rakyat Papua (“MRP”)


Menyangkut Persyaratan Pasangan Bakal Calon Gubernur Dan
Wakil Gubernur.

Keberadaan MRP ini diatur dalam PP No. 54 Tahun 2004 tentang


Majelis Rakyat Papua (“PP 54/2004”) jo Pasal 1 huruf g UU No. 35
Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Menjadi Undang-Undang.

MRP mempunyai tugas dan wewenang yang satu di antaranya adalah


memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (“DPRP”) (lihat Pasal 36 PP 54/2004).

Terkait dengan tugas dan wewenangnya memberikan pertimbangan


dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil

77
Gubernur yang diusulkan oleh DPRP, pertimbangan dan persetujuan
yang diberikan hanya menyangkut persyaratan bahwa  pasangan
bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur adalah orang asli
Papua (lihat Pasal 37 PP 54/2004).

Larangan dan sanksi yang berlaku bagi MRP adalah yang sebagaimana
diatur dalam BAB VIII PP 54/2004 mengenai Larangan dan Sanksi,
sebagaimana dapat disimak dalam boks di bawah”

Boks: Larangan-larangan bagi Anggota MRP

Pasal 34

Anggota MRP dilarang:

a.      Menghianati Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;

b.      Melakukan tindakan yang tercela dan tidak bermoral;

c.       Memiliki jabatan rangkap sebagai Pegawai Negeri dan/atau pejabat Negara;

d.      Melakukan tindakan melanggar hukum yang dapat berakibat dicabut hak pilihnya;

e.      Melakukan kegiatan dan/atau usaha yang biayanya berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi.

78
Pasal 35

1)      Anggota MRP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dikenakan sanksi pemberhentian sebagai Anggota MRP.

2)      Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan penilaian Dewan Kehormatan.

3)      Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Tata Tertib MRP.

Mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota MRP ini juga
diatur dalam Keputusan MRP No: 01/MRP/2005 tentang Peraturan
Tata Tertib MRP (“Tatib MRP”) sebagai berikut:

Boks: Sanksi Bagi Anggota MRP Berdasarkan Tatib MRP

Pasal 129

1)      Anggota MRP yang melanggar Peraturan Tata Tertib ini dapat dikenakan sanksi
pemberhentian sebagai Anggota MRP.

2)      Pemberian sanksi sebagaimana diatur pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan penilaian Dewan Kehormaatan.

79
Pasal 36

Setelah Dewan Kehormatan melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan,


pembelaan, bukti-bukti serta saksi-saksi, Dewan Kehormatan memutuskan sanksi secara
bertahap berupa:

1)      Teguran tertulis

a.      Pemberhentian dari jabatan pimpinan MRP atau pimpinan alat


kelengkapan MRP ;

b.      Pemberhentian sebagai anggota.

2)      Sanksi berupa teguran tertulis, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan MRP kepada anggota yang bersangkutan.

3)      Sanksi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b disampaikan
kepada pimpinan MRP untuk dibacakan dalam Rapat Pleno.

4)      Pemberhentian sebagai anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan oleh pimpinan MRP kepada Menteri rnelalui Gubernur untuk diresmikan.

5)      Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada Ayat (4), disampaikan oleh pimpinan
MRP kepada anggota yang bersangkutan.

Jika memang disinyalir ada pelanggaran terkait dengan persyaratan


pasangan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur, pengaduan oleh
masyarakat dan/atau pemilih (dilengkapi identitas pengadu) dapat
diajukan secara tertulis kepada pimpinan MRP untuk dapat
ditindaklanjuti oleh Dewan Kehormatan MRP (lihat Pasal 35 Tatib
MRP). Selanjutnya, Dewan Kehormatanlah yang akan melakukan

80
penyelidikan dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut,
pembelaan, bukti-bukti serta saksi-saksi, dan mengambil
keputusan terhadap anggota MRP yang bersangkutan.

