Anda di halaman 1dari 2

PENCARI KEADILAN YANG MENDAPATKAN KETIDAKADILAN:

DARI PELAPOR/SAKSI MENJADI TERSANGKA

Oleh:
Yogi Aprianto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lampung

Penegakan hukum terhadap perkara tindak pidana korupsi yang notabene adalah kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) sangat diperlukan adanya dukungan dan tindakan yang pro aktif dari semua unsur
lapisan masyarakat, tak terkecuali yang dilakukan oleh Nurhayati seorang Kepala Urusan (Kaur) Keuangan
Desa Citemu, Kecamatan Cirebon yang beberapa hari pemberitaannya menjadi viral dikarenakan ia
sebagai Pelapor justru statusnya menjadi Tersangka setelah melaporkan Supriyadi seorang Kepala Desa
Citemu atas dugaan tindak pidana korupsi APBDes Citemu tahun anggaran 2018-2020.
Kasus ini tentu saja mengakibatkan masyarakat sipil lainnya yang melihat, menyaksikan, atau menemukan
tindak pidana korupsi oleh pejabat atau pemangku kepentingan menjadi takut dan segan karena potensi
kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Lantas sejauh apa perlindungan negara terhadap
pelapor ataupun saksi dalam suatu kejahatan atau tindak pidana? Kemudian apakah sudah tepat status
penetapan status Tersangka terhadap Nurhayati yang sebelumnya sebagai pelapor?

Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Desa Citemu


Awal mula kasus ini ketika Nurhayati selaku Kaur Keuangan Desa Citemu melaporkan kepada Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD) atas dugaan tindak pidana korupsi APBDes Citemu tahun anggaran 2018-
2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Selanjutnya BPD pun melakukan pelaporan kasus ini
kepada pihak Kepolisian Polres Cirebon. Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan
akhirnya Kepala Desa resmi ditetapkan statusnya menjadi Tersangka dan berkas perkara tersebut
kemudian dilimpahkan ke Kejari Cirebon. Saat melakukan ekspose berkas acara pemeriksaan antara pihak
Kepolisian dan Kejaksaan pada 23 November 2021, disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum atau Jaksa
Peneliti agar Penyidik melakukan pendalaman lebih lanjut kepada Nurhayati. Sebelum akhirnya penyidikan
kasus tersebut selama 2 tahun, tepatnya pada akhir 2021 justru Nurhayati berubah statusnya dan
ditetapkan sebagai Tersangka.
Alasan dan dasar ditetapkannya Nurhayati sebagai Tersangka adalah sesuai dengan Pasal 66 Pemendagri
Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur terkait masalah tata kelola regulasi dan sistem administrasi
keuangan. Nurhayati seharusnya menyerahkan uang tersebut kepada Kasi Pelaksana Anggaran, bukan
kepada Kepala Desa Citemu, sehingga atas dasar demikian adanya “Perbuatan Melawan Hukum”
tersebut, “Memperkaya Kepala Desa” dan “Merugikan Keuangan Negara” maka Nurhayati ditetapkan
sebagai Tersangka. Perbuatan tersebut dianggap melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tinda Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.

Perintah Jabatan Tidak Digolongkan Sebagai Tindak Pidana


Ketentuan seseorang tidak dapat dipidana karena adanya perintah jabatan dari atasannya dan yang
diperintah menjalankan dengan maksud I’tikad baik sudah sudah diatur dalam KUHP dalam Pasal 51 ayat
(1) dan (2). Sehingga dalam kasus ini dapat di lihat bahwa pertama, sebagai Kaur Keuangan yang
menjalankan pengelolaan keuangan berdasarkan perintah dan kepurusan Kepala Desa, kedua, sehingga
demikian apa yang dilakukan Nurhayati yang menyerahkan uang kepada Kepala Desa berdasarkan
perintah dari Kepala Desa adalah “Perintah Jabatan” yang diberikan penguasan berwenang sehingga
“wajib digolongkan sebagai perbuatan hukum yang bukan merupakan tindak pidana” sebagaimana yang
diatur dalam KUHP.
Kasus serupa yang menjerat Nurhayati pernah terjadi dan sudah menjadi yurisprudensi berdasarkan
Putusan MA No.194/PK/Pid.Sus/2010 di mana terbukti bahwa Kepala Bagian Keuangan telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi dalam hal penggunaan anggaran
bantuan orang miskin untuk membeli ambulance. Namun dikarenakan perbuatan tersebut statusnya
sebagai Kepala Keuangan yang mendapatkan perintah langsung dari Bupati, maka Kepala Keuangan
tersebut dibebaskan. Sehingga dengan demikian seharusnya Nurhayati juga mendapatkan perlakukan
sama yaitu mendapatkan pembebasan dari statusnya sebagai Tersangka.

Seharusnya Mendapatkan Perlindungan, Apresiasi, dan Dukungan


Sejatinya di dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban diatur bahwa seharusnya saksi pelaku tindak pidana mendapatkan
penghargaan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10A ayat (1) “Saksi Pelaku dapat diberikan
penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan”.
Namun pada kasus ini justru dijadikan Tersangka. Seharusnya setiap orang yang menjadi saksi ataupun
pelapor tida boleh mendapatkan tuntutan hukum termasuk menjadi tersangka sampai laporan tersebut
sudah ada putusan pengadilan yang bersifat incraht. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10
ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban,
saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah
diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sehingga dengan demikian seharusnya
penetapan status Tersangka (apabila memang Nurhayati diduga terlibat) wajib dilakukan setelah kasus
dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa mendapatkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.

Penutup
Maka apabila aparat penegak hukum menetapkan Nurhayati sebagai Tersangka karena “Perintah Kepala
Desa” untuk menyerahkan uang kepada Kepala Desa, alangkah baiknya penetapan status Tersangka
tersebut dicabut karena bertentangan dengan KUHP. Akan tetapi jika memang benar adanya bukti lain
yang cukup untuk menyatakan bahwa Nurhayati terlibat, maka seharusnya penetapan Tersangka tersebut
dapat dilakukan setelah kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa telah
mendapatkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap.
Karena apabila kasus seperti ini terulang justru akan menjadi presedent yang buruk di masyarakat serta
mengakibatkan rasa takut bagi pelapor tindak pidana lainnya. Oleh karena itu aparat penegak hukum harus
segera menyelesaikan kasus ini secara cepat, patut, dan baik dengan tetap memengang prinsip-prisip fair
trail.

Anda mungkin juga menyukai