Di sisi lain, perlu diketahui bahwa anggota MRP mempunyai hak


imunitas atau hak kekebalan hukum untuk tidak dapat dituntut di muka
pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam
rapat-rapat MRP dengan Pemerintah Provinsi dan DPRP sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, kecuali anggota MRP tersebut
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
dan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup
untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan
mengenai pengumuman rahasia Negara dalam buku kedua Bab I
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (lihat Pasal 48 PP 54/2004
jo Pasal 66 Tatib MRP).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,


Staatsblad 1915 No. 73)

81
2.      Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

3.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

4.      Undang-Undang NO. 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang;

5.      Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat


Papua;

6.      Keputusan MRP No: 01/MRP/2005 tentang Peraturan Tata Tertib


MRP.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.  

Kegagalan dalam Implementasi Otonomi Khusus di


Papua
OPINI | 16 June 2013 | 11:27 Dibaca: 761   Komentar: 4   0

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro


mengatakan, kegagalan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat itu
dikarenakan dalam penerapannya pelaksanaan Otonomi Khusus itu tidak
dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah Papua sendiri. Pemerintah

82
Daerah Papua tidak menjalankan tugasnya. Sehingga, implementasi dana
Otonomi Khusus dalam sektor pendidikan dan kesehatan tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Deputi Bidang Koordinasi dan Sinkronisasi
Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan,
kegagalan Otonomi Khusus juga disebabkan lemahnya pengendalian dan
pengawasan pengelolaan dana Otonomi Khusus oleh pemerintah pusat,
baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, maupun
Bappenas.

Desakan Bangsa Papua Barat untuk keluar dari Negara Indonesia mulai
bergema kembali secara terbuka sejak Indonesia memasuki era reformasi
tahun 1998. Pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua sebagai jalan tengah atas tuntutan Kemerdekaan bagi
Papua Barat. Tujuan pemberian Otonomi Khusus adalah agar pemerintah
mempunyai kewenangan khusus untuk mengatur diri sendiri dan
melakukan percepatan pembangunan dari ketertinggalan secara
nasional. Pemberian Otonomi Khusus terdapat pro dan kontra ditengah
kehidupan masyarakat Papua Barat. Pemberian Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua ini tidak representatif bagi rakyat dan terkesan dipaksa
untuk menerimanya. Sebab Otonomi Khusus diberikan bukan didasarkan
atas kesepakatan bersama antara pimpinan masyarakat Papua dan
Pemerintah Pusat. Hal ini amat berbeda dengan pemberian Otonomi
Khusus bagi Pemerintah Nangro Aceh Darusalam karena diberikan atas
kesepakatan kedua belah pihak.

Selain itu, status integrasi politis kedalam NKRI pada dekade 1960an masih
menjadi hal yang kontroversial bagi sebagian kalangan di Tanah Papua. Terdapat
perbedaan yang mendasar dan tajam antara pemahaman penduduk asli Papua
dengan pemahaman Pemerintah Pusat tentang pemberian kesempatan yang
adil untuk menentukan nasib sendiri dalam Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) yang diatur dalam berbagai konvensi internasional. Hal lainnya adalah
pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru masih membekas pada
benak setiap keluarga di Papua yang anggota keluarganya menjadi korban pada
saat operasi militer dan penahanan tanpa pengadilan karena dugaan
keterlibatan dengan gerakan-gerakan separatis. Tekanan aparat keamanan TNI
dan POLRI yang melahirkan kekerasan dan kejahatan Negara di Tanah Papua.

83
Pendekatan kekerasan dan kejahatan Negara ini mengorbankan nyawa ratusan
bahkan ribuan rakyat sipil Papua. Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di
Papua tidak terlepas dari peran Pemerintah Pusat. Peran mereka terlihat dalam
penetapan yuridis yang bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi
Khusus, yakni:

a. Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang mengaktifkan kembali Provinsi Irian


Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Namun perkembangan selanjutnya,
Prov Irian Jaya Barat tetap eksis sampai sekarang walaupun ada penolakan
dari masyarakat, sementara untuk Irian Jaya Tengah berhasil ditolak.
Keberadaan Prov Irian Jaya Barat adalah satu-satunya Provinsi di dunia
yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tetapi secara operasional tetap
berjalan baik.

b. PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan Bendera Bintang Kejora


dan bendera lain yang dianggap simbol separatis di Indonesia. Pemerintah
Pusat menolak secara tegas, Kebijakan Affirmatif Action MRP tentang
draf usulan Bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. Pemerintah
pusat juga menolak SK Nomor 14 tentang semua Kepala Daerah di Tanah
Papua adalah Orang asli Papua.

Kondisi real di Tanah Papua mengatakan bahwa sebuah Inpres bisa


mengalahkan sebuah Undang-Undang, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 2003
tentang IJB dan IJT bisa mengalahkan UU Otonomi Khusus Papua. Walaupun
sebenarnya kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan
Pemerintah, Perpu, dan Inpres. Melihat realitasnya, Otonomi Khusus ini boleh
dikatakan gagal. Padahal alokasi dana pembagian berupa dana penerimaan
khusus untuk Provinsi Papua terus mengalir. Setiap tahun bahkan terus
bertambah. Dari 2002 sebesar Rp 1.382 trilyun, menjadi Rp 1.539 trilyun pada
2003, lalu Rp 1.642 trilyun pada 2004. Secara teoritis, dengan dana sebesar itu,
Papua bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi lain. Akan tetapi, yang terjadi
di lapangan sungguh berbeda. Di mata Pemerintah Daerah Papua, Otonomi
Khusus dilihat semata-mata sebagai program untuk menguncurkan sejumlah
uang bagi Provinsi papua. Akibatnya, Otonomi Khusus menjadi ajang rebutan
proyek.

84
Tujuan dari penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2007 sebenarnya merupakan langkah
yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UU
Otonomi Khusus karena melihat realitas pejabat daerah di Papua melakukan
korupsi, baik pejabat eselon I, II, III bahkan honorer punya rumah dan mobil
sendiri yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Rakyat di Tanah Papua terutama
yang jauh dari perkotaan belum ikut mekar, yang mekar hanyalah sebagian
pejabat dan birokrat pemegang kekuasaan.

Sejak UU Otonomi Khusus disahkan, sampai sekarang belum ada satu pun
peraturan Perdasus yang ditetapkan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Faktor-faktor penghambat implementasi UU Otonomi Khusus di
Papua, antara lain:

1. Ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi


Khusus

Mereka yang memberikan respon positif, melihat status Otonomi Khusus


sebagai suatu jalan keluar yang dapat mencegah konflik. Ada pula
sebagian masyarakat yang secara tegas menolak status Otonomi Khusus
dan menginginkan kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI.
Ironisnya, pemahaman yang berbeda ataupun persepsi negatif terhadap
Otonomi Khusus tidak hanya terjadi di antara masyarakat Papua, tetapi
juga di kalangan pejabat pemerintah dan anggota lembaga legislatif, baik
di Pusat maupun di daerah. Padahal, mereka mempunyai tanggungjawab
untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar dan jelas.

2. Adanya sikap saling tidak percaya (distrust)

Pengalaman yang dialami oleh rakyat Papua, pada masa Pemerintahan


Orde Lama dan Orde Baru telah membuat sebagian rakyat Papua sudah
tidak percaya terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan Pemerintah
Pusat. Di sisi lain, di pihak Pemerintah Pusat ada kalangan tertentu yang
khawatir bahwa UU Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan
rakyat Papua untuk merdeka.

3. Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanan


(PP, Perdasi, dan Perdasus)

85
Salah satu penyebab utama dari lambatnya hal tersebut karena Tim
Asistensi Otonomi Papua, yang anggotanya terdiri dari para Intelektual
Papua tidak dilibatkan secara penuh dan utuh dalam penyusunan draft
rancangan peraturan pelaksanaan. Tanpa keterlibatan Tim ini, tidak hanya
prosesnya menjadi lambat, tetapi juga dapat terjadi “missing link” antara
nilai dan norma dasar yang diatur dalam undang-undang Otonomi Khusus.

4. Penyerahan kewenangan dan sumber daya yang tidak konsisten dan


setengah hati oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

Dalam banyak hal Pemerintah Pusat (dalam hal ini departemen-


departemen tertentu) belum siap secara mental untuk menyerahkan semua
kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya. Bahkan ada kewenangan
tertentu yang sudah diserahkan, tetapi kemudian ditarik kembali, sehingga
terjadi “tari-ulur” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Contohnya, di sahkannya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah yang bertentangan dengan ketentuan Pasal
76 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Salah satu esensi dari Otonomi Khusus yang sesungguhnya yaitu tidak
saja bagian terbesar kewenangan diserahkan kepada Propinsi Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, tetapi selaras dengan
itu, semua potensi untuk memperoleh dana di daerah secara penuh
dikelola oleh Pemerintah Propinsi Papua.

5. Kesiapan Pemerintah Daerah untuk menerima dan mengambil aalih


kewenangan, sumber daya, tugas, dan tanggung jawab dari Pemerintah
Pusat

Kita semua memahami, dalam hal kapasitas dan kapabilitas


kepemimpinan dan manajemen yang dimiliki Pemerintah Daerah belum
memadai untuk memikul dan mengemban kewenangan, tugas dan
tanggungjawab yang di serahkan Pemerintah Pusat. Sehingga
kecenderungan memunculkan matinya inisiatif dan kreativitas Pemerintah
Daerah. Masalah lain adalah pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
yang belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga membuka peluang
terjadinya korupsi.

6. Pemekaran Propinsi Papua

86
Salah satu masalah yang menimbulkan pro dan kontra, baik di pusat
maupun daerah adalah keluarnya Inpres No. 1 tahun 2003 tentang
Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 tahun 1999 tentang Pemekaran
Propinsi Irian Jaya Barat, Tengah, dan Timur serta beberapa Kabupaten
yang bertentangan dengan UU Otonomi Khusus, karena dengan adanya
Putusan MK No. 18/PUU-I/2003, UU No. 45 tahun 1999 dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus


dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktek-praktek pembangunan
di masa lalu, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang
mengabaikan maupun melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan pendekatan
keamanan dan kekuatan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di masa
lau, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus
dihilangkan di era Otonomi Khusus ini. Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada
hukum, sepanjang hukum itu berpihak kepada kepentingan orang banyak,
diwadahi dalam suatu sistem yang professional dan bebas dari intervensi pihak
manapun, serta para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan


Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. 
UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-
kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan,
kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua. Setelah
Otonomi Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang Pemerintah Indonesia
menyatakan Otonomi Khusus Plus.

Solusi yang di tawarkan

Untuk menyelesaikan secara tuntas, adil, dan bermartabat, semua


pelanggaran HAM yang pernah terjadi di waktu lalu termasuk sejak 1 Mei
1963 maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan
kompensasi dan rehabilitasi kepada korban, keluarga korban, atau ahli
waris korban pelanggaran HAM di Tanah Papua menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam adat istiadat suku-suku di Papua; dan Upaya untuk
terus membuka pintu bagi dialog-dialog dalam bentuk persuasif bukan

87
dengan cara konfrontatif yang bertujuan meluruskan sejarah politik Papua
di masa lalu merupakan hal penting. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan
dalam rangka mencari kebenaran hakiki yang hingga kini terus
dipertanyakan banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi
Khusus harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat,
sekaligus mampu membangun kerangka-kerangka dasar penyelesaian
berbagai masalah terkait pelurusan sejarah ini.

88

Anda mungkin juga menyukai